Menarik sekali ceritanya pak, ini kalo dikrim ke surat kabar bisa jadi artikel yang bagus lho, sekalian nambah pengetahuan juga kalo bisa foto bawah lautnya di share juga pak, biar kami yang penasaran ini bisa ikut menikmati
regards, senoaji Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]> 12/09/2008 01:12 PM Please respond to <iagi-net@iagi.or.id> To IAGI <iagi-net@iagi.or.id>, Forum HAGI <[EMAIL PROTECTED]>, Geo Unpad <[EMAIL PROTECTED]>, Eksplorasi BPMIGAS <[EMAIL PROTECTED]> cc Subject [iagi-net-l] Ekspedisi Satonda 2008, Sumbawa (BPMIGAS) Menyelami sebuah danau kecil di sebuah pulau kecil bernama Satonda adalah seperti melihat awal kehidupan di planet Bumi. Minggu lalu, kami berempat belas dari BPMIGAS, bersama dua dosen geologi dari UGM (Pak Agus Hendratno dan Pak Salahuddin Husein) dan seorang pejabat sekaligus geologist dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) (Pak Heryadi Rachmat) mendatangi pulau di seberang kaki Gunung Tambora, Sumbawa ini. Mengapa kami jauh-jauh dari Jakarta mendatangi pulau kecil yang gambarnya belum tentu ada di setiap atlas anak sekolah ini ? Untuk mencapainya saja dibutuhkan angkutan udara, darat, dan laut selama 18 jam. Target utama kami adalah ingin mempelajari “stromatolit” – struktur terumbu gampingan berlaminasi yang tersusun oleh mikroba bakteri dan ganggang (suka disebut sebagai sembulan mikrobialit). Stromatolit mendominasi lautan di planet Bumi pada kurun PraKambrium. Ia adalah bentuk pertama struktur kehidupan yang masif. Organisme mikroba prokariotik yang melakukan fotosintesis ini telah membuat atmosfer Bumi pada PraKambrium yang miskin oksigen menjadi berangsur kaya oksigen. Tragisnya, semakin kaya oksigen, kehidupan multisel semakin berkembang di lautan PraKambrium, dan organisme multisel inilah yang memakan bakteri dan ganggang pembuat stromatolit. Maka, memasuki masa Paleozoikum Atas, struktur stromatolit hampir tidak pernah ditemukan lagi. Lalu mengapa tiba-tiba stromatolit ini muncul di danau modern (Kuarter) Satonda ? Jawaban pendeknya adalah karena air Danau Satonda secara kimiawi menyerupai lautan PraKambrium. Semakin dalam menyelam, seolah pintu ke kurun PraKambrium semakin terbuka lebar. Tidak pada setiap zaman geologi hadir hewan karang (scleractinian coral) pembentuk terumbu karang seperti pembangun reservoir-reservoir migas Miosen di Indonesia dan terumbu karang yang indah di wilayah tropis. Pada masa Paleozoikum Bawah (Kambrium-Ordovisium-Silur), terumbu gampingnya adalah bukan terumbu karang, tetapi terumbu stromatolit yang disusun mikroba bakteri dan ganggang. Nah, karena telah terjadi kecenderungan bahwa eksplorasi migas mulai bergerak ke masa Paleozoikum Bawah, kami dari BPMIGAS memandang perlu mendatangi analog modern lingkungan PraKambrium-Paleozoikum Bawah yang telah tersedia secara unik di sebuah pulau volkanik kecil bernama Satonda. Di sana kami mempelajari lingkungan pembentukan stromatolit dan kemungkinannya sebagai reservoir migas. Kami berharap bahwa setelah mempelajarinya, kami akan dapat membangun model prediksi di mana di Indonesia dapat berkembang terumbu stromatolit Paleozoikum Bawah, sekaligus kemungkinannya sebagai reservoir migas. Dari Jakarta, kami berangkat hari Kamis 4 Desember menggunakan Garuda GA 430 pukul 11.15. Kami tiba di Bandara Selaparang, Mataram pukul 14.00 WITA. Setelah bergabung dengan Pak Agus dan Pak Udin (UGM) dan Pak Heryadi Rachmat (Pemda NTB) di Mataram, rombongan melintasi jalan tengah Pulau Lombok menuju Kahyangan, nama pelabuhan penyeberangan ke Pulau Sumbawa yang terletak di bibir pantai timur Pulau Lombok. Di sepanjang perjalanan, tubuh gunungapi Rinjani dan endapan piroklastikanya membuat lahan Lombok menjadi subur. Kapal ferry yang akan membawa kami ke Sumbawa penuh dengan mobil pribadi, truk, dan bus yang akan menyeberang. Pukul 19.00, bus yang kami sewa baru dapat giliran menyeberang. Sebagian dari kami ada yang tidur di dek yang bersusun, ada juga yang ngobrol-ngobrol dan bercanda di geladak kapal sambil menikmati angin laut yang berhembus di atas Selat