Kesehatan, Masalah Fundamental HAM, Terwujudkah Di AS?
2020-11-13 07:53:59  
http://indonesian.cri.cn/20201113/df15eb22-83d1-3ef9-1c49-5536dd2e53d4.htmlPertemuan
 lanjutan Majelis Kesehatan Dunia ke-73 digelar di Jenewa pada 9 November lalu. 
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sambutannya menyatakan, 
“Kesehatan bukanlah usaha sampingan dari perekonomian, juga bukan produk mahal 
yang hanya bisa ditanggung oleh orang kaya, melainkan hak asasi manusia yang 
pokok.”

Semenara itu, pandemi COVID-19 baru-baru ini mengalami lonjakan drastis di AS 
dan keadaannya sangat mengkhawatirkan. Menurut statistik Universitas Johns 
Hopkins, terhitung hingga 10 November malam waktu setempat, AS mencatatkan 100 
ribu kasus terkonfirmasi COVID-19 secara harian untuk berberapa hari 
berturut-turut, dengan kasus akumulatif sebanyak 10,04 juta dan angka kematian 
sebanyak 238 ribu orang.

Amerika Serikat yang sejak lama berlagak seperti pembela HAM, demokrasi dan 
kebebasan, kini malah berubah menjadi korban dari wabah virus corona dan telah 
membayar mahal karena keabaiannya terhadap hak kesehatan dan hak kelangsungan 
hidup warga negaranya sendiri. Sejujurnya, nyawa orang AS dan kesehatan warga 
AS seharusnya diberikan penghormatan yang setara dan sama pentingnya dengan 
demokrasi dan hak asasi manusia, justru seperti apa yang dituduh AS kepada 
negara lain.

Pandemi COVID-19 yang merajalela pada 2020 sudah menyingkapkan jubah hak asasi 
manusia AS. Harian The Washington Post menunjukkan, “Wabah di AS seolah-olah 
sudah berubah menjadi pembantaian atas restu pemerintah.” Kalimat yang singkat 
itu secara terus-terang mengungkapkan kebrutalan pemerintah AS yang tak kenal 
belaskasihan. Angka kematian yang tercatat pada 230 ribu bukanlah hanya satu 
angka saja, melainkan setiap nyawa yang tidak akan harus mati jika pemerintah 
AS sebelumnya telah menganjurkan pembatasan dan protokol kesehatan yang lebih 
ketat. Nyawa sudah melayang, keluarga sudah tercerai berai. Negara ini bahkan 
tidak mampu menjamin hak kelangsungan hidup dan hak kesehatan warga, namun 
justru negara itulah yang berani mengkritik HAM di negara lain. Mempolitisasi 
masalah wabah, melemparkan tanggung jawab dan kesalahannya kepada orang lain, 
maka terungkaplah standar ganda AS dalam masalah HAM.

Pandemi COVID-19 yang sudah berlarut hingga hampir satu tahun lamanya telah 
sangat menghantam kehidupan separoh keluarga AS. Kelompok masyarakat yang 
berpenghasilan rendah terancam kelaparan. Mereka yang kehilangan tempat 
tinggal, lebih-lebih anak-anak dan ibu yang hidup merana sebatang kara harus 
menempuh kehidupan yang lebih sulit apabila kesehatannya memburuk karena 
terpapar virus corona.

Pada 9 November, sidang ke-36 Dewan HAM PBB membahas keadaan HAM di AS. Hampir 
110 negara secara kolektif mengajukan kritik terhadap keadaan HAM di AS.. 
Mereka umumnya mendesak AS menghapuskan diskriminasi yang berbasis ras, agama 
dan gender, mendesak AS menjamin hak kesehatan masyarakat, melindungi hak-hak 
kaum wanita dan anak-anak serta menjamin hak-hak para penyandang cacat. 
Tiongkok, Rusia, Kuba, Iran, Venezuela dan Suriah menuntut AS segera 
menghentikan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain dengan alasan 
HAM.

AS dengan keadaan HAM yang terkutuk seharusnya melakukan introspeksi yang 
sungguh-sungguh, mengambil tindakan yang benar-benar efektif untuk mencegah 
lonjakan beruntun wabah virus corona di negerinya demi menyelamatkan nyawa 
ratusan ribu masyarakat, dan tidak lagi melakukan “pembantaian massal”. Itulah 
nasihat seluruh dunia kepada AS yang sampai saat ini masih belum terbangun dari 
mimpi buruknya.












Kirim email ke