Pengertian babak baru mestinya mencakup pengerjaan 
teknis penambangan, dan bukan cuma mengoptimalkan 
jualan tembaga berdasarkan kepemilikan 51% saham. 
Ini kan artinya cuma babak baru untuk jualan tembaga 
- padahal kabarnya Tembagapura ini juga kaya akan emas 
dan uranium. Kalau babak barunya cuma sebatas bisnis 
ya berarti pemerintah betul-betul menjalankan bisnis rente, 
praktek ekonomi yang bertentangan dengan prinsip 
sosialisme Indonesia pada UUD'45.

Karena itu pemerintah, terutama kalau pemerintahan Jokowi 
berlanjut, wajib menyiapkan anak Indonesia, khususnya 
anak-anak Papua, untuk menguasai pengelolaan tambang ini 
dari hulu sampai ke hilir. 

* masih heran, bagaimana pemerintah memperpanjang 
operasional PTFI sampai tahun 2041, padahal dalam 
ketentuannya permohonan perpanjangan baru bisa diajukan 
PTFI paling cepat 2 tahun sebelum kontrak berakhir pada 
tahun 2021.
--- j.gedearka@... wrote:
http://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1403-babak-baru-freeport
 
   
Babak Baru Freeport 
   Penulis: Administrator Pada: Rabu, 26 Des 2018, 05:30 WIB podium      
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
 
   
SETELAH 51 tahun kendali operasi PT Freeport Indonesia dipegang 
Freeport-McMoRan, kini Indonesia secara resmi mengambil alih pengelolaan 
tambang emas terbesar dan tambang tembaga terbesar kedua di dunia tersebut. PT 
Inalum mewakili kepentingan Indonesia untuk menguasai lebih dari 51% saham dari 
tambang yang berada wilayah pegunungan Puncak Jaya, Papua.
 
Penguasaan saham mayoritas oleh PT Inalum bersama Pemerintah Provinsi Papua 
bukanlah perkara mudah. Freeport-McMoRan memegang kontrak yang sah dari 
pemerintah Indonesia. Penanam modal asing pertama di Indonesia itu diberi 
konsesi hingga 2021 dan mendapat jaminan untuk bisa diperpanjang hingga 2041.
 
Di dalam kontrak karya II yang diberikan pada 1991, memang tertuang keharusan 
kepada Freeport-McMoRan untuk melakukan divestasi hingga 30%. Namun, pemerintah 
Indonesia sejak dulu hanya mempunyai kemampuan keuangan untuk mengakuisisi 10% 
saham. Pernah ada dua perusahaan swasta nasional yang membeli 10% saham, tetapi 
krisis keuangan 1997 membuat saham itu dijual kembali kepada Freeport-McMoRan.
 
Presiden Joko Widodo membuat kebijakan yang tidak biasa, yakni bukan lagi 
menginginkan untuk menguasai 30% saham, melainkan menjadi pemegang saham 
mayoritas. Pintu masuknya ada Undang-Undang Mineral dan Batu Bara 2009 yang 
tidak lagi mengenal kontrak karya, tetapi diubah menjadi izin usaha 
pertambangan khusus.
 
Namun, upaya untuk bisa menjadi pemegang saham mayoritas itu tidaklah mudah 
karena yang sulit diubah dari peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi ialah 
masalah budaya. Masih banyak di antara kita yang mentalitasnya masih menjadi 
pemburu rente. Mereka menjanjikan kepada pihak investor asing untuk melakukan 
lobi-lobi politik agar kebijakan tidak berubah, tetapi imbalannya ialah 
mendapatkan proyek.
 
Kasus 'Papa minta saham' merupakan salah satu contohnya. Di tengah upaya 
Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas, ada 
lobi-lobi yang dilakukan di belakang. Beruntung kasusnya diungkap Menteri 
Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan Presiden pun bergeming dengan 
sikapnya.
 
Hampir satu setengah tahun perjuangan dilakukan Menteri ESDM Ignasius Jonan, 
Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Mariani Soemarno, Menteri Keuangan Sri 
Mulyani Indrawati, dan Direktur Utama PT Inalum Holding Budi Gunadi Sadikin 
untuk merealisasikan keinginan menjadi pemegang saham mayoritas di PT Freeport 
Indonesia.
 
