Politik utang di balik Corona
By. Erizeli Jely Bandaro
Italia memang suffering. Tetapi sejak tahun 2013, Italia sudah suffering karena 
gagal bayar utang. Sejak itu kisruh politik sebagai dampak krisis ekonomi 
terjadi. Tahun 2018, Italia mengalami perebutan kekuasaan yang dramatis antara 
populis dan anggota parlemen yang pro UE. Keadaan ini memicu krisis politik 
semakin memanas karena sejumlah kelompok gagal hasilkan pemerintahan koalisi 
baru. Walau akhirnya kisrus politik dapat solusi namun tahun 2019, Komisi 
Ekonomi Uni Eropa membunyikan 'alarm' atas kondisi ekonomi Italia.. Italia 
mengarah ke resesi.
Ketika Virus Corona melanda Italia, Eropa panik dan dunia lebih panik. 
Kepanikan Eropa terhadap apa yang terjadi pada Italia beralasan. Karena Italia 
merupakan negara ketiga dengan ekonomi terbesar di Zona Eropa. Namun Italia 
juga memiliki tingkat hutang terbesar kedua di zona Eropa. Yang lebih konyol 
lagi adalah 36% utang negara Italia kepada investor asing, terutama China. Kini 
rasio utang nasional italia terhadap PDB mencapai 135% dengan nilai 2,3 triliun 
euro. 
Sejak Italia mengalami kasus corona terbesar kedua di dunia setelah Wuhan,  
semua perundingan utang kepada Italia di tunda. Kalaulah akhirnya Italia dapat 
moratorium utang, maka dapat dipastikan ekonomi zona Eropa selamat dari resesi. 
Bisa saja corona membawa berkah excuse menyelesaikan kasus gagal bayar yang 
membuat eropa limbung dan sulit keluar dari krisis ekonomi.
Krisis utang Italia juga terjadi pada Amerika yang rasio utang terhadap PDB 
diatas 100%, Jepang juga. Semua negara ASEAN yang paling parah adalah Singapora 
dan Malaysia. Rasio utang Singapore terhadap PDB mencapai 110%. Itu artinya 
pendapatan rakyat setahun dibawah utang negara. Sementara Malaysia rasio utang 
mencapai 76%. Indonesia mendekati 30%. Rasio utang China berkisar 46% dari PDB, 
tidak jauh beda dengan Iran yang rasio utangnya mencapai 45% dari PDB. Rasio 
utang India berkisar 70% dari PDB. Di tengah pasar menyusut pendapatan turun, 
utang memang mimpi buruk. 
Semua negara yang berutang besar tersebut paling kencang teriak soal wabah 
corona.  Sementara negara lain seperti Pakistan, Bangladesh , Myanmar, Afrika 
dan Amerika latin, dan lainnya, memilih pasrah saja. Mau alasan apapuh mereka 
memang udah susah kalau ditagih utang.  Sementara Rusia rasio utang terhadap 
PDB hanya berkisar 15% termasuk sangat rendah dibandingkan dengan kekuatan 
ekonominya. Rusia tidak begitu terdengar mendramitisir kasus Corona. Sama 
dengan Korea Utara yang praktis nol hutang luar negeri. 
Dunia modern dunia propaganda. Tekhnologi yang terhebat dari abad 21 sekarang 
adalah teknologi informasi, yang membuat berita apapun bisa tersebar dalam 
hitungan detik tanpa ada batas ruang dan waktu. Kepanikan kasus COVID-19 memang 
ampuh memaksa dunia melihat penyelesaian utang dengan cara unconventional. Ya 
kalau bisa ada platform penyelesaian utang tanpa bayar utang. Entah  bagaimana 
skemanya. Setidaknya dengan adanya kasus corona, semua investor jahit dompet, 
dan negara berlomba lomba keluarkan stimulus alias cetak uang. Mata uang 
duniapun runtuh. Bursa jatuh. Mau tahan atau engga. Tetap  saja uang di dompet 
delusi.
Sebagai pemain pasar uang aliran fundamental, saya melihat persoalan menjelang 
resesi dunia selalu ada excuse, bisa perang , bisa pula wabah. Semua berujung 
kepada total solution, buy low, sell high and pay later. Walau karena itu harus 
mengorbankan nyawa manusia dalam jumlah besar. Politisi memang bandit.

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke