-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>





https://news.detik.com/kolom/d-5216433/daya-tahan-pertanian-dan-kesejahteraan-semu-petani?tag_from=wp_cb_kolom_list


Kolom

Daya Tahan Pertanian dan Kesejahteraan Semu Petani

Lin Purwati - detikNews

Jumat, 16 Okt 2020 16:40 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis ternyata masih menyimpan 
lahan pertanian. Seperti lahan padi di Rorotan yang tengah dipanen ini.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -
Mendung resesi kian tebal menggelayuti ekonomi Indonesia pada Triwulan III - 
2020. Belum redanya pandemi Covid-19 semakin menyulitkan upaya pemulihan 
ekonomi nasional. Dorongan untuk mengoptimalkan daya dukung pertanian terhadap 
perekonomian semakin menguat. Apalagi pertanian merupakan sumber pangan yang 
merupakan kebutuhan utama penduduk. Dipastikan permintaan terhadap produk 
pertanian akan linier dengan peningkatan jumlah penduduk.

Sejarah mencatat sektor pertanian telah berulangkali menunjukkan ketangguhannya 
dalam menghadapi berbagai krisis. Pada 1998 di saat perekonomian Indonesia 
ambruk hingga mencapai nilai -13,10%, sektor pertanian justru mampu tumbuh 
positif sebesar 0,26%. Begitu pula pada saat krisis subprime mortgage 
menghancurkan sistem keuangan dunia pada 2008, kinerja sektor pertanian justru 
tercatat naik signifikan dari 13,7% pada 2007 menjadi 14,4% pada 2008.

Kinerja positif pertanian juga tercermin dalam catatan neraca perdagangan 
melalui peningkatan ekspor komoditas pertanian yang diikuti dengan penurunan 
impor. Pandemi Covid-19 yang melanda kembali menjadi bukti resiliensi pertanian 
dalam perekonomian Indonesia. Pada Triwulan II - 2020 hanya beberapa sektor 
ekonomi yang mampu tumbuh positif, yaitu informasi dan komunikasi sebesar 
10,88%; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang sebesar 4,56%; 
jasa kesehatan sebesar 3,71%; dan pertanian sebesar 2,19%.

Namun disayangkan selama dua dekade terakhir performa pertanian cenderung terus 
menurun. Pada tahun 2000, sektor pertanian mampu menyumbangkan 15,6% nilai 
tambah terhadap total ekonomi Indonesia, namun pada 2019 menurun menjadi 12,72% 
saja.

Meski masih menjadi tiga besar supplier kue ekonomi, namun tren penurunan 
kontribusi pertanian terhadap pembentukan nilai tambah perlu mendapat perhatian 
lebih apalagi ditunjang dengan makin maraknya fenomena alih fungsi lahan 
pertanian menjadi non pertanian. Di sisi lain laju pertumbuhan pertanian dari 
tahun ke tahun cenderung stagnan di kisaran tiga hingga empat persen saja.

Dalam beberapa dekade terakhir, pertanian menjadi sektor yang tidak populer 
sebagai mata pencaharian penduduk. Hal ini terlihat dari menurunnya persentase 
penduduk yang bekerja di sektor pertanian dari sekitar 54,36% pada tahun 1986 
menjadi hanya 29,04% pada Februari 2020.

Kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian juga cukup memprihatinkan. 
Petani Indonesia umumnya adalah kelompok penduduk berusia tua. Hasil Survei 
Pertanian Antar Sensus (SUTAS2018) menunjukkan bahwa 60,71% petani Indonesia 
berusia 45 tahun ke atas. Tingkat pendidikan petani pun relatif rendah, sekitar 
82,55% petani hanya mengenyam pendidikan maksimal setingkat SLTP.

Jika regenerasi petani tidak segera dilakukan maka dikhawatirkan lambat laun 
Indonesia akan kehilangan petani. Lalu bagaimana Indonesia memenuhi kebutuhan 
pangan bagi sekitar 270 juta jiwa penduduk Indonesia dari Sabang sampai 
Merauke? Sanggupkah Indonesia menegakkan kedaulatan pangan?

Potret Kesejahteraan

Nilai Tukar Petani (NTP) periode Januari 2009 hingga September 2020 hanya 
meningkat tipis dari 98,3 menjadi 101,66. Namun Nilai Tukar Usaha Pertanian 
(NTUP) justru menurun dari 107,45 pada Januari 2015 menjadi 101,74 pada 
September 2020. Sementara itu upah riil buruh tani mengalami peningkatan dari 
Rp 30.551 pada Januari 2009 menjadi Rp 52.759 di Agustus.

Selama hampir satu dasawarsa terakhir terjadi penurunan jumlah penduduk miskin 
perdesaan dari 18,97 juta pada Semester 1 - 2011 menjadi 15,26 juta jiwa pada 
Semester 1 - 2020 yang diikuti dengan penurunan gini ratio perdesaan dari 0,410 
menjadi 0,381 dalam kurun waktu yang sama. Berbagai fakta tersebut menunjukkan 
upaya peningkatan kesejahteraan petani masih perlu terus diperjuangkan.

Di sisi lain, stabilitas harga komoditas pertanian juga masih menjadi isu 
krusial yang mengancam daya beli riil petani. Belum lagi tingginya disparitas 
antara harga yang diterima petani sebagai produsen dengan harga yang harus 
dibayar oleh konsumen akhir.

Sebagai contoh, berdasarkan hasil Survei Pola Distribusi Perdagangan Komoditas 
Beras 2019 terdapat kenaikan sebesar 20,83 persen dari harga gabah di tingkat 
petani dibandingkan dengan harga beras yang harus dibayar oleh konsumen akhir.

Ini berarti tingginya harga beras tidak dinikmati oleh petani melainkan justru 
diterima oleh pedagang perantara. Fakta ini kian membuka mata kita bahwa tren 
peningkatan harga eceran Gabah Kering Panen (GKP) maupun Gabah Kering Giling 
(GKG) belum mampu mengejar kenaikan harga eceran tertinggi (HET) beras sehingga 
tidak dapat menggambarkan kenaikan pendapatan petani secara riil. Hal serupa 
juga terjadi di berbagai komoditas pangan lainnya.

Dengan fakta tersebut, tak mengherankan jika petani memilih membuang produknya 
dibanding menjualnya dengan harga yang tidak mampu menutupi biaya produksinya. 
Rendahnya tingkat pendapatan riil petani semakin menyurutkan minat generasi 
muda untuk bekerja di sektor pertanian karena dianggap tidak cukup menjanjikan 
secara finansial. Regenerasi petani pun terancam gagal total dan pada akhirnya 
akan mengancam kedaulatan pangan Indonesia.

Upaya Peningkatan

Peningkatan kompetensi SDM pertanian mutlak diperlukan untuk mendongkrak 
kesejahteraan petani. Hal dapat ini dilakukan melalui pendirian sekolah lapang 
pertanian dengan segala fasilitas penunjangnya, kerja sama dengan perguruan 
tinggi untuk menghasilkan berbagai komoditas unggulan serta inisiasi berbagai 
kegiatan penyuluhan oleh dinas/kementerian terkait.

Era revolusi industri 4.0 tak pelak mendorong digitalisasi pertanian. Teknologi 
pertanian dapat diterapkan dalam bentuk mekanisasi pertanian, penggunaan pupuk 
yang lebih ramah dengan lingkungan, pemilihan komoditas budidaya yang sesuai 
dengan kondisi agroklimat wilayah termasuk cara penanganan hama dan OPT yang 
lebih efektif, sehingga dapat dihasilkan produk pertanian dalam jumlah dan 
kualitas yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Pemanfaatan teknologi juga digunakan dalam proses pemasaran. Melalui kerjasama 
dengan berbagai start-up pertanian, produk pertanian dapat lebih cepat sampai 
ke tangan konsumen. Proses ini akan menyederhanakan rantai pasok tata niaga 
pangan sehingga disparitas harga antara produsen dan konsumen dapat direduksi.

Selain pemberdayaan petani, peningkatan kesejahteraan petani juga dilakukan 
dengan mengurangi beban hidup petani melalui minimalisasi biaya produksi dalam 
bentuk subsidi benih, pupuk, alsintan dan berbagai infrastruktur penunjang 
lainnya serta pemberian asuransi tani.

Di sisi lain diperlukan dukungan pemerintah untuk memastikan payung hukum 
penguatan kelembagaan korporasi petani agar dapat menjamin aksesibilitas petani 
terhadap informasi, teknologi, permodalan dan pemasaran.

Kedaulatan pangan haruslah berbasis pada kesejahteraan petani, bukan sekedar 
pencapaian target produksi. Untuk itu, perlu dipastikan jaminan stabilitas 
harga pangan dan kemampuan daya beli riil petani dalam mengakses pangan 
mengingat petani bukan hanya produsen, namun juga konsumen pangan.

Lin Purwati statistisi pada BPS Provinsi Sulawesi Selatan

(mmu/mmu)







Kirim email ke