*~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~*
 {  Sila lawat Laman Hizbi-Net -  http://www.hizbi.net     }
 {        Hantarkan mesej anda ke:  [EMAIL PROTECTED]         }
 {        Iklan barangan? Hantarkan ke [EMAIL PROTECTED]     }
 *~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~*
          PAS : KE ARAH PEMERINTAHAN ISLAM YANG ADIL
 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Aslkm,

Ini sahih dari para shubahat dan pemfitnah  Wahabi...memang pengotor dan 
bermoral rendah seolah -seolah dia tak pernah baca kitab Ash'riyah atau 
sambil lewa dan reka yang tidak ada. Orang yang tak mengaji mudah percaya. 
Taktik Wahabee memang licik macam taktik CIA berdepan muka dia tak mahu dia 
main belakang..belakang..CIA = MOZAD (Jewish Intelligence).

Kalau nak tengok bab usul bagi orang WAHABI amatlah mudah sekali..depan mata 
boleh tengok dalam TV:--

Setiap bulan Ramadhan tunggu tengah malam TV1 ada live telecast Tarawikh, di 
Mekah..setiap tahun lihatlah tuan dan puan macam mana Arab Wahabi 
sembahyang. Kalau perhatikan ada yang tengah QIAM ,tengok Jam, ada yang 
korek telenga, ada yang sapu janggut, ada yang bergerak tangan betulkan 
jubah, gerak kiri kanan. Tapi yang Paling best sekali tengah QIAM Arab 
WAHABI..tangan kiri sedap garu TELOR dia yang gatal!!!! kerok-kerok 5, 6 
kali..nampak tangan kiri pegang Jubah kawasan telur ..betul TAK????? Apakah 
Sebabnya ???:==

Sebab bab Usulludin dia hancur!! TIDAK DAPAT mentauhidkan Allah SWT...tidak 
dapat Nikmat mendirikan solat, solat hanya mengikut sunnah tidak faham apa 
sebab sunnah itu , tidak ada Ilmu dalam sembahyang, yang paling Jahil pada 
Wahabi TIDAK MENGENAL YANG DI SEMBAH!!!main sembah-sembah ikut sedap nafsu 
dia..

Wahabi's usulludin:== Uluwiyah & Rubbubiyah entah benda ana pun tak 
tahu..Pun TIDAK ADA dalam Quran dan Sunnah, di Reka khas oleh Mohammad Abdul 
Wahab di bawah nasihat British Agent untuk melemahkan Usul dan Iman Umat 
Islam supaya senang di takluki , kini Marketing Executives WAHABI berada di 
Malaysia nak menjual product yang tak laku!!!

Amin...























>From: "k b" <[EMAIL PROTECTED]>
>To: [EMAIL PROTECTED]
>Subject: H-Net* Aqidah Ahlu Sunnah vs. Ash-Ash'ariyah
>Date: Thu, 21 Dec 2000 00:50:37
>
>
>*~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~*
>{  Sila lawat Laman Hizbi-Net -  http://www.hizbi.net     }
>{        Hantarkan mesej anda ke:  [EMAIL PROTECTED]         }
>{        Iklan barangan? Hantarkan ke [EMAIL PROTECTED]     }
>*~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~*
>          PAS : KE ARAH PEMERINTAHAN ISLAM YANG ADIL
>~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
>
>Assalamu alaikum,
>
>Artikel Islam - Pusat Informasi dan komunikasi Islam Indonesia
>
>
>          Assalamu'alaikum Wr.Wb.
