Berikut sementara suara baik komentar maupun pendapat dari pihak bukan penguasa.
1.: Harusnya yang Dipilih Tanggung Jawab Dong. Usman Hamid: Ungkap 2 Kekhawatiran soal Kabinet Jokowi @geloranews 29 Oktober 2019 GELORA.CO - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan kekhawatirannya terkait masuknya Partai Gerindra dalam koalisi Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. Setidaknya, ada dua kekhawatiran Usman Hamid atas bergabungnya Gerindra dalam koalisi. Ia menyinggung tentang kemungkinan korupsi hingga kebebasan untuk berpendapat. Dilansir TribunWow.com, hal itu disampaikan Usman Hamid saat menjadi narasumber dalam acara 'DUA ARAH' yang diunggah kanal YouTube KOMPASTV, Senin (28/10/2019). Pendapat terkait bergabungnya Gerindra dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf mulanya disampaikan oleh politisi Gerindra, Miftah Sabri. Miftah menyebut Jokowi telah menempatkan para menteri baru sesuai dengan keahlian masing-masing. Ia lantas menyebut nama Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo yang ditunjuk Jokowi menduduki kursi kabinet baru. "Pak Prabowo diangkat pada posisi Menteri Pertahanan (Menhan), dia memang ahlinya di sana, karena keahliannya di sana beliau diletakkan pada tempatnya," ucap Miftah. "Pak Edhy Prabowo beliau memimpin Komisi IV (DPR RI) membawahi bidang perikanan dan tahu benar masalah-masalah ini dengan tuntas bersama mitranya." Miftah lantas menyinggung tentang Pilpres 2019 lalu, di mana Jokowi dan Prabowo saling berebut kursi presiden. "Pak Jokowi menampakkan dulu dia punya ego dia ajak punya kompetitor, Pak Prabowo juga punya ego dia mau demi kepentingan yang lebih besar lagi," ucapnya. ' Ia menilai wajar jika Gerindra masuk dalam koalisi. "Yang kedua, lumrah," kata Miftah. Menurutnya, wajar jika seseorang yang kalah dalam kompetisi dijadikan pendamping orang yang menang. "Coba deh teman-teman dari SD, SMP, SMA milih ketua kelas, yang kalah jadi sekretaris, jadi wakil, jadi bendahara," kata dia. Miftah menambahkan, dalam politik tidak boleh membawa perasaan dan ego masing-masing. "Bagi masyarakat biasa justru ini bagus dan menampakkan politik jangan baperan, kita bisa bersama kalau memang punya platform," imbuhnya. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Usman Hamid. Ia menyebut pihak yang dipilih rakyat seharusnya melakukan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan pada pemilihnya. "Menurut mereka kan begitu, tapi yang saya kira yang harus dipastikan adalah pemerintah yang terpilih bertanggungjawab dong pada pemilihnya," kata Usman. Menurut Usman, dalam pemerintahan tetap dibutuhkan adanya pihak yang berada di luar pemerintah atau yang kerap disebut oposisi. "Untuk memastikan kekuasaan untuk bertanggungjawba pada pemilihya itu dibutuhkan oposisi, di mana pun, tidak pandang di luar negeri atau di Indonesia," ucapnya. Ia lantas menyinggung tentang pemerintahan era Soekarno. Menurutnya, kala itu pemerintahan yang otoriter menyebabkan tidak adanya oposisi. "Sejarah Indonesia saja itu memperlihatkan oposisi sangat dibutuhkan, tanpa oposisi yang terjadi adalah demokrasi terpimpin Soekarno yang belakangan dinilai otoriter," ungkapnya. "Begitu juga orde baru , tahun 90an oposisi muncul, bahkan dari PDI Perjuangan sebelum PDI Perjuangan (yang sekarang)." Usman lantas mengungkapkan kekhawatirannya atas banyaknya partai yang bergabung pada pemerintah. Menurutnya, koalisi yang semakin besar akan meningkatkan potensi tindakan korupsi. "Saya khawatir bahwa semakin besar kekuasaan pemerintahan, kalau kekuasaan menjadi absolut kemungkinan besar akan menjadi korupsi," kata dia. Ia lantas menyebutkan kekhawatirannya yang kedua. Usman menyinggung tentang kebebasan berpendapat. "Yang kedua adalah jaminan kemerdekaan berpendapat," ujar Usman. "45 tahun terakhir saja ada banyak orang dipidanakan, termasuk pendukung Gerindra, pendukung Pak Prabowo yang dikriminalisisasi." Terkait susunan kabinet yang baru, Usman menilai tidak patut disebut sebagai koalisi 'Gotong Royong'. "Gotong royong kan artinya bekerja bersama, tidak harus bekerja untuk satu kekuasaan pemerintahan yang sama," terang Usman. "Mengkritik pemerintahan, menjadi oposisi di pemerintahan, mempertanyakan ajuan anggaran, mempertanyakan kebijakan itu bagian dari kerja sama." 2.: Yusuf Mansur: Tangani Radikalisme, Kita Jangan Radikal Minggu, 03/11/2019 06:25 WIB Jakarta, law-justice.co - Ustaz Yusuf Mansur mengimbau semua pihak untuk jangan sampai bertindak radikal ketika ingin menanggulangi bahaya yang disebabkan oleh paham radikalisme. Hal itu dia sampaikan untuk menanggapi polemik tentang rekomendasi larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah. Dia bicara melalui akun Instagram @yusufmansurnew, Sabtu (2/11). "Bagaimana menangani isu keamanan, radikalisme, jangan sampai kita yang jadi radikal gara-gara menyerang orang yang tidak sama dengan kita," tuturnya seperti melansir CNNIndonesia.com. Ayah dari Wirda Mansur ini menilai jika radikalisme dilawan dengan kekerasan dan pembungkaman, maka akan menimbulkan kecurigaan di antara masyarakat. Ia menekankan dan menganggap penting menjaga toleransi terhadap perbedaan. Yusuf lantas memberi contoh ketika ada seorang perempuan yang tidak memakai kerudung di lingkungan pesantren. "Ketika di Pesantren orang kritisi saya, `Kok boleh orang enggak pakai jilbab masuk?` Loh, saya bilang aslinya enggak boleh. Tapi, bukannya itu juga sebuah proses dakwah. Masih bagus ada yang enggak berjilbab mau main ke Pesantren," kata Yusuf. "Sampai di Pesantren bersentuhan dengan suasana Pesantren, dengan Alquran, Masjid, santri, kemudian datang hidayah itu. Bukan berarti langsung dicegat di pintu, `Enggak berjilbab enggak boleh masuk`," lanjutnya Yusuf menilai rencana pelarangan cadar dan celana cingkrang tergolong berlebihan. Sebab, menurutnya, setiap orang berhak berpakaian dengan nyaman dan sesuai keyakinannya. Yusuf juga menganggap tidak bijak jika ada yang mengaitkan pakaian cadar dan celana cingkrang dengan radikalisme. Menurutnya, tak elok apabila menggeneralisasi dengan dasar kecurigaan dan kekhawatiran. "Menjadi tidak bijak, tidak arif lagi. Kalau apa-apa dipandang pasti terjadi, nanti terjadi dibangun di atas ketakutan; kekhawatiran," ujarnya. Menteri Agama Fachrul Razi sempat berencana menerapkan larangan penggunaan cadar bagi PNS di instansi pemerintah. Fachrul juga menganggap celana cingkrang tak sesuai aturan berseragam di instansi pemerintah. "Memang nantinya bisa saja ada langkah-langkah lebih jauh, tapi kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi-instansi pemerintah, demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang lalu," kata Fachrul di Jakarta, Rabu (30/10). Sehari kemudian, Fachrul Razi mengklarifikasi ucapannya. Dia mengatakan bahwa larangan cadar dan celana cingkrang bagi PNS baru sebatas rekomendasi. 3.: Rocky Gerung ke Mahfud MD soal Radikalisme: Dia Saja Enggak Mampu Law&Justice Senin, 04/11/2019 07:20 WIB Jakarta, law-justice.co - Kali ini giliran Menteri Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD yang menjadi sasaran sindiran Pengamat Politik Rocky Gerung terkait definisi radikalisme. Sedangkan, istilah radikalisme kini tengah ramai dibahas terkait fokus Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin memberantas gerakan tersebut. Menurut Rocky Gerung istilah radikalisme itu dapat menciptakan berbagai pandangan. Padahal menurut Rocky Gerung, radikalisme merupakan upaya berpikir maksimal untuk melakukan perubahan total. "Ini istilah yang kemudian menghasilkan kebingungan, juncto kecemasan, padahal istilah itu, istilah akademis artinya upaya untuk menghasilkan perubahan total, upaya untuk berpikir maksimal, upaya untuk debat dengan dengan argumentasi yang kuat." ujar rocky seperti melansir gelora.co. "Jadi itu seluruh aktivitas positif itu sebetulnya," jelas Rocky Gerung. Baca juga : Fahri Hamzah: Kerja yang Benar Pak Mahfud, Jangan Pencitraan Namun, istilah radikalisme kini justru dianggap momok bagi masyakarakat. Pasalnya, Rocky Gerung menilai istilah radikalisme yang disebut-sebut akhir-akhir ini sebenarnya digunakan untuk kepentingan politik. "Tapi kemudian istilah itu jadi berbau politik, pindah di ruang kampus masuk ke dalam wacana politik sehingga itu yang menimbulkan kecemasan," katanya. Bahkan, Rocky Gerung sempat menyinggung Menteri Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD yang menyebut istilah radikalisme dengan bernada ancaman. "Karena kalau sampai sekarang di kita dengar tuh tadi malam saya lihat Pak Menkopolhukam yang baru mengucapkan kata itu, di dalam intonasi ancaman." "Kalian begini, kita begini, akhirnya dia sendiri enggak mampu untuk menghasilkan ulang kejernihan pikiran dari kata radikalisme," papar pria asal Manado tersebut. Akibatnya, radikalisme kini dianggap sesuatu hal yang menakutkan. Isu radikalisme dianggap oleh Rocky Gerung sengaja digulirkan untuk mencegah politik Islam. "Kata itu sekarang itu menakutkan, karena diajukan untuk menghalangi pikiran, komunikasi lain, di dalam bahasa yang lebih telanjang, hal itu diarahkan untuk politik Islam," kata dia. Namun, yang patut disayangkan oleh Roccky Gerung pada pemerintah, yakni tidak pernah menngungkapkan secara gamblang siapa pelaku radikalisme. "Saya menganggap bahwa siapa yang dituduh kaum radikal itu? Nggak bisa diucapkan, tunjukkan mana yang radikal, itu rahasia intelejen, nah kalau rahasia intelejen lakukan derekalisasi dengan cara intelejen." "Lalu ya memang kita enggak bisa sebutin, siapa yang radikal tapi kan itu aktivitas di bawah tanah." "Saya pikir mungkin betul yah aktivitas di bawah tanah itu memang yang dimaksud radikal, "Radiks artinya akar, akar itu di bawah tanah, jadi kata radikal itu natural justru kan karena di bawah tanah," paparnya. Meski radiks berarti di bawah tanah, namun secara etimologi radikalisme merupakan upaya untuk menyelesaikan suatu masalah sampai ke akar-akarnya. "Jadi kita masuk dalam kekacauan itu, padahal kata radikal kembali lagi pada etimologinya, upaya kuat sekuat tenaga untuk mencari persoalan sampai ke akar-akarnya," ungkap laki-laki yang kadang disapa Roger ini. (Annisa\Editor) 4.: KPK Akan Dikendalikan Jokowi & Parpol Pendukung Nikmati Kekuasaan Senin, 04/11/2019 17:30 WIB Jakarta, law-justice.co - Sejumlah kalangan menganggap kehadiran Dewan Pengawas (Dewas) hanya akan melemahkan kinerja KPK kedepannya. Bahkan, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menyebut anggota Dewan Pengawas KPK adalah kepanjangan tangan