Dear All Gm2020.

Kenapa pemerintah SBY-JK ngotot menaikkan harga BBM? Ternyata, hal itu 
dilakukan agar segera mencapai tingkat harga yang diinginkan oleh pemain asing. 
Jadi kenaikan BBM itu tidak untuk rakyat dan tidak juga untuk menyelamatkan 
APBN.

Demikian disampaikan Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia, saat 
berbicara di depan ratusan peserta acara diskusi Forum Kajian Sosial 
Kemasyarakatan ke 38, bertema BBM Naik, SBY-JK Turun?, di Jakarta, Senin (19/5).

Menurut Ismail, kesimpulan itu berdasarkan pernyataan dari Menteri Energi dan 
Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro yang ditulis di Kompas, 14 Mei 
2003. Purnomo mengatakan, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan 
bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, 
liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. 
Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”

Meski pernyataan itu sudah lama, tapi menurut Ismail kita baru menemukan 
faktanya sekarang. “Ini ironi, kita membeli minyak milik kita sendiri di 
halaman rumah kita, dengan harga yang ditentukan oleh asing, ” ujar Yusanto.

Saat ini saja, tambahnya, mengutip pernyataan Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin 
Arifin Takhyan, di Majalah Trust (edisi 11/2004), terdapat 105 perusahaan yang 
sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka 
stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU). Perusahaan migas raksasa itu antara 
lain British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), 
Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).

Hal yang sama juga disampaikan Ketua Serikat Pekerja Pertamina, Abdullah Sodik. 
Menurutnya, problem kelangkaan BBM itu sebenarnya diakibatkan oleh rusaknya 
sistem yang diberlakukan pemerintah, yang membuka peluang privatisasi 
pengelolaan gas. “Serta memberikan kewenangan kepada perusahaan asing dan 
domistik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak. Bahkan dibiarkan 
juga untuk menetapkan harga, ” ujarnya.

Wajar bila kemudian, tambah Sodik, minyak dan gas yang ada di Indonesia ini 
sebagian besar dikuasai asing. Tercatat dari 60 kontraktor, 5 di antaranya 
dalam kategori super major, yakni ExxonMobil, ShellPenzoil, TotalFinaEIf, 
BPAmocoArco, dan ChevronTexaco, yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan 
gas 80 persen. Selebihnya masuk kategori Major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, 
Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, yang menguasai cadangan minyak 18 
persen dan gas 15 persen. “Sedangkan perusahaan independent menguasi cadangan 
minyak 12 persen, dan gas 5 persen, ” terang Sodik.

Melihat fakta itu logis bila kemudian kita mengalami masalah dengan BBM. Logis 
pula bila rakyat banyak yang menolak rencana pemerintah menaikan harga BBM 
bersubsidi itu. Sebab rakyat lah akan menjadi korban akibat kebijakan yang 
tidak populis ini.

”Saya juga tidak setuju kenaikan BBM, ” ujar Abdullah Sodik. “Kita harus 
menyadari minyak bumi itu bukan dibuat oleh pemerintah. Tapi minyak bumi itu 
dibuat oleh Allah. Karena itu rakyat berhak mendapatkan subsidi. Kenapa ketika 
pemerintah menyubsidi rakyat sendiri pemerintah kalang kabut, ” tambahnya.

Ekonom Tim Indonesia Bangkit, Hendri Saparini, juga tidak sepakat bila harga 
BBM dinaikkan. Pertimbangannya adalah ekonomi. Ketika pemerintah mengatakan 
kita akan kolaps kalau tidak segera menaikkan harga BBM, maka publik harus tahu 
bahwa yang dimaksud kolaps menurut pemerintah itu adalah APBN. Sementara APBN 
itu terhadap kue ekonomi besarnya hanya 20 persen. “Jadi kalau harga BBM 
dinaikan, maka yang kena dampaknya 80 persen adalah rumah tangga dan industri, 
” ujarnya.

Hendri mengatakan, kalau ada kenaikan harga minyak dunia, jika memang 
pemerintah itu akan menyelamatkan APBN maka semestinya pos yang boleh dikotak 
katik tidak hanya subsidi BBM. Karena kita punya pos-pos lain yang dalam 
kondisi darurat mestinya bisa direvisi. “Kenapa yang halal hanya subsidi BBM, 
kenapa pembayaran utang luar negeri menjadi tidak halal, ” ujar Hendri heran.

Ismail menegaskan ini semua terjadi karena adanya liberalisasi di sektor migas, 
yang merupakan bagian dari liberalisasi ekonomi, liberalisasi politik, 
liberalisasi sosial, budaya, pendidikan. Inilah yang harus dilawan. Sebab 
Indonesia makin hari makin menuju kepada negara liberal. “Dan siapa yang 
menjadi korban, kita semua, ” terangnya.

Solusi

Seperti dikatakan Hendri Saparini, pemerintah seharusnya tidak menaikan harga 
BBM, sebab masih banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan 
APBN, terkait meningkatnya harga minyak dunia itu. Peserta Diskusi Forum Kajian 
Sosial Kemasyarakatan ke 38 mengusulkan solusi jangka pendek yang bisa 
dilakukan pemerintah:

Pertama, pemotongan bunga rekap di APBN sebesar 40-60 triliun.

Kedua, pemotongan bunga utang 95 triliun,

Ketiga, Winfall profit dari hasil minyak bumi tidak perlu dibagi ke daerah, 
tetapi digunakan untuk menutupi subsidi BBM.

Keempat, membatalkan kontrak/nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan 
minyak asing.

Dan kelima, mengubah sistem pengelolaan BBM, gas, batu bara dan energi lainnya 
dari swasta ke pengelolaan negara.

Terkait dengan wacana nasionalisasi perusahaan asing, Hendri Saparini 
mengatakan, “Kita memang selalu sering dicekoki bahwa nasionalisasi itu tidak 
boleh. Padahal banyak fakta, ketika negara lain melakukan nasionalisasi tidak 
ada masalah...Fakta terbaru, Inggris barus saja melakukan nasionalisasi bank 
–nya. Jadi jangan kita kemudian ditakut-takuti oleh sesuatu yang sebenarnya itu 
bisa terjadi di negara-negara maju, ” ujar Hendri.

Bukan hanya nasionalisasi, kata Hendri, kita juga selalu ditakut-takuti siapa 
pun yang menjadi presidennya dia pasti menaikan harga BBM. Padahal jawabannya 
tidak. “Pertama untuk beban subsidi misalnya, sekarang ini PLN masih 
menggunakan BBM. Kalau kemudian kita mengganti dengan gas maka tidak perlu ada 
tambahan subsidi. Masih juga ada hal lain. Jadi tidak sama. Bukan siapa pun 
presidennya akan menaikkan BBM, tapi kalau kebijakannya sama maka akan 
menaikkan BBM juga, ” ujar Hendri.

Ismail Yusanto mengatakan, kesalahan utama pengelolaan migas dan SDA kita 
adalah terjadinya transpormasi atau perpindahan dari State Business Management 
ke Coorporate Business Management. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah 
mengembalikan bagaimana agar entitas negara itu kembali menjadi pilar utama 
pengelolaan SDA, termasuk migas. Untuk itulah, katanya perlu dilakukan 
perubahan total atas UU migas dan PMA yang ada. Juga perubahan atas mind set 
ideologi yang ada. [LI/Abu Ziad]

Presiden Venezuela Hugo Chavez adalah pemimpin yang berjiwa Nasionalis dan 
berani mengambil sikap dengan Kemajuan Ekonomi Rakyatnya. Kapan Indonesia 
memiliki Presiden Seperti Chavez ?

Semoga Pemilu 2009 Nanti menelurkan Pemimpin yang Berjiwa Nasionalis dan 
Religius, Tapi siapakah Pemimpin tersebut ?

Wassalam


Taufik Polapa



      

Kirim email ke