Bung Awind,
Ada sedikit yang dapat saya tambahkan.
Istri dokter Oen bukan Corrie Djie Nio, tetapi Corrie Djie Oen Nio.
Corrie Djie Oen Nio adalah puteri dari Mayor der Chinezen kediri Djie
Thay Hien.
Selain bekerja di poliklinik di Kediri, dokter Oen adalah dokter
keluarga dari famili Djie.
Perkumpulan Tionghoa di Solo HCTNH mencari seorang dokter untuk memimpin
Poliklinik Tsi Sheng Yuan. Dalam rapat itu oma saya mengusulkan untuk
minta
Dr. Oen dari Kediri, dan oma menyanggupi untuk menyampaikannya pada
dr. Oen.
Der.Oen setuju untuk bekerja di Solo untuk memimpin Tsi Sheng Yuan dan
dokter Oen
mengubah Tsi Sheng Yuan jadi suatu Yayasan. Banyak pengusaha, dokter
dan dokter
gigi yang menyumbang. Di antaranya ada seorang pedagang Arab. Masing2
keluar F 50,-
uang jaman dulu. Dr. Oen juga kerja di rumah Sakit Pusat Surakarta,
dan jadi dokter
pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu, milik Mangkunegoro. Sekali
seminggu mengobati
karyawan pabrik gula dan keluarganya. Lama2 dapat kepercayaan dari
keluarga Mangkunegoro,
sehingga jadi dokter istana Mangkunegaran.
Yang pakai angka tiga itu bukan hanya hari lahirnya tanggal 3, bulan
tiga, tahun 1903, tetapi
juga tempat kelahirannya Salatiga.
Tsi Sheng Yuan lama2 bisa berubah jadi Rumah Sakit Panti Kosala,
berkat sumbangan orang2
kaya di Solo, tetapi juga dari masyarakat. Biasanya keluarga orang
yang meninggal, dapat
sumbangan uang yang dikumpulkan, diterima seorang dengan nama daftar
penyumbang dan
besarnya sumbangan. Orang yang kematian ada yang pilih sumbangan
seluruhnya untuk
Tsi Sheng Yuan, atau untuk sekolah gratis Khong Kauw Hee (perkumpulan
Confucianisme,
yang punya sekolah SD dan SMP).
Dari sumbangan2 ini akhirnya Rumah Sakit Panti Kosala dapat didirikan
di Kandang Sapi Solo.
Yang aktif di Palang Merah di Solo selain dokter Oen adalah Oei Tjoe
Tat SH (Partindo), orang Solo.
Orang Solo lain, yang aktif waktu persiapan Kmerdekaan adalah Drs. Yap
Tjwn Bing (PNI).
Di artikel itu ditulis :
/Penghargaan tersebut diberikan atas usulan para veteran Tentara
Pelajar yang pernah ditolong /
/Dr. Oen. Mereka menganggap perjuangan gerilya yang dilakukan di
Surakarta tidak dapa.t /
/dipisahkan dari jasa-jasa Dr. Oen. /
Keponakan dokter Oen meninggal waktu diinterogasi di ex gedung tentara
Pelajar. Mungkin yang
menangkap tidak tahu kalau yang diinterogasi itu keponakan dr. Oen ?
Dr.Oen sendiri tidak pernah dipanggil/diinterogasi, meskipun namanya
tercantum sebagai penasehat
HSI, rector dari Universitas Kedokteran Solo, yang didirikan Oleh
Utomo Ramelan (walikota Solo
dari PKI). Foto kunjungannya ke RRT, bersama Mao tetap tergantung di
kamar tamunya.
Saya pernah tanya, kok tidak disimpan. Di jawab, semua orang yang
pernah ke sini kan tahu, lihat
foto besar tersebut bersama Mao.Kalau disimpan, orang malah
tanya-tanya........
Beberapa tahun setelah dr.Oen meninggal, Batik Keris mnyumbang 12 ha
tanah di Solo Baru. Karena
sudah lama, kok rumah sakit baru belum didirikan, pemilik perusahaan
Farmasi Konimex ngajaki
Batik keris patungan menyumbang untuk dirikan Rumah Sakit Dr. Oen Solo
Baru.