presiden. "Begini, siapapun dia yang sangat jelas tadi saya katakan ada relasi kekuasaan antara dewan pengawas dengan Presiden, jadi sesungguhnya yang mengendalikan KPK ya presiden, karena orang yang dipilih bertanggung jawab kepada orang yang memilih," kata Asfina seperti melansir sumber.com. Dia menambahkan bahwa pada akhirnya KPK berada di tangan presiden, sehingga presiden bisa mengendalikan lembaga antirasuah itu. Dia menyebut, karenanya akan ada beberapa pihak yang ikut menikmati realasi kekuasaan itu. Termasuk partai politik. "Dan artinya juga di level pimpinan KPK pun dia juga melalui proses dari presiden (pansel). Jadi sebetulnya KPK ini sedang di tangan presiden, presiden bisa mengendalikan KPK. Dan siapapun yang bisa masuk ke presiden juga bisa menikmati relasi kekuasaan itu dengan KPK, termasuk partai partai pendukung," sambung dia. Lebih lanjut Asfinawati menyebut bahwa pembentukan dewas bermuatan politik. Pasalnya, mestinya dewas itu ada untuk mengawasi namun pada kenyataannya seolah bisa melakukan implementasi. "Dewan pengawas ini sangat politis, jelas sekali karena ada pengaturan di tahun pertama ada berbeda dengan pemilihan berikutnya. Terus semua orang yang mengerti bahwa pengawas itu ya namanya mengawasi bukan menjalankan, kalau sekarang kan dia mengimplementasi," pungkasnya. (Annisa\Editor) 5.: Kediktaturan Polisi dan TNI ? Lalu "demokrasinya" lima tahun sekali? Jokowi Diminta Waspada Agar Tak Ada Cemburu Sosial TNI-Polisi Minggu, 03/11/2019 15:30 WIB law-justice.co - Terpilihnya Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan alias Iwan Bule menjadi Ketua Umum PSSI 2019–2023 menambah daftar jenderal Polri yang menduduki jabatan strategis di lembaga dan kementerian, termasuk lembaga independen. Presiden Joko Widodo diminta mewaspadai agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar–institusi seperti dengan TNI. Hal itu disampaikan Sekretaris Bidang Polhukam DPP PKS, Suhud Alynudin Seperti Dilansir Tribunnews, Sabtu (2/11/2019). Suhud mengakui saat ini ada kesan banyak pejabat dari institusi Polri yang mengisi jabatan strategis negara. Oleh karena itu, sebaiknya Presiden Jokowi menjaga keseimbangan dalam pembagian jabatan untuk menghindari kecemburuan sosial antar–institusi. "Memang ada kesan saat figur dari institusi kepolisian menempati jabatan–jabatan strategis dalam negara. Oleh karena itu, Presiden harus menjaga keseimbangannya agar tak menimbulkan kecemburuan institusi atau lembaga lain," kata Suhud. Meski demikian, Suhud tak mempermasalahkan terpilihnya Iwan Bule menjadi Ketua Umum PSSI selama memiliki kapabilitas di bidang persepakbolaan. Apalagi, hingga saat ini reputasi sepakbola Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Sebelum Iwan Bule terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, beberapa jenderal Polri lainnya lebih dulu menduduki kursi atau jabatan strategis di sejumlah kementerian dan lembaga negara, termasuk lembaga independen. Setidaknya ada 10 jabatan strategis negara hingga lembaga independen yang dipimpin oleh polisi. Pertama, Jenderal Tito Karnavian selaku Kapolri diangkat Presiden Jokowi sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) periode 2019–2024. Sementara, Irjen Pol Firli Bahuri terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya, Komjen Heru Winarko diangkat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Suhardi Alius ditunjuk sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen (Purn) Budi Waseso sebagai Kepala Bulog dan Jenderal (Purn) Budi Gunawan menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Selain itu, Irjen Ronny Sompie diangkat Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Komjen Setyo Wasisto menjadi Inspektur Jenderal Kementerian Perindustrian. Tak hanya itu, ada juga Irjen Pudji Hartanto sebagai Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Dan di Kementerian Tenaga Kerja, ada Irjen Sugeng Priyanto menjabat Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sementara, di Kementerian Perdagangan ada Irjen Syahrul Mamma yang menjabat Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga. Selain itu, ada Irjen Iza Fadri yang menjadi Duta Besar RI untuk Myanmar dan Irjen Amhar Azeth sebagai Duta Besar RI untuk Moldova. Ingin Rangkap Jabatan Tugas berat akan diemban Mochamad Iriawan alias Iwan Bule setelah menduduki kursi Ketua Umum PSSI. Selain membereskan persepakbolaan nasional dan kompetisi lokal, Iwan Bule juga sudah harus siap memberikan hasil terbaik untuk Timnas Indonesia di ajang internasional, di antaranya pada SEA Games 2019 di Filipina. Meski tugas itu tidak mudah, Iriawan mengaku siap berbagi tugas dengan jabatan Sekretaris Utama (Sestama) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang kini masih ia emban. "Saya akan lihat perkembangan (nantinya) karena saya di Sestaman Lemhanas tidak sama seperti menjabat kapolda. Jadi, ada waktu buat saya untuk mencurahkan kepada PSSI. Saya akan bisa bantu," kata Iriawan perihal rangkap jabatan dirinya. Sementara itu, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menilai terpilihnya para jenderal dari institusi Polri maupun TNI untuk memimpin organisasi atau lembaga negara merupakan hal yang wajar. Selain itu, tidak ada peraturan perundang–undangan yang melarang hal tersebut. "Itu hal yang biasa bagi jendral TNI–Polri menjadi ketua umum organisasi. Tidak ada aturan yang melarang," kata Poengky. Poengky mengakui Jenderal Tito Karnavian mengundurkan diri dari jabatan Kapolri sebelum dilantik Presiden Jokowi sebagai Mendagri. Dan hal itu telah sesuai dengan pasal 28 ayat (3) Undang–undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sementara, untuk "kasus" terpilihnya Iwan Bule sebagai Ketua Umum PSSI, maka jenderal bintang tiga Polri itu tidak perlu mengundurkan diri dari jabatan dia sebelumnya, Sestama Lemnahas. "Kalau kaitannya dengan olahraga, memang tidak perlu mundur, karena tidak mengganggu tugas–tugas utamanya," kata dia. (tribun network/igman/jid/coz) Polisi di Pucuk Pimpinan Lembaga Negara: * Jenderal (Purn) Tito Karnavian: Menteri Dalam Negeri (Mendagri) * Irjen Pol Firli Bahuri: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) * Komjen Heru Winarko: Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) * Komjen Suhardi Alius: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) * Komjen (Purn) Budi Waseso: Kepala Badan Urusan Logsiltik (BULOG) * Jenderal (Purn) Budi Gunawan: Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) * Irjen Ronny Sompie: Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM * Komjen Setyo Wasisto: Inspektur Jenderal Kementerian Perindustrian * Irjen Pudji Hartanto: Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan * Irjen Sugeng Priyanto: Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kementerian Tenaga Kerja * Irjen Syahrul Mamma: Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan * Irjen Iza Fadri: Duta Besar RI untuk Myanmar * Irjen Amhar Azeth: Duta Besar RI untuk Moldova (Tim Liputan News\Editor)