BERITA

Selasa, 18 Juni 2019



*Singgung Asas Actori Incumbit Onus Probandi, KPU Bantah Dalil Pemohon
Sengketa Pilpres*



*Siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan. Pemohon tanggapi
keharusan mundur dari dewan pengawas anak usaha BUMN.*



*Moh**. **Dani Pratama Huzaini*



Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden. Sidang
kali ini mengagendakan mendengarkan jawaban termohon dan keterangan pihak
terkait. Termohon dalam perkara dengan nomor register 1/PHPU.PRES-XVII/2019
ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara pihak terkait yang
disetujui oleh MK adalah pasangan Presiden dan Wakil Presiden Joko
Widodo–Ma’ruf Amin. Hadir pula memberi keterangan Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu). MK sendiri melalui Ketuanya Anwar Usman saat membuka sidang
menyebutkan memperoleh 16 pengajuan untuk menjadi pihak terkait namun
kesemuanya tidak diterima oleh MK.



Dalam kesempatannya Kuasa Hukum Termohon, Ali Nurdin saat membacakan
salinan jawaban Termohon menyinggung perihal “tuduhan” pemohon yang
menggugat peran MK dalam mengadili sengketa PHPU sebagai mahkamah
kalkulator. Menurut catatan kuasa hukum Termohon, pihak pemohon berulang
kali menuntut agar MK tidak bertindak sebagai mahkamah kalkulator dalam
mengadili sengketa PHPU Presiden kali ini. “Dalam Permohonannya
(menyinggung hal perihal mahkamah kalkulator) lebih dari sepertiga
halaman,” ujar Ali Nurdin membacakan salinan jawaban Termohon dalam
persidangan, Selasa (18/6), di Gedung MK.



Untuk diketahui, argumentasi Pemohon yang menyebutkan MK sebagai mahkamah
kalkulator digunakan untuk menguatkan dalil pendekatan kualitatif yang
dikonstruksi dalam permohonan yang telah dibacakan pada sidang pendahuluan.
Dalil tersebut digunakan untuk mengurai adanya dugaan kecurangan yang
bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Menjawab hal ini, Ali
Nurdin menyebutkan bahwa pendekatan yang digunakan oleh pemohon tersebut
berbeda dengan permohonan-permohonan pada umumnya.



(Baca juga: Pakar HTN Ini Prediksi Putusan PHPU Pilpres 2019 Tak
Mendiskualifikasi Kandidat).



Menurut Ali Nurdin, bentuk permohonan pada umumnya lebih menitikberatkan
kepada materi pemeriksaan perkara yang menyangkut substansi permasalahan
mengenai adanya fakta hukum dari berbagai jenis bentuk pelanggaran Pemilu
yang berpengaruh terhadap perolehan suara pasangan calon. Termohon menduga
pendekatan yang digunakan oleh Pemohon tersebut sebagai upaya untuk
mengalihkan  isu dari ketidakmampuan Pemohon untuk merumuskan berbagai
fakta hukum yang menjadi dasar pemeriksaan perkara dalam persidangan.
Bahkan Termohon menilai adanya indikasi dari pemohon yang mendiskreditkan
Mahkamah.



“Semata-mata karena kesalahan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara ini yang tidak sesuai dengan keinginan
Pemohon. Dalil Pemohon tersebut terkesan mengada-ada dan cenderung
menggiring opini publik bahwa seakan-akan Mahkamah Konstitusi akan
bertindak tidak adil atau seperti menyimpan bom waktu,” ujar Ali Nurdin.



Menguatkan jawabannya, Ali Nurdin menyitir sejumlah contoh ketika MK
menangani sengketa PHPU dan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Dalam
menanganai perkara tersebut, sikap MK tidak pernah keluar dari
yurisprudensi yang sudah dibuat Mahkamah dalam penanganan Pilkada Jawa
Timur tahun 2008. Ali Nurdin menilai hal itu sebagai bukti konkrit bahwa MK
tidak pernah bersikap layaknya mahkamah kalkulator. Oleh karena itu dalil
pemohon yang mengkhawatirkan MK akan bertindak sebagai mahkamah kalkulator
dipandang sebagai bentuk penghinaan terhadap MK.



Kuasa hukum Termohon juga menyebutkan secara keseluruhan, dari 26
perselisihan hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang memasuki tahap pembuktian,
MK menjatuhkan putusan pemungutan suara ulang di 16 daerah pemilihan. Dari
16 dapil tersebut, tidak ada satu pun pertimbangan hukum tentang kesalahan
hasil penghitungan suara semata, tetapi karena ada pelanggaran-pelanggaran
terhadap asas pemilihan yang luber dan jurdil. “Besarnya persentase ini
menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menegaskan kedudukan dan
kewenangannya dalam menangani sengketa Pemilu bukan sebagai Mahkamah
Kalkulator,” ujar Ali Nurdin.



(Baca juga: Tiga Hal Patut Dicermati Pemohon Sengketa Pilpres untuk
Buktikan Dalil TSM).



*Beban Pembuktian*



Dalam perbaikan permohonan yang diajukan pada tanggal 10 Juni, Pemohon juga
mendalilkan mengenai beban pembuktian dalam sengketa PHPU Pilpres kali ini
tidak hanya dibebankan kepada Pemohon, akan tetapi juga dibebankan kepada
MK. MK diminta untuk memanggil untuk hadir ke persidangan para saksi dan
ahli mengenai kecurangan Pemilu serta meminta Mahkamah untuk menyiapkan
sistem perlindungan saksi.



Saat membacakan jawaban, Ali Nurdin menyebutkan bahwa dalil Pemohon yang
menyatakan beban pembuktian tidak hanya dibebankan kepada Pemohon akan
tetapi juga dibebankan kepada Mahkamah adalah dalil yang tidak berdasar
karena merupakan prinsip yang bersifat universal, siapa yang mendalilkan
maka dialah yang harus membuktikan. KPU singgung asas hukum Actori Incumbit
Onus Probandi.



Dalam konteks sengketa ini, pemohon menuduh berbagai jenis pelanggaran dan
kecurangan yang dilakukan oleh Pihak Terkait dan/atau kecurangan yang
dilakukan oleh Termohon. Pemohon yang mendalilkan kecurangan maka sudah
seharusnya Pemohon pula yang membuktikan tuduhan itu.



Jika pemohon mengalami kesulitan membuktikan sebagaimana disinggung dalam
permohonan, maka itu bukanlah semata-mata karena faktor adanya ancaman atau
intimidasi yang selama ini digembar-gemborkan oleh Pemohon, tetapi karena
argumentasi pemohon tidak didasari oleh fakta dan bukti-bukti yang jelas.
“Misalnya dalil Pemohon yang dibangun mengenai adanya kecurangan oleh
Termohon, seperti pembukaan kotak suara diparkiran sebagaimana terdapat
pada halaman 81, ternyata Pemohon sendiri tidak mengetahui lokasinya dan
hanya menggunakan cuplikan rekaman video”.



KPU berpendapat sudah pasti tidak bisa terungkap bagaimana hubungannya
kasus yang disebut pemohon dengan perolehan suara pasangan calon.
Membebankan pembuktian kepada MK, termasuk memanggil saksi-saksi, merupakan
pelanggaran asas-asas peradilan cepat, murah dan sederhana. Dengan demikian
dalil Pemohon mengenai hal ini tidak beralasan dan oleh karenanya haruslah
ditolak



*BUMN*



Melalui perbaikan permohonan, Pemohon meminta agar Mahkamah
mendiskualifikasi pasangan Joko Widodo–Ma’ruf Amin. Pemohon mendalilkan
jabatan Dewan Pengawas Syariah dari anak Perusahaan BUMN yang tengah
dijabat oleh Ma’ruf Amin mengakibatkan dirinya tidak memenuhi syarat untuk
mencalonkan diri dalam Pilpres. Petitum diskualifikasi sendiri sebelumnya
pernah dikabulkan oleh MK saat menangani sengketa PHPU Pilkada Bengkulu
Selatan, Kota Tebing Tinggi, dan Supiori.



Menurut Ali Nurdin, ketiga kasus diskualifikasi akibat pasangan calon yang
tidak memenuhi syarat seperti yang disebutkan di atas tidak bisa disamakan
dengan tuduhan ketidaklengkapan persyaratan calon Ma’ruf Amin. Dalam
kedudukannya sebagai Dewan Pengawas Syariah Bank BNI Syariah dan Bank
Syariah Mandiri, Amin tidak melanggar ketentuan harus mengundurkan diri
karena perusahaan tak dapat dikualifikasi sebagai BUMN.



Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), mendefinisikan BUMN sebagai badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam kasus
ini, kedua bank dimaksud tidak mendapatkan penyertaan langsung dari
kekayaan negara sehingga tidak dikategorikan sebagai BUMN.



Selain itu, Pasal 1 angka 15 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
telah mengatur bahwa Dewan Pengawas Syariah termasuk kategori pihak yang
memberikan jasanya kepada Bank Syariah, seperti halnya akuntan publik,
penilai, dan konsultan hukum. Kedudukan hukum Dewan Pengawas Syariah adalah
bukan pejabat yang berbeda dengan pihak Komisaris, Direksi, Pejabat, dan
karyawan Bank Syariah. Sehingga tidak ada kewajiban bagi Ma’ruf Amin untuk
mundur dari jabatannya sebagai Dewan Pengawas  kedua perusahaan saat
mencalonkan diri sebagai wapres.



Terkait hal ini, Ketua Tim Kuasa Hukum Pemohon, Bambang Widjojanto,
mengkritik jawaban yang hanya menggunakan UU BUMN. Pria yang lazim disapa
BW ini menegaskan MK telah mengeluarkan sejumlah putusan yang kurang lebih
menyebutkan bahwa anak perusahaan BUMN juga termasuk Perusahaan BUMN.
Misalnya, putusan MK No. 21 Tahun 2017, dan putusan MK No. 48 tahun 2013.
Ada juga Peraturan Menteri BUMN No. 3 tahun 2013, UU Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam
putusan dan peraturan perundang-undangan itu, dapat disimpulkan bahwa anak
perusahaan BUMN adalah BUMN dan pejabat di anak perusahaan BUMN adalah
mewakili representasi dari BUMN bukan sekadar konsultan. Ketidakmampuan
menjawab ini sebenarnya berarti semakin sah dan legitimate bahwa terjadi
pelanggaran terhadap Pasal 277 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,”
ujar Bambang.



*https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d08d3e8227c9/singgung-asas-i-actori-incumbit-onus-probandi-i-kpu-bantah-dalil-pemohon-sengketa-pilpres
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d08d3e8227c9/singgung-asas-i-actori-incumbit-onus-probandi-i-kpu-bantah-dalil-pemohon-sengketa-pilpres>*

Kirim email ke