Kemudian di Boyolali juga didirikan rumah sakit dr. Oen.
Waku gereja Kristen Kepunton dibom, semua kurban di rawat cuma2 di
rumah sakit dr. Oen.
Saya berpendapat kehebatan dr. Oen itu karena dia selalu mengikuti
perkembangan obat2an dan
kedokteran. Dia baca majallah2 kedokteran dan obat2an yang dikirimi
man2nya dari luar negeri.
Mungkin juga karena dia dokter yang dulu terlatih lihat wajah dan
tubuh orang, sudah bisa menduga
orang kekurangan apa.
Yang bikin kaget saya adalah dr. mata Yap Kie Tiong di Yogya. Langsung
dia tanya saya, sering pilek ya ?
Saya bilang ya. Dia bilang, pertumbuhan tulang badan terlalu cepat.
Jadi selain dapat recept untuk
kaca mata, saya dapat recept untuk kalk. Ya, sejak itu tidak
pilek-pilek lagi.
Salam,
KH
Pada tanggal Sel, 22 Jan 2019 pukul 19.30 Awind j.gedea...@upcmail.nl
<mailto:j.gedea...@upcmail.nl> [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com
<mailto:GELORA45@yahoogroups.com>> menulis:
https://tirto.id/sejarah-hidup-oen-boen-ing-dokter-dermawan-penolong-kaum-miskin-ddvv
Seri Imlek 2019
Sejarah Hidup Oen Boen Ing, Dokter
Dermawan Penolong Kaum Miskin
Dr. Oen Boen Ing. tirto.id/Lugas
<https://tirto.id/sejarah-hidup-oen-boen-ing-dokter-dermawan-penolong-kaum-miskin-ddvv>
Dr. Oen Boen Ing. tirto.id/Lugas <http://tirto.id/Lugas>
Oleh: Ravando Lie - 22 Januari 2019
Dibaca Normal 6 menit
/Dr. Oen mengobati pasien miskin tanpa memungut biaya sepeserpun.
Ia juga membantu para tentara Republik di masa Revolusi./
tirto.id <https://tirto.id/> - Kalender menunjukkan tanggal 30
Oktober 1982. Tidak seperti biasanya, beberapa sudut jalan di Kota
Solo dipadati ribuan manusia. Mereka menyemut di halaman RS Panti
Kosala. Massa sudah berkumpul sedari pagi demi mengantar
berpulangnya seorang dokter Tionghoa yang semasa hidup dikenal
sebagai dermawan dan sosiawan.
Sang dokter terlahir dengan nama Oen Boen Ing. Namun masyarakat
Surakarta lebih mengenalnya dengan nama Dr. Oen. Boen Ing lahir di
Salatiga ketika angka menunjukkan serba “3” (3 Maret 1903). Lulus
dari Hollandsch Chineesche School (HCS) Salatiga, Boen Ing
meneruskan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Semarang, dan
kemudian melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta.
Sejak kecil, Boen Ing sudah bermimpi untuk menjadi dokter. Impian
tersebut pertama kali muncul ketika melihat sang kakek yang
bekerja sebagai sinse di Salatiga. Kakeknya mengobati para pasien
tanpa berkenan menerima bayaran.
Selepas lulus dari AMS, Boen Ing tetap teguh pada cita-citanya
untuk menjadi dokter. Namun niatan tersebut ditentang kedua orang
tuanya. Ayahnya jelas menginginkan Boen Ing untuk meneruskan
bisnis tembakau keluarga yang telah bertahan selama beberapa
generasi. Sementara sang kakek merasa takut bila Boen Ing hanya
akan mencari kekayaan dengan membebani orang sakit.
Penolakan tersebut tidak menyurutkan mimpi Boen Ing. Sebaliknya,
Boen Ing semakin ingin membuktikan bahwa impiannya untuk menjadi
dokter bukanlah mencari keuntungan, melainkan supaya dapat
menolong orang sebanyak-banyaknya. Lantaran niat Boen Ing sudah
bulat, keluarga besar pun tak dapat menahan keinginannya. Ia pun
mendaftarkan diri ke STOVIA di Batavia sebagai mahasiswa kedokteran.
