-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>

https://news.detik.com/kolom/d-5253585/chaos-yang-menyelamatkan-kita?tag_from=wp_cb_kolom_list






Kolom

"Chaos" yang Menyelamatkan Kita

Nia Perdhani - detikNews

Jumat, 13 Nov 2020 14:57 WIB

4 komentar

SHARE
URL telah disalin
Nia Perdhani (Foto: dok. pribadi)

Jakarta -

Tak terasa delapan bulan sudah pandemi Corona mengobrak-abrik sebagian besar 
tatanan hidup kita. Berbagai upaya yang dilakukan untuk menekan laju penyebaran 
virus telah membawa dampak serius pada perekonomian. Tidak hanya pemerintah 
kita, pemerintah di seluruh dunia saat ini pasti juga sama pusingnya menyusun 
strategi menyelamatkan ekonomi sekaligus mengendalikan pandemi.

Di Indonesia meski presiden berkali-kali menunjukkan nada khawatir pada ancaman 
resesi ekonomi, tapi secara kasat mata perekonomian kita masih tampak baik 
saja. Indikasinya antara lain harga barang-barang kebutuhan pokok sampai detik 
ini tetap stabil dan tidak ada kelangkaan. Pasar-pasar tradisional maupun 
supermarket masih relatif ramai. Iklim sosial terasa aman dan kondusif, 
pertanda sebagian besar rakyatnya kenyang dan cukup makan.

Kita bahkan masih bisa menyaksikan ada orang-orang yang memborong barang-barang 
kemudian merusak atau membuangnya dan dengan itu mereka berkhayal sedang 
melakukan aksi boikot produk-produk Prancis.

Di tengah suara-suara khawatir akan krisis, masyarakat kita ternyata sangat 
lembam dan tahan banting di bidang ekonomi. Kalau Anda berpendapat kelembaman 
ini karena keberhasilan pemerintah mengelola ekonomi, saya agak kurang sepakat. 
Tapi itu bisa kita bahas lain waktu. Justru kelembaman ini adalah kebetulan 
yang datang dari ketiadaan aturan. Bagaimana bisa begitu?

Saya teringat beberapa waktu yang lalu mengobrol dengan dosen saya via daring 
tentang kondisi sosial masyarakat kita. "Kita ini sudah terbiasa dengan 
disorder, chaos, dan segala turunannya. Di Singapura, kalau ada bangjo (lampu 
lalu lintas) mati, polisi harus segera turun tangan untuk mengatur rekayasa 
lalu lintas agar tidak terjadi kecelakaan. Di kita, bangjo mati berhari-hari 
aman saja tidak ada tabrakan," tutur dia waktu itu.

Nah, dalam konteks kelembaman ekonomi kita, ternyata chaos dan disorder itu 
juga telah mengambil peran penting! Begini. Struktur ekonomi kita sebagian 
besarnya ditopang oleh usaha-usaha kecil dan mikro dengan segala 
karakteristiknya yang khas. Mereka mandiri, berbasis rumah tangga, tradisional, 
dan tidak terikat peraturan. Dan, oleh karenanya,mereka memiliki daya adaptasi 
yang tinggi.

Misalnya, waktu pemerintah menerapkan PSBB ketat, para tukang sayur segera 
mengubah cara kerjanya dengan mengantarkan langsung belanjaan dari rumah ke 
rumah sesuai pesanan yang masuk melalui Whatsapp. Atau, ketika seorang buruh 
pabrik hari ini terkena PHK, beberapa hari kemudian ia bisa langsung banting 
setir memulai usaha baru jualan cilok. Atau, seorang pedagang kain batik bisa 
langsung banting setir jualan rendang karena tak ada lagi orang berbelanja kain 
pada saat seperti ini.

Semua orang bisa dengan mudah memulai kegiatan usaha sederhana untuk tetap 
memperoleh penghasilan. Dan, semua itu bisa terjadi justru karena negara tidak 
pernah menerapkan standar peraturan yang ketat untuk usaha kecil dan mikro. 
Meskipun, ini juga bukannya tidak menimbulkan efek samping negatif juga. 
Ketiadaan aturan (atau ada ,tapi tidak dijalankan dengan baik) ini juga 
seringkali menimbulkan efek negatif.

Tapi, siapa yang peduli dengan efek samping yang masih bisa dikesampingkan saat 
standar minimal "asal semua perut kenyang" saja hampir sulit dicapai?

Coba bayangkan. Saya pernah membaca cerita seorang WNI yang tinggal di Perth 
tentang bagaimana jalan yang harus dilaluinya untuk berdagang semangka, padahal 
semangka itu adalah hasil kebunnya sendiri. Untuk bisa berjualan semangka di 
pasar, aneka dokumen harus ia urus terlebih dahulu. Dari izin usaha, asuransi 
produk, sertifikasi pengolahan dan pengemasan, hingga mendaftar ke kantor pasar 
dan lain sebagainya. Panjang prosesnya.

Cerita serupa saya dengar dari kawan yang tinggal di Prancis. Untuk menjual 
rempeyek buatannya sendiri saja dia tidak berani terang-terangan. Dia harus 
melakukannya dengan sangat terbatas di lingkungan kawan-kawan dekat sesama WNI 
saja. Karena untuk bisa berdagang apalagi makanan di sana sangatlah ruwet 
urusannya. Saya yakin kisah-kisah serupa akan kita dengar dari warga 
negara-negara maju lainnya.

Pada saat keadaan normal, tentu saja pengaturan-pengaturan ketat seperti itu 
menguntungkan negara, lingkungan, maupun masyarakat. Dari segi pajak, misalnya. 
Dengan sistem administrasi yang ketat, pajak dari para pengusaha ini akan 
terpungut dengan rapi, negara jelas diuntungkan. Dari segi pengaturan 
penggunaan ruang juga sama. Sistem administrasi yang rapi memungkinkan alokasi 
penggunaan lahan sesuai dengan rencana tata ruang.

Dari sisi masyarakat pun diuntungkan karena mereka memperoleh jaminan produk 
yang beredar kualitasnya pasti baik. Tidak akan ada cerita saos tomat yang 
dibuat dari singkong dan tomat busuk serta banyak-banyak natrium benzoat 
beredar bebas di pasaran di negara-negara seperti itu.

Tapi di saat krisis, hal-hal seperti itu menjadi sangat menyulitkan. Ketika 
gerai-gerai retail gulung tikar, ada orang-orang yang kehilangan pekerjaan. 
Ketika perusahaan melakukan pengetatan, ada orang-orang yang tiba-tiba 
kehilangan sumber penghasilan. Orang-orang itu tentu saja membutuhkan kemudahan 
untuk segera berpindah ke sumber penghasilan yang lain. Semakin lama mereka 
tidak berpenghasilan, semakin berat negara harus menanggung hidup mereka.

Nah, situasi yang terbiasa chaos itu rupanya telah banyak menguntungkan kita. 
Bayangkan kalau untuk jualan pecel atau rempeyek saja harus melalui izin 
ini-itu --berapa banyak waktu dan sumber daya yang harus tersita?

Pada saat tidak ada krisis kita seringkali dibuat iri dengan kemajuan ekonomi 
negara-negara tetangga yang melaju cepat. Singapura, misalnya. Dari suasana 
kotanya saja kita bisa langsung merasakan bedanya negara maju dengan negara 
yang ingin maju tapi nggak maju-maju. Semua rapi dan teratur. Dari tata 
kotanya, sistem administrasinya, sampai perilaku warganya.

Belum lagi apabila dilihat dari berbagai indikator ekonomi makro lainnya. 
Rasanya kok rumput di sana tumbuh lebih hijau dan subur daripada suket teki di 
negeri kita. Tapi, dhuaarr, ketika pandemi mengobrak-abrik semuanya, sadarlah 
rupanya justru segala ketiadaan aturan ini malah bisa membuat kita sebagai 
masyarakat bertahan lebih baik dibanding mereka. Singapura yang maju itu 
terhantam lebih keras akibat pandemi. Kontraksi ekonominya minus hingga lebih 
dari 12% --terdalam sepanjang sejarah negeri itu.

Ini semacam kita sedang memperoleh berkah dari regulasi yang tidak ada atau 
tidak berjalan dengan baik yang justru karenanya keadaan kita jadi baik-baik 
saja. Setidaknya kita tidak terpuruk seperti ketika krisis moneter 1998. Ya, 
memang ada peran subsidi besar-besaran dari pemerintah untuk mempertahankan 
daya beli masyarakat. Tapi semua itu tidak akan berpengaruh maksimal apabila 
masyarakatnya tidak responsif dan adaptif terhadap situasi.

Dan, situasi "terbiasa tidak diatur" itulah yang telah membentuk masyarakat 
kita adaptif sehingga lebih kuat bertahan.

Nia Perdhani esais, pelaku usaha kecil mikro bidang makanan

(mmu/mmu)





Kirim email ke