Langkah tepat untuk menunjuk PT Danareksa dan beberapa perusahaan keuangan 
dunia untuk menjadi pihak yang melakukan due diligence terhadap valuasi rencana 
akuisisi karena mereka bebas dari kepentingan.
 
Harga US$3,85 miliar yang harus dibayarkan PT Inalum untuk melengkapi 
kepemilikan 9,37% saham agar menjadi pemegang saham mayoritas merupakan harga 
terbaik jika dibandingkan dengan penawaran awal Freeport-McMoRan yang di atas 
US$12 miliar. Pendanaan yang diambil dari obligasi di luar negeri juga 
merupakan langkah yang cerdik karena ibarat menangkap ikan, kita tidak sampai 
membuat keruh kolamnya.
 
Penjualan obligasi internasional dengan bunga di bawah 6% tergolong ekonomis, 
apalagi langkah itu tidak menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Kita 
memang masih mendengar ada kata sumbang dari akuisisi yang dilakukan PT Inalum. 
Ini merupakan tipikal dari bangsa Indonesia yang suka 'asal beda'.
 
Mereka berpendapat pembelian itu dianggap terlalu mahal karena kita bisa 
mendapatkan kembali tambang Freeport secara gratis setelah berakhir kontrak 
karyanya pada 2021. Padahal, rezim pengelolaan tambang berbeda dengan rezim 
pengelolaan minyak dan gas. Apalagi, dalam kontrak lama ditegaskan, pihak 
operator diberi kesempatan untuk mengelola tambang hingga 2041.
 
Kita pun seperti menutup mata kepada kepentingan pihak Freeport-McMoRan. Seakan 
mereka hanya pihak yang mengambil untung dari kekayaan Indonesia. Kita lupa, 
ketika mereka datang ke Indonesia pada 1967, tidak ada perusahaan asing yang 
mau berinvestasi di Indonesia. Mereka berani mempertaruhkan investasi atas 
sesuatu yang ketika itu belum pasti hasilnya.
 
Bahwa kemudian Freeport-McMoRan berhasil mendapatkan deposit emas dan tambang 
yang besar, itu hasil dari eksplorasi yang tidak mengenal menyerah. Ketika 
pemerintah Indonesia kini ingin menjadi pemegang saham mayoritas, pasti 
tebersit perasaan bahwa mereka diperlakukan seperti 'habis manis, sepah 
dibuang'.
 
Namun, dengan pendekatan profesional yang kita lakukan, Presiden Direktur 
Freeport-McMoRan Richard Adkerson pun mau untuk memberikan sikap hormat kepada 
Presiden Jokowi saat closing pembelian saham oleh PT Inalum.
 
Sekarang PT Freeport Indonesia secara mayoritas sudah dimiliki perusahaan 
Indonesia. Manajemen baru pun sudah ditunjuk untuk menjalankan roda perusahaan. 
Seharusnya kita menghentikan perdebatan yang tidak perlu dan fokus bagaimana 
membantu perusahaan itu bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk 
kemakmuran rakyat.
 
Kita tidak pernah bosan mengatakan optimalisasi dari tambang tembaga jangan 
hanya menjadikan konsentrat menjadi tembaga. Pembangunan smelter tembaga yang 
akan dilakukan hanya akan memberi nilai tambah sekitar 5%. Nilai tambah lebih 
tinggi akan didapatkan apabila hasil tembaga mampu diserap industri 
elektronika, kabel, pipa, otomotif, dan bahkan persenjataan.
 
Tembaga, kita tahu, merupakan penghantar panas dan listrik yang baik. Semua 
industri pembuatan televisi, radio, pendingin ruangan, dan pemanas ruangan 
membutuhkan tembaga untuk produk mereka. Kabel listrik pun menggunakan tembaga 
untuk bagian dalamnya. Demikian radiator mobil, bahan utamanya ialah tembaga. 
Bahkan campur logam untuk laras senjata yang baik membutuhkan tembaga.
 Kita sudah menetapkan elektronika dan otomotif sebagai industri andalan di 
samping makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, serta produk kimia. 
Penguasaan PT Freeport Indonesia seharusnya jangan hanya berhenti pada 
pengelolaan tambangnya. Kita harus menjadikan tambang tembaga ini sebagai modal 
untuk menjadi negara industri yang tangguh.
   

Kirim email ke