Bung Djie yb.

Terimakasih banyak atas tambahan informasinya yang sangat berguna

bagi saya dan juga menambah wawasan saya. Sekali lagi terimakasih.


Salam hangat,

AA



On 22-01-19 21:54, kh djie wrote:
Bung Awind,
Ada sedikit yang dapat saya tambahkan.
Istri dokter Oen bukan Corrie Djie Nio, tetapi Corrie Djie Oen Nio.
Corrie Djie Oen Nio adalah puteri dari Mayor der Chinezen kediri Djie Thay Hien. Selain bekerja di poliklinik di Kediri, dokter Oen adalah dokter keluarga dari famili Djie.
Perkumpulan Tionghoa di Solo HCTNH mencari seorang dokter untuk memimpin
Poliklinik Tsi Sheng Yuan. Dalam rapat itu oma saya mengusulkan untuk minta Dr. Oen dari Kediri, dan oma menyanggupi untuk menyampaikannya pada dr. Oen. Der.Oen setuju untuk bekerja di Solo untuk memimpin Tsi Sheng Yuan dan dokter Oen mengubah Tsi Sheng Yuan jadi suatu Yayasan. Banyak pengusaha, dokter dan dokter gigi yang menyumbang. Di antaranya ada seorang pedagang Arab. Masing2 keluar F 50,- uang jaman dulu. Dr. Oen juga kerja di rumah Sakit Pusat Surakarta, dan jadi dokter pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu, milik Mangkunegoro. Sekali seminggu mengobati karyawan pabrik gula dan keluarganya. Lama2 dapat kepercayaan dari keluarga Mangkunegoro,
sehingga jadi dokter istana Mangkunegaran.
Yang pakai angka tiga itu bukan hanya hari lahirnya tanggal 3, bulan tiga, tahun 1903, tetapi
juga tempat kelahirannya Salatiga.
Tsi Sheng Yuan lama2 bisa berubah jadi Rumah Sakit Panti Kosala, berkat sumbangan orang2 kaya di Solo, tetapi juga dari masyarakat. Biasanya keluarga orang yang meninggal, dapat sumbangan uang yang dikumpulkan, diterima seorang dengan nama daftar penyumbang dan besarnya sumbangan. Orang yang kematian ada yang pilih sumbangan seluruhnya untuk Tsi Sheng Yuan, atau untuk sekolah gratis Khong Kauw Hee (perkumpulan Confucianisme,
yang punya sekolah SD dan SMP).
Dari sumbangan2 ini akhirnya Rumah Sakit Panti Kosala dapat didirikan di Kandang Sapi Solo. Yang aktif di Palang Merah di Solo selain dokter Oen adalah Oei Tjoe Tat SH (Partindo), orang Solo. Orang Solo lain, yang aktif waktu persiapan Kmerdekaan adalah Drs. Yap Tjwn Bing (PNI).
Di artikel itu ditulis :
/Penghargaan tersebut diberikan atas usulan para veteran Tentara Pelajar yang pernah ditolong / /Dr. Oen. Mereka menganggap perjuangan gerilya yang dilakukan di Surakarta tidak dapa.t /
/dipisahkan dari jasa-jasa Dr. Oen. /
Keponakan dokter Oen meninggal waktu diinterogasi di ex gedung tentara Pelajar. Mungkin yang
menangkap tidak tahu kalau yang diinterogasi itu keponakan dr. Oen ?
Dr.Oen sendiri tidak pernah dipanggil/diinterogasi, meskipun namanya tercantum sebagai penasehat HSI, rector dari Universitas Kedokteran Solo, yang didirikan Oleh Utomo Ramelan (walikota Solo dari PKI). Foto kunjungannya ke RRT, bersama Mao tetap tergantung di kamar tamunya. Saya pernah tanya, kok tidak disimpan. Di jawab, semua orang yang pernah ke sini kan tahu, lihat foto besar tersebut bersama Mao.Kalau disimpan, orang malah tanya-tanya........ Beberapa tahun setelah dr.Oen meninggal, Batik Keris mnyumbang 12 ha tanah di Solo Baru. Karena sudah lama, kok rumah sakit baru belum didirikan, pemilik perusahaan Farmasi Konimex ngajaki Batik keris patungan menyumbang untuk dirikan Rumah Sakit Dr. Oen Solo Baru.
Kemudian di Boyolali juga didirikan rumah sakit dr. Oen.
Waku gereja Kristen Kepunton dibom, semua kurban di rawat cuma2 di rumah sakit dr. Oen. Saya berpendapat kehebatan dr. Oen itu karena dia selalu mengikuti perkembangan obat2an dan kedokteran. Dia baca majallah2 kedokteran dan obat2an yang dikirimi man2nya dari luar negeri. Mungkin juga karena dia dokter yang dulu terlatih lihat wajah dan tubuh orang, sudah bisa menduga
orang kekurangan apa.
Yang bikin kaget saya adalah dr. mata Yap Kie Tiong di Yogya. Langsung dia tanya saya, sering pilek ya ? Saya bilang ya. Dia bilang, pertumbuhan tulang badan terlalu cepat. Jadi selain dapat recept  untuk kaca mata, saya dapat recept untuk kalk. Ya, sejak itu tidak pilek-pilek lagi.
Salam,
KH


Pada tanggal Sel, 22 Jan 2019 pukul 19.30 Awind j.gedea...@upcmail.nl <mailto:j.gedea...@upcmail.nl> [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com <mailto:GELORA45@yahoogroups.com>> menulis:


    
https://tirto.id/sejarah-hidup-oen-boen-ing-dokter-dermawan-penolong-kaum-miskin-ddvv


              Seri Imlek 2019


      Sejarah Hidup Oen Boen Ing, Dokter


      Dermawan Penolong Kaum Miskin

    Dr. Oen Boen Ing. tirto.id/Lugas
    
<https://tirto.id/sejarah-hidup-oen-boen-ing-dokter-dermawan-penolong-kaum-miskin-ddvv>


                Dr. Oen Boen Ing. tirto.id/Lugas <http://tirto.id/Lugas>

    Oleh: Ravando Lie - 22 Januari 2019
    Dibaca Normal 6 menit
    /Dr. Oen mengobati pasien miskin tanpa memungut biaya sepeserpun.
    Ia juga membantu para tentara Republik di masa Revolusi./
    tirto.id <https://tirto.id/> - Kalender menunjukkan tanggal 30
    Oktober 1982. Tidak seperti biasanya, beberapa sudut jalan di Kota
    Solo dipadati ribuan manusia. Mereka menyemut di halaman RS Panti
    Kosala. Massa sudah berkumpul sedari pagi demi mengantar
    berpulangnya seorang dokter Tionghoa yang semasa hidup dikenal
    sebagai dermawan dan sosiawan.

    Sang dokter terlahir dengan nama Oen Boen Ing. Namun masyarakat
    Surakarta lebih mengenalnya dengan nama Dr. Oen. Boen Ing lahir di
    Salatiga ketika angka menunjukkan serba “3” (3 Maret 1903). Lulus
    dari Hollandsch Chineesche School (HCS) Salatiga, Boen Ing
    meneruskan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Semarang, dan
    kemudian melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta.

    Sejak kecil, Boen Ing sudah bermimpi untuk menjadi dokter. Impian
    tersebut pertama kali muncul ketika melihat sang kakek yang
    bekerja sebagai sinse di Salatiga. Kakeknya mengobati para pasien
    tanpa berkenan menerima bayaran.

    Selepas lulus dari AMS, Boen Ing tetap teguh pada cita-citanya
    untuk menjadi dokter. Namun niatan tersebut ditentang kedua orang
    tuanya. Ayahnya jelas menginginkan Boen Ing untuk meneruskan
    bisnis tembakau keluarga yang telah bertahan selama beberapa
    generasi. Sementara sang kakek merasa takut bila Boen Ing hanya
    akan mencari kekayaan dengan membebani orang sakit.

    Penolakan tersebut tidak menyurutkan mimpi Boen Ing. Sebaliknya,
    Boen Ing semakin ingin membuktikan bahwa impiannya untuk menjadi
    dokter bukanlah mencari keuntungan, melainkan supaya dapat
    menolong orang sebanyak-banyaknya. Lantaran niat Boen Ing sudah
    bulat, keluarga besar pun tak dapat menahan keinginannya. Ia pun
    mendaftarkan diri ke STOVIA di Batavia sebagai mahasiswa kedokteran.

    Selama di STOVIA, Boen Ing terlibat aktif dalam perhimpunan
    pelajar sekolah menengah Tionghoa bernama Chung Hsioh. Di
    organisasi itu ia mulai terlibat berbagai diskusi kritis terkait
    perpolitikan Hindia Belanda. Boen Ing juga sempat melayani di Jang
    Seng Ie (sekarang Rumah Sakit Husada) sebagai sekretaris pada
    1929, ketika poliklinik tersebut tengah berada di titik terendah
    akibat serangkaian konflik internal dan krisis ekonomi dunia.

    Selepas menyandang gelar dokter dari STOVIA pada 1932, Dr. Oen
    sempat melayani di Poliklinik Gie Sing Wan di Kediri. Selama di
    Gie Sing Wan, Dr. Oen melayani tanpa memikirkan materi. "Dia [Dr.
    Oen] menekankan, tempat ini [Poliklinik Gie Sing Wan] harus tetap
    ada untuk menolong orang sakit yang tidak memiliki uang guna
    membayar dokter maupun obat-obatan," tulis /Soerabaiasch
    Handelsblad/ edisi 27 April 1935.

    Di Kediri ia bertemu dengan Corrie Djie Nio, yang kelak
    dipersuntingnya pada 16 November 1934. Setelah enam tahun melayani
    di Kediri, keduanya kemudian memutuskan mengabdi di Surakarta.

    Pada awalnya, Dr. Oen melayani di Ziekenzorg (sekarang RSUD Dr.
    Moewardi Surakarta). Kemudian ia banyak menghabiskan waktunya
    untuk mengembangkan Poliklinik Tsi Sheng Yuan (sekarang RS Dr. Oen
    Surakarta). Poliklinik ini didirikan pada 1933 oleh Hua Chiao
    Tsing Nien Hui (HCTNH/Perhimpunan Pemuda Tionghoa) yang merasa
    prihatin dengan sistem pelayanan kesehatan yang diskriminatif dan
    tingginya angka kematian bayi di Surakarta. Poliklinik Tsi Sheng
    Yuan memberikan pertolongan kesehatan cuma-cuma kepada penduduk
    dengan penghasilan di bawah 10 gulden per bulan.

    Menjelang runtuhnya rezim kolonial Belanda, Tsi Sheng Yuan turut
    membantu Chineesche Burger Organisatie (CBO/Organisasi Pertahanan
    Sipil Tionghoa). Pada masa pendudukan Jepang, Tsi Sheng Yuan
    membantu Kakyo Sokai (Perkumpulan Umum Tionghoa Perantauan). Di
    masa Revolusi, poliklinik ini berfungsi sebagai rumah sakit
    darurat guna menampung para pejuang dan pengungsi yang terluka.

    Baca juga: Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa
    <https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-b857>


        Penisilin untuk Jenderal Soedirman

    Selama masa perang kemerdekaan di Surakarta, Dr. Oen banyak
    mengobati pejuang dan pengungsi yang terluka, tanpa pandang bulu.
    Kedekatannya dengan pihak Republik membuatnya dimata-matai
    Belanda. Dalam laporan Netherlands East Indies Forces Intelligence
    Service (NEFIS/Dinas Intelijen Tentara Belanda) bertajuk “Doktoren
    te Soerakarta” (24 Desember 1948), nama Dr. Oen termasuk salah
    satu dokter yang mendapat pengawasan khusus.

    Laporan itu mendeskripsikan Dr. Oen sebagai salah satu dari
    segelintir dokter yang beroperasi di Solo selama perang
    kemerdekaan. Dr. Oen pernah menjadi dokter untuk Rode Kruis
    (Palang Merah) dan juga pimpinan dari Rumah Sakit Darurat Jebres.
    Sosok Dr. Oen digambarkan sebagai figur yang “/ontzettend populair
    bij alle bevolkingsgroepen/” (sangat terkenal di seluruh lapisan
    masyarakat) dan “/erg behulpzaam/” (sangat penolong). Dalam
    sehari, Dr. Oen dapat menerima lebih dari 200 pasien di rumahnya,
    dan lebih dari setengahnya bahkan dilaporkan tidak perlu membayar
    sepeser pun.

    Kepopuleran Dr. Oen di kalangan pejabat Republik membuatnya
    mendapat pasokan listrik 24 jam setiap hari (penduduk lain
    mendapatkan jatah empat hari aliran listrik per minggu), selain
    juga mendapat kendaraan pribadi. Seluruh privilese tersebut memang
    diperlukan Dr. Oen guna menunjang profesinya sebagai dokter yang
    harus terus mengobati pasien.

    Ketika Surakarta bergolak, pihak Republik memutuskan untuk
    mengevakuasi Dr. Oen keluar dari kota itu. Mendengar rencana
    evakuasi tersebut, penduduk Surakarta merasa kecewa. Mereka
    kemudian menginisiasi semacam petisi yang menolak rencana itu.
    Mereka menganggap Keberadaan Dr. Oen masih sangat dibutuhkan untuk
    menolong penduduk yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Merasa
    tersentuh dengan permintaan tersebut, Dr. Oen memutuskan untuk
    tetap tinggal di Surakarta.

    Selama masa Revolusi, Dr. Oen selalu menyediakan waktu guna
    mengobati tentara Republik yang terluka, sekalipun tidak jarang
    pada saat yang bersamaan ia juga disibukkan melayani ratusan
    pasien lain. Sekalipun dirinya tidak pernah mengangkat senjata,
    Dr. Oen rela mempertaruhkan nyawa dengan keluar-masuk zona merah.
    Strategi "jemput bola" tersebut dianggap lebih aman guna
    meminimalisasi kecurigaan tentara Belanda.

    Dr. Oen juga dikenal karena jasanya menyelundupkan penisilin bagi
    Jenderal Soedirman yang saat itu tengah menderita TBC. Tindakan
    tersebut tergolong berani mengingat risiko yang sangat serius bila
    Belanda sampai mengendusnya.

    Baca juga: Kala Jenderal Soedirman Memilih Jadi Oposisi
    <https://tirto.id/kala-jenderal-soedirman-memilih-jadi-oposisi-cDED>


        Pengobatan Gratis bagi Orang Miskin

    Ada satu hal tak lazim yang dijalani Dr. Oen dalam praktiknya. Ia
    mulai mengobati para pasien sejak pukul 03.00 di rumahnya yang
    terletak di kawasan Pasar Legi, Banjarsari. Dr. Oen memang tidak
    dapat dilepaskan dari angka "3" yang menjadi angka favoritnya. Dr.
    Oen lahir ketika daun kalender menunjukkan angka serba 3, yakni 3
    Maret 1903. Nomor teleponnya adalah 3333, begitu juga dengan plat
    nomor mobil Peugeot-nya.

    Dr. Oen melayani sendiri seluruh pasien yang datang berobat ke
    kliniknya, mulai dari menyuntik pasien, memeriksa, menulis resep,
    hingga memanggil pasien. Kemudian ia membubuhkan tanda khusus atau
    stempel pada resep tersebut, sebagai kode bagi Apotek Surakarta
    bahwa seluruh biaya obat sang pasien akan ditanggung sepenuhnya
    oleh sang dokter.

    Bagi pasien yang berkenan membayar, maka mereka diperkenankan
    untuk memasukkan uang ke dalam sebuah kotak yang terletak di dekat
    ruang praktik. Mengenai besaran nominalnya, tidak pernah
    dihiraukan oleh Dr. Oen yang sudah keburu sibuk memeriksa pasien
    berikutnya.

    Setidaknya ada empat faktor yang membuat pengobatan Dr. Oen begitu
    populer. /Pertama/, teknik pengobatan Dr. Oen yang dikenal sangat
    ampuh. Banyak pasien yang mengaku sembuh dan pulih lebih cepat
    sesudah ditangani Dr. Oen.

    /Kedua/, teknik pengobatan yang dilakukan Dr. Oen tergolong
    sederhana, tetapi selalu tepat sasaran. Pasien yang diobati
    biasanya tidak perlu datang berkali-kali ke tempat praktiknya.

    /Ketiga/, dan yang terpenting, karena para pasien paham bahwa Dr.
    Oen tidak pernah menarik bayaran dari kaum kurang mampu. Mereka
    yang berkekurangan tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan,
    tanpa harus merasa cemas.

    /Keempat/, Dr. Oen menolak berhenti berpraktik sampai seluruh
    pasiennya habis. Jadi para pasien tidak merasa takut akan
    ditelantarkan karena percaya giliran mereka diperiksa akan tiba.

    Bagi Dr. Oen, jika seorang dokter benar memiliki hati nurani,
    tidak mungkin ia membiarkan orang-orang yang membutuhkan
    pertolongan terus-menerus larut dalam kesukaran. “Bukankah
    kewajiban utama seorang dokter adalah menolong pasien?" tutur Dr.
    Oen seperti dikutip dalam /The Spirit of Dr. Oen, The Spirit of
    Giving./

    Pengabdian Dr. Oen selama beberapa dekade di dunia kesehatan serta
    perjuangannya membantu tentara Republik di masa Revolusi
    membuatnya dianugerahi penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial
    oleh pemerintah Indonesia pada 30 Oktober 1976. Penghargaan
    tersebut diberikan atas usulan para veteran Tentara Pelajar yang
    pernah ditolong Dr. Oen. Mereka menganggap perjuangan gerilya yang
    dilakukan di Surakarta tidak dapat dipisahkan dari jasa-jasa Dr. Oen.

    Baca juga: Sumpah Pemuda dan Kiprah Orang Tionghoa di Balik
    "Indonesia Raya"
    
<https://tirto.id/sumpah-pemuda-dan-kiprah-orang-tionghoa-di-balik-indonesia-raya-c8Jl>


        Dekat dengan Mangkunegaran

    Dr. Oen dan Pura Mangkunegaran memiliki ikatan emosional dan
    profesional yang tak terpisahkan satu sama lain. Sejak 1944, Dr.
    Oen sudah dipercaya menjadi dokter pribadi di sana. Ia menangani
    kesehatan Gusti Nurul dan anggota keluarga Mangkunegaran lainnya.
    Dr. Oen adalah kawan karib Mangkunegara VIII. Sang dokter bahkan
    dipercaya untuk menangani proses persalinan seluruh anak-anak
    Mangkunegara VIII.

    Kedekatan Dr. Oen dan Mangkunegara VIII tampak ketika sang dokter
    meminta izin kepadanya untuk mengambil Sujiwo (kelak menjadi
    Mangkunegara IX) sebagai anak. Dr. Oen bahkan sudah menyiapkan
    nama sang bayi, yaitu "Wu Yi". Dalam Bahasa Mandarin, /wu yi/
    bermakna "lima puluh satu," karena Sujiwo lahir pada 1951.

    Baca juga: Gusti Nurul yang Dipuja Banyak Tokoh Besar Indonesia
    <https://tirto.id/gusti-nurul-yang-dipuja-banyak-tokoh-besar-indonesia-cAlB>

    Mangkunegara VIII pada awalnya menyetujui permintaan tersebut,
    tetapi menjelang persalinan lantas berubah pikiran. "Dokter,
    jangan! Saya tidak tega anak saya kamu ambil," tutur penguasa
    Kepangeranan Mangkunegara itu.

    Sembari tersenyum, Dr. Oen menyatakan dapat memahami perasaan
    Mangkunegara VIII, sebab orang tua manapun pada dasarnya tidak
    akan rela melihat anaknya diambil orang lain. Dr. Oen menerima
    dengan lapang dada pembatalan tersebut. Hubungan antara Dr. Oen
    dan Pura Mangkunegaran tetap terjalin dengan baik. Dr. Oen bahkan
    diberi kebebasan untuk menengok Wu Yi Sujiwo kapan pun ia mau.

    Atas segala jasa Dr. Oen bagi Pura Mangkunegaran, sang dokter
    dianugerahi gelar Kandjeng Raden Toemenggoeng (KRT) Oen Boen Ing
    Darmoehoesodo pada 11 September 1975. “Selama Dr. Oen Boen Ing
    memberikan pelayanan kesehatan kepada kami sekeluarga, putra
    sentana dan pegawai atau karyawan Dinas Urusan Puro Mangkunegaran,
    beliau tidak pernah bersedia menerima imbalan jasanya,” ucap
    Mangkunegara VIII.

    Dr. Oen pun menjadi dokter Tionghoa pertama yang menerima
    pengharagaan tersebut. Gelar ini kemudian dinaikkan menjadi
    Kandjeng Raden Mas Toemenggoeng (KRMT) pada 24 Januari 1993, dan
    diberikan langsung oleh Mangkunegara IX kepada perwakilan keluarga
    Dr. Oen.

    Infografik Seri Imlek


        Berpulangnya Sang Dokter Sosial

    Kondisi kesehatan Dr. Oen terus menurun sejak April 1977. Sang
    dokter akhirnya tutup usia dalam usia 79 pada 30 Oktober 1982.
    Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, dihelat sebuah upacara
    khusus di Pura Mangkunegaran. Mangkunegara VIII memimpin langsung
    upacara tersebut.

    Jenazah Dr. Oen diusung para abdi dalem menuju Krematorium Tiong
    Ting. Abu sang dokter kemudian dilarung di Sungai Bengawan Solo,
    sesuai dengan pesan terakhirnya. Dr. Oen tidak ingin makamnya
    kelak dikultuskan dan dijadikan tempat ritual tertentu, sehingga
    kremasi menjadi opsi terbaik.

    K.R.M.T. Sanyoto Sutopo Hadikusumo didaulat untuk memimpin
    langsung upacara perabuan. Sementara Raden Mas Ngabehi Surato
    Sumosupadio dipercaya membawa Payung Kebesaran Bupati Sepuh
    Mangkunegaran. Ribuan massa mengiringi dari belakang dengan
    berjalan kaki atau mengendarai motor. "Jalanan sudah seperti
    lautan manusia," tutur Sunarto yang menyaksikan prosesi tersebut.

    Penghormatan itu menunjukkan bagaimana sosok Dr. Oen begitu
    dicintai seluruh lapisan masyarakat. Banyak juga dari mereka yang
    tak mampu menyembunyikan raut kesedihan. Beberapa orang terlihat
    menitikkan air mata tatkala jenazah Dr. Oen melintas di hadapan
    mereka.

    Tepat setahun setelah kepergiannya, Yayasan Kesehatan Panti Kosala
    memutuskan untuk mengabadikan nama Dr. Oen menggantikan nama RS
    Panti Kosala. Sejak 10 Oktober 1965, Tsi Sheng Yuan memang sempat
    berganti nama menjadi "Balai Kesehatan Panti Kosala," sebelum
    kemudian menjadi "Panti Kosala."

    Keputusan penggantian nama sempat menuai kontroversi, mengingat
    prosesnya terjadi di rezim Soeharto, ketika seluruh hal yang
    berkaitan dengan Tionghoa dilarang untuk dipublikasikan. Di masa
    Orde Baru hanya RS Mata Dr. Yap di Yogyakarta dan RS Dr. Oen di
    Surakarta yang menggunakan nama Tionghoa sebagai namanya.

    Seri Imlek 2019:

      * Hati Suci Nyonya Lie Tjian Tjoen Selamatkan Perempuan & Anak
        Yatim
        
<https://tirto.id/hati-suci-nyonya-lie-tjian-tjoen-selamatkan-perempuan-anak-yatim-ddvt>
      * Kwee Kek Beng, Sang Pendekar Pena dari Batavia
        <https://tirto.id/kwee-kek-beng-sang-pendekar-pena-dari-batavia-ddvu>


    ==========

    /Menyambut Tahun Baru Imlek 2019,/Tirto/menayangkan serial tentang
    orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang berkontribusi besar
    dalam bidang masing-masing. Serial ini ditayangkan setiap Selasa
    hingga puncak perayaan Imlek pada 5 Februari 2019. Artikel di atas
    merupakan tulisan ketiga./

    /*Ravando Lie*adalah kandidat doktor sejarah di University of
    Melbourne, Australia. Ia menekuni studi peranakan Tionghoa dan
    menulis buku/Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil/(2017).
    Saat ini sedang menyusun disertasi tentang surat kabar/Sin Po/dan
    nasionalisme Indonesia./

    Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA
    
<https://tirto.id/q/sejarah-indonesia-dwA?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowkeyword>
    atau tulisan menarik lainnya Ravando Lie
    <https://tirto.id/author/ravandolie?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowauthor>
    (tirto.id <http://tirto.id> - Humaniora)


    Penulis: Ravando Lie
    Editor: Ivan Aulia Ahsan
    Dr. Oen menyelundupkan penisilin untuk Jenderal Soedirman guna
    mengobati TBC-nya.






Kirim email ke