>
>            PERBEDAAN POKOK ANTARA AQIDAH ASY'ARIAH dengan AQIDAH
>            AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH
>
>            Disebut aqidah Asy'ariah karena pencetus awalnya adalah Al-Imam 
>Abu al-Hasan al-Asy'ari. Pada awalnya beliau adalah tokoh firqah Mu'tazilah 
>(paham rasionalisme) sebelum beliau bertaubat kembali
>kepada pemahaman Manhaj Salaf, karena sejak kecil beliau diasuh oleh Bapak 
>angkatnya yang juga sebagai tokoh Mu'tazilah pada masa itu yakni Abu Ali 
>al-Jubba'i. Maka tidak heran jika beliau juga menjadi tokoh Mu'tazilah pada 
>waktu itu disebabkan kecerdasan yang beliau miliki atas karunia Allah 
>Ta'ala. Kemudian atas taufiq dari Allah  Ta'ala, beliau menyadari atas 
>kekeliruannya selama ini dan dengan ijin Allah jua beliau mengoreksi 
>kembali dan memberikan bantahan atas penyimpangan-penyimpangan pemahaman 
>Mu'tazilah yang beliau  kagumi selama 40 tahun. Walau, tatkala itu beliau 
>pun masih  menonjolkan akal dalam menyergah faham-faham Mu'tazilah. Dan itu 
>merupakan proses perjalanan panjang pemikiran dan keyakinan Abu  Al-Hasan 
>Al-Asy'ari yang akhirnya berujung pada sikapnya untuk kembali kepada ajaran 
>yang haq, yakni berpegang kepada pemahaman salaf.
>            Dalam mengomentari perkembangan pemikiran Al-Imam Abu Al-Hasan 
>Al-Asy'ari, Al-Imam Ibnu Katsir berkata, "Mereka menyebut bahwa Abu   
>Al-Hasan Al-Asy'ari memiliki tiga tahapan :
>            Pertama :
>            Memegangi paham Mu'tazilah dimana kemudian beliau taubat tak
>            diragukan lagi.
>            Kedua :
>            Menetapkan tujuh sifat bagi Allah berdasarkan akal yakni: 
>Al-Hayat, Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah, As-Sam'u, Al-Bashar, Al-Kalam dan
>menta'wil sifat-sifat khabariyah seperti, wajah Allah, tangan Allah, kursi 
>Allah dan lain-lain.
>            Ketiga :
>            Menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih sesuai 
>dengan pemahaman as-Salaf sebagaimana dalam kitab Al-Ibanah 'An Ushul   
>Ad-Dieniiyah yang merupakan tulisan terakhirnya. (Dan kitab ini merupakan 
>taubat dan kembalinya beliau kepada Manhaj Salaf-pen)
>            Pengaruh Mu'tazilah yang sangat kuat membawanya melalui tahapan 
>kedua sebelum akhirnya kembali pada madzhab salaf yang murni. Meski 
>demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh beliau dikala belum 
>kembali kepada manhaj yang haq, hingga kini masih bergulir dan digeluti 
>oleh banyak kaum muslimin. Dan yang paling menonjol  diantara faham yang 
>pernah diajarkannya adalah berkenaan dengan  penetapan 7 sifat wajib bagi 
>Allah dan 7 sifat mustahil bagi Allah.
>            Dan yang kemudian dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 
>13  sampai 20 sifat. Dan bila ditelusuri lebih lanjut, nyatalah bahwa 
>penetapan sifat wajib dan mustahil bagi Allah sebanyak tujuh sifat
>merupakan penetapan beliau berdasarkan akal. Padahal, untuk masalah-masalah 
>yang menyangkut eksistensi Allah, segala penetapannya harus bersandar 
>kepada apa yang telah dikhabarkan oleh
>            Allah Ta'ala melalui firmanNya dan RasulNya shallallahu 'alaihi 
>wa salam melalui hadits-haditsnya yang shahih dengan tanpa ta'thil, takyif, 
>tahrif, tasybih atau tamsil. Oleh karena itu, ada
>            kesalahpahaman yang sempat melanda kaum muslimin, baik dulu 
>maupun
>            sekarang. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa aqidah 
>Asy'ariyah
>            tidak berbeda dengan aqidah Ahlussunnah, atau mereka itulah
>            Ahlusunnah yang sesungguhnya.
>            Perlu diketahui bahwa Asy'ariyah dalam masalah aqidah, telah
>            melewati masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka 
>dengan
>            Ahlussunnah. Terutama setelah para tokohnya yang datang 
>terakhir
>            memasukkan prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari 
>filsafat,
>            tasawuf, mantiq dan ilmu kalam. Pada gilirannya Asy'ariyah 
>tercemari
>            oleh pemikiran-pemikiran bathil. Mereka (Asy'ariyah) sejalan 
>dengan
>            Ahlusunnah dalam beberapa masalah aqidah dan berbeda dalam 
>beberapa
>            perkara lainnya. Beberapa masalah penting yang menjadi 
>perbedaan
>            antara Asy'ariyah dengan Ahlussunnah adalah :
>            Pertama :
>            Penafsiran makna "Tauhid" yang dibatasi pada "Tauhid Rububiyah" 
>dan
>            kelalaian mereka dari Tauhid Uluhiyah dan Ibadah.
