Kerusuhan dalam demonstrasi seringkali dibuat untuk melegalkan represi penguasa. Itu terjadi di mana-mana di dunia yang dicengkeram hegemoni neokolonialisme-imperialisme. -
- October 15, 2019 - 11:11 pm Ada kejanggalan yang belum terungkap di balik demonstrasi berujung rusuh di Papua Reporter: Arjuna Pademme Jayapura, Jubi – Sejumlah unjukrasa anti rasisme di Papua berkembang menjadi amuk massa, sebagaimana terjadi di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019 dan di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya pada 23 September 2019. Direktur Aliansi Demokrasi Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar menyatakan ada sejumlah kejanggalan yang belum terungkap tentang mengapa unjukrasa damai menolak rasisme itu bisa berubah menjadi amuk massa. Hal itu disampaikan Anum Siregar dalam diskusi bersama para aktivis hak asasi manusia (HAM), aktivis mahasiswa, perwakilan gereja, dan tokoh adat dengan Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM RI, Ahmad Taufan Damanik dan komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Diskusi itu berlangsung di Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua di Jayapura, Senin (14/10/2019) petang. “Kami dampingi [mereka yang ditangkap] ke polisi. Polisi mengungkap hal-hal yang saya pikir jauh lebih tepat kalau Komnas HAM mengungkap itu,” kata Anum Siregar. Beberapa hal yang harus diungkap itu adalah para aktor intelektual di balik sejumlah insiden tersebut. Anum Siregar juga membandingkan, mengapa unjukrasa anti rasisme di Jayapura pada 19 Agustus 2019 lalu berlangsung damai, sementara unjukrasa pada 29 Agustus 2019 berkembang menjadi amuk massa di Kota Jayapura. Anum Siregar memiliki sejumlah informasi lain, seperti mengapa karet tiba-tiba habis di toko dan kios-kios di sekitar Waena, Kota Jayapura, sehari sebelum unjukrasa 29 Agustus 2019. Ia juga mendapatkan informasi bahwa sejumlah penjual seragam SMA di Wamena kehabisan stok lantaran diborong, beberapa hari sebelum unjukrasa 23 September 2019. Anum Siregar juga membandingkan unjukrasa anti rasisme di Waghete, ibukota Kabupaten Deiyai pada 26 Agustus 2019 diwarnai pengibaran bendara bintang kejora, namun berlangsung damai. Sebaliknya, unjukrasa anti rasisme di Waghete pada 28 Agustus 2019 tidak disertai pengibaran bendera bintang kejora, namun justru ricuh dan berakhir dengan penembakan yang menewaskan delapan warga sipil. “Kalau aparat keamanan semakin banyak, mestinya tidak banyak korban.. Ini aparat keamanan ditambah, korban tambah banyak. Daerah konflik juga semakin meluas. Inikan harus diungkap,” ujarnya. Anum Siregar menyatakan bukan hanya polisi yang tanggungjawab untuk mengungkap berbagai kasus kekerasan di Papua. Komnas HAM RI juga harus membantu polisi untuk mengungkap berbagai hal yang masih terselubung. “Penegakan hukum harus jalan. Banyak orang ditangkap, ditembak, pelaku tidak diproses. Tidak tahu siapa pelakunya. Ada pembakaran, penjarahan, ada orang meninggal karena dibakar, dibacok, ada rumah dibakar, tapi siapa [pelakunya]? Orang itu harus ditangkap,” ucapnya. Anum Siregar juga menegaskan dalam berbagai insiden tersebut ada banyak korban yang tidak mau melapor kepada polisi, karena takut dianggap pelaku dan ditangkap. “Sepanjang penegakan hukum tidak adil dan profesional, tidak akan ada damai, tidak ada rekonsiliasi. Tidak cukup hanya masukan menciptakan damai. Konstruksinya harus benar-benar utuh,” katanya. Pendeta Dora Balubun dari Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua mengatakan hal yang sama. Ia menduga, ada pihak yang telah merencanakan agar demonstrasi damai berujung rusuh. “Misalnya, di Abepura ada orang yang membeli karet, kelereng dan lainnya satu minggu sebelum demonstrasi. Mungkin teman-teman koalisi punya catatan itu. Juga setelah demonstrasi di Kota Jayapura, ada kelompok yang muncul. Saya anggap itu milisi,” kata Pdt Dora Balubun. Pdt Dora Balubun menyebut ada kelompok masyarakat yang secara terang-terangan membawa senjata tajam, akan tetapi aparat keamanan cenderung membiarkan kelompok itu. “Di Kota Jayapura ada korban yang meninggal karena dibunuh kelompok tertentu, dan kami punya data itu. Kami mendesak Komnas HAM memperjungkan keadilan. Harus ada keadilan,” ujarnya. Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Kota Jayapura, Victor Tibul, juga menyebut ada sejumlah keanehan dalam demonstrasi, 29 Agustus 2019 di Kota Jayapura. Beberapa orang tidak dikenal terlihat berganti-ganti jaket almamater di sejumlah lokasi. “[Mereka] berganti-ganti [jaket] almamater. Pertama pakai almamater Fakultas Hukum Uncen. Ketika di Kotaraja, ia pakai almamter USTJ, lalu menghilang. Sebenarnya mereka ini siapa?” ucap Viktor Tibul. Tibul juga menyebut, biasanya pelanggaran hukum dilakukan oleh barisan terdepan massa. Pembakaran misalnya, dilakukan oleh barisan terdepan, karena penjual bensin eceran atau minyak tanah eceran belum menutup jualannya. Akan tetapi, amuk massa dan pembakaran dalam unjukrasa 29 Agustus 2019 justru bukan dilakukan oleh barisan terdepan massa. “Saat demonstrasi di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019, gelombang massa pertama, kedua dan ketiga aman. Gelombang ke empat baru terjadi pembakaran. Siapa yang suplai bahan bakar untuk digunakan membakar, ini juga mesti diungkap,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G