Artikel ini sudah lama, tetapi keadaan yang diceritakan tidak banyak
berubah. Untuk menyaksikan hal tsb, sliahkan lihat dua berita youtube
dibawah ini :

*https://www.youtube.com/watch?v=ZtAibQe4bF8
<https://www.youtube.com/watch?v=ZtAibQe4bF8>*

*https://www.youtube.com/watch?v=87gIevb_mjk
<https://www.youtube.com/watch?v=87gIevb_mjk>*

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817091559-20-151908/kisah-warga-eks-timor-timur-memilih-indonesia-lalu-diabaikan/


Laporan Khusus Kisah Warga Eks Timor Timur: Memilih Indonesia Lalu
Diabaikan

*Raja Eben Lumbanrau, Anggi Kusumadewi *, CNN Indonesia | Rabu, 17/08/2016
09:15 WIB

Bagikan :

Belu, CNN Indonesia -- Terik mentari menusuk kulit siang itu di Bandara AA
Tere Balo, Kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Puluhan orang
turun dari pesawat berkapasitas 72 penumpang. Mereka disambut belasan orang
yang menawarkan jasa transportasi di pintu keluar-masuk bandara.

Begitu keluar bandara, mata langsung disuguhi panorama tak sedap dipandang.
Permukiman warga tersusun berantakan dan berjauhan.

Rumah-rumah itu mayoritas dihuni warga eks Timor Timur (kini Timor Leste).
Mereka mengungsi karena huru-hara di kampung halaman mereka pada periode
1975 sampai 1999. Pada 1999, saat referendum digelar di Timor Timur, mereka
memilih bergabung dengan Indonesia.


Dalam referendum yang digelar 13 hari usai peringatan kemerdekaan Republik
Indonesia, 30 Agustus 1999, sebanyak 94.388 orang atau 21,5 persen penduduk
Timor Timur memilih tetap bergabung dengan Indonesia, sedangkan mayoritas
344.580 orang atau 78,5 persen warga Timor Timur memilih merdeka.

Provinsi ke-27 Indonesia itu akhirnya lepas dari Indonesia dan memperoleh
status resminya sebagai negara pada 20 Mei 2002.

Mereka yang memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia lantas
berbondong-bondong mengungsi, menyeberang ke Nusa Tenggara Timur.

Sebagian besar pengungsi, 70.453 orang, menurut data Sekretariat Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi NTT tahun 2005,
tinggal di Kabupaten Belu. Disusul 11.176 orang di Timor Tengah Utara, dan
11.360 orang di Kupang. Total pengungsi tercatat berjumlah 104.436 orang.

Di Belu sendiri, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu
pada 2012, terdapat 53.500 orang penduduk miskin. Di sana, infrastruktur
pun seadanya.

Jalan raya mulus selepas bandara misal hanya sampai dua kilometer. Setelah
itu, jalanan yang menanjak ke bukit belakang bandara mulai berbatu. Aspal
terkelupas oleh batu-batu yang mencuat ke permukaan.

Bukit di belakang bandara tersebut, mencakup antara lain Desa Kabuna,
menjadi tempat penampungan eks warga Timor Timur.

Meski Belu –nama kabupaten di wilayah itu– bermakna ‘persahabatan’, namun
kehidupan di sana kerap tak bersahabat.
Baca juga

*Derita Warga Nusa Tenggara di Tapal Batas: Kami Bagai Dijajah
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817045046-20-151897/derita-warga-nusa-tenggara-di-tapal-batas-kami-bagai-dijajah/>*



*Miskin*

Agustina Mutubere. Dia perempuan suku Kemak yang berasal dari Kota Maliana,
Timor Leste. Salah satu pengungsi di Atambua.

Rumah Agustina menghadap langsung ke Bandara AA Tere Balo. Di rumah itu,
dia tinggal bersama empat anaknya, sedangkan empat anaknya yang lain pergi
ke daerah lain untuk mencari penghidupan lebih layak.

Agustina Mutubere bersama seorang putrinya. Kehidupan masyarakat Indonesia
di daerah perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste, jauh dari
sejahtera. (CNN Indonesia/Raja Eben Lumbanrau)

“Kami pergi meninggalkan kampung halaman saat pergolakan tahun 1975.. Suami
saya buta, meninggal setengah tahun lalu. Untuk hidup sehari-hari, kami
berharap dari kiriman anak yang bekerja di luar kota,” kata Agustina saat
*CNNIndonesia.com* bertamu ke rumahnya, Selasa (2/8).

Dari kiriman uang anaknya pula, Agustina membangun rumah berdinding batang
dan beratap daun dari pohon gewang, sejenis pohon palem yang banyak
ditemukan di Nusa Tenggara Timur.

Rumah Agustina amat sederhana, dengan satu kamar tidur saja. Tak ada kamar
mandi di rumah itu. Terik matahari pun menerobos rumah, masuk di antara
dinding batang dan atap daun. Untuk mengurangi sengatan sinarnya, spanduk
iklan kopi dipakai untuk menutupi sebagian dinding rumah.

Di atas tikar yang digelar menutupi tanah yang menjadi alas rumah itu,
putra Agustina, Adrianus Lelosoro, tidur lelap. Pelajar SMP itu baru pulang
sekolah.

Putra Agustina, Adrianus Lelosoro, terlelap di atas tikar yang menutupi
tanah, alas rumah mereka di kamp pengungsian Atambua, Nusa Tenggara Timur.
(CNNIndonesia/Raja Eben Lumbanrau)

Kontras dengan limpahan cahaya pada siang hari, rumah itu gelap jika malam
datang. Listrik belum masuk daerah itu. Penerangan petang hari hanya
mengandalkan satu lampu minyak tanah.

Salah satu putra Agustina, Oktavianus Talo, juara maraton 10 kilometer
Likurai Perbatasan tahun 2014 dan 2015, mengalahkan 199 lebih peserta yang
berasal dari masyarakat umum dan tentara. Perlombaan itu merupakan
rangkaian kegiatan Festival Timoresia yang digelar Kementerian Pariwisata.

Bagi Okta, menjuarai lomba maraton mungkin biasa saja. Namun dengan mata
kirinya yang buta, itu cukup luar biasa. Mata kiri Okta tak lagi berfungsi
sejak digigit ular hijau sewaktu ia kecil.

Hingga kini pemuda 17 tahun itu ingin terus berlari. “Saya ingin jadi atlet
lari maraton, tapi pemerintah tidak pernah membantu saya.”

Sang ibunda, Agustina, mengatakan tak pernah menerima bantuan pemerintah,
sampai sekarang.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (dulu
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat), melalui situs Layanan
Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat yang dikelola Kantor Staf Presiden,
pada Mei 2014 mengatakan memiliki program pemberian bantuan pembangunan
rumah bagi warga eks Timor Timur dan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang
kurang mampu.

April 2016, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan pemerintah
bertanggung jawab penuh atas pemberian kompensasi bagi rakyat Indonesia eks
warga Timor Timor. Ucapannya itu terkait rencana pemerintah memberikan dana
kompensasi Rp10 juta per kepala keluarga untuk warga Indonesia eks Timor
Timur yang berada di luar Nusa Tenggara Timur.

Soal itu diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2016 tentang
Pemberian Kompensasi kepada Warga Negara Indonesia Bekas Warga Provinsi
Timor Timur yang Berdomisili di Luar Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perpres
itu diteken 30 Maret oleh Presiden Joko Widodo.
Lihat:

*Menyapa Batas Negeri di Hari Merdeka
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817100151-22-151926/menyapa-batas-negeri-di-hari-merdeka/>*


*Tuntut perhatian*

Gemericik air terdengar dari sumur umum di seberang rumah Agustina. Tiga
remaja perempuan sedang mencuci baju dan menimba air. Bella, 13 tahun,
membawa jeriken berisi air di atas kepalanya, sementara kedua tangannya
masing-masing menjinjing jeriken pula. Kedua kawannya melakukan hal serupa.

Sudah jadi kewajiban mereka untuk menimba air guna keperluan sehari-hari,
sepulang sekolah. Maka sumur itu sangat berharga bagi warga setempat.

Seorang anak warga eks Timor Timur memanggul jeriken berisi air bersih yang
diambil dari mata air sekitar Dusun Sakaloon, Testifeto Timur, Atambua,
NTT. Di daerah itu, air amat langka. Mereka harus berjalan lima kilometer
menyusuri bukit dan semak untuk mendapatkan air bersih. (CNN
Indonesia/Safir Makki)

Tetangga Agustina, Jose Filomena asal Distrik Natarbora, Timor Leste,
mengatakan kehidupan di Atambua sesungguhnya lebih baik ketimbang di daerah
asalnya.

Jose mengungsi ke Atambua bersama pamannya, seorang pegawai negeri sipil,
pada 1999. Saat itu ia berumur 14 tahun, dan tak sempat menamatkan
pendidikannya di satu SMP di Timor Timur.

Sial baginya, sebab dia juga tak bisa melanjutkan sekolah di Atambua karena
prosedur pindah sekolah yang rumit, ditambah ketiadaan biaya. Jose akhirnya
bekerja sebagai tukang ojek, dengan penghasilan maksimal sehari Rp150 ribu.

Ia sempat pulang kampung tahun 2009 lewat jalur ilegal di selatan Pulau
Timor. Namun setelah setahun satu bulan di Natarbora, ia memutuskan kembali
ke Atambua.

“Saya tidak menyesal pindah ke Indonesia karena kondisinya lebih baik. Tapi
saya kecewa kenapa saya tidak diperhatikan pemerintah,” kata Jose.

Tak jauh dari situ, dua perempuan eks warga Timor Timur tampak memunguti
botol plastik bekas dari tumpukan sampah di pinggir jalan. Botol-botol itu
mereka masukkan ke kantong plastik hitam berukuran besar, untuk nantinya
dijual Rp3 ribu per kilogram. Ketiadaan lapangan kerja layak membuat mereka
terpaksa menjadi pemulung.

Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, dan 17 tahun Timor Timur dilepaskan.
Derita mereka yang berada di tepian tak jua berakhir. Saatnya Jakarta
merealisasikan niatnya, meneropong sungguh-sungguh ke tapal batas.

Kirim email ke