Peringatan 70 Tahun, Tiongkok Kini Kapitalis dan Tanpa Solidaritas Proletar
24 Desember 2019
   
   - 
   - 
   - 
   - 
   - 
Ilustrasi perbandingan Tiongkok di bawah Xi Jinping setelah restorasi 
kapitalisme dan di bawah Mao Zedong dengan sosialisme/The Economist
Koran Sulindo – Ketika menerima undangan untuk menghadiri sebuah konferensi 
debat tentang Tiongkok di Lille, Prancis, dalam rangka memperingati hari 
jadinya, sebenarnya saya tidak begitu antusias. Apalagi konferensi akan 
dihadiri perwakilan Kedutaan Besar Tiongkok. Cerita apa yang bisa kita harapkan 
dari seorang wakil pemerintahan yang sudah mengkhianati sosialisme dan rakyat 
pekerja Tiongkok?

Tapi seorang kawan berpendapat sebaiknya hadir, sekalian untuk menemaninya. 
Kata “debat” sepertinya akan memberi kesempatan kepada peserta untuk 
mengemukakan pendapat yang berbeda, yang bisa menimbulkan perdebatan.

Pada suatu Sabtu November 2019, waktu menunjukkan 13.30 di Lille, kami sudah 
tiba di tempat pertemuan. Tembok sebelah kiri, kanan dan juga di depan terlihat 
beberapa poster dan slogan-slogan solidaritas dengan Kuba, Venezuela, Palestina 
dan Bolivia. Yang merusak pemandangan adalah dipasangnya foto Mao Zedong 
bersama dengan Xi Jinping dan juga beberapa poster yang biasa kita temukan pada 
zaman pembangunan sosialisme Tiongkok. Kasihan sekali kawan-kawan ini. Mereka 
tidak sadar bahwa poster-poster seperti itu di Tiongkok sudah masuk museum, 
sejak Deng Xiaoping melaksanakan reform kapitalis guna menghancurkan basis 
ekonomi sosialis yang dibangun rakyat Tiongkok di bawah pimpinan Mao.

Pendengaran kita terusik ketika didengungkan lagu Tiongkok “modern” yang sama 
sekali tidak ada bau-baunya dengan sosialisme. Untung, tak lama kemudian 
berkumandang suara Victor Jara, aktivis komunis, penyair dan penyanyi yang 
disiksa dan dibunuh kediktatoran Pinochet di Cile.

Sambil menunggu, kami melihat sejumlah besar buku yang ditawarkan kepada para 
pengunjung di atas 4 meja besar di tengah ruangan. Tak terduga, saya temukan 
Staline, Histoire et Critique d”une Legende Noire (terjemahan langsung: Stalin, 
Sejarah dan Kritik terhadap Legenda Hitam), yang ditulis almarhum Domenico 
Losurdo, mantan Direktur Institut Ilmu Filsafat dan Pedagogi, Dekan Fakultas 
Ilmu Pendidikan dan Guru Besar Sejarah Filsafat di Universitas Urbino, Italia.

Saya pernah turut menandatangani sebuah petisi supaya buku itu diterjemahkan ke 
dalam bahasa Inggris, mengingat arti penting dari tulisan tersebut.

Moderator serta 5 pembicara sudah duduk di hadapan para peserta pertemuan yang 
segera akan dimulai. Kedutaan Besar Tiongkok mengirim 2 wakil, Sekretaris 
Ketiga dan Atase Kebudayaan yang menjadi pembicara pertama. Siapa saja yang 
rajin membaca berita yang dikeluarkan pemerintah serta media resmi Tiongkok 
pasti sudah kenal tema-tema utama yang diajukan. Angka pertumbuhan ekonomi, 
pembangunan infrastruktur, perkembangan teknologi, posisi ekonomi Tiongkok di 
dunia, ratusan juta rakyat yang diangkat dan dibebaskan dari kemiskinan, proyek 
“One Belt One Road” (OBOR) yang menurutnya akan menguntungkan semua negara 
perserta.

Jelas dia tidak menyinggung Martin Jacques yang melabeli OBOR sebagai 
globalisasi ala Tiongkok. Inisitiaf itu mengingatkan kita kepada strategi 
Belanda 4 abad yang lalu, yaitu membangun sebuah “kekaisaran dalam kredit dan 
perdagangan”. Belanda membangun armada raksasa serta pos-pos perdagangan 
sepanjang jalan yang ia ingin kuasai. Begitu juga Tiongkok dengan armada 
perdagangan raksasanya. Zona Ekonomi Khusus merupakan garnisun-garnisun 
dagangnya dalam rantai pasokan yang memungkinkan Tiongkok untuk berdagang 
dengan aman.

Lain dengan Tiongkok sosialis yang dengan berdikari memenuhi kebutuhannya 
sendiri, tak tergantung kepada pasar dunia. Sekarang, pembangunan infrastruktur 
telah menyusutkan tanah pertanian. Tiongkok hanya memiliki 7% dari tanah subur 
di dunia untuk memberi makan kepada 18% penduduk dunia. Tiongkok memproduksi 
barang konsumsi jauh lebih besar dan melampaui kebutuhan dalam negerinya. Maka 
sibuklah ia merebut pasar melalui perjanjian perdagangan bebas dengan negeri 
seperti Indonesia untuk melempar produk yang melimpah ruah. Kita sudah tahu 
akibatnya: kebangkrutan bagi usaha nasional yang tak bisa berkompetisi. Hanya 
pemerintah anti-rakyat yang tak melindungi kepentingan pengusaha nasional dan 
membiarkannya bangkrut di hadapan pembanjiran pasar nasional oleh produk impor 
Tiongkok dan negeri lain.

Pembicara kedua, Remy Herera, seorang ahli ekonomi dan peneliti dari Pusat 
Nasional untuk Penelitian Ilmiah (CNRS, akronim dalam bahasa Prancis), penulis 
buku La Chine est-elle capitaliste? (terjemahan langsung: Apakah Tiongkok 
Kapitalis?). Yang menarik dalam uraiannya adalah penekanan terhadap fakta bahwa 
pertumbuhan ekonomi yang sekarang membuat banyak orang takjub, sebetulnya tidak 
hanya terjadi setelah Deng Xiaoping melakukan reform kapitalis. Dia bicara 
tentang angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perkembangan dalam semua 
bidang, yaitu pertanian, industri, pendidikan, infrastruktur, kesehatan, 
teknologi, ilmu dan tingkat hidup sejak pembebasan 1949 sampai 1978.

Memang hanya kaum revisionis Tiongkok serta antek-anteknya yang tidak mengakui 
hasil gemilang sosialisme di bawah pimpinan Mao Tse Zedong. Mereka berusaha 
mendiskreditkan Mao dengan menyebarkan kebohongan bahwa sosialisme berarti 
meratakan kemiskinan.

Planifikasi merupakan satu-satunya alasan yang pembicara ajukan untuk menolak 
pendapat bahwa sistem ekonomi Tiongkok adalah kapitalis. Sayang dia tidak tahu 
bahwa Orde Baru rezim fasis militer Soeharto juga pernah punya Repelita I 
sampai V. Apakah Indonesia juga sosialis?

Pembicara ketiga, Marc Vandepitte dari Belgia yang menggaris bawahi kenyataan 
bahwa ekonomi Tiongkok sudah melampaui AS dan Tiongkok menjadi negeri eksportir 
terbesar di dunia. Ditekankan adanya kontrol “Partai Komunis” dalam perusahaan 
besar dan menengah. Sayang dia tidak bicara bahwa kontrol itu diwujudkan bahkan 
melalui kepemilikan langsung anggota partai yang merangkap sebagai kapitalis 
besar. Artinya orang yang menyandang nama “komunis” itu juga merupakan perampas 
dari nilai lebih yang diciptakan oleh buruh dan pegawainya.

Seperti Herera, Vandepitte mengakui pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pesat yang 
dicapai dalam periode sebelum reformasi Deng Xiaoping, antara lain harapan 
hidup 35 tahun ketika Tiongkok berdiri 1949, tiga puluh tahun kemudian, sudah 
menjadi 68 tahun. Kalau kita mengikuti logika kaum revisionis serta 
antek-anteknya yang selalu menyalahkan, mencemooh dan menuduh Mao gagal karena 
“terburu-buru” maju ke tahap sosialis, mana mungkin harapan hidup hampir 2 kali 
lipat dicapai melalui “kemiskinan yang terbagi rata”, bukan?

