Surat-Sakti buat Jokowi, Bikin Gelandangan Politik Gemetar dan Gigit Jari
Oleh: Andre Vincent Wenas
Gelandangan Politik adalah istilahnya Gus Dur: “Preman-preman itu akan jadi 
gelandangan politik seumur hidupnya.” Begitu ujarnya saat ia dilengserkan 
secara inkonstitusional.
Siapa preman-preman itu? Mereka adalah yang rakus dan haus kekuasaan. 
Berkonspirasi (atau ikut merestui) pelengseran Gus Dur secara semena-mena. 
Frontal maupun hipokrit (musuh dalam selimut).
Terus terang saja, para gelandangan politik ini masih bergelandangan juga di 
era pemerintahan Jokowi. Membangun narasi-narasi publik yang menyesatkan. Hanya 
seolah saja membela wong-cilik dan seolah membela UUD’45, padahal – seperti 
biasa – itu semua cuma alat justifikasi untuk menyebar hoaks ala ‘firehose of 
falsehood’. Dan itu memang keahlian mereka.
Setelah Jokowi dan para menterinya pontang-panting membangun macam-macam 
infrastruktur yang selama ini terbengkalai, di awal periode kedua ini ada 
bencana kesehatan nasional (Covid-19). Sampai-sampai kondisi kondisi bangsa 
mengarah ke situasi kegentingan (darurat) ekonomi. Ini harus segera 
diselamatkan! 
Belajar dari sejarah, kita sadar bahwa situasi kegentingan seperti inilah yang 
ditunggu-tunggu para petualang politik itu. Rencana mau mengulangi skenario 
‘Semut Merah’ yang sukses mereka pakai untuk menggulingkan Gus Dur mungkin 
sudah di ubun-ubun.
Tapi Jokowi memang bukan Gus Dur yang soleh dan tanpa tedeng aling-aling itu. 
Jokowi cerdik dan lihai juga, langkah kuda dengan Perppu ini dijalankan 
terlebih dahulu, dan ini bikin mati langkah lawan-lawan liciknya.
Dulu Gus Dur difitnah habis-habisan lewat hoaks skandal Bulogate dan Bruneigate 
sampai ke jebakan krisis untuk ‘Menjerat Gus Dur’ ala Bawazier-Panigoro-Rais 
dan para kompradornya. Sampai akhirnya dimakzulkan lewat SI-MPR yang penuh 
dengan intrik itu.
Maka sekarang para gelandangan politik bisa gigit jari. Jokowi sudah punya 
‘surat-sakti’ Perppu Corona. Hehe... Jokowi memang bukan Gus Dur. Soal 
bagaimana proses lobi-lobi politik sampai Perppu itu mulus jadi Undang-Undang 
tidak perlu dibahas, tidak penting juga.
Hal paling menonjol dari figur presiden yang sekarang ini adalah kepiawaiannya 
menggerakan langkah kuda catur yang lincah dan  sulit diduga oleh lawan 
politik. Untuk kemudian bergerak seperti buldozzer yang sangat powerful 
mendorong bukit tanah untuk menutup lubang-lubang.
Faktanya sekarang Perppu Corona sudah setujui DPR-RI, salut! Buldozer bisa 
bergerak, banyak yang belum rata nih, masih ada yang mbalelo, masih coba-coba 
njegal yang enggak-enggak. Labrak saja!
Payung hukum yang diperlukan dalam situasi kegentingan sudah tersedia. Payung 
untuk menangkal hujan tuntutan dari pihak-pihak yang kakinya babak belur 
terinjak gerigi buldozer. Buat kelompok yang baik-baik saja khan gak ada 
masalah.
Mungkin lantaran Presiden sudah mendapat Surat Sakti itu maka para petualang 
politik mulai menyerang parlemen yang telah mengesahkan Perppu itu jadi 
Undang-Undang.
Ada yang menuduh bahwa ini semacam ‘Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI’. 
Hahaha... Tapi kok kita justru melihatnya ini adalah langkah  ‘Pelumpuhan 
Massal Gerak Gelandangan Politik’.
Konteksnya jelas, intinya, situasi sudah memenuhi parameter kegentingan yang 
memaksa harus memberikan kewenangan kepada Presiden untuk bertindak cepat, 
tegas dan antisipatif. Tidak bisa banyak cincong. Negara harus diselamatkan!
Dasar hukum Perppu ini adalah pasal 22 ayat (1) UUD-1945: “Dalam hal ihwal 
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah 
pengganti undang-undang.”
Dan pasal 1 angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan 
Perundang-undangan: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah 
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal 
kegentingan yang memaksa.”
Perppu Corona ini bukan seperti Supersemar yang hilang itu. Pendek kata, Perppu 
Corona ini dasar hukumnya jelas, dan kuat. Sudah pula disosialisasikan dan 
dokumennya bisa diakses publik kapan saja.
Sekarang tinggal pelaksanaannya yang efektif sesuai maksud dan tujuan dari 
Perppu itu sendiri.
Hati-hati, semasa kegentingan jangan sampai ada lagi hoaks dan penggiringan 
opini busuk. Penggiringan opini dengan berbagai framing sesat seperti soal 
utang negara yang berjibun lah (tanpa memahami soal rasio utang, soal utang 
konsumtif dan produktif), soal TKA asal Tiongkok lah (soal investasi dikaitkan 
dengan isu nasionalisme), sampai ke jualan isu Komunisme yang nggak ada matinya 
itu.
Padahal kita semua melihat, bahwa administrasi Jokowi ini sedang mengoperasi 
borok-borok sisa rejim lama. Mulai dibedah untuk dikeluarkan nanahnya. Supaya 
infeksi korupsi bisa mulai disembuhkan. Setelah disobek ya disiram pakai 
alkohol yang perih itu dulu, supaya kumannya mati. Sakit memang, tapi perlu.
Kita ambil contoh program pembersihan di banyak BUMN deh. Misalnya di 
Pertamina, Telkom, PLN, Garuda, Jiwasraya, Asabri, Bank-bank pemerintah, dan 
lain-lainnya. Ternyata operasi ini bikin para gelandangan politik ini gerah. 
Kenapa ya?
Padahal sebetulnya, dengan banyaknya skandal yang terbongkar artinya operasi 
#BersihBersihBUMN ini berjalan dengan baik. Paling tidak sejauh ini. BUMN yang 
selama ini dijadikan tempat nangkring (perching) para komisaris dan direksi 
titipan mulai dibersihkan satu persatu. 
Ada total asset sekitar Rp 8.300 trilyun di situ. Jokowi tahu persis bahwa ada 
potensi ATO (assets turnover) dan ROA (return on assets) yang besar jika saja 
BUMN bisa dikelola secara bersih dan profesional.
Bayangkan, dengan ATO (assets turn over) 0,3 kali saja saja BUMN bisa 
berkontribusi Rp 2.490 triliun ke PDB. Atau dengan ROA (return on assets) 
sebesar 5% saja sudah punya potensi kontribusi sekitar Rp 415 triliun setiap 
tahun kepada APBN. Tentu saja itu angka kasar, masih perlu ditimbang lagi porsi 
dividen saham pemerintah.
Pokok soalnya, bahwa dari dari sektor BUMN saja sebenarnya kita punya potensi 
sangat besar. Walau sayangnya masih ada impotensi besar dalam pengelolaannya di 
beberapa aspek.
Belum lagi kalau hitung-hitungannya sampai ke soal potensi kekayaan alam: 
pertambangan, maritim, pertanian, wisata, posisi geo strategis untuk jalur 
logistik dunia, dll.
Itu semua kalau mau diijonkan, atau istilah kerennya ditawarkan dalam SWF 
(sovereign wealth fund) bakal lebih dari cukup, bahkan melimpah ruah. Tapi ini 
soal lain lagi, nanti ada saatnya kita ngobrol soal SWF ini. Sabar.
Sekarang soal surat sakti dulu, dan dampaknya pada para gelandangan politik 
yang makin merana hidupnya. 
Perppu No.1/2020 (Perppu Corona) memang ‘surat sakti’ buat administrasi 
Presiden Joko Widodo. Untuk mengeksekusi misi penyelamatan kesehatan dan 
perekonomian nasional. Fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial 
(social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha 
dan masyarakat yang terdampak.
Mengenai detail isi Perppu ini bisa dibaca sendiri. Gampang kok mengaksesnya, 
lengkap disajikan di laman resmi Kemenkeu juga laman lainnya. Era digital 
memudahkan mereka yang mau  berselancar mencari informasi.
Tapi okelah, supaya gak repot, kita kutipkan saja pasal yang kerap diributkan, 
ada di Bab V Ketentuan Penutup, pasal 27:
“(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK 
dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di 
bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang 
keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, 
dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi 
untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau 
pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta 
Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan 
pelaksanaan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat 
dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas 
didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang 
undangan.
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat 
diajukan kepada peradilan tata usaha negara.”
Ini memang pasal sakti, dimana semasa kegentingan ini, Presiden berhak (dan 
wajib) untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menyelamatkan negara. 
Tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana. Fair sih sebetulnya.. 
Situasinya genting kok.
Pesan yang tak kalah penting adalah buat para gelandangan politik:  Presiden 
Jokowi tidak bisa dimakzulkan seperti yang dulu kalian lakukan kepada Gus Dur! 
Jelas?
Maka kepada para gelandangan politik, selamat gigit jari dan gemetaran. Kepada 
yang lainnya, mari kencangkan ikat pinggang dan terus berkarya. 
16/05/2020
Andreas Vincent Wenas, Sekjen ‘Kawal Indonesia’ – Komunitas Anak Bangsa

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke