1.:

Admin DEMOKRASI News
Senin, Oktober 21, 2019


Membaca Alasan Jokowi Merangkul Prabowo 

DEMOKRASI.CO.ID - Akademisi Universitas Sumatera Utara  Agus Suriadi
menilai jika Presiden Joko Widodo benar-benar memasukkan Ketua Umum
Partai Gerindra Prabowo Subianto ke kabinet baru, hal itu menggambarkan
Prabowo memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan begitu saja.

"Prabowo dinilai masih memiliki kekuatan yang musti dirangkul," kata
Agus kepada Akurat.co, Senin (21/10/2019), malam.

Tetapi menurut Agus seharusnya Prabowo tetap menjaga kepercayaan
pendukungnya. Sebagian warga mendukung Prabowo karena kurang puas
dengan kepemimpinan Jokowi.

"Seharusnya ini bisa menjadi pertimbangan bagi Prabowo untuk terus
memelihara kepercayaan masyarakat yang sudah menaruh perhatian yang
besar terhadap beliau," katanya.

Agus mengatakan di luar pemerintahan sebenarnya Prabowo tetap bisa
berkontribusi untuk bangsa.

"Justru kalau itu bisa dilakukan oleh Prabowo (berada di luar kabinet)
tentu saja beliau bisa tetap menjaga pemilihnya benar-benar solid
dibandingkan hanya sekedar kekuasaan yang dikejar," kata Agus.

Akademisi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Faisal Riza
mengatakan keputusan Prabowo merapat ke Istana bisa dimaknai sebagai
pendekatan sharing power.

"Walaupun ini praktek agak aneh, dimana kontender justru merapat pada
lawannya," kata Riza.

Tetapi, kata Riza, bisa juga dimaknai sebagai skema lanjutan
rekonsiliasi yang terjadi antara Prabowo dan Jokowi.

"Ini kompensasinya. Yang lalu kan ada pertemuan pasca pilpres.
Rekonsiliasi nasi goreng dan seterusnya. Nah ini lanjutannya," ujarnya.

Menurut dia kondisi ini memunculkan kekhawatiran karena tidak ada poros
kritik terhadap pemerintah. Absennya poros ini akan memudahkan
munculnya kecenderungan kekuasaan yang absolut.

"Meskipun begitu biasanya tetap ada gerakan civil society yang mungkin
bisa diharapkan mengkritisi secara konstruktif jalannya pemerintahan,"
kata Riza. [ak]



2.:

DEMOKRASI News
Senin, Oktober 21, 2019

Prabowo Masih Pas Jadi Menko Polhukam, Luhut Bukan Masanya Lagi 

DEMOKRASI.CO.ID - Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto
banyak menuai kritik atas sikap politiknya mendukung Pemerintahan Joko
Widodo-KH Ma’ruf Amin. Prabowo dan partainya lebih diinginkan menjadi
oposisi, namun sikap Prabowo mengambil jalan yang tidak populis.

Prabowo sudah berkomitmen untuk memperkuat pemerintahan Jokowi dan itu
dibuktikan dengan kesiapannya memenuhi panggilan Presiden di Istana
sebagai salah satu calon menteri. Prabowo berdiskusi mengenai masalah
pertahanan.

Asumsi publik, Prabowo akan menempati pos kementerian pertahanan dari
diskusi tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan dia ditempatkan
sebagai menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (menko
polhukam).

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun
mengaku sempat tidak percaya jika Prabowo Subianto bergabung di kabinet
Jokowi-Ma’ruf. Terlebih, untuk menangani Kementerian Pertahanan.

“Masa sih Pak Prabowo di Menhan? Mungkin dia di Menko Polhukam ya,”
kata Ubedillah saat dihubungi, Senin (21/10.

Dibandingkan Luhut Binsar Panjaitan, Prabowo dinilai masih pas di
posisi menko polhukam. Begitu juga dengan Menko Polhukam Wiranto,
memang sebaiknya tidak berlanjut di kabinet kedua Jokowi.

Menurut Ubedillah, saat ini bukan lagi masanya Luhut. Sebab, Luhut
dianggap sudah terlalu lama berada di pusat kekuasaan. “Sebetulnya
Luhut sudah selesai ya, dia tidak lagi menjadi menteri. Dia terlalu
lama berada di kisaran kekuasaan, mulai dari orde baru, era Gus Dur
hingga sekarang,” katanya.

Dia mengatakan, Luhut dan Wiranto seharusnya sudah selesai. Sebenarnya,
Prabowo juga sudah tidak layak menjadi menteri. “Tapi kalau masih
menerima, saya agak aneh,” ucapnya.

Dia masih menyayangkan sikap politik Prabowo yang bergabung dengan
pemerintah dan tidak lagi menjadi oposisi. Sebagai oposisi, banyak cara
lain dalam membantu pemerintah.

“Ya, seukuran itulah Prabowo. Bahwa posisi negarawan itu melekat pada
Prabowo, tapi kan menjadi negarawan itu tidak harus menjadi menteri,”
katanya.

Karena itu, ia menilai ada sedikit nalar yang harus dikoreksi dari
posisi negarawan Prabowo dalam politik nasional dan sikap politiknya
menerima tawaran jadi menteri. Padahal, menjadi negarawan yang
mengutamakan kepentingan nasional tidak harus menjadi menteri.

“Saya kira Prabowo kurang ada teman diskusi dalam merespons keadaan
sekarang. Kalau pun jadi menteri, tidak ada posisi yang pas, kecuali
Menko Polhukam atau ketua Dewan Pertimbangan Presiden,” ujarnya.

Meski demikian, ia menilai secara politik hal itu menunjukkan politik
hari ini sangat cair, pragmatis dan oligarkis. “Sehingga kita hampir
sulit menemukan partai ideologis dan modern,” katanya.

Prabowo menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Senin sore
(21/10). Prabowo mendapat tugas untuk membantu Presiden di bidang
pertahanan.

“Saya diizinkan menyampaikan (ke wartawan) bahwa saya diminta membantu
beliau di bidang pertahanan,” kata Prabowo. [ns]




3:.

DEMOKRASI News
Minggu, Oktober 20, 2019

Headline Politik Suara Publik


PERNYATAAN SIKAP POSISI ALIANSI BEM SELURUH INDONESIA 

Demokrasi merupakan jalan hidup Indonesia yang diangkat atas respon
dari aspirasi rakyat. Segala bentuk produk kebijakan bersumber dari
rakyat oleh rakyat dan dikembalikan untuk rakyat.

Namun, rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, malah menjadi korban
utama dari kekuasaan. Berbagai macam kekerasan, represifitas dan
pelanggaran HAM dilakukan justru oleh tangan-tangan yang seharusnya
mencegah.

Tersumbatnya aspirasi publik, serta kongsi penguasa dan parlemen
menjadi wajah politik elit kita. Demokrasi substansial yang dibawa
gerakan mahasiswa, justru direspon dengan keras. Aparat keamanan
bertindak di luar aturan. Massa aksi menjadi korban, dipukuli, dan
ditembaki. Lima orang gugur.

Semua perjuangan itu, nyatanya belum mampu membuat pemangku kebijakan
menjalankan aspirasi masyarakat. Kelompok elit menyandera kepentingan
pemberantasan korupsi. Kebakaran hutan dan lubang tambang yang
menganga, BPJS semakin merugi dan merugikan warga, pendidikan tergerus
liberalisasi dan dikuasai oleh rektor perpanjangan tangan rezim.

Maka, pelantikan pemerintahan baru, menjadi sebuah momen untuk mengubah
arah bangsa. Tapi, Kami memandang pelantikan sebagai hasil dari proses
demokrasi yang wajib kita hormati bersama.

Aliansi BEM Seluruh Indonesia pun, menegaskan bahwa kami tidak terlibat
dalam setiap upaya penghalangan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia.

Namun, kami juga berkeyakinan, bahwa eskalasi gerakan tidak boleh
berhenti. Gerakan ini hanya akan usai, ketika setiap aspirasi publik,
telah menjadi kebijakan yang pemerintah yang konkret.

Maka, kami Aliansi BEM Seluruh Indonesia, bersepakat akan kembali turun
ke jalan, tepat satu hari setelah pelantikan Presiden dan Wakil
Presiden, pada 21 Oktober 2019.

Kami akan selalu berkomitmen untuk mengawal setiap kepentingan rakyat,
selama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, mulai dari awal hingga setiap
kepentingan rakyat dapat terwujud. Merdeka!



4.:

Admin DEMOKRASI News
Senin, Oktober 21, 2019

Pandangan Kritis Rocky Gerung Soal Bersatunya Jokowi-Prabowo 


DEMOKRASI.CO.ID - Akademisi Rocky Gerung menanggapi langkah Ketua Umum
Partai Gerindra Prabowo Subianto yang memutuskan menerima permintaan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi menteri di kabinet
2019-2024. Rocky Gerung tak yakin masyarakat dari dua kubu bisa
langsung bersatu.

Rocky Gerung awalnya mengatakan keputusan Prabowo bergabung ke Istana
memang sudah terprediksi sehingga menurutnya tidak menarik lagi untuk
dianalisis.

"Seluruh yang ada di media massa hari ini, apapun beritanya tentang
Istana, itu hanya menarik sebagai berita, bukan lagi menimbulkan
sensasi untuk dianalisis. Prabowo masuk Istana, itu berita karena dari
awal memang dikondisikan begitu kan, apa gunanya dianalisis? Kalau
Prabowo memutuskan untuk tidak, nah itu baru jadi analisis. Kan
begitu," kata Rocky Gerung saat dihubungi, Senin (21/10/2019).

"Jadi misalnya kalau Prabowo bilang, 'Oke demi bangsa maka kami
memutuskan untuk konsisten berada di luar kabinet', itu baru bisa
dianalisis kenapa berubah pikiran, kan itu. Atau NasDem, 'Ternyata
sesuai dengan dugaan kami seluruh partai masuk ke kabinet sehingga
tidak ada lagi di parlemen beroposisi. Menurut kami NasDem bersama-sama
dengan PKS untuk beroposisi', nah itu baru bisa dianalisis," ucap Rocky
Gerung.

Menurut Rocky Gerung, ada kesalahan berpikir belakangan ini. Keliru
berpikir ini menurutnya soal anggapan persatuan.

"Jadi yang terjadi hari ini adalah koalisi seolah-olah ingin Indonesia
bersatu maka semuanya masuk Istana. Indonesia itu bersatu kalau ada
yang mengawasi Istana, bukan sama-sama masuk Istana. Itu ngaconya cara
berpikir itu," kata dia.

Rocky Gerung menyebut keputusan Prabowo bergabung ke Istana hanya
menyatukan elite-elite. Perpecahan di akar rumput, kata dia, tetap akan
ada karena menurutnya masyarakat ingin ada kontrol terhadap pemerintah,
bukan ramai-ramai gabung ke penguasa.

"Yang bersatu siapa? Ya elitenya yang bersatu. Bangsanya selesai nggak
pecah belahnya? Ya makin terjadi. Karena apa? Bangsa berharap ada yang
di luar kan, rakyat berharap ada yang di luar. Ternyata semua masuk ke
dalam maka bangsa ini justru tidak akan bersatu, justru akan makin
terpecah karena tidak ada yang mengucapkan kepentingan alternatif dari
rakyat. Kan itu yang terjadi," ulas Rocky Gerung.

Bagi Rocky Gerung, salah jika persatuan sudah dianggap erat kembali
ketika Prabowo memutuskan bergabung ke pemerintahan Jokowi. Menurutnya,
ada rakyat yang tetap berharap Prabowo menjadi oposisi.

"Ini salah kalau dianggap setelah Prabowo masuk ke Istana maka
persatuan sudah erat kembali. Ya justru makin jauh karena rakyat tidak
menghendaki masuk Istana. Biasa aja, kan rakyat menghendaki Prabowo di
luar, itu justru normal supaya terjadi keseimbangan antara yang
berkuasa dan tidak berkuasa," ucap Rocky Gerung.

"Jadi kekacauan itu yang mesti dianalisis oleh pers, bukan sekadar
memberitakan, 'Oh berarti akan terjadi persahabatan baru'. Ya
persahabatan antara menteri kabinet, tapi rakyat tetap tidak
bersahabat," tutur dia. [dt]






Kirim email ke