Pada hemat saya, ranah inilah yang semenstinya menjadi fokus perhatian umat 
Islam, yaitu munculnya fenomena “benturan antar Islam”, bukan 
seperti yang dilangsir oleh Samuel P. Huntington, “benturan 
antarperadaban”. Pun tesis Huntington ini acap kali disimpulkan secara 
gegabah: benturan antara Islam dan Barat. Tesis ini dengan mudah dijadikan 
sebagai dalih untuk membenarkan bahwa konflik yang secara lahiriah terjadi 
dalam umat Islam, namun merupakan konspirasi Barat.
Demokrasi memang telah disemai di kawasan Timur Tengah. Namun dinamika baru itu 
sepertinya tak membawa harapan yang baru di sana. Kemajuan peradaban Islam yang 
pernah berjaya di kawasan Timur Tengah, agaknya sulit terlahir kembali. Inilah 
pesimisme yang saya tangkap setelah mengamati dinamika politik, sosial dan 
keagamaan di gugusan negeri yang pernah melahirkan para Nabi. Pada dekade 
terakhir ini, umat Islam di sana berkubang dalam lumpur yang sama; konflik 
politik yang campur-aduk dengan agama. Teori dan perangkat politik modern 
seakan tak berdaya, menghantam kerasnya budaya dan karakter Arabisme. 

Beberapa negeri yang membuka kran demokrasi seperti Irak, Libanon, dan 
Palestina, saat ini malah terjebak konflik saudara. Sedangkan negeri-negeri 
yang masih terjamin stabilitasnya karena diperintah kekuasaan yang tiran, 
seperti Mesir, Syiria, dan beberapa negari Teluk tinggal menunggu `bom 
waktu’ yang bisa meledak bila ada pergantian kekuasaan. 

Sayang, kedaifan mereka melihat masalah internalnya, tidak diakui secara 
kesatria dan jujur. Konflik dan benturan dituduhkan sebagai hasil dari 
konspirasi negeri-negeri jiran dan Barat. Padahal kita tahu, yang namanya pihak 
dan kebijakan yang sering sebut “Barat” itu tidak pernah seragam 
menyikapi umat Islam di Timur Tengah. Ia kambing hitam belaka. 

Bagi saya teori konspirasi ini memiliki andil yang besar memupuk kejahilan dan 
menumpulkan daya kritis nalar umat Islam dalam melihat persoalan internal. 
Padahal jika mau sedikit jujur konflik yang saat ini tersebar di kawasan Timur 
Tengah, antara Syiah dan Sunni, Arab dan Persia, hakikatnya mengulangi 
pengalaman sejarah umat Islam di masa silam. 

Saya ingin mengutip komentar dari Abul Fatah al-Syahrastani dalam karyanya yang 
termasyhur, al-Milal wa al-Nihal (Aliran-aliran Keagamaan). Menurutnya, 
a’dzam al-khilâf bayna al-ummah khilâf al-imâmah (politik adalah sengketa 
terbesar dalam sejarah umat Islam). Dari kitab al-Syahrastani ini saya ingin 
memeras dua poin. Pertama, benturan yang terjadi antar Islam lebih banyak 
terjadi daripada benturan antar umat Islam dengan kelompok lain. Kedua, 
benturan tersebut meski acap kali berjubah teologi, namun wujud sebenarnya 
adalah sengketa politik. 

Kitab al-Syahrastani ini secara khusus mengupas munculnya aliran-aliran 
teologis dalam agama Islam. Namun menurut dia, “pedang yang terhunus 
karena perbedaan agama tak sebanding dengan persengketaan politik.” 
Al-Syahrastani meninggal pada medio abad ke-6 Hijriyah (12 Masehi). Tepatnya 
tahun 548 H. Dimana Perang Salib yang banyak diasumsikan sebagai babak benturan 
paling dahsyat antara Barat dan Islam telah terjadi satu abad sebelumnya: 11 
Masehi. Namun kitab al-Syahrastani ini tetaplah menyorot sengketa internal umat 
Islam yang telah memanjang selama enam abad. 

Bila membaca kitab ini lagi, ia serasa baru ditulis kemaren pagi walaupun usia 
sebenarnya sembilan abad. Pasalnya di hari ini kita bisa menyaksikan 
konflik-konflik berdarah antar umat Islam di beberapa belahan dunia dengan 
mudah. Konflik bersenjata antara kelompok Sunni-Syiah di Irak dan Libanon, 
Hamas-Fatah di Palestina, kelompok Milisi Islam dan pemerintah sementara di 
Somalia. 

Pada hemat saya, ranah inilah yang semenstinya menjadi fokus perhatian umat 
Islam, yaitu munculnya fenomena “benturan antar Islam”, bukan 
seperti yang dilangsir oleh Samuel P. Huntington, “benturan 
antarperadaban”. Pun tesis Huntington ini acap kali disimpulkan secara 
gegabah: benturan antara Islam dan Barat. Tesis ini dengan mudah dijadikan 
sebagai dalih untuk membenarkan bahwa konflik yang secara lahiriah terjadi 
dalam umat Islam, namun merupakan konspirasi Barat.

Saya tak hendak membela Barat, karena kepentingan dan harapan saya terhadap 
umat Islam lebih besar dari pada harapan saya terhadap Barat. Namun saya 
mengutuk pola pikir yang saat ini menjamur di kalangan umat Islam. Teori 
konspirasi tidak akan pernah melahirkan solusi guna menghadapi permasalah, 
malah akan semakin menjerumuskan pada “lingkaran setan” yang tak 
berawal dan berakhir.

Dalam buku yang berjudul Dirâsah Li Syuqûth Tsalâtsîn Dawlah Islâmiyah (Studi 
Atas Jatuhnya Tiga Puluh Nagara Islam) yang ditulis Dr Abd Halim Uwais 
menunjukkan bentuan antarpuak Islamlah menjadi faktor utama dari jatuhnya 
pemerintahan dinasti Islam. Ada saja sebab-sebab perpecahan itu. Meskipun 
mereka menganut satu agama (Islam), namun dicerai-beraikan perbedaan kabilah, 
etnik, dan orientasi teologis.

Dinasti Umayyah di Damaskus Syria jatuh bukan karena serangan Imperium Romawi 
atau Persia, namun oleh Dinasti Abbasiyah. Demikian juga Dinasti Umayyah di 
Andalusia Spanyol yang kejatuhannya diratapi sebagai “Firdaus yang 
Hilang” (al-firdaws al-mafqûd) diruntuhkan oleh Dinasti Amiriyah yang 
selanjutnya di kawasan ini bertikai para Dinasti Islam: Dinasti Murabith dan 
Muwahid. 

Dinasti Abbasiyah yang tegak selama kurang lebih 5 abad memang dijatuhnya oleh 
tentara Mongol pada tahun 1258. Namun menurut Dr Uwais tadi, tentara Mongol 
menyerang sebuah kekuasaan yang telah lemah: setelah Dinasti ini digerus 
kekuasaannya oleh dinasti-dinasti yang melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyah. 

Namun saya berbeda pendapat dengan faktor lain yang dikemukakan oleh Dr Uwais 
mengenai jatuhnya Dinasti Abbasiyah yaitu hilangnya ruh jihad. Padahal, menurut 
hemat saya, umat Islam waktu itu memiliki konsep jihad, namun kebablasan; 
memerangi saudara sendiri yang satu agama, satu etnik, dan dihitungnya sebagai 
jihad! 

Begitu halnya Bagdad yang jatuh ke Amerika pada Maret 2003, karena dipicu 
invasi Saddam terhadap Kuwait, 1990. Saddam juga mengobarkan perang terhadap 
Iran dan berseteru dengan Saudi Arabia. Fakta lain: faktor terbesar semakin 
menipisnya harapan terhadap negara bernama Palestina, tidak hanya disebabkan 
kebengisan Israel, namun juga perpecahan antara Hamas dan Fatah. Meski di 
negeri itu sudah digelar demokrasi, namun perbedaan diselesaikan melalui 
cara-cara milisi. Pun demikian yang terjadi saat ini di Libanon: barisan 
penentang dari Kaum Syiah, barisan pemerintah dari kaum Sunni. Dan sepanjang 
sejarah di negeri ini, perang saudara sering dimanfaatkan oleh Israel.

Ke depan di kawasan Timur Tengah yang akan mempengaruhi Dunia Islam secara umum 
munculnya benturan antara Poros Iran-Syria dan Hamas yang berusaha merebut 
pengaruh dari Liga Arab yang dikuasasi rezim-rezim otoriter terutama Mesir dan 
Saudi. 

Di sini label politik lawas: Sunni dan Syiah akan terus bertarung atas nama 
agama. Benturan ini akan mengulangi sejarah 14 abad yang lalu. Dimana tiga dari 
empat pemimpin Islam yang Lurus (al-Khulafâ’ al-Râsyidûn) terbunuh 
gara-gara persoalan politik: Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin 
Abi Thalib. Dua nama terakhir dibunuh oleh orang Islam sendiri yang selanjutnya 
memunculkan dua golongan besar pendukung mereka: Sunni dan Syiah. 

Walhasil, inilah yang perlu diwaspadai oleh umat Islam ke depan: benturan yang 
terjadi antarumat Islam sendiri: benturan antar Islam, bukan benturan Islam 
dengan yang lain.

Sumber: GATRA Nomor 16, 1 Maret 2007

--
http://www.richie.it.tc

Hulondalo Kid

Kirim email ke