Alas – selat yang memisahkan Lombok dan Sumbawa. Pukul 21.00, kapal berlabuh di Pototano, lalu bus dengan kecepatan tinggi memacu jalannya menuju kota Sumbawa Besar. Di luar gelap dan hujan turun rintik-rintik. Pukul 23.00 kami tiba di sebuah hotel di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Satonda. Meskipun cukup melelahkan, sebagian besar dari kami tak dapat tidur sampai pukul 02.00; padahal pukul 05.30 esoknya kami harus bersiap-siap menyeberang ke Satonda. Jumat 5 Desember pagi hari sambil sarapan kami mendapatkan cerita dari dua teman kami yang kamarnya diganggu ”penunggu” hotel ini (hm..). Ranjangnya diangkat dan dimiringkan, pintu pagarnya digoyang-goyang, pintu digedor-gedor, dll. Antara sadar dan tidak, teman itu bercerita apakah ada gempa semalam. Kami bingung menanggapinya sebab tak ada seorang pun yang merasakan gempa semalam. Pukul 06.15 kami memulai perjalanan laut menuju Satonda menyeberangi Teluk Saleh dan Selat Batahai yang sangat indah. Suasana laut yang begitu biru dan teduh karena terlindung oleh Pulau Moyo dari gelombang Laut Flores di sebelah utara, membuat kami yang umumnya ngantuk karena kurang tidur menjadi semangat. Semua kawan ingin merasakan terpaan angin laut pagi hari, maka kami duduk di puncak anjungan kapal atau di geladak depan kemudi. Sejauh mata memandang adalah laut biru dan biru. Awan putih berarak di langit yang juga biru. Di kejauhan nampak Pulau Moyo yang dibentengi terumbu karang modern yang terangkat. Siapa yang menyangka kalau di tepi pulau ini ada sebuah resort internasional yang memasang tarif 1000 USD per malam dan pernah dikunjungi Lady Diana semasa hidupnya. Pukul 10.15 kami tiba di depan Pulau Satonda. Kapal membuang jangkar beberapa ratus meter dari bibir pantai agar tak kandas. Dengan perahu motor kami diantar menginjak Pulau Satonda. Hampir empat jam kami gunakan mengeksplorasi pulau ini. Dari luar, pulau ini tak berbeda dengan pulau-pulau lain di sekitarnya. Siapa yang menyangka, begitu kami masuk ke dalamnya mengikuti jalan setapak naik dan turun, tiba-tiba kami disuguhi pemandangan yang spektakular : Danau air asin Satonda yang berwarna hijau kebiruan dikelilingi tebing berhutan lebat yang dibangun oleh lava dan tuf. Danau ini baru terbuka kepada ilmu pengetahuan ketika pertama kali ditemukan tahun 1984 melalui ekspedisi Snellius II. Buat penghuni di sekitarnya tentu saja danau ini sudah diketahui keberadaannya seumur penghunian di wilayah ini, tetapi ia baru diketahui sangat berharga untuk ilmu pengetahuan setelah ekspedisi Snellius II. Ternyata, Danau Satonda adalah satu dari hanya sekitar lima tempat di Bumi yang menyerupai lautan PraKambrium. Di Indonesia, ia diketahui satu-satunya. Begitu mendekati bibir danau, kami disuguhi singkapan stromatolit Kuarter di atas permukaan danau yang tentu saja organismenya sudah mati dan membangun struktur terumbu masif. Gambaran kasat mata, terumbu stromatolit ini menyerupai terumbu karang yang dibangun scleractinian coral, tetapi ia sama sekali tak mengandung koral. Kesan kemiripannya berasal dari semen dan matriks gampingannya. Perbedaan yang segera bisa terlihat adalah struktur laminasi yang bisa ditemui di beberapa bagian singkapan. Keunikan stromatolit Danau Satonda adalah bahwa ia bersatu tempat lingkungan dengan endapan piroklastika berupa lava andesit basaltik dan tuf. Tidak mengherankan sebab Danau Satonda sesungguhnya adalah danah kawah gunungapi. Kesan bahwa ini merupakan miniatur laut pada Kurun PraKambrium akan diperoleh bila kita melakukan snorkeling dan menyelam. Seorang teman kebetulan membawa kamera digital bawahair, maka sambil melakukan snorkeling foto-foto bawahair diperoleh. Perahu motor yang mengantar kami dari kapal tadi diangkut banyak awak kapal melalui jalan setapak naik turun menuju danau. Baru kali itu saya melihat perahu berat diangkut ramai-ramai naik-turun bukit. Tadinya memang kami akan menggunakan perahu karet, tetapi sobek saat diturunkan dari kapal. Dengan perahu itu, sebagian dari kami mengelilingi seluruh kawasan danau mengamati stromatolit yang tersingkap maupun yang masih hidup mulai dari kedalaman sekitar 5 meter. Bagaimana makhluk hidup di danau ini ? Sepi sekali. Hanya stromatolit, ganggang hijau yang mengambang sampai permukaan, keong gastropoda kecil berwarna hitam yang tak lebih besar dari ujung pinsil, dan ikan-ikan sebesar teri berwarna hitam. Itu saja yang sempat kami saksikan. Air danau adalah air asin, air laut. Hasil penelitian para ilmuwan yang pernah mendatangi danau ini dan menyelaminya sampai dalam (sayangnya seluruhnya adalah ilmuwan asing), kimia air ini sangat basa (alkalin) dengan salinitas yang semakin tinggi semakin dalam. Kondisi ini ekstrim untuk kehidupan normal saat ini, sehingga yang bisa bertahan hidup hanya organisme yang cocok dengan kondisi itu atau yang telah mengalami perubahan evolusi (spesiasi terhadap lingkungan). Karena stromatolit berlimpah pada kurun PraKambrium, maka lautan pada kurun itu dipikirkan juga sebagai lautan yang alkalin mirip analognya sekarang (”the present is the key to the past”). Diskusi tentang stromatolit PraKambrium dan lingkungannya serta kimia air laut Satonda dapat dilihat di bawah. Bagaimana peluang stromatolit sebagai reservoir migas ? Sangat baik – istimewa. Dari contoh-contoh singkapannya di Danau Satonda kami melihat bahwa porositasnya sangat berkembang baik secara primer melalui batas-batas struktur laminasinya, maupun sekunder melalui diagenesis ganggang dan struktur bakterinya. Secara mineralogi, kedua mikroba ini disusun oleh Mg-Ca dan aragonitik, sehingga mudah terdisolusi mengembangkan porositas. Maka, kalau di Indonesia ditemukan lapisan terumbu stromatolit di Paleozoikum Bawah, potensinya sebagai reservoir akan baik. Setelah puas meneliti Danau Satonda, kami kembali mengikuti jalan setapak naik dan turun menuju bibir pantai yang berhubungan dengan laut lepas tepi Laut Flores. Di jalan pulang kami berpapasan dengan sekitar sepuluh turis asing (Amerika) anak-anak dan dewasa, lelaki dan perempuan, yang hendak berenang di Danau Satonda. Hm, tempat seterpencil Satonda masih juga diketahui mereka. Tentu saja, sebab Satonda adalah salah satu aset pariwisata Sumbawa di samping Tambora. Dan, ia pun aset penting ilmu pengetahuan. Beberapa turis asing ini berbaik hati saat pulang ikut mengangkat perahu motor kami dari Danau Satonda. Di pantai Satonda yang berhubungan dengan laut lepas Laut Flores, kami melakukan snorkerling dan pemandangannya sungguh luar biasa. Betapa indahnya terumbu-terumbu karang yang masih hidup itu, dengan berbagai bentuk dan warna, berkedip dan berdenyut atau melambai bergerak-gerak oleh godaan air laut. Sementara itu puluhan jenis ikan karang yang warnanya sangat indah dan kontras berenang-renang di antara bunga karang. Ini tak berbeda dengan pemandangan terumbu karang di Kepulauan Seribu, atau di Bunaken, atau di Taka Bone Rate, atau di Raja Ampat, dan di tempat-tempat lain. Bandingkan, dalam jarak yang tak sampai satu km, kehidupan di dalam Danau Satonda yang juga diisi air laut, dengan kehidupan di tepi pantai Satonda, sangat jauh – ibarat tanah dengan langit. Kehidupan di Danau Satonda sangat sepi dan suram, sementara di tepi pantai Satonda sangat ramai dan ceria. Apa yang menyebabkannya ? Kimia air laut dan lingkungan geologi kedua wilayah berjarak tak sampai satu km itu sangat jauh. Saya baru percaya bahwa Danau Satonda benar-benar merupakan analogi lautan PraKambrium yang alkalin, kehidupan bersel tunggal, sepi, didominasi stromatolit, evolusi awal kehidupan setelah membandingkan dua kontras ini. Boleh dibilang bahwa dalam jarak tak sampai satu km dari Danau Satonda ke pantai Pulau Satonda kita melangkah dari kurun PraKambrium ke Resen –suatu perjalanan 1000 juta tahun. Pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan ke kaki Gunung Tambora yang pernah meletus secara katastrofik pada tahun 1815 dan sampai saat ini menduduki peringkat teratas di dunia dalam letusan gunungapi dalam sejarah manusia. Konon gunung ini pernah setinggi 4200 meter, membuat gunungapi tertinggi di seluruh kawasan Hindia Timur (Indonesia sekarang). Indeks letusan gunungapi ini menduduki angka 7 – itu adalah angka tertinggi, dengan energi empat kali lebih besar dari energi letusan Krakatau 1883 yang menduduki indeks angka 6. Letusan Tambora ini pernah membuat dunia tanpa musim panas sehingga kelaparan dan penyakit melanda di mana-mana di seluruh dunia. Gunung di ujung utara Sumbawa inilah biang bencana saat itu. Sore itu kami akan mengamati urutan endapan piroklastikanya yang tersingkap di pantai bernama Pantai Kenanga. Setelah sampai di seberang Pantai Kenanga, beberapa dari kami kembali diantar menggunakan perahu motor. Kami mendarat di bibir pantai dan segera disambut pasir besi berwarna hitam yang panas. Pasir besi ini adalah penyaring air laut yang baik. Penduduk setempat menggali tak sampai satu meter di pinggir pantai akan menemukan air tawar. Di tebing pantai kami mengamati singkapan piroklastika letusan Tambora 1815. Letusan Tambora yang hebat berlangsung empat bulan dari April – Juli 1815. Setiap letusan mengirimkan endapan piroklastikanya, sebagian ke wilayah ini dan terawetkan. Beberapa batang pohon yang telah mengarang dan menyerpih tertanam di dalam tuf. Tuf dan batu apung banyak menyusun singkapan, mencirikan bahwa magma asam diletuskan dengan kekuatan yang besar. Batang-batang pohon itu dulunya mesti berasal dari hutan di lereng Tambora yang diserbu awan panas dengan gelombang kecepatan hempasannya mencabut pepohonan dan membakarnya kemudian mencampuradukkannya dengan abu gunungapi sampai kemudian tersingkap menjadi kesatuan. Arang dari pohon ini baik kalau ditera umurnya menggunakan pentarikhan umur absolut menggunakan karbon-14. Pengamatan hari ini berakhir pukul 16.00, kami kemudian menempuh perjalanan laut selama empat jam kembali ke hotel di Sumbawa Besar, menyeberangi Teluk Saleh. Dari kejauhan kami mengamati terumbu koral Kuarter yang terangkat membentengi pulau-pulau di dekat Selat Batahai. Terumbu koral terangkat ini adalah suatu bukti bahwa pulau-pulu ini masih terangkat didesak dari bawah oleh mekanisme Sesar Flores yang terkenal itu. Malam hari di atas pukul 19.00 langit gelap di atas anjungan dan geladak kapal berhiaskan semburat bintang-gemintang yang sangat indah – sebagian badan galaksi Bima Sakti yang semburatnya di langit membentuk jalur sejajar dengan arah kapal bisa saya lihat, juga rasi bintang paling mudah diamati di langit : Orion – yang dicirikan sabuk bertatahkan tiga bintang di ikat pinggang sang pemburu itu. Pukul 20.00 kami sampai di hotel dan tentu saja segera makan malam setelah kegiatan melelahkan tetapi sangat menyenangkan hari ini. Sampai pukul 22.30 kami masih melanjutkan diskusi, mereview apa yang kami lihat hari ini. Sampai pukul 24.00 saya bersama Pak Heryadi Rachmat masih berdua di loby hotel menyusun bahan presentasi tentang potensi migas NTB untuk disajikan esok harinya kepada para pejabat Pemda NTB. Sementara itu, di sebuah kamar/bungalow hotel yang ditempati seorang teman yang malam sebelumnya diganggu “penunggu” hotel, sampai pukul 03.00 ternyata masih mengalami gangguan. Seorang teman yang memiliki kemampuan supranatural soal “alam” ini membenarkan bahwa memang ada gangguan itu. Tetapi hanya menakut-nakuti, bukan untuk yang lain. Di tempat terpencil seperti ini, saya pikir wajar saja kalau itu terjadi. Sabtu 6 Desember 2008 pagi hari kami sarapan di hotel sambil bersiap pulang kembali ke Lombok. Pukul 08.00 kami mulai melakukan perjalanan menuju Pototano, pelabuhan penyeberangan Sumbawa-Lombok. Pukul 10.30 kami tiba di sana. Pemandangan sungguh indah buat seorang geologist walaupun gersang sebab banyak bukit gundul baik di darat maupun di laut. Saat perjalanan pergi pada Kamis malam kami tak melihatnya sebab saat itu gelap dan sedikit hujan. Pukul 11.00-13.00 kami menyeberangi Selat Alas. Tiba di Pelabuhan Kahyangan, Gunung Rinjani yang perkasa kembali kami lihat. Tak jauh dari pelabuhan, kami berhenti di sebuah bukit tandus yang disebari bongkah andesit basaltik hasil letusan Rinjani. Keunikannya adalah bahwa piroklastika di bukit ini bersatu tempat dengan batugamping terumbu – mencirikan bahwa tumpahan piroklastika masuk ke dalam laut yang ditumbuhi karbonat terumbu. Pukul 15.00 kami berhenti di sebuah objek wisata Narmada –sebuah istana Kerajaan Lombok-Karangasem yang didirikan tahun 1775. Yang menarik dari Narmada adalah bangunan/arsitektur kolam-kolam airnya yang luar biasa, kelihatan sangat kokoh dan indah. Tentu pada saat dibangun, telah menggunakan keahlian lokal dalam merancang dan membangunnya. Pukul 16.30 kami tiba di Senggigi dan menginap di sebuah hotel di kawasan pantai paling terkenal di Lombok ini. Malam hari dari pukul 19.00-23.15 kami mengadakan acara di tepi pantai Senggigi berupa makan malam, hiburan, presentasi teknis, dan pemutaran film – sebuah ramuan acara yang unik menggabung hiburan yang santay dan presentasi teknis yang serius. Beberapa tamu turis asing pun ikut menikmati acara kami itu di meja-meja dekat restoran. Saat makan malam, hujan mulai rintik-rintik turun. Wah...padahal panggung dan meja-meja telah disusun rapih. Pawang hujan pun dipanggil, dan dengan kekuatan magisnya yang tak bisa dipahami terlihat mega mendung mulai beringsut ke Mataram. Lalu bulan pun kembali terlihat dan langit cerah sampai acara usai. Di Mataram sementara dikabarkan turun hujan (hm..). Sekitar 15 orang pejabat dari Pemda NTB hadir dan larut bersama kami dalam acara-acara yang telah disusun. Presentasi teknis ada dua, yaitu : (1) mengenalkan fungsi dan peranan BPMIGAS di Indonesia ditambah dengan gambaran eksplorasi migas secara umum, dan (2) menunjukkan ringkasan dan hasil kegiatan ekspedisi atau ekskursi kami ke Pulau Satonda, dan potensi migas wilayah Lombok-Sumbawa. Acara berakhir dengan pemutaran film koleksi Pak Heryadi Rachmat tentang : erupsi Tambora, penelitian Satonda, dan letusan Gunung Rinjani. Minggu 7 Desember 2008 pukul 14.20 kami meninggalkan Lombok kembali menuju Jakarta dengan Garuda GA 433. Ekspedisi/ekskursi yang kami lakukan, dibantu oleh UGM dan Pemda NTB, serta melibatkan perusahaan jasa event organizer di Jakarta, dan perusahaan jasa pariwisata di Lombok telah berjalan dengan sukses, lancar dan selamat. Target yang kami rancang jauh-jauh hari semuanya tercapai. Buat seorang geologist seperti saya, pekerjaan lapangan adalah suatu kemutlakan, juga bermanfaat untuk kawan-kawan nongeologi, mereka mengenal bagaimana geologi dan pekerjaan seorang geologist. Perjalanan ini juga mendapatkan liputan yang cukup luas dari media-media lokal maupun nasional. Seorang wartawan Kantor Berita Antara bahkan mengikuti kami sejak Mataram sampai Satonda. Beberapa berita telah diturunkan di TV maupun surat kabar. Meskipun demikian klarifikasi harus dilakukan sebab ada beberapa mispersepsi dalam pemberitaan. Semoga catatan ini bermanfaat. Salam, awang LAMPIRAN [iagi-net-l] Stromatolit Satonda, Sumbawa : "Time Tunnel to Pra-Cambrium Seas" Awang Satyana Sat, 03 Nov 2007 08:26:05 -0800Seorang rekan geologist bertanya tentang stromatolit di pulau kecil Satonda utara Sumbawa. Pulau sekecil Satonda yang belum tentu muncul pulaunya atau namanya di atlas2 anak sekolah, memiliki arti yang begitu besar sebab langka sekali tempat seperti Satonda di Bumi ini - yaitu memiliki stromatolit, terumbu paling tua yang telah muncul sejak Archean. Kurang apalagi keistimewaan geologi Indonesia ? Semoga berguna. salam, awang Ribuan-ratusan juta tahun sebelum binatang2 bersel banyak (metazoans) pembangun kompleks terumbu muncul, sekelompok organisme marin prokariotik (golongan bakteri dan alga biru-hijau dengan sel yang intinya belum jelas terpisah di dalam sitoplasma) diketahui telah mampu membangun struktur2 batugamping terumbu yang masif. Struktur2 masif ini ternyata dapat melewati ribuan-ratusan juta tahun masa pelapukan/perusakan , sehingga struktur2 ini kini masih dapat ditemui membangun beberapa unsur bentang alam di Amerika Utara, Afrika, Asia, dan Australia. Struktur2 terumbu awal ini dikenal sebagai Stromatolit, terbentuk dalam suatu lingkungan oseanografik yang memerlukan kondisi tertentu. Stromatolit adalah struktur organo-sedimen (simbiose antara ganggang-sedimen gampingan) yang dihasilkan oleh setumpuk besar lembaran2 coccoid cyanobacteria (dikenal juga sebagai ganggang biru-hijau, bakteri biru-hijau, myxophyceae atau chyanophyta) , melalui pemerangkapan sedimen gampingan, pengikatan, dan/atau pengendapan. Proses pembentukan stromatolit ini banyak dibahas di dalam Walter (1976 ? Stromatolites, Elsevier, Amsterdam; buku sangat tebal hampir 800 halaman membahas A sampai Z tentang stromatolit) ; Walter (1983 ? Archean stromatolites : evidence of the Earth?s earliest benthos, dalam buku Earth?s Earliest Biosphere, Princeton Univ. Press). Menurut Bates dan Jackson (1987, eds. ? Glossary of Geology, American Geological Institute), istilah stromatolit diusulkan oleh Kalkowsky pada 1908 sebagai stromatolith (kemudian menjadi stromatolite/ algal stromatolite; sedangkan stromatolith dipakai Foye 1916 untuk tubuh intrusi magma retas lempeng ?sill yang menjemari dengan batuan sedimen) Stromatolit muncul untuk pertama kalinya pada suatu waktu antara Archean tengah-Archean akhir (sekitar 3000 juta tahun yang lalu -Ma atau 3 Ga ? giga years ago/milyar tahun yang lalu). Menjelang awal Proterozoikum (2,5 Ga) mereka berkembang dalam lingkungan yang luas. Fosil stromatolit paling tua ditemukan di Zimbabwe baratdaya (2800-3100 Ma ?menurut Stokes et al., 1978 ? Introduction to Geology, Prentice Hall). Tulisan Pellant dan Phillips (1990 - Rocks, Minerals, and Fossils of the World ? Little, Brown and Co. ) menyebutkan bahwa stromatolit dapat berkembang seawal 3800 Ma. Stromatolit merupakan organisme pembangun terumbu yang dominan selama Pra-Kambrium (meliputi Archean dan Proterozoikum) dan berlanjut sampai sekitar 600 Ma (memasuki Kambrium pada 570 Ma). Sejak itu, terjadi penurunan kelimpahan stromatolit. (Fagerstorm, 1987 ? The evolution of reef communities, John Willey and Sons). Stromatolit masih ditemukan sepanjang Paleozoik, Mesozoik, dan Tersier, dengan kelimpahan yang semakin menurun (Fagerstrom, 1987). Di samping sebagai pembangun terumbu tingkat awal, stromatolit juga telah memainkan peranan penting dalam membentuk komposisi kimiawi atmosfer. Cyanobacteria pembentuk stromatolit adalah makhluk yang berfotosintesis. Seperti kita tahu, produk fotosintesis adalah oksigen. Maka, pembentukan stromatolit dengan sendirinya telah mengoksigenasi atmosfer awal Bumi yang miskin oksigen pada Archean dan Proterozoikum menjadi mempunyai oksigen yang cukup. Dengan hadirnya oksigen, maka mulailah berkembang fauna2 bersel tunggal yang membutuhkan oksigen, diperkirakan itu terjadi pada pertengahan Proterozoikum (1500 Ma). Pada ujung Proterozoikum atau memasuki Kambrium, tingkat oksigen sudah 10 % daripada tingkatnya sekarang, maka mulailah metazoa marin berkembang (Gross, 1990 ? Oceanography : a view of the Earth, Prentice Hall). Pada awal Kambrium, dalam evolusi makhluk hidup terjadi apa yang disebut dengan Ledakan Kambrium (Cambrian Explosion). Ini adalah ledakan kelimpahan fauna metazoan. Kelimpahan metazoan ini menciptakan persaingan, dan fauna prokariotik pembangun stromatolit di pihak yang kalah, sehingga telah menurunkan perkembangan stromatolit secara signifikan. Namun, Stromatolit adalah bentuk yang tahan banting, ia telah ditemukan dapat berkembang sampai sekarang (Resen) di beberapa bagian dunia di tempat yang sangat spesifik, yang terkenal adalah yang berkembang di Shark Bay (Teluk Hiu) di Australia barat, di utara Perth. Karena Indonesia sebagian besar disusun oleh formasi batuan berumur muda, stromatolit hampir tidak pernah ditemukan dalam catatan fosil Indonesia. Stromatolit dapat melewati masa kepunahan besar (masal) pada ujung Perem dan ujung Kapur, tetapi kalau mereka dapat berkembang sampai Resen, maka mereka akan membutuhkan lingkungan yang sangat khusus yang secara umum merupakan lingkungan yang berbahaya buat makhluk hidup lainnya. Maka, mereka akan hidup di lingkungan yang cocok buatnya tetapi tak cocok buat makhluk lain, tanpa saingan, tak mengherankan mereka bisa bertahan sampai Resen. Sedikit sekali di dunia stromatolit Resen dapat berkembang sebab kekhususan lingkungan yang menjadi prasyaratnya. Stromatolit Resen terbaik yang banyak dipelajari para ahli adalah terumbu stromatolit Hamelin Pool, laguna hipersalin (super asin) di Shark Bay, Australia Barat (foto stromatolit ini sering muncul di buku2 teks sains kebumian), Lake Van di Anatolia,Turki, yang merupakan danau berkadar soda terbesar, dan di sebagian Bahama Banks, perairan Amerika Tengah. Bahwa Indonesia ternayata punya stromatolit (Resen) baru diketahui pada tahun 1984 melalui ekspedisi gabungan Indonesia-Belanda ke Indonesia Timur melalui kapal marin Snellius II (Tomascik et al., 1997, The Ecology of the Indonesian seas, vol. II, Periplus; dan Monk et al., 1997, The ecology of Nusa Tenggara and Maluku, Periplus). Sekelompok ilmuwan dalam ekspedisi tersebut menemukan perkembangan stromatolit di sebuah pulau kecil bernama Satonda, sebuah pulau kecil bekas gunungapi di sebelah utara Sumbawa. Di gunungapi Satonda (sebut saja begitu) terbentuk danau kawah yang disebut Danau Motitoi. Di tepi danau ini ditemukan sebaran luas terumbu gampingan stromatolit. Danau Motitoi adalah danau kawah berkadar alkalin (soda), dalam maksimumnya 69 meter, luasnya 77 hektare. Terima kasih atas publikasi dari Kempe dan Kazmierczak (1990 ? Chemistry and stromatolites of the sea-linked Satonda crater lake, Indonesia : a Recent model for the Precambrian sea ?, Chemical Geology 81, p. 299-310) dan Kempe dan Kazmierczak (1993 ? Satonda crater lake, Indonesia : hydro-geochemistry and biocarbonates, Facies 28, p. 1-32) sehingga masyarakat keilmuan lain di luar Ekspedisi Snellius II dapat mengetahui penemuan penting ini. Penyelidikan menunjukkan bahwa stromatolit Satonda bermula pada 4000 tahun yang lalu dan merupakan stromatolit yang diproduksi oleh cyannobacteria. Pembentukan terumbu biogenik yang tidak biasanya ini dimungkinkan oleh kondisi hidrologi dan biogeokimia yang unik di danau kawah Motitoi. Secara hidrologi, danau ini punya perlapisan massa air yang unik. Terbentuk chemocline (batas oksigen dan H2S) yang tegas pada kedalaman 24-26 meter. Terumbu stromatolit Danau Motitoi terbentuk melalui interaksi empat organisme pembangun terumbu. Kelompok organisme ini merupakan pengendap aragonit (mengandung magnesium seperti koral), yaitu coccoid cyanobacteria, ganggang koral merah Lithoporella sp., dan sekelmpok foram nubecullinid. Di samping itu, terdapat kelompok spesies yang tak berlimpah berupa ganggang merah gampingan mengerak Peyssonnelia sp. yang bahan rangkanya terutama terdiri atas kristal-kristal aragonit luar sel yang tak terlalu terkompaksi. Bakteri biru hijau (cyannobacteria) Danau Motitoi menurut Kazmierczak dan Kempe (1990 ? Modern cyannobacterial analogs of Paleozoic stromatoporoids, Science 250, p. 1244-1248) dari kelompok Pleurocapsa, yaitu cyannobacteria yang bereproduksi melalui multiple fiission (pembelahan banyak). Tetapi, Pleurocapsa ini juga dapat melakukan binary fission (pembelahan ganda) (Delaney, 1990 ? Cyannobacteria, dalam Clayton dan King, eds, Biology of Marine Plants, Longman Cheshire) dan jenis inilah yang merupakan penyusun utama terumbu stromatolit Satonda Dua ganggang gampingan yang ditemukan di Danau Motitoi merupakan komponen struktur sangat penting terumbu stromatolit Satonda (Tomascik et al., 1997). Ini tak mengherankan sebab Corallinaceae dan Peyssonneliaceae (Rhodophyta) merupakan kelompok pembangun terumbu yang memiliki fungsi utama melakukan penyemenan atas sedimen terumbu. Pembentukan stromatolit terumbu Satonda di Danau Motitoi ditemukan terbatas pada lapisan permukaan sampai kedalaman batas oksigen/H2S (24-26 meter). Pembentukan terumbu terutama ditemukan dari permukaan sampai kedalaman 12 meter di mana bakteri biru-hijau berkembang secara dominan bersama ganggang kerang (coralline algae) Lithoporella sp. Dan ganggang dari genus Peyssonnelia yang kurang dominan. Keterdapatan stromatolit Resen di Satonda dalam danau kawah Motitoi yang alkalin mendukung hipotesis ?Soda Ocean? (Kempe dan Dagens, 1985 ? An early soda ocean ? ? Chemical Geology 53, p. 95-108; Kempe, 1991 ? De oerocean, een sodazee, Natuur en Techniek 59, p. 206-215) yang menyatakan bahwa laut Pra-Kambrium bersifat alkalin dan sangat dijenuhi oleh mineral karbonat. Menurunnya alkalinitas laut dan kejenuhan karbonat dapat menerangkan lenyapnya stromatoporoids pada ujung Paleozoikum. Hal menarik buat kita para ahli geologi adalah pembentukan habitat Satonda yang unik, yaitu terdapatnya danau kawah gunungapi (Danau Motitoi) yang diisi air laut. Dinding kawah Danau Motitoi curam berupa tebing setinggi 300 meter di atas muka laut, terbuat dari lapisan tuf, lapili, dan bom volkanik, dan ditemukan beberapa retas tiang (dike intrusion). Depresi kawah Satonda diperkirakan terbentuk oleh runtuhan di atas dapur magma gunungapi Satonda akibat letusan 10.000 tahun yang lalu sehingga membentuk kawah. Ke arah selatan, dinding kawah pada suatu waktu kemudian merosot ke arah laut, sehingga tebing kawah di sini hanya setinggi 13 meter di atas muka laut (dari sisi inilah Danau Motitoi mudah dicapai). Struktur dinding yang merosot ini membentuk sistem pertelukan sehingga laut menjorok memasuki wilayah kawah. Air laut masuk ke danau kawah, menggantikan air tawar yang semula ada. Peristiwa marine flooding ini terjadi pada 3150 ribu tahun yang lalu, berdasarkan peneraan karbon-14 pada lapisan gambut yang luas yang ditemukan di bawah lapisan karbonat. Penggalian di tepi danau menemukan lapisan-lapisan moluska dan gastropoda serta fauna marin lainnya. Saat laut mundur pada suatu waktu, lapisan2 ini menjadi lapisan penghalang dan kemudian menjadi pemisah permanen danau kawah Satonda dari laut terbuka. Saat ini Danau Motitoi telah kehilangan semua aksesnya ke laut di dekatnya. Akibatnya, air asin Satonda memiliki alkalinitas, pH, dan kejenuhan mineral karbonat yang lebih tinggi daripada laut di sekitarnya. Kondisi ini telah menghilangkan kemungkinan terdapatnya mikrobiota marin pada umumnya, tetapi sebaliknya ditemukan secara berlimpah struktur2 seperti terumbu gampingan yang disusun oleh ganggang merah, serpulids, foram, dan yang paling menakjubkan adalah ditemukannya lembaran-lembaran insitu cyannobacteria yang mengandung kalsit. Morfologi dan struktur mikro terumbu Satonda memiliki mikrobialites (deposit organo-sedimen gabungan struktur lembaran organik yang termineralisasi) yang mirip dengan stromatolit kurun Archean dan Proterozoikum atau stromatoporoids Paleozoikum (Kazmierczak dan Kempe, 1992 ? Modern cyannobacterial counterparts of Paleozoic Wetheredella and related problematic fossils, Palaios 7, p. 294-304). Pulau Satonda dan danau kawahnya oleh karena itu, merupakan laboratorium paleo-oseanografik yang sangat menarik yang berkembang pada saat Resen. Mikrobialit penyusun stromatolitnya mirip dengan mikrofosil stromatolit Pra-Kambrium dan Paleozoikum, yang terjadi pada lingkungan laut hipersalin, alkalin, miskin biota, tetapi kaya mikrobialit gampingan. Danau Motitoi memiliki ciri-ciri laut Pra-Kambrium dan Paleozoikum ini. Menyelam di Danau Motitoi, Pulau Satonda ibarat memasuki mesin atau terowongan waktu yang membawa orang dari Resen ke ratusan-ribuan jutaan tahun yang lalu saat Paleozoikum bahkan Pra-Kambrium. Maka, pulau sekecil Satonda yang belum tentu muncul atau bernama di banyak atlas anak sekolah, ternyata punya status keilmuan yang sangat besar. salam,awang The information contained in this communication is intended solely for the use of the individual or entity to whom it is addressed and others authorized to receive it. It may contain confidential or legally privileged information. If you are not the intended recipient you are hereby notified that any disclosure, copying, distribution or taking any action in reliance on the contents of this information is strictly prohibited and may be unlawful. If you have received this communication in error, please notify us immediately by responding to this email and then delete it from your system. CNOOC is neither liable for the proper and complete transmission of the information contained in this communication nor for any delay in its receipt.