Anda terdaftar dengan alamat: arch...@mail-archive.com

e-JEMMi -- Kontekstualisasi 1
No.36, Vol.15, September 2012

SEKILAS ISI
ARTIKEL MISI: PRINSIP-PRINSIP KONTEKSTUALISASI
DOA BAGI MISI DUNIA: KENYA
DOA BAGI INDONESIA: TEROR DI SOLO

Shalom,

Menyampaikan berita Injil merupakan tugas yang memerlukan pendekatan khusus 
dalam implementasinya. Yesus sendiri dengan jelas mengatakan bahwa kita diutus 
seperti domba ke tengah-tengah serigala. Jika sebagai domba, anak-anak Tuhan 
tidak memiliki strategi, tentu tugas itu menjadi misi bunuh diri. Allah 
mengetahui hal ini sehingga Ia melanjutkan nasihat-Nya dengan, "... hendaklah 
kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." Nasihat ini menunjukkan 
bahwa Allah ingin kita mengadakan 'penyesuaian' dalam penginjilan. Penyesuaian 
seperti apakah yang dimaksudkan dalam penginjilan? Hal-hal apa saja yang 
membutuhkan penyesuaian dalam penginjilan? Kami berharap sajian kami dalam 
edisi 36 ini, akan memberikan tambahan pengertian mengenai kontekstualisasi 
dalam pelayanan. Selamat membaca, Tuhan memberkati.

Redaksi Tamu e-JEMMi,
Berlian Sri Marmadi
< http://misi.sabda.org/ >


ARTIKEL MISI: PRINSIP-PRINSIP KONTEKSTUALISASI

Istilah kontekstualisasi pertama kali dicetuskan oleh Aharon Sapaezian dan 
Shoki Coe, kepada direktur Theological Education Fund WCC pada tahun 1972. 
Karena menilai bahwa indegenisasi teologi (memaksa budaya lokal untuk 
menyesuaikan dengan budaya lain) tidak memadai, maka konsep kontekstualisasi 
diangkat untuk mengusahakan indegenisasi teologi dengan menerima input proses 
sekularitas, teknologi, serta pergumulan demi hak asasi manusia yang merupakan 
"The Historical Moment of Nations in the Third World".

Charles Taber (seorang penginjil) melihat kontekstualisasi sebagai "usaha 
memahami dengan serius setiap konteks kelompok manusia dengan segala dimensi 
budaya, agama, sosial, politik, ekonomi, untuk menemukan bagaimana Injil/cara 
Injil berbicara kepada mereka .../Injil dibawa/diberi bungkusan yang 
kontekstual".

James O. Buswell III (seorang Injili) mengusulkan 3 bidang cakupan 
kontekstualisasi.
1. Kontekstualisasi orang yang menyampaikan/sumber kesaksian itu sendiri 
(Inculturation).
2. Kontekstualisasi jemaat dan pemimpinnya (Indigenization).
3. Kontekstualisasi firman (Trasnlation & Ethnotheology).

Pendekatan-pendekatan terhadap kontekstualisasi.

1. Akomodasi Profetik (Prophetic Accomodation) -- Pihak Ekumenisme

Menekankan pada peniruan terhadap Yesus dan para rasul. Wahyu tidak didapat 
dari dalam kitab suci, tetapi dari konteks sosial budaya. Wahyu tidak ditemukan 
dalam proporsi verbal suatu kitab, tetapi "in the pressure of the market place" 
atau dalam tekanan yang muncul dari objek yang dilayani (Hesselgrave).

2. Akomodasi Sinkretistik (Syncretistic Accomodation) -- John Hick dan Beberapa 
Teolog Asia

Pendekatan ini diusulkan WWC karena apresiasi agama-agama lain yang menyatakan 
bahwa pada dasarnya semua agama adalah sama. Isi kepercayaan iman agama lain 
diberi interpretasi kristologis ataupun memiliki makna kristologis. Kristus 
"terselubung" dalam iman agama lain.

