Para Sahabat yb.

Untuk mengenang Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei kali ini saya turunkan
tulisan rangkuman Pramoedya yang bersumber dari korespondensi antara
Ibu Kartini dengan para sahabat-sahabatnya di Belanda dan yang sekali
gus bisa memberikan gambaran kehidupan spiritual pada periode
tahun-tahun permulaan Kebangkitan Nasion Indonesia di lingkungan
kehidupan beliau.

Selamat Membaca.
Salam.
Lusi.-




Dunia Pribumi yang Dikenal Kartini 
 


Kemiskinan Kemelaratan Sebagai Pendahuluan

(hlm.63-65)

<>Tadi siang kami sungguh terharu tersentuh oleh sekelumit derita
hidup. Seorang bocah berumur 6 tahun berjualan rumput. Si bocah itu
tidaklah lebih besar dari misanan kami; bocah itu sendiri tidak
kelihatan; seakan ada dua buah unggukan rumput menyeberangi jalan. Ayah
memanggilnya, dan dari situ terpampanglah sepotong sejarah, seperti
ratusan, kalau tidak ribuan lainnya. Si bocah itu tiada berbapak;
emaknya pergi bekerja; di rumah ditinggalkannya dua orang adiknya,
lelaki semua. Dia sendiri yang tertua. Kami tanyakan kepadanya apakah
dia sudah makan. „Belum“, mereka hanya makan nasi sekali sehari, yaitu
di sore hari kalau ibunya pulang dari bekerja; di siang hari mereka
makan kue sagu aren seharga 0,5 sen.

Dari sibocah itu aku pun alihkan pandang pada misananku, sama-sama
besarnya, aku teringat pada makan kami, tiga kali sehari, dan terasa
begitu aneh, begitu asing di dalam perasaanku!

Kami ikuti si bocah yang bersenjatakan pikulan dan arit itu dengan
pandangku sampai ia sama sekali tiada nampak. Dan apa saja yang
kemudian yang tidak bertingkah di dalam otak dan hatiku.

Malulah aku terhadap keangkaraanku. Aku renungi dan pikirkan keadaanku
sendiri, dan di luar sana  begitu banyak derita dan kemelaratan
melingkungi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap
tangis, erang dan rintih orang-orang di sekelilingku. Dan lebih keras
daripada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku.:
Kerja! kerja! kerja! perjuangkan kebebasanmu! baru kemudian kalau kau
telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang
lain-lain! Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis
di depan mataku…. (Surat, 8 April 1902 kepada Nyonya Abendanon.)<>

Dan dengan demikian segala pemandangan yang menyinggung perasaan
kemanusiaanya segera menggerakkan otaknya untuk berpikir. Ia ingin
mengulurkan tangannya kepada mereka yang hidup dalam derita dan
kemelaratan, dalam ketidaktahuan. Tapi apakah yang bisa diberikan oleh
seorang tanpa kebebasan kepada orang-orang yang sendiri hidup bebas?
Tapi Kartini tahu akan kekuatannya, akan kelebihannya daripada
orang-orang lain. Ia bisa berikan pada mereka, banyak, terlalu banyak.
Tidak boleh! Adat negerinya melarang. Kedudukannya yang tinggi dalam
pembagian nilai feodal, tidak mengizinkan ia bergaul dengan semua orang
dan bergerak di tengah-tengah Rakyat yang dianggap hina, tetapi yang
membutuhkannya. Tidak boleh! Adat feodal negerinya memaksanya untuk
tetap hidup terpisah dari Rakyat jelata.

Kartini hidup terpisah dari rakyat jelata. Tetapi untuk selama-lamanya
hatinya berada dengan   mereka, dan jantungnya berdebar untuk
mereka, dan pikirannya diperas untuk mereka,

<>disebut bersama dengan Rakyatku; denganyalah dia akan berada buat
selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas
dengan Rakyatku.<> (Surat, 17 Mei 1902, kepada Estlle Zeehandelaar.)

dalam kungkungan yang tradisi keras itu, memang tidak mungkin bagi
Kartini untuk mengenal lebih banyak tentang Rakyatnya ini. Ia tak
banyak mempunyai kesempatan untuk itu, tetapi bahannya dan kontaknya
yang sedikit dengan Rakyat telah cukup banyak baginya untuk menjadi
modal mencintai, menghargai dan menderita buat Rakyatnya. Ia ikut
memikirkan kesulitan dan penderitaan mereka. Sebagai orang yang sendiri
menderita, toh masih dapat memikirkan kesulitan dan penderitaan
orang-orang lain, tidak lain daripada ciri-ciri keagungan jiwa Kartini.

Kutipan-kutipan surat tersebut bukanlah satu-satunya kesaksian Kartini
terhadap kehidupan Rakyat jelata. Apa yang sangat mengesan dari kutipan
tersebut adalah pengertian dan seperasaiannya dengan orang-orang yang
melarat dan miskin, yang tak mengecualikan kanak-kanak. Sekaligus ia
dapat melihat, bahwa kemelaratan kemiskinan itu tidak lain daripada
satu mata-rantai penderitaan raksasa yang memukau seluruh Rakyat
Pribumi. Segera ia berpaling pada hatinya sendiri. Membuat
perbandingan. Apapun yang direnung-pikirkan dan simpulkannya, akhirnya
yang didapatinya cuma satu: kerja! Kerja buat Rakyatnya!

Sekalipun dirinya sendiri oleh kungkungan adat kebiasaan tidak mungkin
melaksanakan kerja buat Rakyatnya tanpa mengurangi kebesaran Ayahnya –
ayah yang sangat ia hormati dan cintai, seorang feodal dari karat
tertinggi – namun asas  „kerja buat Rakyat“ itu akan tetap hidup abadi.
Bagi seorang yang lama menderita dan tetap menderita, wawasannya
tentang penderitaan tentulah luas, karena itu ia tahu, bahwa
penderitaan paling keras pastilah dideritakan oleh Rakyat. Maka
sampailah ia pada hasrat untuk „berada buat selama-lamanya“ dengan
Rakyat, bekerja untuk mereka.

Kutipan-kutipan kecil dari surat-suratnya tersebut di atas tidak lain
daripada titik tolak untuk memahami Kartini dalam menghadapi dunia
Pribumi, dunia hidupnya sendiri. Dan dunia Pribumi ini terbagi atas
berbagai macam lapisan. Tetapi ia tidak bingung oleh keberbagaian
lapisan ini. Ia terus-menerus menyadari titik dari mana ia memandang
persoalan penderitaan Rakyat.



Feodalisme Pada Umumnya

(hlm. 81-86)

Feodalisme yang berkuasa dalam lingkungan hidup Kartini di kabupaten
Jepara tidaklah dapat disamakan dengan yang berada di tempat-tempat
lain, yang masih merupakan tata hidup umum di kalangan atasan Pribumi.
Yang ada dalam kabupaten Jepara sudah mengalami banyak perombakan,
pembaharuan dan terutama sekali pencerahan, mengingat leluhur Kartini
adalah pelopor pertama-tama di lapangan kemajuan.

Kartini sendiri memang tidak banyak kesempatan memasuki alam feodalisme
Pribumi yang masih utuh. Tetapi segala apa yang didengarnya
dipertimbangkannya dengan bahan-bahan lainnya, dikajinya, didalaminya,
untuk kemudian menarik kesimpulan atas segala bahan itu.

Adalah sangat mengherankan bahwa ilmu antropologi budaya Indonesia yang
sekarangpun masih sangat muda itu, bagi Kartini tidak menghalanginya
untuk dapat memahami seluk-beluk feodalisme  Pribumi. Ia menolak
anggapan feodal bahwa feodal adalah makhluk-makhluk dari lapisan
teratas di dalam masyarakat. Katanya:

<>Tentang anak-anak amtenar di dalam masyarakat, bahwa seorang Raden
Mas atau Raden Ajeng dan sebagainya adalah mutlak makhluk-makhluk dari
susunan atas, yang berwenang, berhak, mendapatkan penghormatan ilahiah
dari Rakyat, telah banyak tamasya-tamasya tentangnya kami lihat,
pemandangan yang menyebabkan kami menggigil karena jengkel. Pada
kesempatan-kesempatan semacam itu kami berdiam-diam saja; tiada dapat
bicara maupun tertawa, kejengkelan dan rasa kasihan meyumbat mulut
kami.<> (Surat, 17 Agustus1902, kepada E.C. Abendanon.)

Terlalu banyak memang hubungan antara kaum feodal dengan bawahan
terutama Rakyat jelata yang dirasainya mengganggu perasaan
kemanusiaannya. Dan hubungan semacam itu tidak bakal menimbulkan
persatuan di kalangan Pribumi. Feodalisme itu sendiri telah merupakan
tata hidup yang memecah belah masyarakat dalam lapisan dan susunan
hamba-berhamba. Jangankan persamaan persamaan yang sudah ditentang oleh
feodalisme itu, bahkan pesaudaraan pun tidak ada – juga antara saudara
seibu-sebapa. Tanggung jawab sosial yang ada hanya berasal dari bawah
kepada kaum feodal, sebaliknya kaum feodal tidak bertanggung jawab
sesuatu kepada bawahannya, apa lagi Rakyat. Kebebasan berbuat kaum
feodal ini makin tinggi kefeodalannya, makin mutlak, terkecuali
terhadap satu-satunya batasan yang tidak bakal diterjangnya tanpa
mengalami kehancuran sendiri: pemerintah penjajahan Hindia Belanda.
Dalam usahanya untuk memajukan Rakyat, siapapun menghadapi pemerintah
jajahan ini sebagai penghalang, tapi dalam pada itu terutama penghalang
dari pihak Pribumi sendiri: kaum feodal.

Maka kalau Kartini terlalu sering mengemukakan kesusilaan dan
peradaban, ini tidak lain daripada suatu keharusan karena kurang atau
tiadanya kesusilaan dan peradaban pada kaum feodal. Yang ada pada
mereka lebih banyak adalah ketidaktahuan, kebiadaban dan ketiadaan
kesusilaan, daya pembeda antara yang baik dari yang buruk. Tak
bosan-bosannya ia menyerukan pendidikan, pertama-tama kepada kaum
bangsawan, bukan karena hak ilahiah kaum bangsawan itu, tetapi justru
merekalah yang paling mula harus ditertibkan dengan dasar-dasar moral
yang sama sekali baru, dan dalam tata hidup yang masih dianut
masyarakat mengalirkan kemajuan itu ke lapisan-lapisan yang lebih
bawah. Tetapi kaum feodal yang mendapatkan madu kehidupan itu tidak
semudah itu mau dengan senang hati dan rela hati mengubah
keenakan-keenakan yang dinikmatinya turun-temurun. Mereka menentang
setiap kemajuan. Dan bila kemajuan itu menyenangkan, maka kesenangan
itu haruslah untuk dirinya sendiri semata! Tentang hal ini Kartini
pernah mengutip ucapan seseorang pembesar Pribumi, bahwa:

<>…. orang Jawa, terutama kaum aristokratnya, bagi dirinya sendiri
lebih suka dihidangi nasi putih di atas meja makannya, tapi tak rela
melihat orang lain demikian juga; bagi orang lain dianggapnya nasi
merah sudah lebih dari cukup.

„Pertahankan kebodohan khalayak ramai, orang pun akan tetap berkuasa
atas mereka!“ demikian semboyan banyak, kebanyakan pejabat tinggi yang
makan hati melihat orang lain juga berusaha mendapatkan ilmu dan
pengetahuan.<> (R.A. Kartini: Nota, tertanggal Jepara Januari 1903)

Karena itu waktu Kartini melihat kegagalan usaha seseorang dalam
inisiatifnya untuk mendirikan rumah sekolah, yang tidak lain disebabkan
karena ulah dan tingkah kaum bangsawan ini juga, tanpa segan-segan ia
angkat bicara:

<>Sayang usaha itu mengalami kekandasan, dan justru karena tantangan
orang-orang yang sebenarnya bakal mendapat keuntungan dari pekerjaan
mulia itu dan dalam pada itu pun memberikan kebijakan pada seluruh
Rakyat Jawa. Para bupati, yang dimintai nasihat tentang hal ini,
umumnya menganggap, bahwa waktunya belum tiba untuk mendirikan
sekolah-sekolah pendidikan buat putri para pembesar serta para pemuka
Pribumi.

Tapi bagaimana dalam praktek? Para bupati yang memberikan nasihat
semacam itu, menganggap bahwa waktunya telah tiba bagi putri-putri
mereka sendiri, buat menerima pendidikan yang mencerahi, dan telah
memberikannya pula. Soalnya adalah: karena pendidikan Eropa belum lagi
umum, khususnya bagi gadis-gadis Pribumi, maka setiap orang hendak
mendapatkannya buat dirinya sendiri. malah kalau bisa pendidikan
terbaik yang diberikan pada anak-anaknya sejauh itu bisa diperoleh,
tetapi pantang menyerahkan pada orang lain, pun mereka tidak
menganjurkan, karena orang lebih suka diri sendiri saja terpelajar,
tapi tidak suka melihat orang lain demikian juga.

Kalau kini sekolah-sekolah telah dibuka, setiap orang akan dapat
kirimkan anak-anaknya, dan mereka akan mendapat pengajaran sama, sedang
orang lebih suka menjadi satu-satunya penguasa atasnya.<> (R.A.
Kartini: Nota, tertanggal Jepara, Januari 1903)

Mentalitas bangsawan Pribumi ini oleh Kartini disamakannya dengan dukun
yang tidak mempunyai rasa setia kawan sedikit pun di lapangan
kejuruannya. Katanya:

<>Sudah umum bahwa kebanyakan dukun yang mengetahui rahasia sesuatu
obat terhadap penyakit-penyakit tertentu membawa serta rahasia tersebut
ke kuburan bila dia mati, kepada anaknya pun tidak sudi ia
mempercayakannya. Rasa setia kawan memang tiada terdapat pada
masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus
disemaikan, sebab tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidaklah mungkin.

Bahwa yang terbaik harus dikangkangi sendiri dan dianggap sebagai hak
pribadi kaum aristokrat, bersumber pada paham sesat, bahwa kaum
bangsawan adalah mutlak manusia lebih mulia, makhluk lapisan teratas
daripada Rakyat, dan karenanya berhak mengangkangi segala yang
terbaik.<> (R.A. Kartini: Nota, tertanggal Jepara, Januari 1903)

Dengan kata-kata lain Kartini ingin menyatakan, bahwa sebenarnya
kemajuan Rakyatnya dihalang-halangi oleh kaum aristokratnya sendiri,
orang-orang yang justru menganggap dirinya mulia di dalam masyarakat.

Untuk memudahkan memahami moral feodal Pribumi, kiranya tepat sekali
dikemukakan salah satu ajaran  moral, yang disampaikan dari turunan
pada turunan kalangan feodal, terikat dalam puisi tradisional, dan
berbunyi demikian:

        Metrum Sinom:

                Wedi asih ing wong tuwa*
                Setia tuhu ing Sang Aji
                Ratu ingkah angreh praja
                Nuhorni sakersa neki
                Sumujud lahir lan batin
                Iku sajatining èlmu
                Dadasaring kasatrian
                                        *a diucapkan a pada kata kosong
         artinya:

                Takut sayang kepada orangtua
                Setia tulus kepada Sri Baginda
                Raja yang memerintah negeri
                Laksanakan segala kehendaknya
                Bersujud lahir dan bathin
                Itulah ilmu sejati
                Dasar daripada kesatriaan


Setiap orang feodal di masa itu dididik dengan moral ini: moral yang
tidak didasari oleh sesuatu pun kecuali oleh ketentuan raja, raja yang
memerintah negeri – tidak peduli asing atau tidak – dan melaksanakan
segala kehendaknya tanpa bertanya baik-buruk ataupun manfaat
mubazirnya. Dan moral ini dianggap sebagai dasar kesatriaan bagi feodal
Pribumi Jawa. Sama sekali tidak pernah disebut-sebut tentang
kewajiban-kewajiban Raja terhadap Rakyat, ataupun kewajiban satria itu
terhadap Rakyat. Tidak mengherankan, bila di zaman modern ini,
feodalisme demikian benar-benar sakitan.

Contoh-contoh bagaimana sakitannya feodalisme Pribumi ini telah dicatat
juga oleh  orang, yang hanya dua tahun lebih dahulu dilahirkan daripada
Kartini.

Seorang asisten wedana datang ke konferensi rutine ke kepatihan. Hanya
patih saja duduk di atas kursi. Semua, sejak dari wedana ke bawah,
duduk di lantai. 

Ini terjadi pada tahun 1901. Tempat: Cilegon.

Tiba-tiba datang seorang opas, setelah menyembah, menyampaikan pesan
asisten residen, yang tertulis pada batu tulis. Baru saja patih itu
membacanya, lambat-lambat ia menggelincirkan diri dari kursinya turun
ke lantai, dan merangkak menghampiri asisten wedana itu serta mencium
kakinya, sebagai penghormatan dan juga sebagai ucapan selamat: asisten
wedana itu telah diangkat menjadi bupati. Dan bupati ini kelak yang
terkenal sebagai loyalis Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. (P.A.A.
Djajadiningrat: Herinneringen, hlm.185-186.) Menurut moral ukuran
feodal Pribumi, patih itu termasuk seorang satria sejati yang mematuhi
perintah „raja“, sekali pun raja di sini diwakili hanya oleh tulisan
asisten residen di batu tulis. Dan raja di sini tidak lain daripada
pemerintah Hindia Belanda, dan pemerintah Hindia Belanda tidaklain
daripada penjajah dan penindas Pribumi. Bagaimana sakitannya feodalisme
Pribumi ini kelihatan juga dari peraturan sangat aneh yang berlaku
semasa hidup Kartini: hanya dari pangkat wedana ke atas boleh
mengenakan sandalatau terompah (1900). sedang dari asisten wedana ke
bawah diharuskan „berkaki ayam“.Sebaliknya setiap feodal, dengan rakus
dan angkuhnya menuntut penghormatan pada semua orang bawahannya yang
harus dinyatakan dengan sembah. Dalam hubungan ini telah terjadi
peristiwa yang tipikal feodal Pribumi.

Ini terjadi pada permulaan abad ke-20. Tempatnya: Tegal

Oleh Pangreh praja wilayah Tegal mulai dipergunakan pesawat telepon.
Pangeran Tegal – yaitu bupatinya – memohon kepada asisten residen agar
Kabupatennya dibebaskan dari pesawat tesebut. Waktu asisten residen
bertanya, mengapa ia tidak menghendakinya, bukankah pesawat itu
menyenangkan dan memudahkan urusan, Pangeran itu menjawab: „Saya akui,
tapi, kalau sekiranya saya bicara dengan seorang asisten wedana dengan
pesawat itu atau seorang amtenar lain yang sederajat dengan itu, saya
tidak bisa lihat, apakah dia menyembah aku atau tidak.“

Sebenarnya segala hal yang terjadi di dalam dunia amtenar Pribumi,
sekalipun tidak diumumkan di harian-harian, dalam sekejap telah
tersebar beritanya ke seluruh Jawa. Juga tidak dapat disangsikan,
Kartini pun mengetahui ini. Kabupaten waktu itu di samping jadi pusat
kegiatan seni dan ilmu (tradisional) serta lembaga sosial bagi
kerabat-kerabat dekat dan jauh juga merupakan pusat bisik desus, yang
membicarakan tentang kekurangan-kekurangan rekan bupati lain-lainnya,
atau bila pejabat-pejabat Belanda datang ditambah juga dengan
kekurangan-kekurangan rekan-rekan orang kulit putih. Pendeknya semangat
bisik desus itu berkisar pada teka-teki yang pernah juga dicatat dalam
sejarah keamtenaran: „Nafsu apakah yang paling keras di dunia ini:
Kepelitan, cinta ataukah benci?“  Sedangkan sejarah keamtenaran itu
telah pula menyediakan jawabannya: „Tak ada dari ketiga-tiganya. Yang
paling keras adalah nafsu seorang amtenar yang satu untuk mengemplang
rekan amtenar yang lain dengan penggadanya yang tebal.

„Pendeknya semua tidak terlepas dari penderitaan
raksasa.“               

(P.A.A. Djajadiningrat: Herinneringen,
hlm.134.)                                                                       
                                        

Kirim email ke