Menarik sekali ceritanya pak,
ini kalo dikrim ke surat kabar bisa jadi artikel yang bagus lho, sekalian 
nambah pengetahuan juga
kalo bisa foto bawah lautnya di share juga pak, biar kami yang penasaran 
ini bisa ikut menikmati 

regards,
senoaji




Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]> 
12/09/2008 01:12 PM
Please respond to
<iagi-net@iagi.or.id>


To
IAGI <iagi-net@iagi.or.id>, Forum HAGI <[EMAIL PROTECTED]>, Geo Unpad 
<[EMAIL PROTECTED]>, Eksplorasi BPMIGAS 
<[EMAIL PROTECTED]>
cc

Subject
[iagi-net-l] Ekspedisi Satonda 2008, Sumbawa (BPMIGAS)






Menyelami sebuah danau kecil di sebuah pulau kecil bernama Satonda adalah 
seperti melihat awal kehidupan di planet Bumi. Minggu lalu, kami berempat 
belas dari BPMIGAS, bersama dua dosen geologi dari UGM (Pak Agus Hendratno 
dan Pak Salahuddin Husein) dan seorang pejabat sekaligus geologist dari 
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) (Pak Heryadi Rachmat) 
mendatangi pulau di seberang kaki Gunung Tambora, Sumbawa ini.
 
Mengapa kami jauh-jauh dari Jakarta mendatangi pulau kecil yang gambarnya 
belum tentu ada di setiap atlas anak sekolah ini ? Untuk mencapainya saja 
dibutuhkan angkutan udara, darat, dan laut selama 18 jam. 
 
Target utama kami adalah ingin mempelajari “stromatolit” – struktur 
terumbu gampingan berlaminasi yang tersusun oleh mikroba bakteri dan 
ganggang (suka disebut sebagai sembulan mikrobialit). Stromatolit 
mendominasi lautan di planet Bumi pada kurun PraKambrium. Ia adalah bentuk 
pertama struktur kehidupan yang masif. Organisme mikroba prokariotik yang 
melakukan fotosintesis ini telah membuat atmosfer Bumi pada PraKambrium 
yang miskin oksigen menjadi berangsur kaya oksigen. Tragisnya, semakin 
kaya oksigen, kehidupan multisel semakin berkembang di lautan PraKambrium, 
dan organisme multisel inilah yang memakan bakteri dan ganggang pembuat 
stromatolit. Maka, memasuki masa Paleozoikum Atas, struktur stromatolit 
hampir tidak pernah ditemukan lagi. Lalu mengapa tiba-tiba stromatolit ini 
muncul di danau modern (Kuarter) Satonda ?
 
Jawaban pendeknya adalah karena air Danau Satonda secara kimiawi 
menyerupai lautan PraKambrium. Semakin dalam menyelam, seolah pintu ke 
kurun PraKambrium semakin terbuka lebar. Tidak pada setiap zaman geologi 
hadir hewan karang (scleractinian coral) pembentuk terumbu karang seperti 
pembangun reservoir-reservoir migas Miosen di Indonesia dan terumbu karang 
yang indah di wilayah tropis. Pada masa Paleozoikum Bawah 
(Kambrium-Ordovisium-Silur), terumbu gampingnya adalah bukan terumbu 
karang, tetapi terumbu stromatolit yang disusun mikroba bakteri dan 
ganggang. Nah, karena telah terjadi kecenderungan bahwa eksplorasi migas 
mulai bergerak ke masa Paleozoikum Bawah, kami dari BPMIGAS memandang 
perlu mendatangi analog modern lingkungan PraKambrium-Paleozoikum Bawah 
yang telah tersedia secara unik di sebuah pulau volkanik kecil bernama 
Satonda. Di sana kami mempelajari lingkungan pembentukan stromatolit dan 
kemungkinannya sebagai reservoir migas. Kami berharap
 bahwa setelah mempelajarinya, kami akan dapat membangun model prediksi di 
mana di Indonesia dapat berkembang terumbu stromatolit Paleozoikum Bawah, 
sekaligus kemungkinannya sebagai reservoir migas.
 
Dari Jakarta, kami berangkat hari Kamis 4 Desember menggunakan Garuda GA 
430 pukul 11.15. Kami tiba di Bandara Selaparang, Mataram pukul 14.00 
WITA. Setelah bergabung dengan Pak Agus dan Pak Udin (UGM) dan Pak Heryadi 
Rachmat (Pemda NTB) di Mataram, rombongan melintasi jalan tengah Pulau 
Lombok menuju Kahyangan, nama pelabuhan penyeberangan ke Pulau Sumbawa 
yang terletak di bibir pantai timur Pulau Lombok. Di sepanjang perjalanan, 
tubuh gunungapi Rinjani dan endapan piroklastikanya membuat lahan Lombok 
menjadi subur. Kapal ferry yang akan membawa kami ke Sumbawa penuh dengan 
mobil pribadi, truk, dan bus yang akan menyeberang. Pukul 19.00, bus yang 
kami sewa baru dapat giliran menyeberang. Sebagian dari kami ada yang 
tidur di dek yang bersusun, ada juga yang ngobrol-ngobrol dan bercanda di 
geladak kapal sambil menikmati angin laut yang berhembus di atas Selat 
Alas – selat yang memisahkan Lombok dan Sumbawa. Pukul 21.00, kapal 
berlabuh di Pototano, lalu
 bus dengan kecepatan tinggi memacu jalannya menuju kota Sumbawa Besar. Di 
luar gelap dan hujan turun rintik-rintik. Pukul 23.00 kami tiba di sebuah 
hotel di dekat dermaga penyeberangan ke Pulau Satonda. Meskipun cukup 
melelahkan, sebagian besar dari kami tak dapat tidur sampai pukul 02.00; 
padahal pukul 05.30 esoknya kami harus bersiap-siap menyeberang ke 
Satonda.
 
Jumat 5 Desember pagi hari sambil sarapan kami mendapatkan cerita dari dua 
teman kami yang kamarnya diganggu ”penunggu” hotel ini (hm..). Ranjangnya 
diangkat dan dimiringkan, pintu pagarnya digoyang-goyang, pintu 
digedor-gedor, dll. Antara sadar dan tidak, teman itu bercerita apakah ada 
gempa semalam. Kami bingung menanggapinya sebab tak ada seorang pun yang 
merasakan gempa semalam. Pukul 06.15 kami memulai perjalanan laut menuju 
Satonda menyeberangi Teluk Saleh dan Selat Batahai yang sangat indah. 
Suasana laut yang begitu biru dan teduh karena terlindung oleh Pulau Moyo 
dari gelombang Laut Flores di sebelah utara, membuat kami yang umumnya 
ngantuk karena kurang tidur menjadi semangat. Semua kawan ingin merasakan 
terpaan angin laut pagi hari, maka kami duduk di puncak anjungan kapal 
atau di geladak depan kemudi. Sejauh mata memandang adalah laut biru dan 
biru. Awan putih berarak di langit yang juga biru. Di kejauhan nampak 
Pulau Moyo yang dibentengi
 terumbu karang modern yang terangkat. Siapa yang menyangka kalau di tepi 
pulau ini ada sebuah resort internasional yang memasang tarif 1000 USD per 
malam dan pernah dikunjungi Lady Diana semasa hidupnya. Pukul 10.15 kami 
tiba di depan Pulau Satonda. Kapal membuang jangkar beberapa ratus meter 
dari bibir pantai agar tak kandas. Dengan perahu motor kami diantar 
menginjak Pulau Satonda.
 
Hampir empat jam kami gunakan mengeksplorasi pulau ini. Dari luar, pulau 
ini tak berbeda dengan pulau-pulau lain di sekitarnya. Siapa yang 
menyangka, begitu kami masuk ke dalamnya mengikuti jalan setapak naik dan 
turun, tiba-tiba kami disuguhi pemandangan yang spektakular : Danau air 
asin Satonda yang berwarna hijau kebiruan dikelilingi tebing berhutan 
lebat yang dibangun oleh lava dan tuf. Danau ini baru terbuka kepada ilmu 
pengetahuan ketika pertama kali ditemukan tahun 1984 melalui ekspedisi 
Snellius II. Buat penghuni di sekitarnya tentu saja danau ini sudah 
diketahui keberadaannya seumur penghunian di wilayah ini, tetapi ia baru 
diketahui sangat berharga untuk ilmu pengetahuan setelah ekspedisi 
Snellius II. Ternyata, Danau Satonda adalah satu dari hanya sekitar lima 
tempat di Bumi yang menyerupai lautan PraKambrium. Di Indonesia, ia 
diketahui satu-satunya.
 
Begitu mendekati bibir danau, kami disuguhi singkapan stromatolit Kuarter 
di atas permukaan danau yang tentu saja organismenya sudah mati dan 
membangun struktur terumbu masif. Gambaran kasat mata, terumbu stromatolit 
ini menyerupai terumbu karang yang dibangun scleractinian coral, tetapi ia 
sama sekali tak mengandung koral. Kesan kemiripannya berasal dari semen 
dan matriks gampingannya. Perbedaan yang segera bisa terlihat adalah 
struktur laminasi yang bisa ditemui di beberapa bagian singkapan. Keunikan 
stromatolit Danau Satonda adalah bahwa ia bersatu tempat lingkungan dengan 
endapan piroklastika berupa lava andesit basaltik dan tuf. Tidak 
mengherankan sebab Danau Satonda sesungguhnya adalah danah kawah 
gunungapi. 
 
Kesan bahwa ini merupakan miniatur laut pada Kurun PraKambrium akan 
diperoleh bila kita melakukan snorkeling dan menyelam. Seorang teman 
kebetulan membawa kamera digital bawahair, maka sambil melakukan 
snorkeling foto-foto bawahair diperoleh. Perahu motor yang mengantar kami 
dari kapal tadi diangkut banyak awak kapal melalui jalan setapak naik 
turun menuju danau. Baru kali itu saya melihat perahu berat diangkut 
ramai-ramai naik-turun bukit. Tadinya memang kami akan menggunakan perahu 
karet, tetapi sobek saat diturunkan dari kapal. Dengan perahu itu, 
sebagian dari kami mengelilingi seluruh kawasan danau mengamati 
stromatolit yang tersingkap maupun yang masih hidup mulai dari kedalaman 
sekitar 5 meter. Bagaimana makhluk hidup di danau ini ? Sepi sekali. Hanya 
stromatolit, ganggang hijau yang mengambang sampai permukaan, keong 
gastropoda kecil berwarna hitam yang tak lebih besar dari ujung pinsil, 
dan ikan-ikan sebesar teri berwarna hitam. Itu saja yang
 sempat kami saksikan. Air danau adalah air asin, air laut. Hasil 
penelitian para ilmuwan yang pernah mendatangi danau ini dan menyelaminya 
sampai dalam (sayangnya seluruhnya adalah ilmuwan asing), kimia air ini 
sangat basa (alkalin) dengan salinitas yang semakin tinggi semakin dalam. 
Kondisi ini ekstrim untuk kehidupan normal saat ini, sehingga yang bisa 
bertahan hidup hanya organisme yang cocok dengan kondisi itu atau yang 
telah mengalami perubahan evolusi (spesiasi terhadap lingkungan). Karena 
stromatolit berlimpah pada kurun PraKambrium, maka lautan pada kurun itu 
dipikirkan juga sebagai lautan yang alkalin mirip analognya sekarang (”the 
present is the key to the past”). Diskusi tentang stromatolit PraKambrium 
dan lingkungannya serta kimia air laut Satonda dapat dilihat di bawah.
 
Bagaimana peluang stromatolit sebagai reservoir migas ? Sangat baik – 
istimewa. Dari contoh-contoh singkapannya di Danau Satonda kami melihat 
bahwa porositasnya sangat berkembang baik secara primer melalui 
batas-batas struktur laminasinya, maupun sekunder melalui diagenesis 
ganggang dan struktur bakterinya. Secara mineralogi, kedua mikroba ini 
disusun oleh Mg-Ca dan aragonitik, sehingga mudah terdisolusi 
mengembangkan porositas. Maka, kalau di Indonesia ditemukan lapisan 
terumbu stromatolit di Paleozoikum Bawah, potensinya sebagai reservoir 
akan baik. 
 
Setelah puas meneliti Danau Satonda, kami kembali mengikuti jalan setapak 
naik dan turun menuju bibir pantai yang berhubungan dengan laut lepas tepi 
Laut Flores. Di jalan pulang kami berpapasan dengan sekitar sepuluh turis 
asing (Amerika) anak-anak dan dewasa, lelaki dan perempuan, yang hendak 
berenang di Danau Satonda. Hm, tempat seterpencil Satonda masih juga 
diketahui mereka. Tentu saja, sebab Satonda adalah salah satu aset 
pariwisata Sumbawa di samping Tambora. Dan, ia pun aset penting ilmu 
pengetahuan. Beberapa turis asing ini berbaik hati saat pulang ikut 
mengangkat perahu motor kami dari Danau Satonda.
 
Di pantai Satonda yang berhubungan dengan laut lepas Laut Flores, kami 
melakukan snorkerling dan pemandangannya sungguh luar biasa. Betapa 
indahnya terumbu-terumbu karang yang masih hidup itu, dengan berbagai 
bentuk dan warna, berkedip dan berdenyut atau melambai bergerak-gerak oleh 
godaan air laut. Sementara itu puluhan jenis ikan karang yang warnanya 
sangat indah dan kontras berenang-renang di antara bunga karang. Ini tak 
berbeda dengan pemandangan terumbu karang di Kepulauan Seribu, atau di 
Bunaken, atau di Taka Bone Rate, atau di Raja Ampat, dan di tempat-tempat 
lain. 
 
Bandingkan, dalam jarak yang tak sampai satu km, kehidupan di dalam Danau 
Satonda yang juga diisi air laut, dengan kehidupan di tepi pantai Satonda, 
sangat jauh – ibarat tanah dengan langit. Kehidupan di Danau Satonda 
sangat sepi dan suram, sementara di tepi pantai Satonda sangat ramai dan 
ceria. Apa yang menyebabkannya ? Kimia air laut dan lingkungan geologi 
kedua wilayah berjarak tak sampai satu km itu sangat jauh. Saya baru 
percaya bahwa Danau Satonda benar-benar merupakan analogi lautan 
PraKambrium yang alkalin, kehidupan bersel tunggal, sepi, didominasi 
stromatolit, evolusi awal kehidupan setelah membandingkan dua kontras ini. 
Boleh dibilang bahwa dalam jarak tak sampai satu km dari Danau Satonda ke 
pantai Pulau Satonda kita melangkah dari kurun PraKambrium ke Resen –suatu 
perjalanan 1000 juta tahun.
 
Pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan ke kaki Gunung Tambora yang pernah 
meletus secara katastrofik pada tahun 1815 dan sampai saat ini menduduki 
peringkat teratas di dunia dalam letusan gunungapi dalam sejarah manusia. 
Konon gunung ini pernah setinggi 4200 meter, membuat gunungapi tertinggi 
di seluruh kawasan Hindia Timur (Indonesia sekarang). Indeks letusan 
gunungapi ini menduduki angka 7 – itu adalah angka tertinggi, dengan 
energi empat kali lebih besar dari energi letusan Krakatau 1883 yang 
menduduki indeks angka 6. Letusan Tambora ini pernah membuat dunia tanpa 
musim panas sehingga kelaparan dan penyakit melanda di mana-mana di 
seluruh dunia. Gunung di ujung utara Sumbawa inilah biang bencana saat 
itu. Sore itu kami akan mengamati urutan endapan piroklastikanya yang 
tersingkap di pantai bernama Pantai Kenanga.
 
Setelah sampai di seberang Pantai Kenanga, beberapa dari kami kembali 
diantar menggunakan perahu motor. Kami mendarat di bibir pantai dan segera 
disambut pasir besi berwarna hitam yang panas. Pasir besi ini adalah 
penyaring air laut yang baik. Penduduk setempat menggali tak sampai satu 
meter di pinggir pantai akan menemukan air tawar. Di tebing pantai kami 
mengamati singkapan piroklastika letusan Tambora 1815. Letusan Tambora 
yang hebat berlangsung empat bulan dari April – Juli 1815. Setiap letusan 
mengirimkan endapan piroklastikanya, sebagian ke wilayah ini dan 
terawetkan. Beberapa batang pohon yang telah mengarang dan menyerpih 
tertanam di dalam tuf. Tuf dan batu apung banyak menyusun singkapan, 
mencirikan bahwa magma asam diletuskan dengan kekuatan yang besar. 
Batang-batang pohon itu dulunya mesti berasal dari hutan di lereng Tambora 
yang diserbu awan panas dengan gelombang kecepatan hempasannya mencabut 
pepohonan dan membakarnya kemudian
 mencampuradukkannya dengan abu gunungapi sampai kemudian tersingkap 
menjadi kesatuan. Arang dari pohon ini baik kalau ditera umurnya 
menggunakan pentarikhan umur absolut menggunakan karbon-14.
 
Pengamatan hari ini berakhir pukul 16.00, kami kemudian menempuh 
perjalanan laut selama empat jam kembali ke hotel di Sumbawa Besar, 
menyeberangi Teluk Saleh. Dari kejauhan kami mengamati terumbu koral 
Kuarter yang terangkat membentengi pulau-pulau di dekat Selat Batahai. 
Terumbu koral terangkat ini adalah suatu bukti bahwa pulau-pulu ini masih 
terangkat didesak dari bawah oleh mekanisme Sesar Flores yang terkenal 
itu. Malam hari di atas pukul 19.00 langit gelap di atas anjungan dan 
geladak kapal berhiaskan semburat bintang-gemintang yang sangat indah – 
sebagian badan galaksi Bima Sakti yang semburatnya di langit membentuk 
jalur sejajar dengan arah kapal bisa saya lihat, juga rasi bintang paling 
mudah diamati di langit : Orion – yang dicirikan sabuk bertatahkan tiga 
bintang di ikat pinggang sang pemburu itu. Pukul 20.00 kami sampai di 
hotel dan tentu saja segera makan malam setelah kegiatan melelahkan tetapi 
sangat menyenangkan hari ini. Sampai pukul
 22.30 kami masih melanjutkan diskusi, mereview apa yang kami lihat hari 
ini. Sampai pukul 24.00 saya bersama Pak Heryadi Rachmat masih berdua di 
loby hotel menyusun bahan presentasi tentang potensi migas NTB untuk 
disajikan esok harinya kepada para pejabat Pemda NTB.
 
Sementara itu, di sebuah kamar/bungalow hotel yang ditempati seorang teman 
yang malam sebelumnya diganggu “penunggu” hotel, sampai pukul 03.00 
ternyata masih mengalami gangguan. Seorang teman yang memiliki kemampuan 
supranatural soal “alam” ini membenarkan bahwa memang ada gangguan itu. 
Tetapi hanya menakut-nakuti, bukan untuk yang lain. Di tempat terpencil 
seperti ini, saya pikir wajar saja kalau itu terjadi. 
 
Sabtu 6 Desember 2008 pagi hari kami sarapan di hotel sambil bersiap 
pulang kembali ke Lombok. Pukul 08.00 kami mulai melakukan perjalanan 
menuju Pototano, pelabuhan penyeberangan Sumbawa-Lombok. Pukul 10.30 kami 
tiba di sana. Pemandangan sungguh indah buat seorang geologist walaupun 
gersang sebab banyak bukit gundul baik di darat maupun di laut. Saat 
perjalanan pergi pada Kamis malam kami tak melihatnya sebab saat itu gelap 
dan sedikit hujan. Pukul 11.00-13.00 kami menyeberangi Selat Alas. Tiba di 
Pelabuhan Kahyangan, Gunung Rinjani yang perkasa kembali kami lihat. Tak 
jauh dari pelabuhan, kami berhenti di sebuah bukit tandus yang disebari 
bongkah andesit basaltik hasil letusan Rinjani. Keunikannya adalah bahwa 
piroklastika di bukit ini bersatu tempat dengan batugamping terumbu – 
mencirikan bahwa tumpahan piroklastika masuk ke dalam laut yang ditumbuhi 
karbonat terumbu.
 
Pukul 15.00 kami berhenti di sebuah objek wisata Narmada –sebuah istana 
Kerajaan Lombok-Karangasem yang didirikan tahun 1775. Yang menarik dari 
Narmada adalah bangunan/arsitektur kolam-kolam airnya yang luar biasa, 
kelihatan sangat kokoh dan indah. Tentu pada saat dibangun, telah 
menggunakan keahlian lokal dalam merancang dan membangunnya. Pukul 16.30 
kami tiba di Senggigi dan menginap di sebuah hotel di kawasan pantai 
paling terkenal di Lombok ini. 
 
Malam hari dari pukul 19.00-23.15 kami mengadakan acara di tepi pantai 
Senggigi berupa makan malam, hiburan, presentasi teknis, dan pemutaran 
film – sebuah ramuan acara yang unik menggabung hiburan yang santay dan 
presentasi teknis yang serius. Beberapa tamu turis asing pun ikut 
menikmati acara kami itu di meja-meja dekat restoran. Saat makan malam, 
hujan mulai rintik-rintik turun. Wah...padahal panggung dan meja-meja 
telah disusun rapih. Pawang hujan pun dipanggil, dan dengan kekuatan 
magisnya yang tak bisa dipahami terlihat mega mendung mulai beringsut ke 
Mataram. Lalu bulan pun kembali terlihat dan langit cerah sampai acara 
usai. Di Mataram sementara dikabarkan turun hujan (hm..). Sekitar 15 orang 
pejabat dari Pemda NTB hadir dan larut bersama kami dalam acara-acara yang 
telah disusun. Presentasi teknis ada dua, yaitu : (1) mengenalkan fungsi 
dan peranan BPMIGAS di Indonesia ditambah dengan gambaran eksplorasi migas 
secara umum, dan (2) menunjukkan
 ringkasan dan hasil kegiatan ekspedisi atau ekskursi kami ke Pulau 
Satonda, dan potensi migas wilayah Lombok-Sumbawa. Acara berakhir dengan 
pemutaran film koleksi Pak Heryadi Rachmat tentang : erupsi Tambora, 
penelitian Satonda, dan letusan Gunung Rinjani.
 
Minggu 7 Desember 2008 pukul 14.20 kami meninggalkan Lombok kembali menuju 
Jakarta dengan Garuda GA 433.
 
Ekspedisi/ekskursi yang kami lakukan, dibantu oleh UGM dan Pemda NTB, 
serta melibatkan perusahaan jasa event organizer di Jakarta, dan 
perusahaan jasa pariwisata di Lombok telah berjalan dengan sukses, lancar 
dan selamat. Target yang kami rancang jauh-jauh hari semuanya tercapai. 
Buat seorang geologist seperti saya, pekerjaan lapangan adalah suatu 
kemutlakan, juga bermanfaat untuk kawan-kawan nongeologi, mereka mengenal 
bagaimana geologi dan pekerjaan seorang geologist.
 
Perjalanan ini juga mendapatkan liputan yang cukup luas dari media-media 
lokal maupun nasional. Seorang wartawan Kantor Berita Antara bahkan 
mengikuti kami sejak Mataram sampai Satonda. Beberapa berita telah 
diturunkan di TV maupun surat kabar. Meskipun demikian klarifikasi harus 
dilakukan sebab ada beberapa mispersepsi dalam pemberitaan.
 
Semoga catatan ini bermanfaat.
 
Salam,
awang 
 
LAMPIRAN
 
[iagi-net-l] Stromatolit Satonda, Sumbawa : "Time Tunnel to Pra-Cambrium 
Seas"
Awang Satyana
Sat, 03 Nov 2007 08:26:05 -0800Seorang rekan geologist bertanya tentang 
stromatolit di pulau kecil Satonda utara Sumbawa. Pulau sekecil Satonda 
yang belum tentu muncul pulaunya atau namanya di atlas2 anak sekolah, 
memiliki arti yang begitu besar sebab langka sekali tempat seperti Satonda 
di Bumi ini - yaitu memiliki stromatolit, terumbu paling tua yang telah 
muncul sejak Archean. Kurang apalagi keistimewaan geologi Indonesia ? 
Semoga berguna.     salam,  awang     Ribuan-ratusan juta tahun sebelum 
binatang2 bersel banyak (metazoans) pembangun kompleks terumbu muncul, 
sekelompok organisme marin prokariotik (golongan bakteri dan alga 
biru-hijau dengan sel yang intinya belum jelas terpisah di dalam 
sitoplasma) diketahui telah mampu membangun struktur2 batugamping terumbu 
yang masif. Struktur2 masif ini ternyata dapat melewati ribuan-ratusan 
juta tahun masa pelapukan/perusakan , sehingga struktur2 ini kini masih 
dapat ditemui membangun beberapa
 unsur bentang alam di Amerika Utara, Afrika, Asia, dan Australia. 
Struktur2 terumbu awal ini dikenal sebagai Stromatolit, terbentuk dalam 
suatu lingkungan oseanografik yang memerlukan kondisi 
tertentu. Stromatolit adalah struktur organo-sedimen (simbiose antara 
ganggang-sedimen gampingan) yang dihasilkan oleh setumpuk besar lembaran2 
coccoid cyanobacteria (dikenal juga sebagai ganggang biru-hijau, bakteri 
biru-hijau, myxophyceae atau chyanophyta) , melalui pemerangkapan sedimen 
gampingan, pengikatan, dan/atau pengendapan. Proses pembentukan 
stromatolit ini banyak dibahas di dalam Walter (1976 ? Stromatolites, 
Elsevier, Amsterdam; buku sangat tebal hampir 800 halaman membahas A 
sampai Z tentang stromatolit) ; Walter (1983 ? Archean stromatolites : 
evidence of the Earth?s earliest benthos, dalam buku Earth?s Earliest 
Biosphere, Princeton Univ. Press). Menurut Bates dan Jackson (1987, eds. ? 
Glossary of Geology, American Geological Institute),
 istilah stromatolit diusulkan oleh Kalkowsky pada 1908 sebagai 
stromatolith (kemudian menjadi stromatolite/ algal stromatolite; sedangkan 
stromatolith dipakai Foye 1916 untuk tubuh intrusi magma retas lempeng 
?sill yang menjemari dengan batuan sedimen) Stromatolit muncul untuk 
pertama kalinya pada suatu waktu antara Archean tengah-Archean akhir 
(sekitar 3000 juta tahun yang lalu -Ma atau 3 Ga ? giga years ago/milyar 
tahun yang lalu). Menjelang awal Proterozoikum (2,5 Ga) mereka berkembang 
dalam lingkungan yang luas. Fosil stromatolit paling tua ditemukan di 
Zimbabwe baratdaya (2800-3100 Ma ?menurut Stokes et al., 1978 ? 
Introduction to Geology, Prentice Hall). Tulisan Pellant dan Phillips 
(1990 - Rocks, Minerals, and Fossils of the World ? Little, Brown and Co. 
) menyebutkan bahwa stromatolit dapat berkembang seawal 3800 
Ma. Stromatolit merupakan organisme pembangun terumbu yang dominan selama 
Pra-Kambrium (meliputi Archean dan Proterozoikum) dan
 berlanjut sampai sekitar 600 Ma (memasuki Kambrium pada 570 Ma). Sejak 
itu, terjadi penurunan kelimpahan stromatolit. (Fagerstorm, 1987 ? The 
evolution of reef communities, John Willey and Sons). Stromatolit masih 
ditemukan sepanjang Paleozoik, Mesozoik, dan Tersier, dengan kelimpahan 
yang semakin menurun (Fagerstrom, 1987).  Di samping sebagai pembangun 
terumbu tingkat awal, stromatolit juga telah memainkan peranan penting 
dalam membentuk komposisi kimiawi atmosfer. Cyanobacteria pembentuk 
stromatolit adalah makhluk yang berfotosintesis. Seperti kita tahu, produk 
fotosintesis adalah oksigen. Maka, pembentukan stromatolit dengan 
sendirinya telah mengoksigenasi atmosfer awal Bumi yang miskin oksigen 
pada Archean dan Proterozoikum menjadi mempunyai oksigen yang cukup. 
Dengan hadirnya oksigen, maka mulailah berkembang fauna2 bersel tunggal 
yang membutuhkan oksigen, diperkirakan itu terjadi pada pertengahan 
Proterozoikum (1500 Ma). Pada ujung
 Proterozoikum atau memasuki Kambrium, tingkat oksigen sudah 10 % daripada 
tingkatnya sekarang, maka mulailah metazoa marin berkembang (Gross, 1990 ? 
Oceanography : a view of the Earth, Prentice Hall). Pada awal Kambrium, 
dalam evolusi makhluk hidup terjadi apa yang disebut dengan Ledakan 
Kambrium (Cambrian Explosion). Ini adalah ledakan kelimpahan fauna 
metazoan. Kelimpahan metazoan ini menciptakan persaingan, dan fauna 
prokariotik pembangun stromatolit di pihak yang kalah, sehingga telah 
menurunkan perkembangan stromatolit secara signifikan. Namun, Stromatolit 
adalah bentuk yang tahan banting, ia telah ditemukan dapat berkembang 
sampai sekarang (Resen) di beberapa bagian dunia di tempat yang sangat 
spesifik, yang terkenal adalah yang berkembang di Shark Bay (Teluk Hiu) di 
Australia barat, di utara Perth.  Karena Indonesia sebagian besar disusun 
oleh formasi batuan berumur muda, stromatolit hampir tidak pernah 
ditemukan dalam catatan fosil Indonesia.
 Stromatolit dapat melewati masa kepunahan besar (masal) pada ujung Perem 
dan ujung Kapur, tetapi kalau mereka dapat berkembang sampai Resen, maka 
mereka akan membutuhkan lingkungan yang sangat khusus yang secara umum 
merupakan lingkungan yang berbahaya buat makhluk hidup lainnya. Maka, 
mereka akan hidup di lingkungan yang cocok buatnya tetapi tak cocok buat 
makhluk lain, tanpa saingan, tak mengherankan mereka bisa bertahan sampai 
Resen. Sedikit sekali di dunia stromatolit Resen dapat berkembang sebab 
kekhususan lingkungan yang menjadi prasyaratnya. Stromatolit Resen terbaik 
yang banyak dipelajari para ahli adalah terumbu stromatolit Hamelin Pool, 
laguna hipersalin (super asin) di Shark Bay, Australia Barat (foto 
stromatolit ini sering muncul di buku2 teks sains kebumian), Lake Van di 
Anatolia,Turki, yang merupakan danau berkadar soda terbesar, dan di 
sebagian Bahama Banks, perairan Amerika Tengah.  Bahwa Indonesia ternayata 
punya stromatolit (Resen)
 baru diketahui pada tahun 1984 melalui ekspedisi gabungan 
Indonesia-Belanda ke Indonesia Timur melalui kapal marin Snellius II 
(Tomascik et al., 1997, The Ecology of the Indonesian seas, vol. II, 
Periplus; dan Monk et al., 1997, The ecology of Nusa Tenggara and Maluku, 
Periplus). Sekelompok ilmuwan dalam ekspedisi tersebut menemukan 
perkembangan stromatolit di sebuah pulau kecil bernama Satonda, sebuah 
pulau kecil bekas gunungapi di sebelah utara Sumbawa. Di gunungapi Satonda 
(sebut saja begitu) terbentuk danau kawah yang disebut Danau Motitoi. Di 
tepi danau ini ditemukan sebaran luas terumbu gampingan stromatolit. Danau 
Motitoi adalah danau kawah berkadar alkalin (soda), dalam maksimumnya 69 
meter, luasnya 77 hektare. Terima kasih atas publikasi dari Kempe dan 
Kazmierczak (1990 ? Chemistry and stromatolites of the sea-linked Satonda 
crater lake, Indonesia : a Recent model for the Precambrian sea ?, 
Chemical Geology 81, p. 299-310) dan Kempe dan
 Kazmierczak (1993 ? Satonda crater lake, Indonesia : hydro-geochemistry 
and biocarbonates, Facies 28, p. 1-32) sehingga masyarakat keilmuan lain 
di luar Ekspedisi Snellius II dapat mengetahui penemuan penting ini. 
 Penyelidikan menunjukkan bahwa stromatolit Satonda bermula pada 4000 
tahun yang lalu dan merupakan stromatolit yang diproduksi oleh 
cyannobacteria. Pembentukan terumbu biogenik yang tidak biasanya ini 
dimungkinkan oleh kondisi hidrologi dan biogeokimia yang unik di danau 
kawah Motitoi. Secara hidrologi, danau ini punya perlapisan massa air yang 
unik. Terbentuk chemocline (batas oksigen dan H2S) yang tegas pada 
kedalaman 24-26 meter. Terumbu stromatolit Danau Motitoi terbentuk melalui 
interaksi empat organisme pembangun terumbu. Kelompok organisme ini 
merupakan pengendap aragonit (mengandung magnesium seperti koral), yaitu 
coccoid cyanobacteria, ganggang koral merah Lithoporella sp., dan 
sekelmpok foram nubecullinid. Di samping itu, terdapat
 kelompok spesies yang tak berlimpah berupa ganggang merah gampingan 
mengerak Peyssonnelia sp. yang bahan rangkanya terutama terdiri atas 
kristal-kristal aragonit luar sel yang tak terlalu terkompaksi.  Bakteri 
biru hijau (cyannobacteria) Danau Motitoi menurut Kazmierczak dan Kempe 
(1990 ? Modern cyannobacterial analogs of Paleozoic stromatoporoids, 
Science 250, p. 1244-1248) dari kelompok Pleurocapsa, yaitu cyannobacteria 
yang bereproduksi melalui multiple fiission (pembelahan banyak). Tetapi, 
Pleurocapsa ini juga dapat melakukan binary fission (pembelahan ganda) 
(Delaney, 1990 ? Cyannobacteria, dalam Clayton dan King, eds, Biology of 
Marine Plants, Longman Cheshire) dan jenis inilah yang merupakan penyusun 
utama terumbu stromatolit Satonda  Dua ganggang gampingan yang ditemukan 
di Danau Motitoi merupakan komponen struktur sangat penting terumbu 
stromatolit Satonda (Tomascik et al., 1997). Ini tak mengherankan sebab 
Corallinaceae dan
 Peyssonneliaceae (Rhodophyta) merupakan kelompok pembangun terumbu yang 
memiliki fungsi utama melakukan penyemenan atas sedimen 
terumbu. Pembentukan stromatolit terumbu Satonda di Danau Motitoi 
ditemukan terbatas pada lapisan permukaan sampai kedalaman batas 
oksigen/H2S (24-26 meter). Pembentukan terumbu terutama ditemukan dari 
permukaan sampai kedalaman 12 meter di mana bakteri biru-hijau berkembang 
secara dominan bersama ganggang kerang (coralline algae) Lithoporella sp. 
Dan ganggang dari genus Peyssonnelia yang kurang dominan. Keterdapatan 
stromatolit Resen di Satonda dalam danau kawah Motitoi yang alkalin 
mendukung hipotesis ?Soda Ocean? (Kempe dan Dagens, 1985 ? An early soda 
ocean ? ? Chemical Geology 53, p. 95-108; Kempe, 1991 ? De oerocean, een 
sodazee, Natuur en Techniek 59, p. 206-215) yang menyatakan bahwa laut 
Pra-Kambrium bersifat alkalin dan sangat dijenuhi oleh mineral karbonat. 
Menurunnya alkalinitas laut dan kejenuhan karbonat
 dapat menerangkan lenyapnya stromatoporoids pada ujung Paleozoikum. Hal 
menarik buat kita para ahli geologi adalah pembentukan habitat Satonda 
yang unik, yaitu terdapatnya danau kawah gunungapi (Danau Motitoi) yang 
diisi air laut. Dinding kawah Danau Motitoi curam berupa tebing setinggi 
300 meter di atas muka laut, terbuat dari lapisan tuf, lapili, dan bom 
volkanik, dan ditemukan beberapa retas tiang (dike intrusion). Depresi 
kawah Satonda diperkirakan terbentuk oleh runtuhan di atas dapur magma 
gunungapi Satonda akibat letusan 10.000 tahun yang lalu sehingga membentuk 
kawah. Ke arah selatan, dinding kawah pada suatu waktu kemudian merosot ke 
arah laut, sehingga tebing kawah di sini hanya setinggi 13 meter di atas 
muka laut (dari sisi inilah Danau Motitoi mudah dicapai). Struktur dinding 
yang merosot ini membentuk sistem pertelukan sehingga laut menjorok 
memasuki wilayah kawah. Air laut masuk ke danau kawah, menggantikan air 
tawar yang semula ada.
 Peristiwa marine flooding ini terjadi pada 3150 ribu tahun yang lalu, 
berdasarkan peneraan karbon-14 pada lapisan gambut yang luas yang 
ditemukan di bawah lapisan karbonat. Penggalian di tepi danau menemukan 
lapisan-lapisan moluska dan gastropoda serta fauna marin lainnya. Saat 
laut mundur pada suatu waktu, lapisan2 ini menjadi lapisan penghalang dan 
kemudian menjadi pemisah permanen danau kawah Satonda dari laut terbuka. 
 Saat ini Danau Motitoi telah kehilangan semua aksesnya ke laut di 
dekatnya. Akibatnya, air asin Satonda memiliki alkalinitas, pH, dan 
kejenuhan mineral karbonat yang lebih tinggi daripada laut di sekitarnya. 
Kondisi ini telah menghilangkan kemungkinan terdapatnya mikrobiota marin 
pada umumnya, tetapi sebaliknya ditemukan secara berlimpah struktur2 
seperti terumbu gampingan yang disusun oleh ganggang merah, serpulids, 
foram, dan yang paling menakjubkan adalah ditemukannya lembaran-lembaran 
insitu cyannobacteria yang mengandung kalsit.
 Morfologi dan struktur mikro terumbu Satonda memiliki mikrobialites 
(deposit organo-sedimen gabungan struktur lembaran organik yang 
termineralisasi) yang mirip dengan stromatolit kurun Archean dan 
Proterozoikum atau stromatoporoids Paleozoikum (Kazmierczak dan Kempe, 
1992 ? Modern cyannobacterial counterparts of Paleozoic Wetheredella and 
related problematic fossils, Palaios 7, p. 294-304). Pulau Satonda dan 
danau kawahnya oleh karena itu, merupakan laboratorium paleo-oseanografik 
yang sangat menarik yang berkembang pada saat Resen. Mikrobialit penyusun 
stromatolitnya mirip dengan mikrofosil stromatolit Pra-Kambrium dan 
Paleozoikum, yang terjadi pada lingkungan laut hipersalin, alkalin, miskin 
biota, tetapi kaya mikrobialit gampingan. Danau Motitoi memiliki ciri-ciri 
laut Pra-Kambrium dan Paleozoikum ini. Menyelam di Danau Motitoi, Pulau 
Satonda ibarat memasuki mesin atau terowongan waktu yang membawa orang 
dari Resen ke ratusan-ribuan jutaan tahun
 yang lalu saat Paleozoikum bahkan Pra-Kambrium. Maka, pulau sekecil 
Satonda yang belum tentu muncul atau bernama di banyak atlas anak sekolah, 
ternyata punya status keilmuan yang sangat besar. salam,awang


 





The information contained in this communication is intended solely for the 
use of the individual or entity to whom it is addressed and others 
authorized to receive it. It may contain confidential or legally 
privileged information. If you are not the intended recipient you are 
hereby notified that any disclosure, copying, distribution or taking any 
action in reliance on the contents of this information is strictly 
prohibited and may be unlawful. If you have received this communication in 
error, please notify us immediately by responding to this email and then 
delete it from your system. CNOOC is neither liable for the proper and 
complete transmission of the information contained in this communication 
nor for any delay in its receipt.

Kirim email ke