-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2095-diversifikasi-untuk-ketahanan-pangan



Jumat 21 Agustus 2020, 05:00 WIB 

Diversifikasi untuk Ketahanan Pangan 

Administrator | Editorial 

  KETAHANAN pangan sangat penting untuk diperkuat di tengah pandemi covid-19 
sekarang ini. Tingginya tingkat ketergantungan pada beras sebagai sumber 
karbohidrat utama menjadikan bangsa ini cukup rentan dalam hal kedaulatan 
pangan. Konsumsi beras mencapai 94,9 kg per kapita per tahun dengan total 
kebutuhan mencapai 29,6 juta ton per tahun. Konsum si yang besar ini membuat 
Indonesia tidak dapat terhindar dari upaya impor beras. Memang produksi beras 
lebih tinggi daripada kebutuhan, tetapi pemerintah butuh impor sebagai 
persedian untuk mengendalikan harga di pasaran. Melansir data Badan Pusat 
Statisik (BPS), impor beras mencapai 2,25 juta ton pada 2018. Jumlah itu 
meningkat pesat dari 305,27 ribu pada 2017. Adapun realisasi impor beras 
tercatat 444,5 ribu ton pada 2019. Ketergantungan pada beras juga menjadi ironi 
di tengah besarnya kekayaan sumber daya alam negeri ini berupa ragam sumber 
hayati penghasil karbohidrat tinggi. Semakin kita tidak bergantung pada satu 
sumber makanan, ketahanan pangan juga akan makin kukuh. Sebenarnya bangsa ini 
sangat kaya komoditas pangan nonberas, seperti jagung, ubi jalar, atau sagu 
sebagai makanan pokok sehari-hari. Namun, saat pemerintahan Orde Baru yang 
mengusung program swasembada beras telah memudarkan program keragaman pangan. 
Dari data pada 1954, komposisi karbohidrat dalam struktur menu bangsa kita 
menunjukkan proporsi beras hanya 53,5%. Sisanya dipenuhi dari ubi kayu (22,6%), 
jagung (18,9%), dan kentang (4,99%). Kondisi itu terus berubah pada era Orde 
Baru. Pada akhir 80-an, proporsi beras semakin dominan mencapai 81,1%, sisanya 
ubi kayu (10,02%) dan jagung (7,82%). Orde Baru makin mendorong beras untuk 
menjadi bahan pangan utama di seluruh Indonesia. Penyeragaman konsumsi beras di 
Indonesia membuat makanan pokok lokal terabaikan. Kini upaya mengembalikan 
keragaman pangan tengah dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin 
melalui Gerakan Diversifikasi Pangan yang dipelopori Menteri Pertanian Syahrul 
Yasin Limpo. Gerakan yang serentak dimulai di 34 provinsi seluruh Nusantara. 
Selain sebagai antisipasi krisis pangan global dan ancaman kekeringan, 
penyediaan pangan alternatif sumber karbohidrat lokal nonberas, gerakan ini 
juga diharapkan mampu mengurangi ketergantungan konsumsi beras. Konsumsi pangan 
lokal sumber karbohidrat lain pun me ningkat. Kementan mengajak seluruh gu 
bernur dan bupati/wali kota untuk bersinergi menguatkan gerakan diversifikasi 
pangan ini dalam upaya mengukuhkan ketahanan pangan: kembali meneguhkan bahwa 
bangsa ini punya keanekaragaman pangan yang besar, tidak hanya beras yang 
membuat kenyang. Sejumlah daerah sudah mengeluarkan kebijakan sehari tanpa 
nasi. Akan tetapi, kebijakan itu tidak pernah efektif dilaksanakan. Perlu 
keteladanan kepala daerah untuk memelopori konsumsi pangan lokal. Upaya 
diversifikasi pangan lokal ini ditargetkan menurunkan konsumsi beras dari 94,9 
kg per kapita per tahun menjadi 85 kg per kapita per tahun pada 2024. Selain 
itu, upaya ini diharapkan dapat menumbuhkan UMKM pangan sebagai penyedia pangan 
lokal. Namun, upaya ini tentu tidak mudah. Membalikkan persepsi masyarakat 
untuk mengganti beras dengan komoditas lain mesti diikuti dengan kebijakan dan 
aksi kampanye yang masif. Pekerjaan rumah lainnya, pasokan bahan pangan 
nonberas mesti bisa diandalkan. Pemerintah tidak bisa ujug-ujug memaksakan 
kebijakan diversifi kasi pangan jika produksi pangan lokal, seperti 
umbi-umbian, di setiap wilayah belum bisa ditingkatkan. Ketersediaan bahan baku 
yang terbatas dan harga yang kurang kompetitif ketimbang komoditas pangan 
utama, yakni beras masih menjadi kendala terbesar.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2095-diversifikasi-untuk-ketahanan-pangan






Kirim email ke