Tanpa mengurangi hormat kepada Bung Hatta sebagai proklamator, keputusannya di 
KMB termasuk kesediaannya menanggung utang penjajah Hindia Belanda (baru lunas 
di era kepresidenan Megawati) perlu dijadikan catatan tebal sejarah untuk 
pembelajaran anak-cucu tentang model pembangkrutan "dunia ketiga" oleh nekolim.

--- jetaimemucho1@... wrote:
       


Rasisme dan Separatisme di Papua (Bagian 2)
13 Oktober 2019   
   - 
   - 
   - 
   - 
   - 
Ilustrasi merebut Irian Barat dari Belanda di masa Sukarno/Istimewa
Koran Sulindo – Di kalangan warga yang terlibat dalam gerakan separatisme di 
Irian Barat, ada pandangan yang menganggap Belanda tidak pernah menjajah rakyat 
Papua, artinya mereka tidak sadar dan tidak melihat negara Belanda sebagai 
kekuasaan kolonial dan imperialis. Mereka bicara tentang adanya “keharmonisan” 
di bawah kekuasaan Belanda. Pandangan ini melahirkan sebuah sektor warga yang 
pro-kolonialisme Belanda.

Seorang aktivis separatisme Papua yang kebetulan saya jumpai di Kongres Liga 
Interasional Perjuangan Rakyat (ILPS) V di Hongkong, bulan Juli 2019, berkata 
bahwa mereka tidak pernah menentang Belanda. Jadi, salahkah saya kalau saya 
bilang bahwa para pendukung separatisme Papua pada hakikatnya pro-kolonialisme 
Belanda?

Sektor warga pro-kolonialisme Belanda tidak hanya terdapat di Papua. Contoh 
konkret di kalangan orang Maluku, terutama mereka yang tinggal di negeri 
Belanda, yang melahirkan separatisme dengan negara bonekanya, Republik Maluku 
Selatan (RMS). Juga di kalangan tentara KNIL dan lapisan masyarakat yang 
hidupnya bergantung dan terjalin erat dengan kekuasaan kolonial Hindia Belanda. 
Bahwa ada lapisan masyarakat yang tidak “merasa” dijajah, tidak berarti 
penjajahan itu tidak ada. Perasaan “tak dijajah” sementara lapisan masyarakat 
Papua tidak menghapus fakta bahwa sejak pertengahan 1936, perusahaan 
Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij sudah punya markas di Babo, 
untuk mengeksploitasi minyak dari perut bumi Papua dan mengangkutnya ke luar 
Papua guna mengisi pundi-pundi kaum pemodal kapitalis Belanda. Dan itu 
dilakukan tanpa izin rakyat Papua.

Kok bisa Belanda (bukan orang suku Melanesia dan negeri asalnya terletak 
13..212 kilometer dari Papua) mengebor dan mengangkut (baca: merampok) minyak 
milik rakyat Papua dengan bebas, aman dan tenteram? Itukah tanda “harmonisasi” 
antara penguasa kolonial Belanda dengan rakyat Papua?

Adanya pandangan pro-Belanda ini membuktikan tidak meratanya perkembangan 
ekonomi, sosial dan politik di kepulauan Nusantara selama kolonialisme Belanda. 
Bahkan sekarang pun, di bawah sistem setengah jajahan setengah feodal, 
ketidakseimbangan dan kesenjangan dalam perkembangan ekonomi, sosial dan 
politik tidak akan dapat diatasi. Dampak dari tidak meratanya perkembangan 
ekonomi, sosial dan politik, antara lain tercermin dalam tidak samanya 
kesadaran politik massa rakyat luas di berbagai pulau.

Penegasan beberapa tokoh separatisme Papua tentang perbedaan ras antara 
penduduk Papua dengan mayoritas penduduk Indonesia lainnya lebih lanjut 
mencerminkan betapa besar dan kuatnya warisan rasisme yang ditinggalkan oleh 
kekuasaan kolonial Belanda. Salah satu alasan besar yang diajukan Belanda untuk 
memisahkan Papua Barat dari Indonesia dan terus mengangkanginya adalah penduduk 
Papua tidak sama rasnya dengan penduduk Indonesia lainnya.

Kita temukan pikiran berdasarkan pada ras ini juga pada diri Mohammad Hatta 
(Bung Hatta) dalam diskusi tentang luas negara Indonesia, yang diselenggarakan 
oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 
pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945. Berkaitan dengan Papua, pada pokoknya 
terdapat dua pendapat besar yang diwakili oleh Mohammad Yamin dan Mohammad 
Hatta.

