Untuk WK CBM dibuat tersendiri mungkin tidak akan terlalu merepotkan secara 
teknis, tetapi WK Shale Gas dan WK Tight Sand kalau dipisah dengan WK Migas 
(baca: conventional) tentu akan sangat merepotkan teknis pelaksanaannya nanti. 
Bisa timbul konflik antara para pemilik WK dalam operasi lapangan nantinya. 
Conflict yang lebih parah dari yang dicerita Pak Ruskamto antara pemegang KP 
Batubara dengan WK Migas pada email sebelumnya akan terjadi, profesi pengacara 
lagi yang bakal panen kasus he he he...

Tinjau pula UU Migas No. 22 Tahun 2001, disitu tidak ada pemisahan antara Migas 
Conventional dan Migas Unconventional, bukan kah bisa diartikan seharusnya WK 
Migas sudah mencover migas konvensional, shale gas, tight sand dan entah 
apalagi jenis play migas yang bakal muncul. Namun Pemerintah dapat mempercepat 
pengembangan shale gas dan tight sand dengan memberikan paket yang berbeda agar 
lebih menarik bagi pengembangan unconventional play dalam kerangka WK Migas 
yang sudah ada. Dan ini sudah diapply kan, beda pembagian pemerintah : 
kontraktor antara produksi minyak dan gas (?). Nah seharusnya bisa dibuat yang 
lebih menarik untuk gas produk unconventional itu.

Sebenarnya kalau Pemerintah ingin benar2 mencari solusi akan krisis energi yang 
sudah didepan mata  adalah dengan penggalakan geothermal. Syaratnya naikkan 
dulu harga BBM, agar harga uap geothermal menarik. Jangan manjakan PLN dengan 
diesel murah yang diharapkan memaksa mereka mencari alternatif energi murah 
lainnya termasuk geothermal yang melimpah sumbernya. Kata seorang mengamat 
mengomentari harga bbm, "berlagak bagai negeri kaya raya migas padahal realnya 
sudah jadi negeri pengimpor migas".

Sekedar urun rembuk...

Salam,
MJP 

Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>
Date: Tue, 8 Nov 2011 16:04:44 
To: <iagi-net@iagi.or.id>; <economicgeol...@yahoogroups.com>
Reply-To: <iagi-net@iagi.or.id>
Subject: [iagi-net-l] Dari CBM dan renegosiasi kontrak pertambangan.

2011/11/8 <muhar...@pertamina.com>

> **
> Dengar-dengar masih ada kemungkinan bakal ada WK-WK lain yang segera
> muncul pak. WK Shale Gas, WK Tight Sand, dsb...pasti akan lebih
> membingungkan lagi secara teknis pelaksanaan di lapangan, dan bisa
> diperdebatkan landasan hukumnya. Betulkah itu tidak melanggar UU Migas
> tahun 2001???
>

*Landasan hukum dan dinamika kegiatan eksplorasi*

Sangat menarik mengikuti diskusi CBM ini. Tentusaja, karena dalam dunia
eksplorasi hampir selalu mendapatkan sesuatu yang tidak jelas, atau kabur
atau samar-samar. Ini bukan hanya karena informasinya yang masih kabur,
namun dunia eksplorasi selalu saja dihadapkan pada kegiatan yg sering belum
pernah dilakukan sebelumnya, belum pernah terjadi sebelumnya, dan
konsekuensinya belum ada aturannya. Akhirnya muncul konsen-konsen valid spt
diatas namun susah dijawab siapapun. Misalnya seperti apa pembagiannya,
bagaimana dengan aturan yang sudah ada, masuk dimana langkah dewatering ini
? Ya tentusaja membingungkan proses eksplorasi dijalankan namun sejalan
dengan proses produksi. Selama dewatering juga sudah memproduksi gas. Nah
milik siapa gas selama dewatering ini ? Dan kalau gagal eksplorasinya siapa
yg bertanggungjawab penutupan sumur ini. dll. Ketika dihadapkan pada aturan
bisa jadi perundingan antara operator dg pengawas (BMIGAS) persoalan ini
berpotensi macet !.
Kemacetan perundingan ini juga bukan tanpa alasan, karena khsusnya saat ini
akan ada khawatir KPK akan menghadang seandainya ternyata keuntungan pihak
kontraktor terlalu berlebihan. Padahal secara ilmiahpun belom ada yang tahu
karakteristik dari sumur CBM di Indonesia.

Perbandingan keekoomian dan ketidakpastian project conventional gas vs CBM
salah satunya bisa dilihat disini
http://rovicky.files.wordpress.com/2010/07/cbm_prodcost_gca.jpg
http://rovicky.files.wordpress.com/2010/07/cbm_uncertainty_gca.jpg

*Pengalaman sejarah*

Saya kebetulan juga sedang membaca buku "Sejarah Perjuangan Peminyakan
Nasional" (Teuku H Moehammad Hasan). Buku ini menceriterakan perkembangan
pertambangan, memang utamanya perminyakan. Di dalam buku ini juga bisa
dibaca bagaimana pada saat itu banyak hal yang belum diketahui secara
tehnis ketika terjadi nasionalisasi pertambanagn (minyak) dari BPM.
Tentusaja saat itu tidak diketahui bahwa ada secondary atau tertiary
recovery, seberapa besar keuntungan riil saat ini. Termasuk juga saat tahun
1950-an itu belum terpikir eksplorasi di laut di Indonesia. tentusaja
aturan yang menjadi konsen MJP diatas belum bisa diakomodasi.

Buku yang saya baca ini kalau dibaca saat ini tentusaja kita akan sedikit
tersenyum dan kagum. Tersenyum karena kok mereka belum tahu persoalan yg
saat ini mudah diseleseikan. Namun juga kagum karena dalam pengambilan
keputusan ada KEBERANIAN untuk tetap maju (walaupun belum pasti). Dan kita
tahu hampir semua kegiatan eksplorasi memang selalu dihadapkan pada
ketidakpastian, ketidakjelasan, dan keraguan. Tentusaja saat ini kita
mengatakan itu adalah RISIKO !

Sementara itu di mailist MGEI juga sedang ada diskusi menarik tentang
renegosiasi kontrak (tentusaja FMI yang menjadi buah bibir). Namun
untungnya ada Bowo dan Yosept yang menjelaskan mengapa FMI menjadi seperti
sekarang ini. Dan sekali lagi, semua itu tidak lepas dari "bawaan sejarah".
bahwa FMI menjadi kaya memang mereka bermain dengan KEBERANIAN serta
bermain dengan RISIKO. Dan juga Indonesia BERANI MERDEKA tentunya dengan
membawa RISIKO. Namun saya tetap bangga apapun yang terjadi, proklamasi
kemerdekaan itu adalah paling baik untuk Indonesia.
Demikian juga saya yakin keputusan di dunia pertambangan pada saat itu
adalah yang terbaik untuk saat itu, walaupun tidak dipungkiri saat ini kita
merasa perlu ada perbaikan untuk renegosiasi.

Nah pengalaman sejarah ini tentunya perlu kita ketahui supaya pekerjaan
eksplorasi CBM, Shale gas, Tight gas dll tidak "macet" karena masih adanya
ketidak jelasannya, dan tidak macet terus melakukan proses eksplorasi
sumberdaya ini. Dan memang idealnya akan menguntungkan semua pihak, benar
secara tehnis dan menghindari benturan dalam peraturan yang sudah ada.

Salah satu catatan saya soal renegosiasi, diilhami catatan kaki rekan kita
Daru Prihatmoko (Ketua MGEI).

*Renegosiasi mesti dilakukan secara elegan sbg "bangsa" Indonesia.
*

> 2011/11/4 S. (Daru) Prihatmoko sd...@indo.net.id
> *(ingin melihat renegosiasi dilakukan secara elegan sbg "bangsa"
> Indonesia)
> *



Satu 'foot note' dari seorang senior eksplorer yang menjadi salah satu
inspirasi dan bahkan menjadi obsesi saya membawa Indonesia dalam posisi
"bangsa yang elegan". Dunia saat ini sudah bukan berisi bangsa bar-bar yg
'nggugu karepe dewe'. Di dunia moderen saat ini kita selalu dihadapkan pada
masalah-masalah lokal yang harus atau musti diselesaikan dengan "cara-cara"
global. Dahulu kala barangkali masih bisa membungkam dan menyelesaikan
masalah dengan langsung tembak ditempat, walaupun sekarang mungkin masih
ada, tetapi cara-cara itu tidak membuat bangsa ini menjadi elegan dimata
global. Bahkan dunia global saat ini bisa merepotkan siapa saja bila
negara-negara atau bangsa lain mengkucilkan dari pergaulan antar negara.

Tidak dapat dipungkiri, dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat
sensitif ini, mudah sekali muncul adanya gejolak didalam yang akan
memancing para oportunis memanfaatkan untuk kepentingan sendiri, untuk
kepentingan golongan, dan bahkan kepentingan sesaat. Namun sebagai bangsa
yang "elegan" kita dihadapkan pada tata nilai dunia yang sudah berkembang
yang seringkali memaksa siapa saja untuk mengikuti kaidah dan tata
nilainya. Nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai hukum dan keadilan, dan juga
penghargaan atas kesepakatan sebelumnya akan selalu bermain dan bercampur
aduk dalam setiap perundingan. Tidak hanya soal renegosiasi kontrak SDA
tetapi juga dalam perundingan batas teritori negara.

Bagaimana dengan IAGI dan ahli geologi Indonesia ?
Sebagai ahli geologi tentunya kita harus tetap menjunjung tinggi
profesionalisme dalam menjalankan fungsi serta tugasnya. Seorang ahli
geologi harus tetap berpegangan pada kaidah-kaidah keilmuannya dalam
berpendapat. Bermula dari pengambilan dan pemanfaatan data yang sudah
diverifikasi, serta analisa yang sudah diuji metodenya, serta penyimpulan
sesuai dengan kaidah ilmiah yang sudah teruji secara keilmubumian. Dan satu
hal yang perlu dipertimbangkan adalah keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus terus dijadikan nilai mutlak yang harus dipertahankan.

Jadi mari berdiskusi dengan "elegan".
RDP

Kirim email ke