Mengapa Corona Makin Parah di Negara yang Dipimpin Populis Kanan?
Infografik Covid di Tangan Pemimpin Populis
Boris Johnson. AP Photo/Frank Augstein
https://tirto.id/mengapa-corona-makin-parah-di-negara-yang-dipimpin-populis-kanan-fZZm?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Share
Boris Johnson. AP Photo/Frank Augstein
Oleh: Tony Firman - 24 Agustus 2020
Dibaca Normal 3 menit
/Beberapa negara yang dipimpin populis kanan gagal menangani krisis
kesehatan selama pandemi COVID-19. Cenderung mengabaikan sains./
Hingga Agustus 2020, jumlah kematian akibat COVID-19 di seluruh dunia
mencapai lebih dari 800 ribu jiwa. Angkanya belum menunjukkan tanda
penurunan. Negara besar seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Inggris
berada di urutan atas memimpin jumlah korban jiwa terbanyak. Hal ini
menjadi pembahasan hangat di kalangan ilmuwan politik ketika mendapati
bahwa negara-negara tersebut punya satu kesamaan yaitu dinakhodai oleh
pemimpin populis kanan.
Amerika Serikat adalah negara dengan jumlah kematian akibat COVID-19
tertinggi di dunia yang mencapai hampir 180 ribu jiwa. Kendati demikian,
Donald Trump masih saja tak menunjukkan gelagat serius menyikapi
COVID-19. Pada 11 Juli 2020 untuk pertama kalinya Trump tampil dengan
mengenakan masker berwarna biru tua ketika mengunjungi Walter Reed
Medical Center di Bethesda, Maryland. Sebelumnya ia enggan memakai
masker yang tampaknya terkait dengan keyakinan bahwa menggunakan masker
adalah tanda kekalahannya dengan virus.
Selama hampir dua bulan pertama pandemi, Trump menyepelekan bahwa virus
akan hilang sendiri dengan keajaiban. Tentu saja omongannya tak pernah
terbukti dan jumlah kasus positif serta kematian warga AS terus meroket
sampai sekarang. Sambil kerap memunggungi para ahli, ia memfasilitasi
penyebaran kabar bohong seputar COVID-19, alih-alih bekerja dengan
otoritas negara untuk menyelesaikan krisis.
Di Brasil, Jair Bolsonaro memilih memecat menteri kesehatannya yang
kerap vokal menganjurkan warga untuk tinggal di rumah guna memutus mata
rantai penyebaran COVID-19 serta berulang kali mempertanyakan saran dari
para ilmuwan. Ia menganggap COVID-19 sekadar flu biasa dan hanya
fantasi. Media Brasil yang menyoroti krisis corona dituduh cuma
akal-akalan untuk melengserkannya.
Ketika massa berdemonstrasi menentang/lockdown/, Bolsonaro ikut
bergabung dan, sama seperti Trump, ia tak suka memakai masker. Dari
total 27 gubernur di Brasil, 25 di antaranya menandatangani surat
bersama menuntut Bolsonaro untuk mengambil kebijakan konkret menangani
pandemi, tetapi mereka malah dituduh sebagai pemusnah lapangan
pekerjaan. Kini jumlah kematian akibat COVID-19 mencapai lebih dari 91
ribu jiwa.
Ketika Eropa dihantam COVID-19 dan sejumlah negara melakukan karantina
atau tindakan pencegahan lainnya, Boris Johnson memilih tetap bersantai
dan tidak mengambil tindakan preventif. Hasilnya sesuai dengan apa yang
dikhawatirkan para ahli: Inggris mengalami jumlah kematian tertinggi di
Eropa dengan lebih dari 36 ribu jiwa dan kerap masuk lima besar dunia.
Hanya baru-baru ini saja Johnson lebih mawas diri ketimbang dua sekutu
populisnya.
Ia mulai serius mendengarkan suara para ilmuwan dan mengakui pihaknya
tak mampu memahami virus corona di bulan-bulan pertama. Perubahan
sikapnya itu terjadi terutama setelah dirinya divonis positif COVID-19
dan tampaknya juga respons atas popularitasnya yang menurun seiring
dengan gagalnya menangani pandemi.
Populisme dan Kecenderungan Antisains
Baik Donald Trump, Jair Bolsonaro, maupun Boris Johnson adalah tiga
pemimpin populis yang naik ke tampuk kekuasaan dengan memobilisasi
dukungan rakyat lewat sentimen identitas, xenofobia, dan bentuk-bentuk
eksklusivisme lainnya. Ciri-ciri tersebut cukup untuk memasukkan jalan
populisme yang mereka pilih ke spektrum politik kanan.
Cas Mudde, profesor di University of Georgia yang berfokus pada kajian
politik ekstremis serta populisme di Eropa dan Australia, mendefinisikan
populisme sebagai posisi politik yang menempatkan rakyat umum dan elite
yang korup dalam posisi antagonistik dan melihat politik sebagai
ekspresi keinginan rakyat pada umumnya. Populisme dapat ditemui di
spektrum politik kiri dan kanan.
Skeptis kepada ahli dan sains adalah ciri yang paling menonjol dari
kepemimpinan populis kanan seperti yang juga terjadi di India dan
Meksiko. Maximilian Högl dan kawan-kawannya dalam paparan untuk German
Development Institute menjelaskan anti-elitisme adalah jantung dari
pandangan dunia populis. Ini berangkat dari elite yang dituduh korup dan
mengabaikan kehendak rakyat. Di mata populis, para ahli atau ilmuwan
adalah bagian dari kaum elite dan ikut bertanggung jawab dalam
mengkhianati masyarakat mayoritas. Alhasil, temuan ilmiah kerap
ditanggapi dengan kecurigaan terlebih jika berlanjut ke rekomendasi yang
menjadi aturan.
Bandingkan dengan negara-negara yang kerap dirujuk sukses menangani
COVID-19 seperti Jerman, Taiwan, dan Selandia Baru. Selain semuanya
dipimpin perempuan yang bertindak cepat dan kompeten merujuk pada kajian
saintifik, mereka juga tak sedang menjalankan praktik populisme kanan.
Para pemimpin populis kanan menjadi mudah untuk “mengklaim memiliki
semacam akal sehat yang tidak dimiliki para ahli,” ujar Steven Levitsky,
profesor ilmu pemerintahan di Harvard University, seperti dilansir/New
York Times//./Ini melahirkan sikap meremehkan dan bias optimisme.
Di Indonesia kondisinya tidak jauh berbeda. Jonatan A. Lassa dan Miranda
Booth, pengajar senior Humanitarian Emergency and Disaster Management di
Charles Darwin University, dalam paparan untuk/Conversation/menyebut
sejak awal Jokowi menangani krisis corona dengan menganggap remeh dan
berpikir naif bahwa wabah tidak akan menghantam Indonesia. Suara dari
para ahli tak dihiraukan dengan tujuan melindungi agenda ekonomi dan
politik.
Lebih lanjut Lassa dan Booth menyoroti bagaimana AS yang jatuh di tangan
pemimpin populis kanan macam Trump turut berkontribusi secara global
dalam membuat situasi penanganan pandemi semakin buruk. AS diketahui
adalah rumah dari berbagai institusi kesehatan penting seperti Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) yang sebenarnya mampu
menginspirasi kepemimpinan global dalam menangani pandemi.
Kendati baru-baru ini AS mengucurkan dana untuk menangani krisis akibat
pandemi, alokasi dana terbesar hingga dua triliun dolar adalah untuk
menyelamatkan ekonomi. Sedangkan pendanaan global untuk COVID-19 melalui
Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) jauh lebih
rendah dengan hanya mendapat jatah 37 juta dolar.
Dalam beberapa kasus, kepemimpinan populis kanan memang tidak selalu
berkorelasi dengan buruknya penanganan krisis kesehatan di masa pandemi.
Filipina dan Hungaria adalah dua negara yang cukup cepat merespons
penyebaran virus. Namun, di saat yang sama, baik Viktor Orban di
Hungaria dan Rodrigo Duterte di Filipina menunggangi aksi cepat tanggap
itu untuk menindak lawan politik demi memperluas kekuasaan.
Berbeda lagi di Serbia dan Turki. Kedua kepala negara populis dari
partai sayap kanan ini dinilai terlambat menangani corona, tetapi ketika
belakangan bertindak serius menangani krisis, justru diiringi dengan
cara-cara yang otoriter dan berorientasi memperkuat kekuasaan.
Baca juga artikel terkaitPOPULIS SAYAP KANAN
<https://tirto.id/q/populis-sayap-kanan-jjA?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowkeyword>atau
tulisan menarik lainnyaTony Firman
<https://tirto.id/author/tonyfirman?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowauthor>
(tirto.id -Politik)
Penulis: Tony Firman
Editor: Ivan Aulia Ahsan