Pembicara terakhir, Said Bouamama, sosiolog Aljazair-Prancis. Pada pokoknya dia 
hanya menggaris bawahi keberhasilan yang dicapai Tiongkok dalam melampaui 
kedudukan ekonomi AS di dunia. Setelah itu, para hadirin hadirin dipersilakan 
untuk menyerahkan pertanyaan yang sudah dipersiapkan secara tertulis.. Tidak 
ada reaksi.

Kudeta Partai dan RBKP
Saya bertanya apakah bisa mengemukakan pendapat pribadi tentang Tiongkok. 
Begitu mendapat izin, segera saya mulai dengan mengatakan bahwa reform 
kapitalis Deng Xiaoping hanya bisa direalisasi setelah apa yang dinamakan “the 
gang of four” ditangkap. Kudeta dalam partai berhasil menyingkirkan halangan 
terbesar bagi pembongkaran dasar-dasar ekonomi sosialis yang telah dibangun 
rakyat Tiongkok di bawah pimpinan Mao. Persekusi dilancarkan terhadap anggota 
partai, massa dan aktivis pengikut Mao dan pendukung Revolusi Besar Kebudayaan 
Proletar (RBKP). Jutaan pemecatan, pemenjaraan, dan pembunuhan dilakukan 
pimpinan revisionis untuk memastikan tidak terjadinya perlawanan besar yang 
terorganisasi yang membahayakan reformasi kapitalisnya.

Kaum revisionis sangat membenci RBKP karena memang merekalah yang menjadi 
sasaran pengganyangan. Tidak heran kalau kebohongan dan fitnah terbesar yang 
paling merusak sosialisme, RBKP dan Mao datangnya dari mesin-mesin propaganda 
partai revisionis dan negara kapitalis Tiongkok.

Selama RBKP berkobar, jelas musuh yang harus dihancurkan dominasinya dalam 
partai dan negara, adalah kaum revisionis di bawah pimpinan Liu Shaoqi dan Deng 
Xiaoping. Merekalah yang ingin membawa Tiongkok menempuh jalan kapitalisme. Mao 
mencanangkan bahaya restorasi kapitalis kalau kaum revisionis berkuasa dalam 
partai dan negara. Kenyataan di Tiongkok sekarang telah membenarkan dan 
membuktikan apa yang dikhawatirkan dan yang coba dihindari Mao melalui RBKP. 
Kekalahan RBKP telah membuka jalan untuk menghilangkan hak-hak demokratis dan 
semua jaminan sosial yang sudah dicapai dalam sosialisme. Semuanya itu diganti 
dengan pengisapan brutal dan pembungkaman suara kelas pekerja.

Untuk membuka kedok “komunis” yang masih terus dipakai oleh partai yang 
berkuasa di Tiongkok, saya ceritakan pengalaman orang-orang komunis dan 
progresif Indonesia yang diusir Tiongkok ketika Deng Xiaoping berkuasa.

Sudah banyak ditulis tentang orang-orang Indonesia di luar negeri yang, setelah 
kudeta militer Soeharto 1965, tidak bisa kembali ke Tanah Air karena paspor dan 
kewarganegaraannya dicabut secara semena-mena oleh rezim fasis. Tak sedikit 
orang Indonesia yang terpaksa tinggal di Tiongkok karena sikapnya yang 
mendukung pemerintahan Soekarno dan menolak kudeta militer Soeharto. Mereka 
mendapat perlindungan dan kebebasan untuk melakukan kegiatan politiknya berkat 
solidaritas proletar yang diterapkan partai dan negara Tiongkok di bawah 
pimpinan Mao.

Setelah penangkapan apa yang dinamakan “the gang of four”, partai dan negara 
dikuasai kaum revisionis, maka politik terhadap semua orang asing yang tinggal 
di Tiongkok berubah. Mereka dihadapkan kepada pilihan: kalau mau tinggal di 
Tiongkok, harus meninggalkan kegiatan politik. Kalau tidak mau menghentikan 
kegiatan politik, maka harus meninggalkan Tiongkok. Kasarnya mereka diusir! 
Semua itu dilakukan kaum revisionis untuk melapangkan jalan memulihkan hubungan 
diplomatik dengan rezim militer Soeharto.

Tak terbantahkan, partai yang katanya “komunis” itu telah membelejti dirinya 
sendiri sebagai pengkhianat nilai-nilai dan prinsip komunis. Salah satu prinsip 
yang dijunjung Partai Komunis adalah internasionalisme proletar. Patutkah 
partai yang sudah dengan terang-terangan mengkhianati saudara sekelas dan 
seperjuangannya itu menyandang nama “komunis”? Dipertahankannya “merek” itu 
hanyalah untuk menipu orang-orang yang masih bisa ditipunya yaitu orang-orang 
yang tidak mengerti apa makna dan sifat dari sebuah Partai Komunis.

Masih sangat banyak sekali orang yang terus tertipu dan menganggap Tiongkok 
sebagai negara komunis dan partainya sebagai Partai Komunis. Terdapat juga 
mereka yang memang berkepentingan untuk terus mempertahankan kedok “komunis” 
itu untuk memfitnah dan memelihara momok “komunis” guna mengintimidasi rakyat 
yang menuntut keadilan dan kesejahteraan.

Contoh konkret di Indonesia, misalnya, video di mana tokoh ormas tertentu dan 
juga tentara berkoar-koar tentang PKI yang hidup dan bahaya komunis karena di 
beberapa tempat ditemukan banyak pekerja Tiongkok, baik yang legal maupun 
ilegal. Anggapan Tiongkok dan pekerjanya sebagai “ k-munis” adalah manifestasi 
ketidaktahuan dan dipertahankannya merek “komunis” pada partai yang berkuasa di 
Tiongkok. Investasi Tiongkok sama sifatnya dengan investasi negara 
kapitalis-imperialis manapun. Ingin mengeruk kekayaan alam Indonesia dan 
mencari profit semaksimum mungkin.

Buruh Tiongkok datang karena itu merupakan bagian dari perjanjian kredit atau 
investasi antara kedua pemerintah. Yang jelas salah adalah pemerintah Indonesia 
yang mau menerima syarat itu. Padahal semua orang tahu berjuta-juta orang 
menganggur dan setengah menganggur. Alasan keterampilan adalah omong kosong. 
Sebetulnya pemerintah bertugas untuk meningkatkan keterampilan buruh Indonesia. 
Apakah buruh Indonesia bodoh dan tak bisa dididik?

Uraian tentang RBKP dan pengusiran orang Indonesia dijawab wakil Tiongkok 
dengan “saya belum lahir ketika RBKP dan pengusiran orang-orang Indonesia 
terjadi.”

Setelah menjawab satu dua pertanyaan sederhana, mereka minta izin untuk 
meninggalkan pertemuan. Lho kok pergi? Apa “ngeri” mendengar pertanyaan yang 
akan disampaikan peserta lainnya?

Yang aneh, begitu kedua wakil kedutaan pergi, Herera dan Vandepitte bicara 
tentang “sisi gelap” dalam masyarakat Tiongkok, misalnya jurang antara kota dan 
desa, antara daerah kaya di pesisir timur dengan daerah miskin, ratusan juta 
buruh migran yang didiskriminasi dan dirampas hak-hak sosialnya, suku bangsa 
Tibet dan Uighur yang mendapat perlakuan sebagai warga negara kelas dua, 
tentang ekonomi Tiongkok yang menghadapi beban utang sangat besar (pada zaman 
RBKP, Tiongkok mengumumkan tak punya utang sepeserpun), overinvestment di 
infrastruktrur, gelembung properti.

Hadirin juga mulai aktif bertanya kenapa tidak ada solidaritas Tiongkok kepada 
perjuangan rakyat dunia, perlakuan buruk dan upah rendah di perusahaan Tiongkok 
di Afrika, eksplotasi pertambangan dan pengerukan kekayaan alam negeri-negeri 
Afrika dan tidak mengindahkan soal lingkungan.

Orang yang harusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sudah tidak ada. Mereka 
lari ngiprit. [Tatiana Lukman]

Kirim email ke