3. Akomodasi Apostolik (Apostolic Accomodation) -- Rata-Rata Orang Injili

Menekankan sifat Injil yang suprakultural. Kontekstualisasi mencari 
implikasi-implikasi Injil yang sah dalam situasi tertentu. Implikasi yang 
memang dituntut Kitab Suci mengusahakan "penyuguhan" Injil yang menggunakan 
bahasa dan pola pikir daerah tertentu tanpa mengorbankan isi dan inti teks.

Faktor-faktor yang menimbulkan/menuntut kontekstualisasi.

1. Dominasi Budaya

Kesadaran bahwa misi barat bukan saja membawa Injil, melainkan juga menuntut 
adopsi budaya barat dalam proses misi mereka.

2. Teologi Barat yang Tidak Relevan

Istilahnya, agenda dan program yang dimasak di luar negeri telah disadari tidak 
cocok untuk situasi lain. Kegagalan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang 
tidak ditanyakan di dunia ketiga.

3. Gerakan-Gerakan Nasionalisme

Kemerdekaan dari imperialisme dan kolonialisme negara-negara barat sekaligus 
membawa akibat nasionalisasi lembaga-lembaga, termasuk gereja.

4. Contoh-Contoh Alkitab

Kisah Para Rasul 15, Yerusalem mengusulkan kontekstualisasi trans-suku dengan 
menganjurkan agar orang-orang non-Yahudi menghindari praktik-praktik yang 
menghalangi terjangkaunya orang-orang Yahudi oleh Injil.

Situasi Asia yang kompleks.

1. Teologi di Asia sedang mencari identitasnya.

2. Kesulitan pengungkapan warna teologi Asia akibat ketergantungan dunia barat 
selama berabad-abad.

3. Hampir semua agama lahir di Asia, sehingga banyak budaya identik dengan 
agama.

4. George Peters, seorang misiologi Injil mengatakan bahwa agama-agama di Asia 
bersifat Agnostik (Allah itu tidak bisa dikenal), Relativistik (semua ajaran 
tidak absolut), Sinkretisme (setiap agama memiliki kebenaran yang terbatas), 
dan Pragmatis (cukup mengambil unsur-unsur yang berguna dari kepercayaan 
tertentu).

Tempat kelahiran agama-agama di Asia.

1. Semitis: Judaisme, Kristen, Islam
2. India: Hindu, Budha
3. Cina: Konfusianisme, Taoisme
4. Jepang: Shintoisme
5. Korea: Shamanisme
6. Persia: Zoroastrianisme

Isu-isu penting.

1. Kontekstualisasi bukan hanya sekadar komunikasi, melainkan soal sifat hakiki 
Injil itu sendiri.

2. Dalam lingkup tertentu, diskusi kontekstualisasi hanya terbatas pada 
sinkretisme.

3. Kontekstualisasi berkaitan erat dengan tradisi dan "pembaruan" dalam 
gereja-gereja.

4. Masalah adanya konflik antara teologi biblika dan teologi kontekstual.

5. Mengingat bahaya sinkretisme, bahaya mereduksi isi Injil/wahyu untuk cocok 
dengan tuntutan budaya. Reformasi Luther merupakan penolakan atas suatu bentuk 
sinkretisme.

6. Dari dalam negeri, terjadi bahwa ada kelompok yang ingin mempertahankan pola 
gerejawi yang memang hasil impor.

7. Kegagalan membedakan isi Injil yang suprakultural dan bentuk ekspresinya 
dalam budaya tertentu.

8. Keberhasilan dalam membedakan isi dan ekspresi yang kontekstual.

Cakrawala kontekstualisasi.

1. Teolog sebagai individu mengusahakan kontekstualisasi.

2. Komuni gereja yang berkontekstualisasi secara otentik 'K' merupakan tanggung 
jawab gereja lokal. Perlu dibedakan bahwa 'K' (berteologi) di Barat baru 
berlangsung jika dituangkan ke dalam tulisan, catatan kaki. Di dunia timur 
melalui cerita, simbol-simbol.

3. Gereja yang melakukan ini mengasumsikan bahwa:
* Kebutuhan mereka dipenuhi Yesus.
* Jemaat itu merupakan badan yang bersaksi.
* Menerima aspek-aspek budaya yang berkenan kepada Yesus.
* Mengonfirmasi aspek budaya yang berbahaya bagi kesehatan iman.

4. Gereja yang berkontekstualisasi seharusnya:
* Menganalisis diri: apakah memiliki karunia untuk itu.
* Mempelajari budaya: apakah budaya itu aktual/alkitabiah/melawan Alkitab.
* Menafsirkan firman: setia kepada isi berita.

5. Kontekstualisasi yang sah (tanpa kehilangan sifat teologi biblika, Injil, 
dan relevan) harus mengeksegesis teks (wahyu) dan konteks (budaya)/atau bisa 
dengan istilah melakukan eksegesis terhadap firman (word) dan terhadap dunia 
(world). Yang terpenting bukanlah di mana kontekstualisasi itu, melainkan apa 
yang dikontekstualisasikan.

6. Teolog Injili yang dilengkapi ilmu tafsir yang komplet dengan keyakinan akan 
wahyu yang tepat dan disertai pimpinan Roh Kudus, memang lebih peka terhadap 
teks dan konteks. Karena itu, mereka berkontekstualisasi teologia.

Prinsip-Prinsip Umum Kontekstualisasi

1. Menjaga Keseimbangan

Kuncinya adalah memelihara semacam keseimbangan. Jika tidak, maka 
kontekstualisasi akan menghadapi sejumlah masalah, baik yang bersifat teologis 
maupun praktis.

a. Kontinuitas -- Diskontinuitas

Kontinuitas dilakukan terhadap kebenaran mutlak dan kebudayaan yang masih 
relevan dengan masyarakat setempat. Dan, diskontinuitas dilakukan terhadap 
segala bentuk kontaminasi religi maupun tradisi.

b. Missiologis -- Teologis

Kontekstualisasi menghadapi pergumulan ganda, yaitu bagaimana Injil bisa 
diterima (Komitmen Missiologis) dan bagaimana Injil dijaga kemurniannya 
(Komitmen Teologis). Tetapi, sepertinya adanya kecenderungan berat sebelah, 
kehilangan keseimbangan. Kadang lebih cenderung ke komitmen teologis, kadang 
sebaliknya. Menekankan salah satu berarti hanya memenuhi salah satu panggilan 
Tuhan. Komitmen missiologis memenuhi Amanat Agung (Matius 28:19-20), sedangkan 
komitmen teologis memenuhi Ibadah Agung (Ulangan 5:7-10). Tekanan para 
misiologis saja melahirkan kompromis, sinkritis yang berakibat pada pelanggaran 
terhadap Ibadah Agung. Sebaliknya, tekanan pada teologis saja menyebabkan 
statis karena kontekstualisasi dan akibatnya tidak melaksanakan Amanat Agung 
sepenuhnya.

c. Perbesaran -- Persamaan

Sebagai komunitas baru, orang-orang Kristen memunyai cara hidup baru yang 
berpusat pada "Worldview" (Pandangannya) yang baru. Oleh orang-orang pada 
umumnya, kekristenan dilihat sebagai "cara hidup yang baru". Dengan kata lain, 
kekristenan menghapus persamaan dan melahirkan perbedaan antara non-Kristen dan 
Kristen. Perbedaan semacam itu perlu dipertahankan secara radikal sekalipun 
untuk kepentingan dua hal. Pertama, demi kemurnian Injil, dan yang kedua untuk 
memberi pilihan lain kepada individu non-Kristen. Jika tidak ada perbedaan, 
maka tidak ada alasan bagi mereka untuk menjadi orang Kristen. Logikanya akan 
berkata, "Kalau ternyata sama, mengapa harus menjadi orang Kristen?" Dengan 
demikian, jelas bahwa perbedaan akan memberi pilihan dan tawaran baru bagi 
mereka yang belum Kristen.

d. Kreatif -- Persuasif

Dalam dunia penginjilan, kontekstualisasi bukanlah tujuan, melainkan cara yang 
dipakai untuk mencapai tujuan. Tujuan kontekstualisasi bukan supaya ada 
kontekstualisasi, melainkan supaya ada hasil penginjilan yang lebih besar. Agar 
hal itu terjadi, maka diperlukan kreativitas yang persuasif. Kreatif -- 
persuasif bagaikan dua sisi mata uang logam yang tidak bisa ditiadakan salah 
satunya. Kreatif berkenaan dengan pendekatan, sedangkan persuasif berkenaan 
dengan pemberitaan. Pendekatan tanpa pemberitaan bukan berarti penginjilan. 
Sedangkan pemberitaan tanpa pendekatan berarti sia-sia. Oleh sebab itu, 
kontekstualisasi yang menjaga keseimbangan kedua hal tersebut akan lebih banyak 
memberi harapan.

2. Menjaga Kesinambungan

Tujuan penginjilan kontekstual adalah pendirian gereja yang kontekstual. 
Sedangkan tujuan pendirian gereja yang kontekstual adalah penginjilan yang 
kontekstual dan begitulah seterusnya. Kurang dari itu bisa disebut 
ketidakseimbangan. Penginjilan kontekstual yang tidak menghasilkan gereja yang 
kontekstual, tidak akan melahirkan gereja baru yang kontekstual. Jika tidak ada 
gereja baru yang kontekstual, maka tidak akan ada penginjilan yang kontekstual. 
Sebab, jenis gereja baru yang ada ditentukan oleh jenis gereja lama yang sudah 
ada.

3. Menguji Keabsahan

Pertama, apakah kata Alkitab? Maksudnya untuk menghindari sinkritisme maupun 
teosentrisme, dan tetap pada posisi Kristusentris. Inilah dasar penilaian 
pertama. Kedua, apa kata kelompok sasaran? Sebagai kelompok sasaran, penilaian 
dan anggapan mereka terhadap suatu pendekatan harus benar-benar diperhatikan 
dan dipertimbangkan. Sebab, faktor inilah yang menjadi kunci penentu, apakah 
akhirnya mereka menerima atau menolak berita yang disampaikan. Ketiga, apa kata 
diri sendiri? Ini juga unsur yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan. 
Sebagai pemberita, apakah pendekatan yang dipakai telah melanggar hati nurani 
sendiri? Jika jawabannya "Ya", maka Anda perlu mengubah pendekatan.

4. Mengantisipasi Perubahan

Kontekstualisasi memiliki dua masalah sekaligus dari dalam dan dari luar. Dari 
dalam disebut sinkritisme, sedang dari luar disebut modernisasi. Modernisasi 
adalah suatu proses perubahan yang diusahakan guna mencapai kebudayaan yang 
lebih modern. Menurut definisi ini, modernisasi boleh dikatakan merupakan 
ancaman kontekstualisasi di masa yang akan datang. Modernisasi bisa membuat apa 
yang telah dirumuskan oleh kontekstualisasi sekarang menjadi tidak relevan di 
masa yang akan datang, dengan adanya transformasi yang dimotori oleh 
modernisasi. Ciri utama modernisasi bukanlah gaya hidup yang kebarat-baratan, 
melainkan rasionalisasi. Tegasnya, modernisasi adalah pergeseran dari yang 
bersifat irasional menuju kepada hal yang bersifat rasional.

Prinsip-Prinsip Khusus Kontekstualisasi

1. Menilai Diri Sendiri

a. Apakah Cukup Terbeban

1. Apakah Anda cukup lama berdoa untuk kelompok orang tersebut?
2. Apakah Anda sudah cukup lama berdoa untuk tempat tersebut?
3. Apakah Anda sudah cukup lama berdoa untuk membawa keluarga Anda ke tempat 
tersebut?
4. Apakah Anda sudah cukup lama berdoa untuk mendapat dukungan pelayanan dari 
orang-orang untuk ke tempat tersebut?
5. Apakah Anda sudah cukup lama memikirkan segala kemungkinan yang terjadi?
6. Apakah Anda sudah memutuskan meski apa pun yang terjadi?
7. Apakah Anda rela kehilangan sesuatu demi pelayanan tersebut?
8. Apakah Anda rela tinggal bersama-sama dengan mereka di tempat itu?
9. Apakah Anda siap untuk mendapat dukungan dari siapa saja?
10. Apakah Anda siap tidak mendapatkan dukungan dari siapa saja?
11. Apakah Anda siap berbahasa seperti orang-orang di tempat tersebut?
12. Apakah Anda bersedia berpakaian seperti orang-orang tersebut?
13. Apakah Anda bersedia makan makanan orang-orang di tempat tersebut?
14. Apakah Anda akan tetap bertahan di tempat tersebut?
15. Apakah Anda akan dikubur di tempat tersebut?

b. Apakah Anda Cukup Berkarunia

Yang dikatakan cukup berkarunia meliputi dua dimensi, yaitu dimensi spiritual 
yang adalah kerelaan melayani, dan dimensi sosial yakni kondisi yang memadai. 
Kontekstualisasi memerlukan kondisi yang memadai dari si pelaku dengan target 
kelompok yang diinjili. Jika kurang dari itu, bisa disebut kurang cukup 
berkarunia. Suatu contoh, orang Jawa yang ingin menjangkau suku Tionghoa, atau 
sebaliknya orang Tionghoa perkotaan yang ingin menginjili orang Jawa di 
pedesaan.

2. Menilai Unsur-Unsur Budaya

a. Unsur-Unsur Budaya yang Netral

Berbicara tentang unsur-unsur budaya yang tidak diajarkan oleh Alkitab dan juga 
tidak bertentangan dengan Alkitab itu sendiri.

b. Unsur-unsur Budaya yang Bertentangan dengan Alkitab

Kebudayaan biasanya bercampur dengan budaya lokal. Kebudayaan semacam itulah 
yang sering kali bertentangan dengan Alkitab. Di sinilah pentingnya mempelajari 
setiap unsur budaya masyarakat yang menjadi kelompok sasaran.

3. Mengenal Kelompok Sasaran

Dalam siasat perang, mempelajari keadaan lawan merupakan bagian dari 
kemenangan. Demikian juga dalam penginjilan, mengenali kelompok sasaran 
merupakan bagian dari keberhasilan. Sebab, dengan mengenal kelompok sasaran, 
seorang utusan Injil bisa merumuskan sesuatu pendekatan yang relevan.

4. Pendekatan Multi Konteks

a. Pendekatan Melalui Pintu Agama

Selama ini, kelihatannya para utusan Injil berfokus pada lintas budaya daripada 
lintas agama. Padahal, keduanya memiliki kedudukan yang sama penting dan 
strategis dalam kaitannya dengan menjangkau orang yang belum percaya. Maka dari 
itu, baik pendekatan budaya maupun pendekatan agama sama-sama mencari dan 
mengamati berbagai titik celah keagamaan, yang dapat menjadi peluang bagi Injil 
untuk dikontekstualisasikan. Bedanya, pendekatan agama selalu menuntut 
pertobatan dari agama lama, sedangkan pendekatan budaya tidak selalu menuntut 
pertobatan dari budaya lama.

b. Pendekatan Melalui Budaya

Ada 3 pola perkembangan yang sering terjadi, antara lain: agama menelan budaya, 
budaya menelan agama, dan agama memakai budaya. Yang pertama tidak 
kontekstualisasi, yang kedua korban kontekstualisasi, dan yang terakhir 
kontekstualisasi yang hati-hati.

c. Pendekatan Melalui Filsafat

Setiap orang adalah filsuf dan akan hidup selalu dengan filsafatnya. Oleh sebab 
itu, perlu pendekatan yang relevan terhadap filsafat hidup orang yang disapa.