Yamin memasukkan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Hatta tidak sepakat Papua 
dimasukkan dalam wilayah Indonesia, dengan alasan perbedaan ras. Dasar ras ini 
juga digunakan Hatta untuk memilih Malaya dan Borneo Utara sebagai bagian dari 
wilayah Indonesia ketimbang Papua. Padahal Malaya dan Borneo Utara bukan 
jajahan Belanda. Yang lebih masuk akal dan sesuai dengan hukum internasional 
yang mengakui prinsip Uti Possidetis Juris (“as you possess under law”) adalah 
wilayah Hindia Belanda menjadi wilayah Indonesia. Dan Papua termasuk Hindia 
Belanda. Kalau tidak, bagaimana mungkin Boven Digul dijadikan tempat kamp 
konsentrasi para perintis kemerdekaan Indonesia.

Berikut yang dikatakan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 4 Mei, 1963 di 
Jayapura.

“…Dan apa yang dinamakan tanah air Indonesia? Yang dinamakan tanah air 
Indonesia ialah segenap wilayah yang dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu 
dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederlands Indië. Itulah wilayah 
Republik Indonesia. Dengarkan benar kataku, itulah wilayah Republik Indonesia. 
Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945 Irian Barat telah masuk di dalam 
wilayah Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi? Karena penjajah Belanda di 
Irian Barat sesudah proklamasi itu masih berjalan terus, maka Irian Barat belum 
kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sehingga kita 
punya perjuangan yang lalu ialah Saudara-Saudara perhatikan benar-benar, bukan 
memasukan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan 
ini masih kadang-kadang dibuat.. Orang masih berkata, berjuang memasukan Irian 
Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Tidak! Irian Barat 
sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang 
kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. 
Salah! Tidak! Irian Barat sejak dari pada dulu sudah masuk ke dalam wilayah 
kekuasaan Republik Indonesia…”

Tokoh separatisme Papua, Victor Yeimo, Ketua Umum KNPB (Komite Nasional 
Pembebasan Papua), dalam Kongres ILPS V, Juli 2019, di Hongkong, menyebut Hatta 
untuk membela posisi separatisnya. Hatta juga dijadikan referensi oleh 
pendukung separatisme, Dhandy Laksono, dalam debatnya dengan Budiman 
Sudjatmiko, 22 September yang lalu. Lagi-lagi tercermin pandangan ras yang 
dijadikan salah satu dasar pokok untuk memisahkan Papua dari Indonesia.

Tak terbantahkan, pandangan Hatta berkaitan dengan Papua Barat senapas dan 
sesuai dengan keinginan Belanda untuk terus bercokol di sana. Sikap Hatta yang 
cenderung pro-kolonial Belanda sebenarnya dapat dilihat dari sepak terjangnya 
sepanjang hidupnya sebagai politikus dan pejabat pemerintah. Salah satu contoh 
gamblang adalah hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang jelas-jelas 
menguntungkan Belanda dan merugikan Indonesia. Bayangkan, di bawah 
kepemimpinannya, delegasi Indonesia menerima pasal yang mengharuskannya 
membayar utang pemerintah kolonial Belanda termasuk ongkos perang dua agresi 
militer yang dilancarkan Belanda untuk menghancurkan Indonesia.

Herbert Faith, dalam Kemunduran Demokrasi Konstitusional di Indonesia (2006), 
menulis: “Hatta-lah, ketimbang tokoh Republik lainnya, yang telah lebih banyak 
menginspirasi kepercayaan pihak BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, artinya 
Pertemuan Konsultasi Federal yang dilakukan oleh negara-negara boneka ciptaan 
Belanda), Belanda dan Amerika, yang memungkinkan adanya keputusan Perjanjian 
Meja Bundar yang relatif menguntungkan. Bagi berbagai kelompok ini, ia dapat 
diterima karena posisinya yang umumnya moderat, orientasi hukumnya, 
kebenciannya kepada perubahan yang tidak direncanakan, dan komitmen yang selalu 
ia pertahankan untuk melindungi investasi asing di Indonesia.”

Pertanyaannya, menguntungkan siapa? Indonesia atau negeri Belanda?

Sangat masuk akal, pada tahun 1956, Pemerintahan Sukarno membatalkan secara 
sepihak perjanjian KMB yang sangat merugikan kepentingan rakyat dan bangsa 
Indonesia.

Dukungan kepada Separatisme
Sangat disayangkan adanya beberapa organisasi politik dan massa progresif 
revolusioner internasional yang mendukung separatisme Papua Barat. Tanpa 
pengetahuan yang memadai atas fakta dan sejarah perjuangan rakyat Indonesia 
untuk mengusir penjajah kolonial Belanda, mereka berusaha menerapkan prinsip 
menentukan nasib sendiri dengan mengabaikan prinsip analisa konkret atas 
situasi konkret.

Dengan menuduh Indonesia melakukan agresi dan menduduki Papua sejak 1962, 
mereka menyamakan pemerintahan Suharto dengan pemerintahan Sukarno yang 
anti-kolonial dan anti-imperialis. Kalau Sukarno sama dengan Suharto, apa 
alasan kekuatan imperialis yang dipimpin AS untuk mendorong kudeta militer 
Suharto demi menghancurkan PKI dan gerakan rakyat revolusioner melalui 
pembantaian 3 juta manusia (pengakuan Jenderal Sarwio Edhi); penyiksaan, 
pemenjaraan dan penghilangan paksa ratusan ribu orang yang tak pernah 
dibuktikan kesalahannya?

Pembantaian tahun 1965/66 adalah genosida terbesar di Indonesia. Tanpa sedikit 
pun ingin mengurangi penderitaan rakyat Papua di bawah kekuasaan Orba tanpa 
Suharto, namun secara objektif saya berani mengatakan apa yang terjadi di Papua 
sekarang sama sekali tak dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi tahun 
1965/66.

Mereka juga dengan sadar melupakan fakta bahwa kaum komunis berjuang sejak 1926 
untuk mengusir kaum kolonial Belanda dari Hindia Belanda. Mereka mengabaikan 
fakta bahwa PKI dan berbagai organisasi massa revolusioner mendukung dan turut 
serta secara aktif dalam kampanye pembebasan Irian Barat yang dilancarkan 
pemerintahan Sukarno pada 1960-an. Dengan serampangan Sukarno dituduh 
ultra-nasionalis dan dicabut haknya untuk membela integritas wilayah sah 
Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Artinya mereka 
tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan memihak kaum kolonial Belanda yang 
sejak konferensi KMB 1949 menolak dengan berbagai macam alasan untuk 
meninggalkan Papua Barat.

Dalam situasi di mana perjuangan rakyat Indonesia untuk mengusir Belanda dari 
Irian Barat semakin mendapat simpati internasional, Belanda menggunakan taktik 
“self determination” untuk rakyat Papua Barat. Sukarno, yang bukan komunis, 
mampu melihat dan membelejeti kedok “self-determination” kaum kolonial Belanda. 
Silakan menyimak reaksi Bung Karno, September 1961, terhadap pidato tahunan 
Ratu Juliana di depan parlemen Belanda.

“Saya menghargai goodwill Ratu Juliana terhadap masalah Irian Barat... Saya 
tahu yang dimaksud oleh Ratu Juliana ialah apa yang dinamakan politik ‘self 
determination’”.

“Saya juga mengetahui apa yang dapat diakibatkan oleh politik “self 
determination” semacam itu yang berada di bawah pengawasan asing. Penggunaan 
politik semacam itu bukanlah merupakan hal yang baru bagi kami. Pada zaman Van 
Mook politik yang dinamakan politik ‘self determination’ semacam itu 
menghasilkan pembentukan suatu ‘Sumatera Timur Merdeka’, suatu ‘Sumatera 
Selatan Merdeka’, suatu ‘Pasundan Merdeka’, (Jawa Barat), suatu ‘Jawa Timur 
Merdeka’, suatu ‘Madura Merdeka’, suatu ‘Kalimantan Timur Merdeka’, suatu 
‘Indonesia Timur Merdeka’, dan lain-lain yang dinamakan daerah-daerah otonomi. 
Dengan demikian Van Mook sebenarnya membalkanisasi Indonesia”.

“Akan tetapi pada tahun 1950 bangsa Indonesia yang bersatu telah mengakhiri 
hidup dari apa yang dinamakan ‘Negara-negara Merdeka’ itu dan memulihkan Negara 
Kesatuan Republik Indonesia”.

“Saya tolak apa yang dinamakan politik ‘self determination’ pemerintah Belanda 
ini. Politik semacam ini hanya menimbulkan kekacauan di masa depan”.

Jangan karena ingin menunjukkan kesetiaan kepada Lenin, maka semua “self 
determination” dianggap mempunyai sifat progresif dan harus didukung. Apakah 
kita harus mendukung “self determination” rakyat Tibet, rakyat Xinjiang, rakyat 
Taiwan dan menjalankan politik dua Tiongkok?

Kalau mau setia kepada Lenin, jangan lupa melakukan analisa kelas terhadap 
semua organisasi yang mendukung separatisme. Apakah kita harus mendukung 
aspirasi “self determination” Papua yang tokoh-tokohnya dengan jelas membalas 
rasisme Orba tanpa Suharto juga dengan rasisme terhadap suku bangsa yang bukan 
asli Papua?

Indonesia adalah negeri setengah jajahan setengah feodal. Perampasan tanah 
termasuk tanah adat, pembabatan hutan sumber kehidupan rakyat, perampokan 
sumber kekayaan alam untuk diserahkan kepada investor swasta dan asing, 
pelanggaran berat HAM, pemasungan hak-hak demokratis rakyat terjadi setiap hari 
di segala pelosok Tanah Air. Ujung tombak yang seharusnya ditujukan kepada kaum 
tuan tanah besar, kaum kapitalis birokrat dan komprador serta imperialisme 
malah digunakan untuk mengadu domba dan mengembangkan kebencian antar suku 
bangsa. Akibatnya rakyat dialihkan perhatiannya dari perjuangan kelas, dari 
masalah pokok yang justru berdampak langsung pada kelangsungan hidupnya.

Begitu besar semangat para pendukung separatisme untuk menerapkan prinsip “self 
determination” Papua sampai-sampai mereka melupakan masalah tanah, yang 
merupakan kontradiksi pokok yang harus diprioritaskan penyelesaiannya.

Barangkali konflik horizontal di Wamena menyenangkan para pendukung 
separatisme, karena merasa orang Papua punya hak untuk membalas rasisme dari 
pemerintah dan oknum-oknum reaksioner dengan tindakan balasan rasis dan 
kekerasan terhadap penduduk pendatang. Konflik horizontal, saling balas 
membalas antara penduduk asli dan pendatang hanya akan digunakan rezim Orba 
tanpa Suharto untuk memadati Papua dengan polisi, tentara dan aparat militernya.

Jelas, tidak semua orang Papua mendukung separatisme. Sudah sejak proklamasi 
kemerdekaan 17 Agustus 1945 terdapat orang Papua yang pro-Indonesia. Dukungan 
terhadap separatisme akan membuat semakin besar perpecahan dan kebencian rasis 
di kalangan suku bangsa Papua dan suku-suku bangsa lainnya.

Gubernur Belanda Van Mook sudah pindah ke surga atau neraka, tapi impiannya 
untuk memecah belah dan memisahkan Papua dari Indonesia mendapat dukungan 
bahkan dari orang-orang kiri dan revolusioner! Senanglah dia! [Tatiana Lukman]

#yiv4147512061 #yiv4147512061 -- #yiv4147512061ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-mkp #yiv4147512061hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-mkp #yiv4147512061ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-mkp .yiv4147512061ad 
{padding:0 0;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-mkp .yiv4147512061ad p 
{margin:0;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-mkp .yiv4147512061ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-sponsor 
#yiv4147512061ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-sponsor #yiv4147512061ygrp-lc #yiv4147512061hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-sponsor #yiv4147512061ygrp-lc .yiv4147512061ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv4147512061 #yiv4147512061actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv4147512061
 #yiv4147512061activity span {font-weight:700;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv4147512061 #yiv4147512061activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv4147512061 #yiv4147512061activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv4147512061 #yiv4147512061activity span 
.yiv4147512061underline {text-decoration:underline;}#yiv4147512061 
.yiv4147512061attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv4147512061 .yiv4147512061attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv4147512061 .yiv4147512061attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv4147512061 .yiv4147512061attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv4147512061 .yiv4147512061attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv4147512061 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv4147512061 .yiv4147512061bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv4147512061 
.yiv4147512061bold a {text-decoration:none;}#yiv4147512061 dd.yiv4147512061last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv4147512061 dd.yiv4147512061last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv4147512061 
dd.yiv4147512061last p span.yiv4147512061yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv4147512061 div.yiv4147512061attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv4147512061 div.yiv4147512061attach-table 
{width:400px;}#yiv4147512061 div.yiv4147512061file-title a, #yiv4147512061 
div.yiv4147512061file-title a:active, #yiv4147512061 
div.yiv4147512061file-title a:hover, #yiv4147512061 div.yiv4147512061file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv4147512061 div.yiv4147512061photo-title a, 
#yiv4147512061 div.yiv4147512061photo-title a:active, #yiv4147512061 
div.yiv4147512061photo-title a:hover, #yiv4147512061 
div.yiv4147512061photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv4147512061 
div#yiv4147512061ygrp-mlmsg #yiv4147512061ygrp-msg p a 
span.yiv4147512061yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv4147512061 
.yiv4147512061green {color:#628c2a;}#yiv4147512061 .yiv4147512061MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv4147512061 o {font-size:0;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061photos div {float:left;width:72px;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv4147512061
 #yiv4147512061reco-category {font-size:77%;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061reco-desc {font-size:77%;}#yiv4147512061 .yiv4147512061replbq 
{margin:4px;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-mlmsg select, #yiv4147512061 input, #yiv4147512061 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-mlmsg pre, #yiv4147512061 code {font:115% 
monospace;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-mlmsg #yiv4147512061logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-msg 
p#yiv4147512061attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-reco #yiv4147512061reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-sponsor 
#yiv4147512061ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-sponsor #yiv4147512061ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-sponsor #yiv4147512061ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv4147512061 #yiv4147512061ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv4147512061 
#yiv4147512061ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv4147512061   
  • [GELORA45] Rasisme dan S... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • Re: [GELORA45] Rasi... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke