Mungkinkah dari warga gm2020 bisa belajar dari Sumirah ??




Friday, 19 September 2008  
SURABAYA-Menjadi tukang pijat belumlah cukup. Sumirah nyambi jadi 
tukang sol sepatu, penjahit, dan pekerja pabrik. Sebagian hasil 
keringatnya itu ia gunakan untuk membangun madrasah, masjid, musala, 
dan mengurus anak yatim. Ternyata, beramal tidak harus menunggu kaya.
Penolakan halus langsung diucapkan Sumirah, pimpinan Panti Asuhan 
Yatim Piatu Amanah, Rungkut, Surabaya saat akan diwawancarai Surya 
untuk tulisan ini. "Saya ini apalah mbak, kok pakai diwawancarai. 
Masih banyak yang lebih bagus, lebih pintar dan lebih hebat,Eelaknya 
saat ditemui di Panti Asuhan Amanah sekaligus rumahnya di Jalan 
Pandugo Gg II Nomor 30 B, Rungkut, Senin (15/9) lalu.

Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan 
pengusaha sukses. Namun kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki 
segelintir orang di abad ini.

Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti 
asuhan. Ia mendirikan madrasah, masjid, dan musala di kampungnya, 
Pacitan. Mungkin juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak 
yatim dengan menjadi tukang pijat panggilan.

Rasa empati Sumirah sudah terpupuk sejak kecil. Ia terbiasa bergaul 
dengan anak-anak yatim asuhan almarhum Atmorejo, ayahnya. "Saat itu 
ada 100 anak yatim dan anak-anak lain yang berlatih ilmu kanuragan 
(kebatinan) di rumah. Mereka semua? tinggal di rumah,Ekata ibu lima 
anak ini.

Secara materi Sumirah kecil tercukupi, namun didikan ayahnya tidak 
membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD dia sudah menjadi tukang 
pijat alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya 'ditabung' 
di musala di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan.

"Saat itu saya masih ingat nasihat ayah. 'Kalau kamu punya rezeki, 50 
persen untuk kamu dan 50 persen lagi untuk musala. Pasti rezeki itu 
akan barokah',Ekenangnya.

Pesan almarhum ayahnya terus diingat Sumirah. Setiap rupiah 
dihasilkan, selalu disisihkan untuk musala. Begitu pula ketika 
orderan memijat merambah hingga Madiun, bahkan Semarang. 

Saat SMP, Sumirah dan kakaknya hijrah ke Jakarta. Di kota megapolitan 
ini Sumirah tidak tertarik mencicip pekerjaan lain. Ndilalah, 
kemampuan memijatnya tersohor hingga ke Jawa Barat. Pada 1986, 
Sumirah dan suami mencari peruntungan di Surabaya. Di kota ini, 
selain tetap memijat, ia bekerja di pabrik PT Horison Sintex 
(sekarang Lotus). Ia hanya masuk pabrik hari Selasa, Rabu, dan Kamis.

Namun dua profesi itu belum cukup. Merasa waktunya masih senggang, 
Sumirah mencari pekerjaan sampingan. Ia menjadi tukang sol sepatu, 
menjahit baju, dan tukang keriting rambut. "Karena pekerjaan banyak, 
rata-rata saya hanya tidur dua jam sehari. Mijat saja sehari hingga 
20 kali,Eakunya sambil tersenyum.

Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia 
mengantongi Rp 2 juta. Namun limpahan uang itu tidak membuatnya 
mabuk. Uang itu dialirkan untuk membangun madrasah, musala-musala, 
dan masjid di desanya. Sumirah enggan menyebut nama-nama musala itu. 
nanti saya ndak di-ridhoi kalau pamer,Etukasnya.

Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa 
dilewati karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya mem-paving 
seluruh jalan itu. Walhasil, rencana naik haji seketika batal karena 
simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.
"Saya tidak pernah menyimpan uang di bank. Bukan apa-apa, tapi karena 
tanda tangan saya tidak pernah sama. Itu tentu tidak boleh, kan,E
katanya.

Hidup Sumirah teruji saat dia melihat banyak anak telantar di sekitar 
kampungnya. Dia nekat menampung 54 anak yatim itu di rumahnya yang 
berukuran? 2,5 meter x 13 meter. "Sebagian dari mereka saya kos-kan di 
depan rumah. Saya sewa tiga kamar,Ekatanya.

Masalah datang ketika anak asuhnya ndableg dengan menghabiskan air 
dan sabun milik ibu kos. Sekitar pukul 21.00 WIB, anak-anak itu 
diusir. "Mereka saya tampung di rumah saya. Jadi, mereka tidur sambil 
duduk,Ekata Sumirah. 

Esoknya, Sumirah mencari kontrakan untuk mereka. Tawaran kontrakan Rp 
4 juta ditolak karena Sumirah tak punya duit. Di tengah kesulitan, ia 
berdoa. Mendadak ada semacam dorongan untuk menghubungi Pak Triyono, 
dermawan dari Barata Jaya. Sumirah kaget, Pak Triyono memberinya 
zakat maal (zakat kekayaan) sejumlah Rp 4 juta. agar
tidak mengganggu penduduk kampung, pagi-pagi sekali kami pindahan,E
katanya. 

Panti Asuhan Amanah, kini menampung 60 anak yatim, dibangun Sumirah 
tahun 1996. Mereka kanak-kanak hingga remaja. Belum lama ini Sumirah 
mengasuh balita yang ditinggal mati bapaknya. Amelia, balita itu, 
sekarang berumur sembilan bulan. "Oh ya, Saya sudah menikahkan 13 anak 
sini, 16 Oktober 2008 nanti saya mantu lagi,Eujarnya dengan mata 
berbinar.

Untuk mencukupi hidup anak asuhnya, Sumirah tidak mengandalkan 
bantuan donatur yang sebagian adalah pelanggan pijatnya. Selepas 
subuh, anak yatim itu berdagang kelapa kupas, sayuran, dan bumbu. 
Sumirah dan suami juga membuka toko kelontong.

Mengakhiri kisahnya, Sumirah sempat bilang, pergunakanlah mata hati.
Banyak orang pintar yang belum tentu mengerti.E/MUSAHADAH



Kirim email ke