Berikut analisa seorang analis dan jurnalis senior(jft/KedaiPena)

Rizal Ramli Benar Lagi, Kali Ini Soal ‘Buzzer Anjing Penggonggong’

Submitted by redaksi on Selasa, 8 Oct 2019 - 10:19 

Oleh: Edy Mulyadi, analis/jurnalis

KEPALA Staf Kepresidenan Moeldoko membuat pernyataan jujur dan
mengejutkan. Dia bilang, istana tidak lagi memerlukan ‘buzzer’ alias
para penggonggong.

Saya lebih suka menyebut mereka dengan penggonggong. Bukankah perilaku
orang-orang ini bak anjing yang menggonggong untuk melindungi tuannnya?

Pada bagian lain, pensiunan jenderal bintang empat ini mengaku sudah
menemui sejumlah penggonggong berpengaruh. Disebut berpengaruh karena
para binatang, eh manusia ini punya banyak follower di akun medsos
masing-masing.

Pada pertemuan tersebut, Moeldoko mengaku sudah meminta para buzzer
Jokowi bersifat lebih dewasa dan tidak emosional ketika merespons
sesuatu hal. Namun, katanya lagi, terkadang imbauan tadi sulit
dipraktikkan karena sudah terpolarisasi sejak pilpres lalu.

Sampai di sini kita menghargai kejujuran Moeldoko soal eksistensi para
penggonggong. Namun aksi lempar handuk ala Moeldoko terhadap sepak
terjang para penggonggong Istana jelas menggelikan.

Dia pikir rakyat NKRI terlalu dungu sehingga bisa dikibulin dan percaya
dengan dalih yang dia sodorkan. Lain halnya jika mantan Panglima TNI
ini bicara dengan anak-anak TK, mungkin saja dipercaya.

Sulit menampik bukti

Hari-hari ini Istana kian kerepotan menampik keberadaan dan polah
gerombolan penggonggongnya. Terbitnya laporan penelitian karya Samantha
Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford benar-benar
membungkam Istana.

Laporan seru itu bertajuk ‘The Global Disinformation Order: 2019 Global
Information of Organized Social Media Manipulation’ atau ‘Orde
Disinformasi Global: Informasi Global tentang Manipulasi Media Sosial
Terorganisir 2019’.

Sejatinya banyak pihak yang jauh-jauh hari sudah menduga Istana
memelihara banyak anjing penggonggong. Diduga jumlahnya bisa ratusan,
bahkan mungkin ribuan. Masing masing punya akun puluhan sampai ratusan.

Ciri utama para penggonggong itu adalah, memuji-muji Jokowi setinggi
langit bak dewa tanpa cela. Pada saat yang sama, mereka beramai-ramai
membantai lawan politik Presiden dan atau pengeritiknya tanpa ampun.
Untuk keperluan itu, gerombolan ini tidak segan-segan menebar fitnah,
ujaran kebencian, dan hoax.

Aksi tebar fitnah, ujaran kebencian, dan hoax mereka lakukan dengan
sangat massif dan berkelanjutan, sambung-menyambung. Mereka
terus-menerus membantai sampai ada perintah berhenti dari komandan atau
yang mereka sebut sebagai ‘kakak pembina’. Itulah sebabnya banyak
kalangan menilai anjing-anjing penggonggong tersebut sudah merusak
demokrasi.

Dua karya teranyar para buzzer tadi adalah penyebaran hoax dan fitnah
terhadap ambulan milik Pemprov DKI Jakarta yang disebut membawa batu
dan bensin saat aksi massa di sekitar Gedung MPR/DPR.

Fitnah dan hoax lainnya, tangkapan layar grup WhatsApp pelajar STM yang
seolah-olah mereka dijanjikan bayaran pihak tertentu. Namun setelah
ditelusuri, ternyata nomor-nomor telepon di grup itu diduga milik
anggota Polri. Salah satu nomor telepon di grup WA itu punya tagihan
bulanan hingga Rp4 juta lebih. Ngomong-ngomong, anak STM mana yang
punya tagihan hp Rp4 juta lebih sebulan, ya?

Dua skandal hasil karya kawanan ini, tentu saja, menjadi bagian dari
upaya membela Jokowi sekaligus membusukkan lawan politiknya. Sekali
lagi, mereka tidak peduli walau harus memproduksi dan menebar ujaran
kebencian, hoax, dan fitnah, bahkan kendati yang difitnah adalah
anak-anak STM!

Tokoh nasional dan juga begawan ekonomi Rizal Ramli adalah satu di
antara yang sangat terganggu. September tahun silam dia bahkan sudah
mengingatkan agar Jokowi menghentikan atau setidaknya menertibkan para
buzzer-nya.

Menurut RR, begitu dia biasa disapa, apa yang dilakukan para
penggonggong benar-benar merusak demokrasi. Demokrasi yang seharusnya
membuka ruang bagi perbedaan pendapat, di tangan Jokowi dan para
penggonggongnya berubah jadi merusak dan menghancurkan.

Menyimpan bangkai

Tentu saja, Istana (terpaksa) bolak-balik membantah tudingan tadi.
Bahkan dengan mimik tanpa dosa, Jokowi meminta rakyat Indonesia agar
tidak membuat dan menyebar hoax. Dia juga mengimbau rakyat tidak
termakan hoax yang beredar di dunia maya.

Tidak sampai di situ, polisi juga gencar meneriakkan buruknya hoax.
Aparat berseragam cokelat yang sering dijuluki para demonstran dan
aktivis dengan wercok alias wereng coklat ini rajin menangkapi pegiat
medsos yang dianggap menebar hoax dan atau ujaran kebencian. Katanya
untuk menegakkan perundangan.

Sayangnya, berkali-kali orang-orang yang dicokok polisi adalah mereka
yang kritis terhadap rezim berkuasa. Sementara para penggonggong yang
justru terbukti jauh lebih aktif dan massif menebar hoax, fitnah, dan
ujaran kebencian tetap aman sejahtera sentosa.

Tapi, serapi-rapinya menutupi bangkai akhirnya akan tercium juga
baunya. Begitu kata pepatah bijak. Hal ini pula yang terjadi dengan
fenomena anjing-anjing penggonggong Istana. Pernyataan Moeldoko bahwa
Istana sudah tidak membutuhkan para buzzer adalah konfirmasi yang
sempurna atas sinyalemen dan kritik banyak pihak seputar para
makhluk-makhluk menjijikkan ini.

Suka tidak suka, pernyataan Moeldoko mengkonfirmasi beberapa hal,
antara lain:

Pertama, selama ini Istana punya dan memelihara banyak anjing
penggonggong.

Kedua, selama ini Istana bisa dan biasa memproduksi fitnah serta
menebar kebencian, dan hoax lewat gerombolan penggonggongnya.

Ketiga, selama ini Istana terbukti menjadi raja munafik. Sibuk
berteriak-teriak agar rakyat jangan menebar hoax dan fitnah di medsos,
ternyata justru Istana adalah produsen dan penyebar hoax yang paling
sempurna.

Keempat, selama ini polisi berlagak budek dan picek kalau menyangkut
para penggonggong Istana. Walau mereka menebar fitnah dan hoax, walau
sudah dilaporkan, tetap sama sekali tak disentuh hukum.

Penolakan polisi memproses laporan terhadap Denny Siregar yang menebar
fitnah terhadap ambulan milik Pemprov DKI, adalah contoh sempurna
wercok menjadi bagian dari penjaga kekuasaan.

Kelima, Permadi Arya, Denny Siregar, Eko Kunthadi, MoertadhoOne,
Seword, dan masih banyak yang lain adalah sedikit contoh dari
anjing-anjing penggonggong Istana yang kebal hukum di era rezim Jokowi.

Keenam, pasal-pasal karet UU ITE yang sangar dan sadis itu, jadi omong
kosong saat berhadapan dengan penggonggong Istana. Tajam ke oposan dan
para pengritik rezim, tapi tumpul bagi anjing-anjing penggonggong
Istana.

Ketujuh, Istana menganut prinsip habis manis sepah dibuang. Ucapan
Moeldoko dengan sangat benderang bisa dimaknai sebagai ‘Kini saatnya
membuang para buzzer.’

Kedelapan, para penggonggong kini (sebentar lagi?) jadi pengangguran.
Mereka tidak bisa makan karena uang gonggongan dihentikan.

Kesembilan, ini yang tak kalah penting, rasain lu.

Edy Mulyadi, analis dan jurnalis senior(jft/KedaiPena)
Tags: 

Kirim email ke