>            Kita telah memahami bahwa para rasul datang mendakwahkan Tauhid
>            Uluhiyah. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya' : 25, 
>"Dan
>            Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan 
>Kami
>            wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada yang diibadahi 
>(dengan
>            haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu akan Aku."
>            Inilah tauhid yang menjadi tujuan diciptakannya jin dan 
>manusia,
>            sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56 
>:
>            "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya 
>mereka
>            beribadah kepada-Ku."
>            Manhaj Asy'ari dalam Tauhid Uluhiyah tidaklah jelas. Hal ini 
>karena
>            beberapa sebab diantaranya adalah :
>            1. Definisi Al-Ilah yang mereka artikan sebagai "Yang Maha 
>Kuasa
>            untuk mencipta" seperti disebutkan oleh Al-Baghdadi yang dia
>            nisbatkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
>            2. Kitab-kitab karangan mereka dalam hal aqidah tidak membahas
>            Tauhid Uluhiyah secara khusus. Bahkan para tokoh Asy'ariyah 
>dalam
>            tulisan-tulisan mereka menggunakan cara-cara ahli filsafat atau 
>ahlu
>            kalam. Mereka memulai tulisan-tulisannya dengan
>            pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran 
>nyata
>            berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan
>            filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) 
>tidak
>            memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal 
>adalah
>            qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat 
>sekitar
>            kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal 
>dari
>            filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya 
>tertumpu
>            pada penetapan Tauhid Rububiyah.
>            3. Asy'ariyah menetapkan bahwa kewajiban pertama bagi mukallaf
>            (orang yang sudah mencapai masa baligh) adalah an-Nazhar 
>(melihat)
>            untuk menetapkan wujud Allah dan akhirnya keesaan Allah dalam 
>dzat
>            dan perbuatan. Bukan berarti Ahlusunnah mengenyampingkan Tauhid
>            Rububiyah, tetapi orang-orang Asy'ariyah telah memulai dengan 
>suatu
>            hal yang tidak dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu
>            'alaihi wa salam. Sebab Tauhid Rububiyah adalah fitrah,
>            hampir-hampir tidak ada yang mengingkari secara keseluruhan
>            melainkan sedikit. Tidak pernah kita mengenal suatu umat yang
>            sepakat untuk mengingkari Tauhid Rububiyah, kalaulah ada kita 
>akan
>            dapatkan dalam kisah-kisah para nabi. Sebaliknya kesesatan 
>berbagai
>            umat, firqah atau kelompok terdapat pada penentangan terhadap 
>Tauhid
>            Uluhiyah.
>            4. Sebagai akibat dari penafsiran tauhid yang dibatasi pada 
>Tauhid
>            Rububiyah oleh Asy'ariyah secara umum, kita jumpai bermacam 
>bid'ah
>            dalam ibadah bahkan perbuatan syirik atau membela perbuatan 
>syirik
>            pada orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada 
>Asy'ariyah. Ini
>            karena sikap remeh dan menganggap enteng Tauhid Uluhiyah. 
>Disamping
>            itu Asy'ariyah memang memiliki hubungan lama dengan Sufiyah.
>            Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebut lima tabaqat (generasi) 
>orang-orang
>            yang menisbatkan diri mengambil dari Abu Al-Hasan Asy'ari. Dari
>            setiap tabaqat (generasi) terdapat orang yang ber-intisab 
>kepada
>            sufi.
>            Kedua :
>            Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan 
>kepastian-kepastian
>            akal dari pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam perkara-perkara 
>ghaib,
>            I'tiqad dan sifat-sifat Allah.
>            Beberapa permasalahan penting yang menjadi kesepakatan 
>Asy'ariyah,
>            Maturidiyah, Mu'tazilah dan Jahmiyah adalah mendahulukan akal
>            daripada wahyu. Kaidah mereka dalam hal ini diungkap oleh 
>Al-Juwaini
>            dan Ar-Razi dan juga yang lainnya, yaitu dalil naqli tidak
>            memberikan faedah berupa keyakinan, karena dalil naqli sifatnya
>            zhanni sedang dalil aqli sifatnya qath'I (pasti), perkara yang
>            bersifat zhanni (dugaan) tidak bisa menentang yang qath'i.
>            Oleh karena itu, lihatlah di dalam majlis-majlis mereka dalam
>            membahas perkara-perkara agama sedikit sekali mereka 
>menggunakan
>            cara-cara Ahlusunnah dalam menyampaikan ilmu dien yakni cara 
>ahlu
>            hadits/ ahlu atsar. Kebanyakan mereka berbicara tentang agama 
>dengan
>            kepastian kebenaran akal. Bisa jadi pembahasan satu ayat 
>Al-Qur'an
>            atau hadits Nabi, ditakwilkan dengan berbagai macam-macam 
>bentuk
>            penakwilan agar dapat diterima oleh akal-akal mereka dan 
>memuaskan
>            hawa nafsunya. Mereka memulai penyampaian ilmu dengan
>            pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran 
>nyata
>            berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan
>            filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) 
>tidak
>            memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal 
>adalah
>            qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat 
>sekitar
>            kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal 
>dari
>            filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya 
>tertumpu
>            pada penetapan Tauhid Rububiyah
>            Ketiga :
>            Asy'ariyah tenggelam dalam ta'wil sifat-sifat Allah yang telah
>            dilarang oleh para salaf as-Shalih
>            Asy'ariyah dan para pengikutnya seperti Maturidiyah dan
>            lain-lainnya. Mereka, dalam mengimani masalah Asma' dan Sifat 
>Allah
>            adalah dengan menetapkan nama-nama Allah dan sebagian sifat-Nya
>            serta menolak sebagian besarnya. Mereka menetapkan nama-nama 
>dan
>            menolak sebagian besar sifat-sifat Allah berdasarkan kesesuaian 
>akal
>            manusia. Mereka menetapkan sifat tujuh bagi Allah yakni 
>Al-Iradah,
>            Al-Qudrah, Al-'Ilmu, Al-Hayah, Al-Bashar, As-Sama', dan 
>Al-Kalam.
>            Mereka meyakini sifat-sifat yang mereka tolak itu bila 
>ditetapkan
>            (menurut mereka) akan terjadi tasybih (penyerupaan dengan 
>makhluk).
>            Mereka katakan, "Kami menetapkan sifat tujuh bagi Allah ini 
>lantaran
>            secara akal memang demikian."
>            Cobalah lihat cara mereka menetapkan sifat-sifat Allah itu 
>dengan
>            logika: "Dengan adanya makhluk, berarti menunjukkan bahwa Allah 
>itu
>            Al-Qudrah (memiliki sifat kuasa). Kemudian, dengan adanya 
>makhluk
>            yang mempunyai kekhususan masing-masing menunjukkan Allah itu
>            mempunyai sifat Al-Iradah (berkehendak). Selanjutnya, dengan 
>ihkam
>            (keserasian penciptaan) makhluk menunjukkan Allah itu mempunyai
>            sifat Al-Ilmu (berilmu). Dan semua sifat-sifat Al-Ilmu, 
>Al-Qudrah,
>            Al-Iradah menunjukkan Allah itu hidup (Al-Hayyu) dan hidup 
>tentunya
>            mempunyai sifat Al-Bashar (melihat), As-Sam'u (mendengar), 
>Al-Kalam
>            (berbicara). Inilah sifat yang sempurna, kemudian meletakkan
>            sifat-sifat yang berlawanan dengan hal-hal di atas, seperti 
>bisu,
>            buta, dan tuli sebagai sifat terlarang bagi Allah."
>            Adapun sifat-sifat Allah yang lain yang mereka tolak karena 
>tidak
>            cocok dengan akal mereka. Mereka menolak sifat-sifat itu dengan 
>cara
>            menakwil dengan merubah makna asli kepada makna yang lain. 
>Ta'wil
>            yang mereka lakukan khususnya pada sifat-sifat khabariyah 
>seperti
>            tangan, mata, wajah, istiwa', nuzul (turunnya Allah ke langit
>            dunia), benci, ridha dan lain-lain. Asy'ariyah tidak 
>mengimaninya
>            seperti kedatangan kabar-kabar tentang itu sebagaimana yang
>            dilakukan oleh Salaf as-Shalih. Tetapi mereka mena'wil dan
>            memalingkan lafazh-lafazhnya dari bentuk zhahirnya. Hal ini 
>menurut
>            mereka karena adanya tajsim (menjasmanikan) dan tamsil
>            (menyerupakan). Mereka lalai bahwa akibat dari perbuatan ini 
>berarti
>            mereka telah berbuat tahrif (penyimpangan) pada kalam Allah dan
>            mena'wil maknanya. Mereka juga berkata tentang Allah tanpa 
>dilandasi
>            ilmu dan keharusan-keharusan lainnya (perangkat dalam memahami 
>ilmu
>            agama) akibat dari perbuatan ta'wil serta menafikan (menolak) 
>sikap
>            penyerahan terhadap Allah. Bagaimana mungkin Allah memberitakan
>            tentang diri-Nya atau Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam 
>dengan
>            sesuatu yang tidak layak atau mengharuskan tasybih dan tajsim,
>            kemudian baru dapat disingkap kebenarannya oleh ahlu kalam 
>setelah
>            abad III hijriyah. Tidak mungkin pemahaman yang benar tentang
>            sifat-sifat Allah itu terlepas dari para shahabat, tabi'in dan 
>salaf
>            al-Ummah yang lainnya. Padahal Allah telah menutup pintu 
>tasybih dan
>            tamsil dengan firmanNya yang artinya :
>            "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang 
>Maha
>            Mendengar lagi Maha Mengetahui." (As-Syura: 11)
>            Kaidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam menyikapi tentang 
>khabar-khabar
>            yang datang dari Allah dalam kitab-Nya dan apa yang telah
>            diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam yang 
>tertera
>            dalam kitab-kitab hadits yang shahih adalah wajib untuk 
>diimani,
>            baik dipahami maknanya atau tidak, sebagaimana firman Allah 
>dalam
>            surat An-Nisa':136 yang artinya :
>            "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah 
>dan
>            Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada 
>Rasul-Nya,
>            serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang 
>kafir
>            kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
>            kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat 
>sejauh-jauhnya." (
>            An-Nisa' : 136 )
>            Atau surat An-Nisa' : 170 yang artinya :
>            "Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad
>            shallallahu 'alaihi wa salam) itu kepadamu dengan (membawa)
>            kebenaran dari Rabbmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih 
>baik
>            bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak 
>merugikan
>            Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di 
>bumi
>            itu adalh kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui 
>lagi
>            Maha Bijaksana." (An-Nisa' : 170 )
>            Dalam hal ini, apa yang sudah disepakati oleh Salaf al-Ummah 
>dan
>            imam-imam Ahlussunnah yang menerima nash-nash yang berhubungan
>            dengan asma' dan sifat, seperti bersemayam (istiwa'), tangan
>            (al-yad) dengan tanpa tahrif, ta'thil, takyif, tasybih atau 
>tamsil.
>            Mentauhidkan Allah dalam asma dan sifat-sifat-Nya termasuk 
>perkara
>            yang amat besar dalam pembahasan ilmu ushuluddin. 
>Pendapat-pendapat
>            para ahli filsafat dan ahli Ilmu Kalam telah rancu dan simpang 
>siur
>            dalam masalah ini. Ada yang menafikan sama sekali, ada yang 
>mengakui
>            asma Allah secara mujmal tapi menafikan sifat-sifat-Nya dan ada 
>pula
>            yang mengakui kedua-duanya (asma dan sifat) tetapi menolak
>            sebagiannya dan mentakwilnya dengan mengubah makna dan 
>lafazhnya.
>            Dalam masalah ini, Salafush Shalihin mengimani seluruh apa yang 
>ada
>            pada Kitabullah dan yang disebutkan dengan Sunnah yang shahih 
>tanpa
>            tahrif (menyimpangkan lafazh kepada lafazh yang lain), ta'thil
>            (mengurangi/menolak), takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya),
>            tasybih (penyerupaan dengan makhluk) atau tamsil. Mereka 
>meyakini
>            bahwa asma Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya bersifat tauqifiyah 
>(apa
>            adanya dari Allah dan Rasul-Nya) tak boleh ditetapkan (itsbat) 
>atau
>            ditolak (dinafikan) kecuali dengan izin syara'. Yakni mereka 
>tidak
>            mengitsbat asma dan sifat untuk Allah kecuali asma dan sifat 
>yang
>            Allah itsbatkan sendiri dan yang diitsbatkan Rasul untuk 
>diri-Nya
>            dengan izin Allah. Dan bahwa asma dan sifat yang telah tetap 
>bagi
>            Allah ialah bahwa Dia tidak menyerupai sesuatupun dari 
>makhluk-Nya,
>            bahkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang tetap bagi Allah 
>yang
>            disebutkan oleh nash-nash yang jelas adalah khusus buat-Nya 
>saja.
>            Jika ada asma yang ditetapkan bagi Allah tetapi juga dimiliki
>            makhluk-Nya, maka persamaan tersebut hanya dalam lafazh, tidak 
>dalam
>            hakikat. Karena dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak sama 
>dengan dzat-dzat selain Allah, maka sifatnya pun demikian, karena Allah itu 
>tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya baik pada dzat maupun sifat-Nya. 
>Seperti contoh di dalam firman-Nya bahwa Allah mempunyai tangan 
>(yaddullah), ini berarti bahwa tangan Allah berbeda dengan tangan 
>makhluk-Nya. Hanya sama dalam lafazh tetapi berbeda dalam  hakikat. 
>Sebagaimana kata Ibnu Abbas yang artinya :
>            "Tidaklah sama apa-apa yang di surga dengan apa yang ada di 
>dunia kecuali hanya sama dalam masalah nama." (Sanadnya shahih. Lihat  
>dalam Taqrib at_tadmuriyah, hal. 42)
>
>            Dan dalam hadits Qudsi dengan sanad yang shahih yang artinya : 
>"Telah Kami siapkan untuk hamba-Ku yang shalih apa-apa (nikmat surga) yang 
>tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak juga didengar oleh telinga dan 
>tidak pernah terdetak di hati manusia." Padahal  Allah telah mengkhabarkan 
>di dalam Al-Qur'an tentang kenikmatan di   surga, seperti Allah 
>memberitakan, dalam surga itu ada makanan,   minuman, pakaian, istri-istri, 
>rumah, kurma, anggur, buah-buahan, daging, arak, susu, madu, air, emas, 
>perka, dan lain-lain.
>            Berita-berita tersebut benar dan benar-benar ada. Walau 
>nama-nama tersebut sama dengan apa yang ada di dunia tetapi hakikatnya 
>berbeda, kita tidak mengetahuinya. Apalagi tentang nama-nama dan  
>sifat-sifat Allah Yang Maha Suci, tentu Allah Yang Maha Tahu tentang   
>hakikat diri-Nya.
>            Mengenai pembatasan sifat-sifat Allah menjadi beberapa 
>bahagian, misal sifat wajib dan mustahil bagi Allah atau sifat wajib bagi 
>Allah ada 13 atau 20, hal ini sangat bertentangan dengan hukum    syara' 
>dan kaidah salafush-shalih. Karena Allah lah yang mengetahui tentang 
>diri-Nya sendiri bukan makhluk-Nya. Karena jika sifat Allah  dibatasi 
>berarti hilang lah kesempurnaan bagi Allah, karena dengan   pembatasan 
>tersebut berarti mengurangi kesempurnaan bagi Allah Yang  Maha Sempurna. 
>Sekiranya Allah menyebutkan tentang diri-Nya dalam Asma-ul Husna, maka kita 
>wajib mengimani apa adanya dengan tanpa pembatasan, mengurangi atau 
>menambah, takwil, penyimpangan makna  dll. Maka kita wajib mengimani 
>apa-apa yang diterangkan Allah di dalam kitab-Nya yang mulia (Al-Qur'an) 
>dan petunjuk Rasul-Nya.  Sedangkan makhluk-Nya mengetahui asma dan sifat 
>Allah hanya sebatas  asma-asma dan sifat-sifat Allah yang Allah terangkan 
>di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Selain itu Allah lah Yang Maha 
>Tahu.
>
>            Dalam menyikapi akal sebagai karunia yang diberikan oleh Allah  
>kepada manusia, maka manhaj Ahlussunnah memberikan penjelasan yang  
>gamblang dan terang. Kita mengetahui bahwa akal adalah media pengetahuan 
>yang terbatas yang tak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib kecuali 
>dengan gambaran semata, tidak sampai yakin. Para  salafush shalihin 
>mengimani apa yang diberitakan oleh nash Al-Qur'an dan sunnah Nabi-Nya yang 
>mulia dalam perkara-perkara ghaib dengan tidak mencoba-coba memikirkan 
>hakikat sebenarnya, karena hal itu di luar jangkauan akal. Membatasi akal 
>dari memikirkan perkara-perkara seperti itu bukan berarti membelenggunya 
>secara keseluruhan, karena kaum muslimin telah sepakat bahwa seorang anak 
>kecil dan orang gila tidak terkena taklif (beban syari'at) lantaran akalnya 
>kurang. Allah juga menyuruh kita untuk mentadaburi kitab-Nya, dan tadabur 
>ini  tidak mungkin kecuali dengan akal. Akal hanya dilarang digunakan untuk 
>masalah yang bukan bidangnya atau digunakan untuk menarik kesimpulan bagi 
>manhaj (metodologi) yang bertentangan dengan manhaj  Al-Qur'an dan Sunnah. 
>Sikap salafush-shalihin dalam mensyukuri  nikmat akal sebagai karunia dari 
>Allah adalah bahwa mereka tidak  mengunggulkan akal, tidak menuhankannya 
>dan tidak menganggapnya  cukup dan berdiri sendiri, tetapi mereka 
>menempatkan fungsi akal    sesuai dengan kedudukannya. Mereka menggunakan 
>akal dalam
>batas-batas wilayahnya, seperti dalam mentafakuri alam, dalam 
>masalah-masalah fikih (amaliah) dan dalam menemukan ilmu-ilmu yang bersifat 
>kebendaan yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan  masyarakat. Inilah 
>kesempurnaan ilmu dan jangkauan pandangan serta     selamatnya pemikiran 
>mereka. Seandainya akal dijadikan penafsir seluruh masalah, maka tak perlu 
>Rasul-Rasul diutus dan tak perlu kitab-kitab suci (kitab-kitab samawi) 
>diturunkan. Wallahu a'lam
>            Sumber : Majalah Assunah edisi 19/II/1417-1996
>            Penerbit : Lajnah Istiqamah - Surakarta
>
>
>Copyright © Al-Islam 1998
>Jl. Pahlawan Revolusi, No 100, Jakarta 13430
>Telpon: 62-21-86600703, 86600704, Fax: 62-21-86600712
>E-Mail: [EMAIL PROTECTED]
>
>_________________________________________________________________________
>Get Your Private, Free E-mail from MSN Hotmail at http://www.hotmail.com.
>
>
>~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
>( Melanggan ? To : [EMAIL PROTECTED]   pada body : SUBSCRIBE HIZB)
>( Berhenti ? To : [EMAIL PROTECTED]  pada body:  UNSUBSCRIBE HIZB)
>( Segala pendapat yang dikemukakan tidak menggambarkan             )
>( pandangan rasmi & bukan tanggungjawab HIZBI-Net                  )
>( Bermasalah? Sila hubungi [EMAIL PROTECTED]                    )
>~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
>
>Pengirim: "k b" <[EMAIL PROTECTED]>

_________________________________________________________________________
Get Your Private, Free E-mail from MSN Hotmail at http://www.hotmail.com.


 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
 ( Melanggan ? To : [EMAIL PROTECTED]   pada body : SUBSCRIBE HIZB)
 ( Berhenti ? To : [EMAIL PROTECTED]  pada body:  UNSUBSCRIBE HIZB)
 ( Segala pendapat yang dikemukakan tidak menggambarkan             )
 ( pandangan rasmi & bukan tanggungjawab HIZBI-Net                  )
 ( Bermasalah? Sila hubungi [EMAIL PROTECTED]                    )
 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pengirim: "minyak 7 sirih" <[EMAIL PROTECTED]>

Kirim email ke