-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5202472/bahaya-mentalitas-banyak-temannya?tag_from=wp_cb_kolom_list




Sentilan Iqbal Aji Daryono

Bahaya Mentalitas "Banyak Temannya"

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 06 Okt 2020 19:30 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
Kolomnis - Iqbal Aji Daryono (Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom)
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta -

Saya ingin menyampaikan pengakuan dosa. Ini jenis dosa yang di masa sekarang 
merupakan salah satu dosa terbesar, baik secara sosial maupun spiritual: saya 
berkali-kali melanggar protokol pencegahan Covid.

Saya tahu, Anda seketika akan memandang saya dengan jijik, lalu menyebut saya 
egois, ignorant, tidak peka sosial, covidiot, dan sebagainya. Saya paham dan 
setuju dengan Anda. Tapi, saya ceritakan dulu situasinya.

Begini. Ini tentang Salat Jumat di kampung. Sejak sepekan setelah Lebaran lalu, 
saya kembali berangkat jumatan. Rasanya nggak nyaman di hati, lha wong sudah 
berkali-kali nongkrong ngopi-ngopi, masak jumatan malah enggak. Maka, saya pun 
jumatan kembali, fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tak lagi saya ikuti.

Nah, saat jumatan itu, sebenarnya jamaah di masjid kami relatif homogen. Cuma 
warga sekampung, paling-paling ketambahan anak kampus ISI yang ngekos di rumah 
warga. Artinya, dari sisi risiko, saya membayangkan risiko jumatan di kampung 
kami itu relatif kecil juga, paling tidak bila dibandingkan dengan di 
masjid-masjid pinggir jalan raya.

Kesadaran bahwa jamaah di masjid kami itu homogen lebih kuat lagi manakala 
tampak satu ciri mengejutkan yang lebih visual, yaitu hampir seluruh jamaah 
tidak memakai masker. Dari 100-an orang, maksimal cuma ada tiga atau empat 
orang bermasker, itu pun termasuk saya sendiri.

Dalam situasi seperti itu, seringkali muncul godaan kuat untuk melepas masker, 
dan kadang-kadang memang saya lakukan. Toh, batin saya, orang yang menyimak 
khotbah Jumat diam semua, tidak ada yang membuka mulut, dan otomatis ancaman 
berondongan droplet nyaris tidak ada.

Namun, sebenarnya soal itu hanya alasan sekunder. Alasan primer saya melepas 
masker adalah... perasaan tak ingin sendiri.

Kesepian itu tidak menyenangkan. Saya bukan orang yang suka bersepi-sepi, dan 
jenis lelaki yang sangat takut ditinggalkan. Saya orang dusun, sejak lahir 
sampai setua ini hidup dalam masyarakat dusun yang komunal dan berspirit 
paguyuban. Dan Anda mesti tahu, dalam iklim paguyuban ada penyeragaman 
diam-diam. Di proyek penyeragaman tanpa sadar itu, siapa pun yang berbeda 
secara mencolok akan dianggap sebagai duri kecil bagi lingkungan.

Itulah kenapa perasaan tak nyaman ketika bermasker sendirian itu kadangkala 
muncul. Bukan berarti saya abai dan tak pernah berusaha "mengedukasi" tetangga 
lho ya. Itu sudah pernah saya lakukan, bahkan di sebuah forum resmi kampung. 
Tapi ketika kemudian banyak orang memilih tetap tidak bermasker, saya menyerah. 
Ya masak mau teriak-teriak macam di Facebook?

Jadi, ada semacam rasa malu. Bukan jenis malu karena khawatir dituduh penakut 
atau kurang beriman dan sebangsanya, melainkan malu karena menjadi berbeda di 
tengah-tengah suatu kumpulan manusia.

Anda pernah merasakan jenis malu yang seperti itu? Saya pernah. Kejadiannya 
ketika saya datang ke sebuah pesantren di Madura, lalu menyadari bahwa saya 
adalah satu-satunya lelaki dengan kepala telanjang tanpa peci, di antara ribuan 
kyai dan santri yang semua-muanya berpeci! Kira-kira malu yang seperti itu.

Perasaan enggan sendiri diperparah lagi karena ada rasa lain yang lebih sulit 
dikontrol, yaitu rasa, "Halah, temannya juga banyak, kok." Ini situasi 
psikologis yang riil, meski tentu saja kerap menjebak. Pendek kata, karena ada 
perasaan bahwa apa yang kita lakukan itu juga dilakukan oleh banyak orang, 
hasilnya seolah-olah yang salah jadi benar, dan yang buruk jadi baik atau 
minimal baik-baik saja.

Saya pernah konyol mengalami yang semacam itu waktu masih jadi sopir truk di 
Perth, Australia. Ceritanya, saya sedang menyetir truk saya di suatu ruas 
jalan. Sebagaimana normalnya, saya melaju dengan kecepatan standar. Ada speed 
camera di tempat-tempat tak terduga, dan kalau saya melebihi kecepatan 
bisa-bisa kena denda 100 dolar, atau kalau dirupiahkan ya satu juta.

Sialnya, mungkin karena ruas jalan itu jauh dari pusat kota, mobil-mobil lain 
mengasumsikan tak ada kamera pengintai kecepatan di situ. Mereka pun melesat 
cepat melebihi batas. Bukan cuma satu-dua mobil, tapi banyak mobil. Nah, persis 
dalam suasana itulah, perasaan "Halah temannya banyak" atau "Halah yang lain 
juga gitu kok" tiba-tiba muncul. Dan saya gagal melawannya. Maka, ikutlah saya 
melesat overspeed.

Satu hal yang sensasinya tak sungguh-sungguh saya sadari waktu itu adalah bahwa 
meskipun semua orang di situ melakukan hal yang sama, konsekuensinya tidak akan 
ditanggung bersama-sama. (Ini beda dengan ketika saya dan lima kawan bolos 
bersama waktu SMA. Karena temannya banyak, waktu dipanggil guru BP pun kami 
bisa menghadapinya bersama-sama.)

Dan benar, seminggu kemudian, surat tilang datang. Truk saya tersambar speed 
camera, dan saya harus bayar 100 dolar. Brengseknya, di antara semua pengemudi 
mobil yang melanggar kecepatan tadi jelas tidak saling mengenal. Jadi, meskipun 
pada saat overspeed saya merasa punya banyak teman, tetap saja tak ada 
mekanisme gotong royong ala paguyuban untuk menanggung kesusahan bersama-sama. 
Hahaha.

Saya rasa, mentalitas "banyak teman" itulah salah satu ganjalan terbesar kita 
saat ini dalam mengendalikan jutaan orang untuk menghadapi korona. Kebanyakan 
di antara orang Indonesia tuh seperti saya, yang lahir dan dibesarkan dalam 
iklim masyarakat komunal, yang senang melakukan aktivitas bersama-sama, yang 
kuat dalam the idea of belonging alias perasaan sebagai bagian dari kumpulan, 
yang takut berbeda dengan rekan-rekan sekumpulannya.

Kebanggaan sebagai bagian dari sebuah kelompok besar itu jugalah yang 
menjadikan geng motor dan ormas-ormas laris, dan tren apa pun cepat mencapai 
kejayaan pasarnya. Maklum, banyak orang takut sendirian ketika tidak mengikuti 
tren. Maka sepeda lipat pun dengan cepat muncul di mana-mana, suara-suara 
teriakan di medsos juga nyaris seragam, dan keseragaman suara itu kebanyakan 
dijalankan tanpa pemahaman atas persoalan. Namanya juga tren, kan?

Pada titik ini saya merasa bahwa semangat gemeinschaft alias paguyuban itu 
banyak bolongnya. Dan wabah ini akhirnya bukan hanya meniscayakan evaluasi atas 
banyak hal yang bersifat profesional manajerial, atau kelengkapan fasilitas 
ini-itu serta political will dari penguasa kebijakan. Sebab ada pula yang layak 
dievaluasi dalam dimensi yang tak terlalu kasat mata semacam kearifan lokal.

Apa yang kemarin arif, ternyata bisa jadi tidak arif lagi sejak hari ini. Apa 
yang dulu kita banggakan, bukan mustahil tak lama lagi harus kita lepaskan 
pelan-pelan.

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
pakai masker
protokol kesehatan covid-19







Kirim email ke