Selama di STOVIA, Boen Ing terlibat aktif dalam perhimpunan
pelajar sekolah menengah Tionghoa bernama Chung Hsioh. Di
organisasi itu ia mulai terlibat berbagai diskusi kritis terkait
perpolitikan Hindia Belanda. Boen Ing juga sempat melayani di Jang
Seng Ie (sekarang Rumah Sakit Husada) sebagai sekretaris pada
1929, ketika poliklinik tersebut tengah berada di titik terendah
akibat serangkaian konflik internal dan krisis ekonomi dunia.
Selepas menyandang gelar dokter dari STOVIA pada 1932, Dr. Oen
sempat melayani di Poliklinik Gie Sing Wan di Kediri. Selama di
Gie Sing Wan, Dr. Oen melayani tanpa memikirkan materi. "Dia [Dr.
Oen] menekankan, tempat ini [Poliklinik Gie Sing Wan] harus tetap
ada untuk menolong orang sakit yang tidak memiliki uang guna
membayar dokter maupun obat-obatan," tulis /Soerabaiasch
Handelsblad/ edisi 27 April 1935.
Di Kediri ia bertemu dengan Corrie Djie Nio, yang kelak
dipersuntingnya pada 16 November 1934. Setelah enam tahun melayani
di Kediri, keduanya kemudian memutuskan mengabdi di Surakarta.
Pada awalnya, Dr. Oen melayani di Ziekenzorg (sekarang RSUD Dr.
Moewardi Surakarta). Kemudian ia banyak menghabiskan waktunya
untuk mengembangkan Poliklinik Tsi Sheng Yuan (sekarang RS Dr. Oen
Surakarta). Poliklinik ini didirikan pada 1933 oleh Hua Chiao
Tsing Nien Hui (HCTNH/Perhimpunan Pemuda Tionghoa) yang merasa
prihatin dengan sistem pelayanan kesehatan yang diskriminatif dan
tingginya angka kematian bayi di Surakarta. Poliklinik Tsi Sheng
Yuan memberikan pertolongan kesehatan cuma-cuma kepada penduduk
dengan penghasilan di bawah 10 gulden per bulan.
Menjelang runtuhnya rezim kolonial Belanda, Tsi Sheng Yuan turut
membantu Chineesche Burger Organisatie (CBO/Organisasi Pertahanan
Sipil Tionghoa). Pada masa pendudukan Jepang, Tsi Sheng Yuan
membantu Kakyo Sokai (Perkumpulan Umum Tionghoa Perantauan). Di
masa Revolusi, poliklinik ini berfungsi sebagai rumah sakit
darurat guna menampung para pejuang dan pengungsi yang terluka.
Baca juga: Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa
<https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-b857>
Penisilin untuk Jenderal Soedirman
Selama masa perang kemerdekaan di Surakarta, Dr. Oen banyak
mengobati pejuang dan pengungsi yang terluka, tanpa pandang bulu.
Kedekatannya dengan pihak Republik membuatnya dimata-matai
Belanda. Dalam laporan Netherlands East Indies Forces Intelligence
Service (NEFIS/Dinas Intelijen Tentara Belanda) bertajuk “Doktoren
te Soerakarta” (24 Desember 1948), nama Dr. Oen termasuk salah
satu dokter yang mendapat pengawasan khusus.
Laporan itu mendeskripsikan Dr. Oen sebagai salah satu dari
segelintir dokter yang beroperasi di Solo selama perang
kemerdekaan. Dr. Oen pernah menjadi dokter untuk Rode Kruis
(Palang Merah) dan juga pimpinan dari Rumah Sakit Darurat Jebres.
Sosok Dr. Oen digambarkan sebagai figur yang “/ontzettend populair
bij alle bevolkingsgroepen/” (sangat terkenal di seluruh lapisan
masyarakat) dan “/erg behulpzaam/” (sangat penolong). Dalam
sehari, Dr. Oen dapat menerima lebih dari 200 pasien di rumahnya,
dan lebih dari setengahnya bahkan dilaporkan tidak perlu membayar
sepeser pun.
Kepopuleran Dr. Oen di kalangan pejabat Republik membuatnya
mendapat pasokan listrik 24 jam setiap hari (penduduk lain
mendapatkan jatah empat hari aliran listrik per minggu), selain
juga mendapat kendaraan pribadi. Seluruh privilese tersebut memang
diperlukan Dr. Oen guna menunjang profesinya sebagai dokter yang
harus terus mengobati pasien.
Ketika Surakarta bergolak, pihak Republik memutuskan untuk
mengevakuasi Dr. Oen keluar dari kota itu. Mendengar rencana
evakuasi tersebut, penduduk Surakarta merasa kecewa. Mereka
kemudian menginisiasi semacam petisi yang menolak rencana itu.
Mereka menganggap Keberadaan Dr. Oen masih sangat dibutuhkan untuk
menolong penduduk yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Merasa
tersentuh dengan permintaan tersebut, Dr. Oen memutuskan untuk
tetap tinggal di Surakarta.
Selama masa Revolusi, Dr. Oen selalu menyediakan waktu guna
mengobati tentara Republik yang terluka, sekalipun tidak jarang
pada saat yang bersamaan ia juga disibukkan melayani ratusan
pasien lain. Sekalipun dirinya tidak pernah mengangkat senjata,
Dr. Oen rela mempertaruhkan nyawa dengan keluar-masuk zona merah.
Strategi "jemput bola" tersebut dianggap lebih aman guna
meminimalisasi kecurigaan tentara Belanda.
Dr. Oen juga dikenal karena jasanya menyelundupkan penisilin bagi
Jenderal Soedirman yang saat itu tengah menderita TBC. Tindakan
tersebut tergolong berani mengingat risiko yang sangat serius bila
Belanda sampai mengendusnya.
Baca juga: Kala Jenderal Soedirman Memilih Jadi Oposisi
<https://tirto.id/kala-jenderal-soedirman-memilih-jadi-oposisi-cDED>
Pengobatan Gratis bagi Orang Miskin
Ada satu hal tak lazim yang dijalani Dr. Oen dalam praktiknya. Ia
mulai mengobati para pasien sejak pukul 03.00 di rumahnya yang
terletak di kawasan Pasar Legi, Banjarsari. Dr. Oen memang tidak
dapat dilepaskan dari angka "3" yang menjadi angka favoritnya. Dr.
Oen lahir ketika daun kalender menunjukkan angka serba 3, yakni 3
Maret 1903. Nomor teleponnya adalah 3333, begitu juga dengan plat
nomor mobil Peugeot-nya.
Dr. Oen melayani sendiri seluruh pasien yang datang berobat ke
kliniknya, mulai dari menyuntik pasien, memeriksa, menulis resep,
hingga memanggil pasien. Kemudian ia membubuhkan tanda khusus atau
stempel pada resep tersebut, sebagai kode bagi Apotek Surakarta
bahwa seluruh biaya obat sang pasien akan ditanggung sepenuhnya
oleh sang dokter.
Bagi pasien yang berkenan membayar, maka mereka diperkenankan
untuk memasukkan uang ke dalam sebuah kotak yang terletak di dekat
ruang praktik. Mengenai besaran nominalnya, tidak pernah
dihiraukan oleh Dr. Oen yang sudah keburu sibuk memeriksa pasien
berikutnya.
Setidaknya ada empat faktor yang membuat pengobatan Dr. Oen begitu
populer. /Pertama/, teknik pengobatan Dr. Oen yang dikenal sangat
ampuh. Banyak pasien yang mengaku sembuh dan pulih lebih cepat
sesudah ditangani Dr. Oen.
/Kedua/, teknik pengobatan yang dilakukan Dr. Oen tergolong
sederhana, tetapi selalu tepat sasaran. Pasien yang diobati
biasanya tidak perlu datang berkali-kali ke tempat praktiknya.
/Ketiga/, dan yang terpenting, karena para pasien paham bahwa Dr.
Oen tidak pernah menarik bayaran dari kaum kurang mampu. Mereka
yang berkekurangan tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan,
tanpa harus merasa cemas.
/Keempat/, Dr. Oen menolak berhenti berpraktik sampai seluruh
pasiennya habis. Jadi para pasien tidak merasa takut akan
ditelantarkan karena percaya giliran mereka diperiksa akan tiba.
Bagi Dr. Oen, jika seorang dokter benar memiliki hati nurani,
tidak mungkin ia membiarkan orang-orang yang membutuhkan
pertolongan terus-menerus larut dalam kesukaran. “Bukankah
kewajiban utama seorang dokter adalah menolong pasien?" tutur Dr.
Oen seperti dikutip dalam /The Spirit of Dr. Oen, The Spirit of
Giving./
Pengabdian Dr. Oen selama beberapa dekade di dunia kesehatan serta
perjuangannya membantu tentara Republik di masa Revolusi
membuatnya dianugerahi penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial
oleh pemerintah Indonesia pada 30 Oktober 1976. Penghargaan
tersebut diberikan atas usulan para veteran Tentara Pelajar yang
pernah ditolong Dr. Oen. Mereka menganggap perjuangan gerilya yang
dilakukan di Surakarta tidak dapat dipisahkan dari jasa-jasa Dr. Oen.
Baca juga: Sumpah Pemuda dan Kiprah Orang Tionghoa di Balik
"Indonesia Raya"
<https://tirto.id/sumpah-pemuda-dan-kiprah-orang-tionghoa-di-balik-indonesia-raya-c8Jl>
Dekat dengan Mangkunegaran
Dr. Oen dan Pura Mangkunegaran memiliki ikatan emosional dan
profesional yang tak terpisahkan satu sama lain. Sejak 1944, Dr.
Oen sudah dipercaya menjadi dokter pribadi di sana. Ia menangani
kesehatan Gusti Nurul dan anggota keluarga Mangkunegaran lainnya.
Dr. Oen adalah kawan karib Mangkunegara VIII. Sang dokter bahkan
dipercaya untuk menangani proses persalinan seluruh anak-anak
Mangkunegara VIII.
Kedekatan Dr. Oen dan Mangkunegara VIII tampak ketika sang dokter
meminta izin kepadanya untuk mengambil Sujiwo (kelak menjadi
Mangkunegara IX) sebagai anak. Dr. Oen bahkan sudah menyiapkan
nama sang bayi, yaitu "Wu Yi". Dalam Bahasa Mandarin, /wu yi/
bermakna "lima puluh satu," karena Sujiwo lahir pada 1951.
Baca juga: Gusti Nurul yang Dipuja Banyak Tokoh Besar Indonesia
<https://tirto.id/gusti-nurul-yang-dipuja-banyak-tokoh-besar-indonesia-cAlB>
Mangkunegara VIII pada awalnya menyetujui permintaan tersebut,
tetapi menjelang persalinan lantas berubah pikiran. "Dokter,
jangan! Saya tidak tega anak saya kamu ambil," tutur penguasa
Kepangeranan Mangkunegara itu.
Sembari tersenyum, Dr. Oen menyatakan dapat memahami perasaan
Mangkunegara VIII, sebab orang tua manapun pada dasarnya tidak
akan rela melihat anaknya diambil orang lain. Dr. Oen menerima
dengan lapang dada pembatalan tersebut. Hubungan antara Dr. Oen
dan Pura Mangkunegaran tetap terjalin dengan baik. Dr. Oen bahkan
diberi kebebasan untuk menengok Wu Yi Sujiwo kapan pun ia mau.
Atas segala jasa Dr. Oen bagi Pura Mangkunegaran, sang dokter
dianugerahi gelar Kandjeng Raden Toemenggoeng (KRT) Oen Boen Ing
Darmoehoesodo pada 11 September 1975. “Selama Dr. Oen Boen Ing
memberikan pelayanan kesehatan kepada kami sekeluarga, putra
sentana dan pegawai atau karyawan Dinas Urusan Puro Mangkunegaran,
beliau tidak pernah bersedia menerima imbalan jasanya,” ucap
Mangkunegara VIII.
Dr. Oen pun menjadi dokter Tionghoa pertama yang menerima
pengharagaan tersebut. Gelar ini kemudian dinaikkan menjadi
Kandjeng Raden Mas Toemenggoeng (KRMT) pada 24 Januari 1993, dan
diberikan langsung oleh Mangkunegara IX kepada perwakilan keluarga
Dr. Oen.
Infografik Seri Imlek
Berpulangnya Sang Dokter Sosial
Kondisi kesehatan Dr. Oen terus menurun sejak April 1977. Sang
dokter akhirnya tutup usia dalam usia 79 pada 30 Oktober 1982.
Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, dihelat sebuah upacara
khusus di Pura Mangkunegaran. Mangkunegara VIII memimpin langsung
upacara tersebut.
Jenazah Dr. Oen diusung para abdi dalem menuju Krematorium Tiong
Ting. Abu sang dokter kemudian dilarung di Sungai Bengawan Solo,
sesuai dengan pesan terakhirnya. Dr. Oen tidak ingin makamnya
kelak dikultuskan dan dijadikan tempat ritual tertentu, sehingga
kremasi menjadi opsi terbaik.
K.R.M.T. Sanyoto Sutopo Hadikusumo didaulat untuk memimpin
langsung upacara perabuan. Sementara Raden Mas Ngabehi Surato
Sumosupadio dipercaya membawa Payung Kebesaran Bupati Sepuh
Mangkunegaran. Ribuan massa mengiringi dari belakang dengan
berjalan kaki atau mengendarai motor. "Jalanan sudah seperti
lautan manusia," tutur Sunarto yang menyaksikan prosesi tersebut.
Penghormatan itu menunjukkan bagaimana sosok Dr. Oen begitu
dicintai seluruh lapisan masyarakat. Banyak juga dari mereka yang
tak mampu menyembunyikan raut kesedihan. Beberapa orang terlihat
menitikkan air mata tatkala jenazah Dr. Oen melintas di hadapan
mereka.
Tepat setahun setelah kepergiannya, Yayasan Kesehatan Panti Kosala
memutuskan untuk mengabadikan nama Dr. Oen menggantikan nama RS
Panti Kosala. Sejak 10 Oktober 1965, Tsi Sheng Yuan memang sempat
berganti nama menjadi "Balai Kesehatan Panti Kosala," sebelum
kemudian menjadi "Panti Kosala."
Keputusan penggantian nama sempat menuai kontroversi, mengingat
prosesnya terjadi di rezim Soeharto, ketika seluruh hal yang
berkaitan dengan Tionghoa dilarang untuk dipublikasikan. Di masa
Orde Baru hanya RS Mata Dr. Yap di Yogyakarta dan RS Dr. Oen di
Surakarta yang menggunakan nama Tionghoa sebagai namanya.
Seri Imlek 2019:
* Hati Suci Nyonya Lie Tjian Tjoen Selamatkan Perempuan & Anak
Yatim
<https://tirto.id/hati-suci-nyonya-lie-tjian-tjoen-selamatkan-perempuan-anak-yatim-ddvt>
* Kwee Kek Beng, Sang Pendekar Pena dari Batavia
<https://tirto.id/kwee-kek-beng-sang-pendekar-pena-dari-batavia-ddvu>
==========
/Menyambut Tahun Baru Imlek 2019,/Tirto/menayangkan serial tentang
orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang berkontribusi besar
dalam bidang masing-masing. Serial ini ditayangkan setiap Selasa
hingga puncak perayaan Imlek pada 5 Februari 2019. Artikel di atas
merupakan tulisan ketiga./
/*Ravando Lie*adalah kandidat doktor sejarah di University of
Melbourne, Australia. Ia menekuni studi peranakan Tionghoa dan
menulis buku/Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil/(2017).
Saat ini sedang menyusun disertasi tentang surat kabar/Sin Po/dan
nasionalisme Indonesia./
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA
<https://tirto.id/q/sejarah-indonesia-dwA?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Ravando Lie
<https://tirto.id/author/ravandolie?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowauthor>
(tirto.id <http://tirto.id> - Humaniora)
Penulis: Ravando Lie
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Dr. Oen menyelundupkan penisilin untuk Jenderal Soedirman guna
mengobati TBC-nya.