-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>




https://news.detik.com/kolom/d-4953943/cerita-dan-pelajaran-dari-lockdown-wuhan?tag_from=wp_cb_kolom_list


Kolom

Cerita dan Pelajaran dari "Lockdown" Wuhan

Hilyatu Millati Rusdiyah - detikNews
Kamis, 26 Mar 2020 14:33 WIB
3 komentar
SHARE URL telah disalin
Ribuan orang terinfeksi virus corona di Wuhan, China. Berbulan-bulan berjibaku 
lawan COVID-19, Wuhan bangkit dan laporkan tak ada kasus baru virus Corona.
Wuhan yang kini bangkit dari wabah corona (Foto: AP Photo)
Jakarta -

Wabah virus corona di Wuhan menjadi ujian berat pemerintah China. Seorang 
ilmuwan epidemiologis terkenal China, Zhong Nanshan, yang pertama kali 
mengungkap adanya transmisi virus antarmanusia pada pertengahan Januari 2020 
menyatakan bahwa me-lockdown Wuhan adalah satu-satunya pilihan. Cara itu perlu 
diambil untuk menghambat peningkatan penderita virus, karena hampir semua 
pasien terinfeksi di daratan China saat itu mempunyai riwayat keterikatan 
dengan Wuhan.

Dengan mempertimbangkan virus ini adalah virus jenis baru dan dapat 
bertransmisi antarmanusia serta belum ditemukan vaksinnya, me-lockdown kota 
Wuhan adalah keputusan tepat pemerintah China sekalipun harus mengorbankan 11 
juta warganya. Dan, menyusul 16 kota lain di Provinsi Hubei mengikuti kebijakan 
lockdown kota yang berdampak pada 56 juta jiwa.

Lockdown yang dilakukan pemerintah China adalah menutup semua akses 
transportasi massal dari, ke, dan di dalam kota Wuhan baik transportasi darat, 
sungai, dan udara. Larangan keluar dari Wuhan adalah aturan yang harus dipatuhi 
semua warga. Semua perbatasan kota Wuhan diblokade dan dijaga ketat oleh 
petugas keamanan gabungan. Warga yang telah telanjur keluar Wuhan sebelum 
lockdown diminta melapor ke hotline yang telah disediakan oleh kota-kota 
setempat untuk dipantau kesehatannya.

Penggunaan teknologi informasi berbasis big data memudahkan pemerintah China 
melakukan tracing warga yang telah keluar dari Wuhan dengan mengakses manifes 
kereta api, pesawat, kapal, bis, dan transportasi lain dengan sistem yang 
terintegrasi dan terpadu. Misalnya, warga secara mandiri bisa mengecek apakah 
di gerbong kereta yang mereka naiki terdapat pasien positif corona atau tidak.

Tahapan Lockdown

Keputusan me-lockdown kota Wuhan sejak 23 Januari 2020 pukul 10.00 pagi waktu 
setempat dilakukan secara bertahap. Tidak serta merta melarang semua warga 
keluar rumah dan membatasi mobilitas mereka secara spontan.

Awalnya pemerintah menerapkan lockdown secara longgar. Warga masih 
diperkenankan keluar rumah memenuhi kebutuhannya tanpa harus mendapatkan izin 
dari otoritas setempat. Kecuali jika pergi lintas distrik, mereka harus 
mendapat izin otoritas setempat.

Imbauan untuk tetap tinggal di rumah dan menjauhi keramaian selalu disampaikan 
pemerintah setiap hari. Karena imbauan itulah, warga memilih tinggal di dalam 
rumah dan hanya keluar rumah seperlunya saja guna menerapkan self-isolation.

Pada awal masa lockdown, taksi online dan taksi konvensional masih beroperasi 
tetapi jumlah armada dikurangi. Keberadaan taksi pada masa awal lockdown sangat 
membantu warga yang terjebak karena tidak mengetahui informasi lockdown. 
Setidaknya mereka masih bisa kembali ke rumahnya masing-masing.

Dan, dua hari kemudian layanan taksi mulai dihentikan. Selanjutnya, kendaraan 
roda dua atau tiga baik yang elektrik maupun berbahan bakar dilarang melintas 
di jalan utama, kecuali petugas tertentu dan kurir delivery order berbasis 
aplikasi seperti Eleme dan Waimai.

Awal Februari yang merupakan tahap berikutnya, otoritas setempat mulai 
melakukan pengetatan terhadap mobilitas warga Wuhan. Masing-masing keluarga 
hanya diperbolehkan keluar rumah seminggu sekali secara bergantian. Itu pun 
hanya salah satu anggota keluarga yang diperbolehkan keluar untuk berbelanja 
kebutuhan.

Di masing-masing komplek perumahan terdapat petugas yang mencatat jadwal keluar 
rumah warga. Patroli petugas keamanan guna mengontrol aktivitas warga dilakukan 
secara intens.

Terakhir, pihak otoritas lokal benar-benar membatasi mobilitas warga di kota 
Wuhan. Mereka hanya diperkenankan berbelanja melalui bantuan volunteer yang 
telah disediakan. Kebutuhan sayur mayur serta bahan makanan disuplai oleh 
pemerintah melalui relawan yang ada. Semua kebutuhan warga selain sayur mayur 
dan bahan makanan bisa disampaikan kepada volunteer untuk dibelanjakan.

Lockdown yang diterapkan pemerintah China terlihat sangat terstruktur, 
sistematis, dan tetap mengedepankan sisi humanis. Hal ini mencerminkan bahwa 
China memiliki sistem mitigasi bencana yang baik dan dapat dieksekusi dengan 
cepat tanpa banyak debat.

Selain me-lockdown Provinsi Hubei, pemerintah China juga mengeluarkan kebijakan 
men-shutdown area publik seperti sekolah, universitas, dan tempat-tempat wisata 
di seluruh daratan China, meniadakan semua kegiatan yang bersifat keramaian, 
serta menerapkan pembatasan perjalanan.

Menurut analisis media CNN, sekitar 780 juta warga China terdampak aturan 
pembatasan perjalanan yang diterapkan pemerintah China.

Pada masa lockdown dan shutdown inilah, pemerintah China secara aktif dan 
proaktif mendeteksi, mengetes, merawat, mengisolasi, melacak, dan menggerakkan 
masyarakatnya untuk bersatu padu melawan virus corona.

Dr. Bruce Aylward, penasihat senior WHO, memuji kecepatan pemerintah China 
dalam mengambil tindakan pengendalian dan pencegahan dalam menangani wabah 
virus corona yang menurutnya pantas untuk dicontoh negara lain.

Tak Saling Menyalahkan

Di Wuhan, warga dengan sadar mentaati peraturan pemerintah dan tidak saling 
menyalahkan. Kesadaran warga bahwa virus corona adalah ancaman bersama 
mendorong mereka untuk mentaati imbauan-imbauan pemerintah dalam upaya bersatu 
padu melawan corona.

Social distancing mulai terlihat sejak hari pertama kota Wuhan di-lockdown. 
Sekalipun pada awalnya mereka masih diperbolehkan keluar rumah, tetapi warga 
dengan inisiatif pribadi mulai menjaga jarak satu sama lain.

Pertokoan, basement perumahan, dan taman-taman yang biasanya menjadi spot 
berkumpulnya banyak orang di Wuhan terlihat sepi setelah munculnya imbauan 
untuk menjauhi keramaian. Dengan tertib warga mentaati imbauan pemerintah dan 
saling mengingatkan. Karena kesadaran warga tersebut, sanksi sosial muncul bagi 
mereka yang tidak mentaati aturan pemerintah.

Selain itu, warga Wuhan diwajibkan menggunakan masker jika keluar rumah. Khusus 
untuk warga Provinsi Hubei, pembelian masker secara online melalui aplikasi 
belanja hanya perlu membayar ongkos kirim.

Tingginya kesadaran warga Wuhan dalam menerapkan self-isolation di dalam rumah 
memudahkan petugas kesehatan melalukan identifikasi, pengetesan, dan pelacakan 
pasien-pasien positif corona. Sistem jemput bola sangat efektif dilakukan 
dengan mendatangi komplek perumahan-perumahan warga dengan mengetuk setiap 
pintunya.

Jika ada yang terbukti terinfeksi dan tidak mau diisolasi dan dirawat di rumah 
sakit, maka tindakan tegas akan diberlakukan oleh pihak keamanan setempat. 
Karena, penderita tidak hanya membahayakan bagi dirinya saja tapi juga bagi 
orang lain di sekelilingnya.

Ma Guoqiang, Sekretaris PKC Kota Wuhan, menyampaikan per 9 Februari 2020 
pemerintah kota Wuhan telah memeriksa 3371 komplek perumahan yang setara dengan 
4,21 juta pintu rumah dengan total 10,59 juta jiwa yang berhasil diperiksa. 
Angka ini telah mencapai 98,6% dari total jumlah penduduk kota Wuhan.

Selain itu, gerakan solidaritas mulai bermunculan di media sosial China sejak 
awal lockdown diterapkan oleh pemerintah China. Tagar "Wuhan Jiayou" atau 
Semangat Wuhan, secara masif tersebar di media-media di China. Pada malam 
tanggal 27 Januari 2020, warga Wuhan melakukan gerakan solidaritas membuka 
jendela rumah dan meneriakkan kata "Wuhan Jiayou" yang suaranya terdengar 
bersahut-sahutan di seantero kota.

Bagaimana dengan Indonesia?

Menghadapi Covid-19, pemerintah Indonesia sejauh ini tidak membuka opsi 
lockdown sebagaimana negara-negara lain (China, Itali, Denmark, Irlandia, 
Spanyol, Mongolia, Prancis, dan Malaysia). Tidak pula membuka seluas-luasnya 
informasi terkait kasus Covid-19 sebagaimana Singapura, ataupun melakukan 
deteksi dini secara masif sebagaimana Korea Selatan.

Belum terlihat jelas strategi pemerintah menghadapi Covid-19. Apakah mengikuti 
China dengan kebijakan lockdown, atau Korea Selatan dengan langkah efektif 
deteksi dini secara masif. Imbauan Presiden Jokowi untuk belajar, bekerja, dan 
beribadah di rumah justru menimbulkan polemik karena tidak diikuti dengan 
turunan kebijakan yang konkret.

Demikian juga dengan imbauan social distancing atau menjaga jarak interaksi 
sosial yang hanya mengandalkan kesadaran masyarakat tanpa kontrol ketat dari 
petugas terkait tidaklah efektif menghambat penyebaran virus. Terbukti dengan 
meningkatnya jumlah pasien yang positif dan meninggal dunia setiap harinya 
dalam angka yang tidak sedikit.

Saatnya masyarakat mengambil peran, membangun kesadaran, saling mengingatkan, 
dan tidak berpangku tangan. Karena virus corona adalah ancaman bersama, bisa 
menyerang siapa saja dan kapan saja. Dan, mencegah lebih baik daripada 
mengobati. Mari bersama melawan corona!

Hilyatu Millati Rusdiyah mahasiswi PhD Administrasi Bisnis Chongqing 
University, salah satu WNI yang dievakuasi dari Wuhan

(mmu/mmu)
lockdown
wuhan







Kirim email ke