https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190821195046-33-423550/pace-mace-di-papua-dan-kabut-moral-jokowi



Pace Mace di Papua dan Kabut Moral Jokowi

*Wishnugroho Akbar*, CNN Indonesia | Kamis, 22/08/2019 10:40 WIB

Bagikan :

[image: Pace Mace di Papua dan Kabut Moral Jokowi]Aksi protes massa di
Papua. (Foto: (dok.istimewa)

Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden *Joko Widodo
<https://www.cnnindonesia.com/tag/jokowi>* bisa jadi salah diagnosis
soal *Papua
<https://www.cnnindonesia.com/tag/papua>*. Dikiranya, kerusuhan di *Manokwari
<https://www.cnnindonesia.com/tag/manokwari-rusuh>* dan beberapa daerah
lain di Papua Barat, sekadar dipicu masalah pelanggaran moral. Karena
diagnosis yang keliru itulah Jokowi lantas mengeluarkan obat berupa anjuran
moral: 'agar Pace dan Mace di Papua memaafkan hal yang telah membuat mereka
tersinggung'.

Anjuran moral Jokowi atas persoalan Papua ibarat memberikan segelas air
kepada orang yang sedang sekarat karena kelaparan di lumbung padi.

Air itu mungkin bisa membantu orang tersebut bertahan hidup, tapi untuk
berapa lama?


Persis seperti Papua. Jokowi gagal melihat kerusuhan Papua dalam konteks
yang lebih besar.
Lihat juga:

*Polisi Bekuk 45 Orang Usai Demo Mimika, Termasuk Aktivis KNPB
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190821170559-12-423479/polisi-bekuk-45-orang-usai-demo-mimika-termasuk-aktivis-knpb/>*

Jika kerusuhan semata dipicu insiden rasialisme terhadap mahasiswa Papua di
Surabaya, akhir pekan lalu, anjuran moral dan janji klise tentang
penghormatan terhadap harkat orang Papua, mungkin bisa meredam amarah massa
untuk sementara.

Sayangnya, rasialisme bukan satu-satunya yang memicu kemarahan orang Papua.
Kerusuhan yang terjadi pada pekan lalu sampai hari ini adalah erupsi kecil
dari sebuah kawah yang sedang bergejolak.

Kawah yang bergejolak itu menyimpan aneka ragam persoalan yang selama ini
dialami oleh orang-orang Papua. Mulai dari pelanggaran HAM, kemiskinan,
hingga praktik diskriminasi dan rasialisme.

Persoalan di Papua kompleks dan terstruktur. Persoalan-persoalan itu sudah
merentang sejak Republik berupaya mengintegrasikan Papua menjadi bagian
dari NKRI. Papua hanya diperlakukan sebagai objek.

Ambisi Repubik menguasai Papua sedikitnya didasarkan pada tiga pijakan
klaim.
Lihat juga:

Kominfo Blokir Internet di Papua dan Papua Barat
<https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190821193429-199-423539/kominfo-blokir-internet-di-papua-dan-papua-barat/>

Klaim pertama dengan meyakini Papua sebagai bagian dari wilayah kekuasaan
Majapahit. Klaim kedua dengan menyebut Papua sebagai bekas jajahan
Hindia-Belanda, seperti halnya pulau-pulau lain di Indonesia. Dan terakhir
untuk mencegah sebuah negara boneka imperialis berdiri di ujung kepulauan
nusantara.

Dari ketiga alasan itu, hanya alasan kedua yang masih bisa diperdebatkan.
Dua alasan lain, dugaan penulis, adalah hasil imajinasi Sukarno dan
kawan-kawan yang mendukungnya. Mohammad Hatta bahkan telah mengingatkan
Sukarno mengenai bahaya memasukkan Papua ke Indonesia.

Hatta adalah pendiri Republik yang tak setuju Papua menjadi bagian dari
Indonesia. Hatta beralasan Papua bukan bagian dari ras melayu.

Mengutip *Historia
<https://historia.id/politik/articles/ketika-hatta-menolak-papua-vqjeJ>*,
Hatta mengingatkan prasangka negatif dari masyarakat internasional yang
mungkin muncul jika Indonesia memasukkan Papua.
Lihat juga:

*Wiranto Terbang ke Papua untuk Pastikan Keamanan
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190821182705-12-423505/wiranto-terbang-ke-papua-untuk-pastikan-keamanan/>*

"Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya
pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga
berhak menjadi bangsa merdeka," kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945
yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 29 Mei 1945-19 Agustus 1945.

"Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua
saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya
sampai ke tengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang
begitu luas?," tanya Hatta kepada hadirin sidang.

Yang paling penting dalam sidang BPUPKI itu ialah tak ada satu pun
perwakilan dari Papua ketika tokoh-tokoh pendiri bangsa membahas nasib
tanah mereka.

Kisruh di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. (Foto: ANTARA
FOTO/Didik Suhartono)

Pengabaian terhadap hak warga Papua menentukan nasib sendiri berlanjut saat
diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Referendum yang seharusnya digelar dengan mekanisme satu orang satu suara
atau *one man one vote,*tidak pernah terjadi. Nasib Papua dalam Pepera
hanya diputuskan oleh sebagian orang Papua. Belum lagi laporan dugaan
intimidasi terhadap para peserta Pepera.

Dengan segala kontroversi itu, Pepera menghasilkan suara mayoritas peserta
menginginkan Papua menjadi bagian dari Indonesia.

Empat tahun setelah Pepera, tepatnya 3 Maret 1973, Jenderal Soeharto
meresmikan salah satu proyek investasi asing terbesar di Indonesia, yakni
tambang tembaga milik PT Freeport di bumi Papua.

*Horor di Papua*

Kekerasan terhadap warga Papua semakin menjadi-jadi saat pemerintah
menetapkan status daerah operasi militer (DOM) 1978-1998.

DOM berlangsung 20 tahun. Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut ada ribuan korban jiwa dari masyarakat
sipil sejak Republik memasuki Papua.

Belasan kasus dugaan pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap warga sipil pun
menyeruak. Kasus-kasus itu di antaranya Peristiwa Abepura 7 Desember 2000,
Wasior 2001 dan Wamena 1 April 2003. Atau kasus besar seperti Biak Berdarah
1998.

Yang baunya masih tercium kuat, tentu saja tragedi Paniai 2014. Saat itu,
empat anak tewas diduga akibat aksi represif dari aparat.

Dugaan kejahatan terhadap masyarakat Papua itu belum termasuk kerusakan
alam akibat eksploitasi dan kemiskinan di sejumlah wilayah Papua.

Presiden Jokowi tentu saja telah membuat perubahan di Papua selama
memimpin.

Pembangunan infrastruktur digalakkan untuk membuka wilayah-wilayah
terpencil. Perhatian psikologis tak kurang-kurangnya dicurahkan. Papua
mungkin menjadi salah satu wilayah yang paling sering dikunjungi Jokowi
selama berkuasa.

Namun pendekatan infrastruktur Jokowi tak sebanding dengan ribuan nyawa
yang meregang di Bumi Cendrawasih. Atau dengan kekerasaan yang selama
puluhan tahun terus menimpa masyarakat sipil.

Presiden Jokowi melintas di jalan Trans Papua.(Foto: ANTARA FOTO/Iwan
Adisaputra)

Benar bahwa infrastruktur bisa menciptakan peluang mobilitas sosial. Tetapi
infrastruktur dan belaian psikologis tak bisa membayar nyawa orang-orang
sipil tak berdosa yang mati akibat konflik dan kepentingan. Atau memulihkan
harkat masyarakat akibat konflik dan kesewenang-wenangan selama operasi
militer di Papua.

Maka, Pak Jokowi, jika rakyat Papua mengamuk akibat cercaan rasialis yang
terjadi di Surabaya, akhir pekan lalu, sesungguhnya sikap itu bukan respons
ketersinggungan sesaat.

Reaksi masyarakat Papua harus dilihat dengan mata yang lebih tajam, yakni
respons terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan selama puluhan tahun.
Lihat juga:

*Komedian Arie Kriting Kritik Sikap Pemerintah soal Papua
<https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190821162619-234-423465/komedian-arie-kriting-kritik-sikap-pemerintah-soal-papua/>*

Maka, cukuplah seruan moral kepada masyarakat Papua. Dugaan penulis,
orang-orang Papua sesungguhnya tak terobsesi menjadi bijak bestari seperti
empu yang bersemayam di rumah angin.

Yang mereka inginkan hanyalah hidup sebagai orang-orang bebas.

Bebas dari penindasan, diskriminasi, dan ancaman terhadap nyawa mereka.
Seruan kebajikan tak akan mengairi dahaga panjang orang-orang Papua akan
keadilan. *(asa)*

Kirim email ke