-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/read/detail/312499-menaklukkan-patriarki-lewat-pendidikan


Rabu 13 Mei 2020, 06:50 WIB

Menaklukkan Patriarki lewat Pendidikan

Hetifah Sjaifudian Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dewan Pakar DPP Kaukus Perempuan 
Politik Indonesia | Opini
 
Menaklukkan Patriarki lewat Pendidikan

MI/MOHAMAD IRFAN

PATRIARKI menurut KBBI didefi nisikan sebagai perilaku mengutamakan laki-laki 
daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Menurut 
Bressler (2007), patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki 
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan mendominasi peran dalam kepemimpinan 
politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Dalam sejarahnya, 
nilai patriarki terwujud dalam sistem sosial, hukum, ekonomi, pendidikan, dan 
lain-lain.


Di kehidupan sehari-hari

Di Indonesia, nilai-nilai patriarki masih kental terasa meskipun perjuangan 
kaum perempuan telah menghasilkan sejumlah kemajuan progresif dalam beberapa 
dekade terakhir. Nilai-nilai ini kita temukan terselip dalam berbagai aspek 
kehidupan masyarakat Indonesia, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga 
hukum. Keberadaan nilai-nilai patriarki kadang tidak kita sadari karena sering 
kali dalam bentuk tersirat, dan sudah menjadi norma dari generasi ke generasi.

Terdapat beberapa contoh masalah sosial akibat patriarki, antara lain KDRT dan 
pelecehan seksual. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada 2018 data kekerasan 
dalam rumah tangga mencapai 406.178 kasus, meningkat 16,6% jika dibandingkan 
dengan 2017 sebanyak 348.446 kasus.

Menurut data Komnas Perempuan pada 2019, kekerasan seksual menempati urutan 
pertama dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, dengan 
perkosaan 715 kasus, pencabulan 551 kasus, dan pelecehan seksual sebesar 520. 
Pada 2015, penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI 
menempatkan Indonesia pada urutan kedua angka pernikahan dini tertinggi di Asia 
Tenggara.

Data BPS 2018 menyatakan persentase pernikahan dini di Indonesia mencapai 
15,6%, meningkat dari 14,18% pada 2017. Hal ini berbanding terbalik dengan 
semangat pemerintah untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia Indonesia.

Beberapa dampak negatif dari maraknya pernikahan dini ialah terputusnya akses 
pendidikan, meningkatnya risiko gangguan kesehatan alat reproduksi, dan 
rentannya perceraian akibat ketidaksiapan mental dan psike pasangan.

DPR sendiri pada 2019 telah merevisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan, dengan 
menetapkan batas usia minimum pernikahan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 
19 tahun. Kebijakan yang progresif ini patut kita apresiasi. Namun, pada 
penerapannya, hal ini akan menjadi tantangan tersendiri akibat kultur dan 
nilai-nilai yang mendukung pelaksanaan pernikahan dini di masyarakat.

Banyak nilai-nilai patriarki tanpa sadar ditanamkan secara turun-temurun, dari 
orangtua kepada anak, dan seterusnya. Contoh, dalam keluarga yang memiliki 
keterbatasan ekonomi, sering kali anak laki-laki diutamakan untuk mengenyam 
pendidikan jika dibandingkan dengan anak perempuannya.


Pendidikan

Pendidikan sejatinya dapat menjadi kunci utama perlawanan terhadap 
ketidakadilan yang sudah terbangun dalam sistem. Banyak masalah gender yang 
disebabkan ketidakmampuan perempuan untuk mandiri secara ekonomi, yang 
sebagiannya diakibatkan rendahnya tingkat pendidikan. Contoh, banyak perempuan 
yang terpaksa menikah dini karena orangtua mereka memiliki keterbatasan ekonomi 
dan diri mereka pun tidak memiliki keterampilan untuk menghidupi dirinya 
sendiri.

Intinya, bagaimana membekali para perempuan dengan ilmu dan keterampilan yang 
membuat mereka mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kebijakan pemerintah 
menggratiskan pendidikan dasar juga secara signifi kan telah meningkatkan akses 
perempuan terhadap pendidikan. Kita berharap ke depan dapat ditingkatkan ke 
jenjang lebih tinggi.

Dengan mengenyam pendidikan, perempuan Indonesia juga akan mengetahui hak dan 
kewajiban mereka. Mereka menjadi mengerti, mana tindakan yang dapat diterima 
dan tidak dapat diterima. Jika mereka mendapatkan perlakuan yang tidak 
semestinya, mereka tahu apa yang harus dilakukan dan ke mana harus mengadu.

Anak menghabiskan lebih banyak waktu di rumah jika dibandingkan dengan di 
sekolah, dan apa yang dikatakan dan dilakukan orangtua dan anggota keluarga 
lainnya otomatis tertanam di alam bawah sadar. Contoh, jika sedari kecil 
ditanamkan bahwa anak-anak baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama 
membantu dalam pekerjaan rumah tangga, nilai itu akan mereka bawa hingga dewasa.

Perlawanan terhadap patriarki sesungguhnya bukanlah tentang perempuan melawan 
laki-laki, melainkan tentang perempuan dan laki-laki yang bersama-sama melawan 
sistem yang timpang. Perjuangan ini masih panjang, dan dengan bahumembahu, saya 
optimistis, dalam beberapa tahun ke depan, masyarakat Indonesia dapat menjadi 
masyarakat yang lebih setara jika dibandingkan dengan hari ini.
 





  • [GELORA45] Menaklukkan Patri... 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]

Kirim email ke