Diambil dari:
Judul diktat: Perubahan Budaya dan Kontektualisasi
Penyusun: Imanuel Sukardi, M.Th
Halaman: 17 -- 26


DOA BAGI MISI DUNIA: KENYA

Penyerangan dengan bersenjata pistol dan granat, telah menewaskan 17 orang dan 
melukai sejumlah orang saat kebaktian Minggu berlangsung dalam dua gereja di 
Kenya. Kedua serangan berlangsung di kota Garissa, ibukota Provinsi yang 
berjarak 120 mil ke barat dari perbatasan Somalia. Serangan pertama dimulai 
pada pukul 10:15 pagi di Gereja Africa Inland, saat umat Kristen menghadiri 
kebaktian Minggu. Sekitar 2 sampai 4 pria menghampiri gereja dan menembak 2 
petugas kepolisian. Para penyerang mengambil senjata polisi dan melemparkan 2 
granat ke dalam gereja. Serangan kedua terjadi di sebuah Gereja Katolik, 2 mil 
dari tempat kejadian pertama. Granat-granat dilemparkan dari kendaraan yang 
melintas. Tindakan ini mengakibatkan 3 orang terluka cukup serius.

Sumber: Buletine Frontline Faith, September-Oktober 2012, Halaman 3

Pokok Doa:

1. Mari berdoa kepada Tuhan Yesus untuk semua korban luka dalam insiden ini, 
agar mereka segera diberikan kesehatan. Doakan juga keluarga mereka, agar 
diberikan penghiburan dan kekuatan oleh Tuhan Yesus Kristus.

2. Mari berdoa supaya iman anak-anak Tuhan di kota Garissa tetap kokoh dan 
terus bertahan di dalam mengikut Tuhan Yesus, walaupun tekanan dan penganiayaan 
mengancam mereka.


DOA BAGI INDONESIA: TEROR DI SOLO

Kota Solo yang terkenal dengan keanggunan dan ketenangannya, baru-baru ini 
dicemari oleh aksi teror. Peristiwa yang dimulai dengan ledakan bom itu, 
berlanjut pada aksi penembakan terhadap oknum polisi serta serentetan peristiwa 
lainnya. Insiden ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa -- meninggal dan 
terluka. Peristiwa ini cukup meresahkan warga Solo dan sekitarnya.

Pokok Doa:

1. Doakan untuk situasi di kota Solo, kiranya Tuhan Yesus Kristus campur tangan 
untuk keamanan kota. Doakan juga warga kota Solo dan sekitarnya supaya mereka 
tidak dihantui rasa takut yang berlebihan.

2. Doakan untuk anggota keluarga oknum polisi yang menjadi korban penembakan, 
supaya Tuhan Yesus memberi kekuatan dan penghiburan.

3. Doakan untuk proses penyelidikan yang dilakukan oleh pihak terkait, agar 
Tuhan memberi hikmat dan ketelitian kepada mereka.

4. Doakan agar Tuhan Yesus menjamah hati para pelaku teror, sehingga mereka 
menyesali segala perbuatan mereka, dan kejadian serupa tidak terulang kembali.


"NOT EVERY CHURCH WHO WANTS A COURTAGEOUS MINISTER COULD PUT UP WITH ONE"


Kontak: < jemmi(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti dan Yosua Setyo Yudo
Kontributor: Doni Kukuh Mandiri dan Yusak Charisma Nugraha
Tim editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/misi >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >

Kirim email ke