Dalam diskusi-diskusi sering muncul dua kubu yang berlawanan, yang satu berpegang pada 
pembangunan ekonomi dan dikubu yang lain berpegang pada pelestarian lingkungan 
(lingkungan fisik dan non fisik). Pada kenyataannya pembangunan ekonomi terutama di 
Negara sedang berkembang seperti Indonesia akan selalu bertumpu pada pembangunan 
ekonomi yang mengakibatkan dampak terhadap lingkungan baik fisik maupun non fisik 
karena lebih berorientasi kepada pembangunan pertanian, kehutanan, agribisnis, 
pertambangan ataupun industri manufaktur. Hal ini sangat berbeda dengan di Negara kaya 
dan maju dimana mungkin pembangunan ekonominya lebih terfokus pada bidang teknologi 
tinggi (termasuk teknologi informasi) dan jasa, sehingga dampaknya terhadap lingkungan 
mungkin akan lebih kecil. 

Pada saat ini arus informasi dan opini dunia lebih dikuasai oleh Negara maju nan kaya 
tersebut, dimana sebenarnya mereka dulu telah dengan sepuas-puasnya mengeksploitasi 
sumberdaya (alam)nya dan telah berhasil mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi ilmu 
pengetahuan dan teknologi mereka, sehingga mereka tidak perlu lagi mengeksploitasi 
sumber daya mereka. Terjadi perubahan paradigma yang drastis pada mereka, dari 
bagaimana mengeksploiasi alam kepada melestarikan alam. Dus, kemudian agenda mereka 
apa?. Untuk mereka bisa hidup nyaman tentu mereka memerlukan lingkungan yang juga 
nyaman, bagaimana caranya?. Tentu dengan cara mengusahakan agar lingkungan (fisik) 
belahan dunia lain yang belum terganggu agar bisa dijaga agar lingkungan global dimana 
mereka berada tidak berubah. Apa dampaknya terhadap Negara-negara sedang berkembang?. 
Negara-negara tersebut diharapkan untuk juga membangun industri seperti yang mereka 
punya yaitu yang tidak banyak dampaknya terhadap lingkungan. Maka dimulailah 
pengenalan industri teknologi tinggi, industri teknologi bersih, industri informasi 
dan jasa>>>>>> dimana semua expertisenya adalah milik mereka. Maka muncullah 
ekoindustri, ekolabeling, eko dan eko lainnya yang kriterianya semua mereka yang 
menetapkan. Apakah semua teknologi tersebut gratis?, tentu saja tidak, kita harus 
bayar. Bayarnya dengan apa?. Apakah semua itu cukup?. Ternyata tidak. Mereka ternyata 
masih memerlukan bahan-bahan hasil industri yang menimbulkan dampak terhadap 
lingkungan tersebut, misalnya hasil industri ekstraktif. Maka ramai-ramailah pemodal 
dari Negara maju ke Negara sedang berkembang lagi, misalnya Indonesia, dan ini juga di 
support oleh Negara ybs. Jadi disini ada tarik ulur kepentingan yang sangat rumit.

Tetapi yang penting untuk kita apa? Sebenarnya kita cukup memutuskan untuk 
memprioritaskan apa? Pembangunan ekonomi atau pelestarian lingkungan, atau 
kedua-duanya sekaligus secara bersamaan? Apa mungkin? perlu policy yang jelas. Dalam 
hal industri ekstraktif terutama pertambangan kita belum punya arah kebijakan yang 
jelas seperti apa yang di luar negeri disebut sebagai "Mining Policy" (Apa IAGI bisa 
berperan disini? Yaitu dalam memberikan masukan di tingkat kebijakan?) 

Sebagai intermezzo, saya teringat kepada apa yang sering dikemukakan oleh Pak Wimpy 
tentang hubungan antara manusia dan lingkungan. Katanya manusia itu akan dengan 
sendirinya peduli terhadap lingkungan seiring dengan pertumbuhan ekonominya. Dia 
mencontohkan, bahwa ketika masih miskin dan hidup secara sederhana di kampung dulu 
maka ia cukup (maaf) buang hajat di sungai di belakang rumah, ketika telah punya 
pengasilan sedikit maka ia buang hajat di WC yang dibangun dikebun di belakang rumah, 
dan setelah mendapat penghasilan yang lumayan maka dibangunlan WC jongkok di dalam 
rumah (hanya satu buah) untuk bareng-bareng, Pas ketika ketiban rejeki yang lebih 
besar maka dibangunlah WC duduk yang lengkap di samping kamar tidurnya untuk pribadi. 

Salam,
Laung



-----Original Message-----
From: Sukmandaru Prihatmoko [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, September 10, 2003 10:05 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: Re: [iagi-net-l] Renungan IAGI & Lingkungan

Berbicara masalah industri ekstraktif kebumian versus (dan) kerusakan
lingkungan saya bisa mengamatinya paling tidak dengan dua skala. Pada skala
mikro (pinjam istilahnya Pak Andang) atau wilayah (dan komunitas) kecil, dua
hal tsb tidak perlu dipertentangkan. Karena pada dasarnya industri
ekstraktif itu membawa dampak lingkungan baik lingkungan alam (perubahan
bentang alam, air tanah dst...dst) maupun lingkungan sosial
kemasyarakatannya. Tapi kalau kita mau jujur, mana ada sih kegiatan industri
yang tidak membawa dampak lingkungan (ini agak melenceng sedikit...). Isunya
memang kemudian bisa dilokalisir menjadi seberapa penting dan
diperlukannyakah industri tsb untuk suatu daerah (dan kelompok masyarakat),
dan seberapa jauhkah dampak lingkungan yang (akan) ditimbulkan dapat
dihambat dan direhabilitasi. Dengan kacamata yang jernih (tanpa dikotori
aspek politis, ekonomi yang berlebihan dsb) saya yakin keberadaan industri
ekstraktif di suatu tempat bisa ditimbang-timbang manfaat dan mudharat-nya.
Masih terasa diawang-awang memang........ tapi saya tahu beberapa perusahaan
industri ekstraktif (yang tentunya di-drive oleh orang-orang dibelakangnya
diantaranya geologist) "dengan cara mereka" sedang menuju ke arah
sana..........

Pada skala lebih besar (baca: nasional atau bahkan internasional) dua isu
tsb memang menciptakan dua kutub, di satu sisi (pelaku industri ekstraksi)
berpendapat industri ini dengan teknologi pengelolaan lingkungan musti jalan
terus "demi kelangsungan hidup manusia", di sisi lain (environmentalist)
kerusakan lingkungan (walaupun kerusakan lingkungan tidak hanya disebabkan
oleh industri ekstraktif saja) musti dicegah dan kalau perlu ditiadakan juga
"demi kelangsungan hidup manusia". Lagi-lagi...... kalau kita agak
mengawang-awang sedikit, dua kutub tsb pada dasarnya mengusung kepentingan
yang sama: "demi kelangsungan hidup manusia", dan seharusnya ada cara untuk
mempertemukan dua kutub tsb. Isunya memang menjadi ruwet ketika aspek
politik, ekonomi global, kepentingan golongan dst membaur di sini. Belum
lagi ketika pribadi-pribadi dari dua kutub tsb harus saling berhadapan
(misalnya secara eksplisit: di seminar, forum diskusi dll, maupun secara
implisit: penggalangan opini publik dsb) mereka pasti mempertimbangkan
kepentingan perut masing-masing. Jadilah dua kutub tsb tetap saling
berseberangan dan terkesan menjauh.

Bagaimana posisi IAGI?
Sangat kebetulan dan menguntungkan sekali bahwa IAGI (baca: geologi)
berkecimpung di dua kutub tsb. Jadi saya rasa IAGI tetap harus berpijak di
dua kutub tsb dan harus berusaha mempersempit jarak dua kutub tsb memakai
basis ke-geologian-nya. Terlalu muluk barangkali kalau IAGI harus
mempersatukannya, karena ini menyangkut bukan cuma aspek geologi saja. Bisa
saja upaya ini didekati memakai konsep-konsep yang sudah ada seperti
barangkali "ekonomi lingkungan" (mungkin ada kawan yang bisa memberi
pencerahan ttg ini...... aku belum paham betul). Tapi pada tataran
praktisnya, yang saya bisa lihat, ide menginventarisir sumberdaya kebumian
Indonesia (yang berjalan tersendat-sendat.......) tetap harus diteruskan,
karena sedikit banyak ini akan memberikan gambaran ttg potensi Indonesia. Di
sisi lain inventarisasi potensi bencana (kerusakan) lingkungan termasuk yang
disebabkan oleh industri ekstraktif harus diinisiasi (atau sudah ya???).
Terlalu muluk-kah??? Berbekal dua hal itulah saya pikir IAGI akan mampu
memberikan masukan kepada kedua kutub yang berseberangan tsb yang pada
situasi ekstrim mereka saling menyerang dan menjatuhkan. Namun tanpa harus
menunggu itu, sosialisasi geologi (plus segala aspeknya) harus berjalan
terus, karena dengan cara inilah para stake holder bisa saling tukar pikiran
dan pendapat. Jalan masih panjang memang.............................. but
we have no choices.

Salam - Daru

----- Original Message -----
From: "Andang Bachtiar" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Tuesday, September 09, 2003 12:39 PM
Subject: [iagi-net-l] Renungan IAGI & Lingkungan


IAGI dan Lingkungan

Dimanakah posisi IAGI dalam isu-isu industri ekstraktif kebumian versus
kerusakan lingkungan? Sampai saat ini, menurut pengetahuan saya, tidak ada
satu dokumenpun di IAGI yang secara eksplisit mendeklarasikannya. Hal ini
bukan berarti bahwa IAGI (dan para anggotanya) tidak "concern" dengan
masalah tersebut.

Untuk rekan-rekan yang bergerak di posisi Public Relation, HupMas, maupun
Manajer Eksplorasi dari perusahaan-perusahaan migas dan tambang, isu
tersebut malahan sudah jadi makanan sehari-hari yang harus dikunyah,
dicerna, dan disikapi. Apa yang saya tangkap dari sikap, tindakan, dan
pembicaraan kawan-kawan tersebut adalah rasa keterdesakan (kepepet) dalam
menjustifikasi kegiatan industri ekstraktif kebumian dimata para
environmentalis, sehingga kadang-kadang nampak naif dan ekstrim. Kesabaran
dan ketekunan yang menjadi salah satu ciri intelektual, seringkali termakan
oleh emosi dan rasa frustasi.

Seperti kita tahu, pada umumnya kaum enviromentalis (termasuk juga
didalamnya ada banyak ahli geologi) mempunyai basis ideologis dan militansi
yang kuat, dan seringkali juga dukungan dana yang kontinyu (dari berbagai
LSM dan Lembaga-Lembaga lainnya dalam dan luar negeri). Sementara itu,
kawan-kawan yang bergerak di industri ekstraktif, walaupun dukungan dananya
lebih kuat, namun tidak se-militan para environmentalis. Apakah yang
menyebabkannya??? Apakah karena kawan-kawan environmentalis mempunyai satu
isu sentral dan mengglobal, sedangkan rekan-rekan dari industri ekstraktif
seringkali bermain pada tataran mikro, untuk kepentingan project dan
perusahaannya saja. Atau mungkin karakter industri ekstraktif kebumian yang
banyak didominasi oleh teknologi padat modal telah mengalineasikan kita dari
permasalahan "padat karya", yaitu sesuatu yang secara langsung berguna bagi
kepentingan rakyat banyak.

Saya katakan LANGSUNG, yang artinya benar-benar langsung, yaitu rakyat
benar-benar sejahtera didaerah yang kaya migas, emas, dan batubara. Tidak
ada yang harus mengais-ngais sampah buangan makanan dari mess-hall
perusahaan hanya untuk menyambung hidup; tidak ada yang harus
mengemis-ngemis minta pekerjaan ke perusahaan; tidak ada yang harus demo
meminta ganti rugi yang wajar dari tanah yang dibebaskan; dsbnya,
dsbnya....(sound like LSM jargons: isn't it??). Kalaupun toh contoh-contoh
yang saya kemukakan diatas terlalu ekstrim (sehingga kenyataannya sering
jadi kontroversi), pada dasarnya kita harus akui, bahwa kebiasaan kita
"bekerja" pada pemodal bisnis resiko tinggi ini, seringkali membuat kita
jadi kurang militan dibanding teman-teman kita kaum environmentalis di
LSM-LSM. Padahal kita tahu dan sangat menyadari bahwa tanpa mengembangkan
industri ektraktif kebumian, kita akan kembali ke titik nol, ke jaman
batu!!(¿?)

Menjadi tantangan kita mengajak kebijakan industri ekstraktif kebumian di
Indonesia ini in-line terhadap problema Lingkungan, tidak hanya sekedar
bersifat lip-service saja. IAGI selayaknya mendorong pada basis utamanya :
tumbuh bersama dalam lingkungan kita. Apakah kita akan menunggu munculnya
Moratorium Penambangan Minyak, untuk kemudian kelabakan. Kita tidak berharap
munculnya banyak moratorium untuk industri ekstraktif kebumian, namun pada
sisi lain kita juga perlu mencari terobosan yang adil untuk dapat mewadahi
semua kepentingan.

Wacana bahwa industri ekstraktif kebumian memerlukan pendekatan dengan
ekonomi lingkungan yang mempertimbangkan social cost, dll-nya sudah
selayaknya menjadi parameter dalam industi ini, "militansi" kawan-kawan dari
industri ekstraktif lah yang akan mampu mendorong tidak terjadinya
moratorium-moratorium ini.

Hanya saja, saya merasa cara kita menerangkan, bernegosiasi, berasimilasi,
dan sosialisasi,.... pada saat ini kurang pas dan tidak efektif. Apalagi
ditengah suasana otonomi daerah yang gegap gempita penuh euphoria. Mungkin
kita perlu meniru jejak rekan Ikhsyat (Sby), Eko Teguh Paripurno
(Yogjakarta), Ester (KLH), Hanang Samodra (Bandung) dan rekan-rekan
enviromentalis lainnya yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu-persatu,
untuk lebih mendekat ke lingkungan, ke alam, ke teman-teman enviromentalis.


Dalam semangat komunitas seperti yang ditunjukkan rekan-rekan itulah, IAGI
berkutat (dalam sepi) mendorong pelaksanaan program-program sosialisasi
geologi untuk LSM, Pecinta Alam, Guru-guru SMA, Wartawan, dan berbagai
kalangan Pemerintahan Daerah.

Lalu,..... bagaimanakah posisi anda, para ahli geologi Indonesia, menanggapi
semua isu tersebut diatas???

(renungan dari hasil sosialisasi geologi di Palu, di Gn. Bromo, di Bogor, di
Balikpapan, di Surabaya, di Mataram, di Sumbawa, di Citeureup, di Lebak, di
Banyuwangi, di Lampung, di Kebon Nanas, dimana-mana, di dalam hati.)

Jakarta, 8 September 2003.

Andang Bachtiar
Ketua Umum IAGI




---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi

Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif 
Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------


---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi

Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif 
Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke