artikel bagus..

---------- Forwarded message ----------
From: solehudin.a...@gmail.com
Date: Thu, 17 Mar 2011 08:42:36 +0700
Subject: [Oil&Gas] Liberalisasi Migas Makin Beringas!
To: migas_indone...@yahoogroups.com





Dengan Menggunakan BBM Non-Subsidi, Kita Telah Menghemat APBN sebesar Rp
88,9 Triliun.," "Malu Dong, Mobilnya Mewah, Bensinnya Subsidi." Tulisan
tersebut kini bisa dengan mudah dibaca masyarakat di beberapa jembatan
penyeberangan jalan protokol dan beberapa SPBU (Stasiun Pengisian BBM Umum)
wilayah DKI Jakarta.

Menjelang penerapan pembatasan BBM Subsidi April mendatang, Pemerintah
memang kian genjar berkampanye tentang penggunaan BBM Non-Subsidi. Salah
satu alasan paling kerap dilontarkan Pemerintah untuk 'menghipnotis' rakyat
adalah penghematan APBN.

Pada APBN 2011, subsidi untuk BBM mencapai Rp 97,26 triliun, naik dari APBN
2010 sebanyak Rp 88,9 triliun. Anggaran itu untuk mensubsidi 38,591 juta
kiloliter. Rinciannya, 23,191 juta kiloliter premium, 13,085 juta kiloliter
solar, dan sisanya minyak tanah. Asumsinya, harga minyak 80 dolar AS/barel
dan kurs Rp 9.200 perdolar AS.

Kalkulasinya, jika konsumsi BBM bersubsidi, khususnya premium mencapai 53%
atau sebanyak 23 juta kiloliter, maka dengan adanya pembatasan, Pemerintah
bakal menghemat 10 juta kiloliter. Untuk memperkuat argumen itu, Pemerintah
mengajukan data konsumsi BBM bersubsidi pada tahun ini yang dipastikan
melebihi kuota. Besarnya kuota adalah 36,5 juta kiloliter. Pemerintah
berdalih, pembatasan BBM bersubsidi itu dilakukan agar kuota yang ada di
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 tidak terlampaui. Jika
kuota itu terlampaui, subsidi yang dikeluarkan Pemerintah akan melebihi
anggaran yang disediakan.

Niat Pemerintah membatasi konsumsi BBM subsidi sebenarnya sudah sejak lama.
Ketua BPH (Badan Pengelola Hilir) Migas, Tubagus Haryono, mengatakan,
pihaknya sudah merancang pembatasan tiga tahun lalu. Namun, saat itu
Pemerintah mengurungkan niatnya karena harga minyak dunia tengah terpuruk.

Sejak tahun lalu, hasrat itu kembali mencuat. Bahkan keputusan Pemerintah
sudah harga mati alias sudah final dan tidak bisa ditawar lagi. Pada tahap
awal, penerapan pembatasan BBM Subsidi akan berlaku April mendatang untuk
wilayah Jabodetabek. BPH Migas memperkirakan kebijakan itu akan berlaku
penuh di seluruh wilayah Indonesia pada Juli 2013.

Setidaknya ada beberapa opsi yang Pemerintah siapkan untuk memangkas
konsumsi BBM subsidi. Opsi pertama melarang semua kendaraan beroda empat
berplat hitam mengonsumsi BBM Subsidi. Artinya, hanya kendaraan umum,
kendaraan roda dua dan tiga, serta nelayan yang masih berhak membeli BBM
Subsidi.

Opsi kedua melarang kendaraan roda empat berplat hitam keluaran di atas 2005
mendapatkan BBM Subsidi. Selain kedua opsi tersebut, BPH Migas juga sudah
menyiapkan alternatif lain, yakni penggunaan kartu fasilitas.

Bahkan Pemerintah membentuk Tim Pengawas Khusus Pembatasan BBM Subsidi yang
dinahkodai Anggito Abimanyu. Tim tersebut yang akan mengkaji kebijakan
Pemerintah. Saat ini tim tersebut juga telah menyiapkan beberapa opsi,
yakni: menaikkan harga BBM, kuota konsumsi alias sistem penjatahan, subsidi
pertamax (untuk sementara), hingga menggunakan Liquied Gas Vehicle (LGV).

Pihak Asing Bermain

Kebijakan pembatasan BBM Subsidi disinyalir bukan semata-mata murni
menghemat kocek negara. Ada maksud lain. Setidaknya untuk kepentingan asing.
Dengan kata lain, pihak asing bermain di balik pembatasan BBM Subsidi.
Kebijakan Pemerintah ini justru membawa 'berkah' bagi perusahaan minyak
asing seperti Shell, Total dan Petronas. Sebab, harga BBM Non-Subsidi di
SPBU Pertamina tidak akan berbeda jauh dengan SPBU milik perusahaan asing.
Dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan, baik pelayanan dan kualitas,
konsumen bakal berbondong-bondong menyerbu SPBU asing. Country Chairman and
President Director PT Shell Indonesia Darwin Silalahi mengakui, kampanye
pembatasan konsumsi BBM Subsidi dalam beberapa bulan terakhir membuat
penjualan BBM Non-Subsidi meningkat. Bahkan diprediksi, penjualannya bakal
meningkat lebih tinggi jika Pemerintah resmi menerapkan pembatasan konsumsi
BBM Subsidi.

Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas)
Erie Purnomo Hadi menuding Pemerintah, dalam hal ini BPH Migas sebagai
regulator, lebih condong memihak SPBU non-Pertamina. Jika kebijakan
pembatasan BBM Subsidi ini dilakukan, sama saja BPH Migas sebagai regulator
secara tidak langsung membantu SPBU non-Pertamina atau SPBu-SPBU asing.
Menurut Erie, dengan kebijakan ini SPBU non-Pertamina justru yang menuai
keuntungan sebanyak-banyaknya. Apalagi SPBU non-Pertamina tidak dikenai
beban sosial untuk buka SPBU Subsidi. "BPH Migas bertindak tidak fair, BPH
Migas justru membantu SPBU non-Pertamina berkembang lebih jauh lagi,"
tegasnya.

Kecurigaan bahwa kebijakan Pemerintah itu untuk kepentingan asing datang
dari pengamat perminyakan, Kurtubi. Dia menduga, kebijakan pembatasan
konsumsi BBM Subsidi bermaksud menolong SPBU asing agar tetap hidup. Ini
karena SPBU asing tidak mempunyai pelanggan. "Pom-pom bensin asing sekarang
ini kekurangan pelanggan. Mau nggak mau rakyat akan mencurigai tujuannya
sebenarnya melarang rakyat membeli premium," katanya.

Pembatasan BBM Subsidi sudah pasti bakal menambah beban rakyat karena harus
mengeluarkan ongkos lebih mahal untuk membeli BBM. Dengan melepas BBM
Non-Subsidi sesuai harga minyak di pasar dunia membuat harganya akan sangat
tinggi. Akhir-akhir ini gejalanya mulai terlihat. Naiknya harga minyak dunia
membuat harga pertamax mulai mendekati BBM sejenis di SPBU asing.

Bagian dari Liberalisasi

Keberanian perusahaan asing menanamkan modal di sektor migas tidak lepas
dari rekayasa melepas harga BBM pada mekanisme pasar. Pada akhirnya adalah
kapitalisasi industri migas di Indonesia. Strateginya, melalui perusahaan
migas asing seperti Exxonmobil, Chevron, Total dan Shell yang mendapat
dukungan lembaga asing IMF (International Monetery of Fund), Bank Dunia dan
USAID mendorong Pemerintah Indonesia segera merevisi UU Minyak dan Gas
(Migas).

Pemerintah akhirnya meneken LoI (Lettern of Intent) dengan IMF pada 1998.
Sejak itu semua kebijakan Pemerintah akhirnya harus tunduk 'apa kata' IMF.
Sebagai bentuk komitmen terhadap pelaksanaan LoI IMF, di sektor Migas pada
1999 Pemerintah membuat draft UU Migas yang baru. Dalam Memorandum of
Economic and Finansial Policies (LoI IMF, Januari 2000) mengenai sektor
migas disebutkan, "Pemerintah berkomitmen mengganti UU yang ada dengan
kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh
Pertamina, menjamin kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi
dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga
domestik mencerminkan harga internasional."

Komitmen Pemerintah tersebut dipertegas lagi dalam LoI IMF Juli 2001.
"Pemerintah (Indonesia) berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi
yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada September, UU Listrik
dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan dan Energi
telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap
subsidi BBM."

Kemudian pada tahun 2000, Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID
memberikan pinjaman untuk memulai proses liberalisasi sektor migas itu.
Salah satu yang USAID garap dalam rangka liberalisasi adalah menyiapkan
draft UU yang baru. Bersama ADB (Asian Development Bank) dan World Bank
menyiapkan reformasi sektor energi secara keseluruhan. Dokumen USAID
menyebutkan, bahwa lembaga itu telah membantu pembuatan draft UU Migas yang
diajukan ke DPR pada Oktober 2000. Dalihnya, UU ini akan meningkatkan
kompetensi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan
eksplorasi dan produksi.

Dokumen lain menyatakan, pada 2001 USAID memberikan bantuan senilai 4 juta
dolar AS (Rp 40 miliar) untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan
membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para
penasihat USAID memainkan peran penting dalam membantu Pemerintah Indonesia
mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, yakni perubahan UU dan
peraturan. Guna memuluskan langkah meliberalisasi migas Indonesia, USAID tak
segan-segan menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk membayar lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi. Dokumen USAID menyebutkan,
pada 2001 lembaga itu merencanakan menyediakan 850 ribu dolar AS atau
sekitar Rp 8,5 miliar untuk mendukung LSM dan universitas. Dana itu untuk
mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran pada isu-isu sektor
energi, termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap
bensin bertimbal.

Akhirnya, UU No.22/2001 tentang Migas keluar. Dengan UU yang baru tersebut,
Pemerintah lalu membuka izin perusahaan-perusahaan asing masuk ke berbagai
tahap dalam proses migas di Tanah Air. Setelah menguasai industri hulu,
perusahaan migas asing kemudian melanjutkan misinya menguasai sektor hilir.

Di sektor hulu, beberapa perusahaan asing sudah menguasai ladang minyak dan
gas di Indonesia. Tercatat dari 60 kontraktor, lima di antaranya dalam
kategori super major, yakni Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina EIf, BP
Amoco Arco, dan Chevron Texaco, yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas
80%. Selebihnya masuk kategori Major, seperti Conoco, Repsol, Unocal, Santa
Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex yang menguasai cadangan minyak 18%
dan gas 15%. Perusahaan independen hanya menguasi cadangan minyak 12% dan
gas 5%. Diperkirakan hasil dari mengeruk kekayaan alam Indonesia mencapai
1.655 miliar dolar AS atau 17 ribu triliun/tahun.

Di sektor hilir, kini beberapa perusahaan asing seperti Shell, Total dan
Petronas telah menancapkan kukunya dengan membangun SPBU di lokasi-lokasi
strategis. Setidaknya ada 105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin
mendirikan SPBU. Bahkan Pemerintah memberikan kesempatan kepada
masing-masing perusahaan untuk membuka sekitar 20 ribu SPBU di seluruh
Indonesia. Sebagai regulatornya, IMF, Bank Dunia dan USAID berhasil merayu
Pemerintah mendirikan BP Migas. Padahal pada masa Orde Baru, lembaga
tersebut tidak pernah ada. BP Migas kemudian menjadi corong lembaga dunia
untuk menyuarakan misi mereka, yakni orientasi pasar.

Di sisi harga, lembaga keuangan dunia mendorong agar Pemerintah melepas
pemasaran ke mekanisme pasar. Salah satu caranya adalah dengan pencabutan
subsidi BBM dan melepas harga BBM ke pasar. Dengan cara itu,
perusahaan-perusahaan asing baru bisa bersaing dengan Pertamina. Target IMF
sebenarnya harga BBM sudah bisa diserahkan ke pasar pada 2005. Namun, di
tengah jalan UU Migas terganjal Mahmakah Konstitusi (MK), setelah ada
penolakan UU Migas tersebut. MK kemudian membatalkan Pasal 28 ayat 2 tentang
pelepasan harga BBM ke pasar. Meski kalah di MK, keinginanan meliberalisasi
pasar BBM di Indonesia tidak pernah berhenti. Menurut Pengamat Ekonomi dari
UGM, Revrisond Baswier, setelah dinyatakan UU itu bertentangan dengan
konstitusi, mereka jalan terus dengan mengubah istilah harga pasar menjadi
harga keekonomian. "Itu hanya untuk berkelit saja. Karena harga pasar
dilarang MK, maka ganti yang lain, tetapi maksudnya sama," ujarnya.

Makin Beringas

Pangkal kekisruhan pengelolaan migas di Indonesia adalah ketika Pemerintah
menerbitkan UU No 22/2001 tentang Migas. Lahirnya UU yang pro Kapitalisme
itu justru menjadi sejarah memburuknya sektor migas. Sebagai sektor andalan
(penyumbang devisa), nasib sektor migas sekarang sangat memprihatinkan.

Sejak 2001, sesudah terbitnya UU Migas, tak ada catatan prestasi seperti
nilai investasi ataupun penemuan lapangan migas baru. Padahal potensi migas
di Indonesia masih sangat besar. Diperkirakan cadangan minyak bumi sebesar
4,4 miliar barel dan cadangan gas lebih dari 300 triliun kaki kubik. Sayang,
kekayaan alam tersebut tidak banyak memberikan manfaat kepada rakyat, karena
sebagian besar dikuasai asing. Data  Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral pada 2009, dari total produksi minyak di Indonesia,  Pertamina hanya
memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai swasta asing  seperti Chevron (41%),
Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips  (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Ketika
kontrak habis Pemerintah melalui BP Migas malah memperpanjang kontrak itu
ketimbang menyerahkan ke Pertamina.

Potensi sumberdaya migas Indonesia, yang semestinya masih bisa dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seolah hilang begitu saja karena
aturan-aturan dalam UU Migas tidak berpihak kepada rakyat. UU itu malah
membuka pintu selebar-lebarnya liberalisasi atau masuknya pihak asing dalam
pengelolaan kekayaan alam Indonesia. Apalagi pada 2007, Pemerintah dengan
persetujuan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing. UUU ini
makin memperkuat cengkeraman liberalisasi karena tidak lagi membedakan
kedudukan investor dalam negeri dengan investor asing. Bahkan secara jelas
memberikan keleluasaan korporasi untuk berkecimpung dalam segala sektor
ekonomi, tidak terkecuali sektor-sektor strategis yang menentukan hajat
hidup orang banyak.

Di sisi lain, dalam UU Migas, Pertamina diperlakukan  sama dengan perusahaan
swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan  konsesi pengelolaan ladang
migas. Padahal negara lain seperti Malaysia memberikan wewenang sangat besar
kepada Petronas sehingga mampu menggeser dominasi swasta. Di Cina dan
sejumlah negara Amerika Latin sektor energi sepenuhnya dikuasai negara
sehingga produksi dan harga di pasar domestik bisa dikendalikan.

Harus Ditolak!

Karena menjadi sebuah ancaman, sudah selayaknya UU Migas, khususnya rencana
pembatasan BBM subsidi harus ditolak. Menurut Pengamat Ekonomi, Dr. Arim
Nasim, setidaknya ada beberapa alasan penolakan. Pertama: pembatasan BBM
subsidi menjadi 'jalan tol' menuju liberlisasi migas. Kedua: alasan
Pemerintah bahwa subsidi BBM memberatkan APBN juga tidak benar. Dalam APBN
2011, justru utanglah yang menjadi beban terberat APBN. Ketiga: anggapan
bahwa konsumsi BBM rakyat Indonesia termasuk yang paling boros juga salah.
Data Bank Dunia, konsumsi BBM Indonesia justru masih nomor 90 di dunia,
yakni sebanyak 849 kg/kapita. Lebih rendah dari rata-rata konsumsi dunia
sebanyak 1.891 kg/kapita, juga jauh di bawah negara Afrika Botswana yang
mencapai 1.068 kg/kapita.

Alasan lain, ungkap Arim Nasim, adalah pengelolaan BBM di Indonesia tidak
profesional dan efisien akibat adanya broker dan korupsi. Salah satu amanat
lain dari UU Migas yang membuat pengelolaan migas di Indonesia makin tidak
efisien adalah unbundling (pemecahan) dalam tubuh Pertamina. Dengan
kebijakan itu, perusahaan plat merah itu harus membuat anak perusahaan dalam
mengelola kegiatan dari sektor hulu hingga hilir. Akibat pola unbunduling
biaya pokok BBM Pertamina menjadi lebih mahal.

Dengan alasan-alasan tersebut sangat wajar jika rakyat menolak seluruh
kebijakan liberalisasi sektor migas di negeri ini. [Yulianto]

sumber:
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/03/02/liberalisasi-migas-makin-beringas/

--------------------------------------------------------------------------------
PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt & Bdg), 5 departemen, banyak biro...
--------------------------------------------------------------------------------
Ayo siapkan diri....!!!!!
Hadirilah Joint Convention Makassar (JCM), HAGI-IAGI, Sulawesi, 26-29
September 2011
-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI or 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke