Wah baru baca bahwa ada "tsunami" yang terjadi di Ambon. 1674. 
Sudah berlalu hampir 3,50 abad.
Harus diwaspadai, mengingat siklus gempa besar sudah terlewati. 
Apakah gempa2 di abad itu juga terekam dalam catatan kegempaan?
Mungkin ini satu-satunya catatan peristiwa geologi karya Rumphius yang ahli 
botani.
Salam.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>
Date: Sun, 29 Jul 2012 16:09:27 
To: IAGI<iagi-net@iagi.or.id>
Reply-To: <iagi-net@iagi.or.id>
Subject: [iagi-net-l] Tsunami Tertua di Nusantara yang Tercatat - KOMPAS.com
Tsunami Tertua di Nusantara yang Tercatat - KOMPAS.com

Oleh *Prasetyo Eko P/Ahmad Arif*

Lonceng-lonceng di Kastel Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang sendiri.
Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan. Tak lama
kemudian air laut datang dengan suara bergemuruh.

Demikian penggalan catatan naturalis Georg Everhard Rumphius tentang gempa
dahsyat disusul tsunami yang melanda Pulau Ambon dan Seram pada 17 Februari
1674. Catatan itu dibuat Rumphius pada 1675 dan jadi satu-satunya naskah
yang diterbitkannya semasa hidup.

Kastel Victoria di Leitimor itu kini ada dalam kompleks Benteng Victoria,
Ambon. Lokasi benteng ini persis di seberang Kantor Gubernur Provinsi
Maluku. Saat ini benteng itu dijadikan kompleks perkantoran dan perumahan
Komando Daerah Militer XVI/Pattimura.

Catatan Rumphius itu sejauh ini merupakan dokumentasi lengkap tertua yang
dibuat tentang gempa dan air laut naik (istilah tsunami belum dikenal saat
itu) di Nusantara. Sebelumnya, bahkan hingga ratusan tahun kemudian, kisah
tsunami di Nusantara lebih kerap disebutkan dalam cerita lisan.

Awalnya, naskah ini disimpan di Perpustakaan Kerajaan Belanda di Den Haag
dalam kategori anonim. Baru pada tahun 1871 ditetapkan bahwa laporan itu
dibuat Rumphius. Pada tahun 1998, catatan itu diterbitkan kembali atas
transkripsi W Buijze.

MJ Sirks PhD, profesor genetika dari Universitas Groningen dalam tulisan
Rumphius, the Blind Seer of Amboina menyatakan, Rumphius begitu terikat
dengan Ambon karena selama hampir 50 tahun dia tinggal di sana dan
mengalami tragedi sekaligus kebahagiaan dalam pekerjaannya.

*Penyaksi buta*

Kisah perjalanan Rumphius memang penuh tragedi. Dia menghabiskan masa
mudanya di Hanau, Jerman, tempat ayahnya, August Rumpf, menjadi arsitek
terkenal. Namun, itu tidak menghalangi ketertarikan Rumphius untuk menjadi
petualang. Ia berharap untuk melihat dunia yang lebih besar dari Hanau.

Rumphius pun meminta gurunya, Count Ludwig von Solms Grifenstein-Braunfels,
untuk didaftarkan sebagai tentara Republik Venesia.

Namun, setelah naik ke kapal di Holland, bagian barat Belanda, ia sadar
telah ditipu. Rumphius ternyata justru dimasukkan menjadi tentara West
Indies Company (WIC). Awalnya dia memang akan dikirim sebagai prajurit ke
Venesia, namun kapal itu mengubah haluan dan membawa para prajurit itu ke
Brasil.

Di tengah jalan, kapal Swarte Raef, yang membawa Rumphius, diserang kapal
Portugis. Rumphius kemudian dibawa ke Portugis. Di sana ia dan teman- teman
prajuritnya dilatih untuk menjadi tentara Portugis.

Periode ini menjadi titik balik kehidupan Rumphius. Di Portugis, keinginan
bertualangnya tersalurkan ke arah lain. Ia mendengar begitu banyak cerita
luar biasa tentang dunia timur, dunia tumbuhan yang aneh, dan hewan-hewan
asing yang juga aneh. Semua itu membuat keinginan Rumphius untuk menjelajah
kian besar.

Setelah meninggalkan Portugis pada 1648 atau 1649, Rumphius kembali ke
Hanau. Pada akhir 1652, ia mendaftarkan diri sebagai tentara East Indies
Company (EIC). Pada Juni 1653, dia pun mendarat di Batavia dan pada 8
November ia pergi ke Pulau Ambon.

Menjadi tentara ternyata tidak memuaskannya. Gubernur Ambon saat itu, Jacob
Hustaerdt, kemudian memberinya tugas sipil. Pada 1662 Rumphius resmi
menjadi menjadi pegawai perdagangan di perusahaan EIC.

Pada saat itu juga Rumphius mulai mempelajari hewan dan tumbuhan di Ambon
secara sistematis. Selama bertahun-tahun ia mendedikasikan waktu luangnya
untuk belajar dan menulis tentang flora dan fauna Ambon.

Rumphius kemudian menjadi pimpinan di Hitu, sebuah daerah di pesisir utara
Jazirah Leihitu di bagian utara Pulau Ambon. Di sana ia tinggal bersama
keluarganya. Setelah dibebastugaskan dari perusahaan, Rumphius menemukan
kebahagiaan dengan meneliti alam.

Namun, pada tahun 1770 Rumphius mengalami tragedi tragis. Dia kehilangan
penglihatannya, tanpa ada penjelasan penyebabnya. Kebutaan yang dialami
tidak menghalanginya untuk melanjutkan penelitiannya tentang flora dan
fauna Ambon.

Dalam ilmu alam, Rumphius menghasilkan tiga kerja besar: Amboinsch
Kruidboek, Amboinsch Rariteitkamer, dan Amboinsch Dierboek.

Kruidboek atau ”Herbarium Amboinense” dipandang sebagai karya terbesar
Rumphius. ”Di antara tulisan-tulisan itu ada tulisan Rumphius lain yang
kurang penting. Akibatnya, Tuan-tuan yang Mulia, ia tidak terlalu
merekomendasikannya. Ada yang Amboinsche-Rariteitkamer, yang terdiri dari
tiga buku, dan masih ada buku
<http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?oaparams=2__bannerid=10555__zoneid=1473__cb={random}__oadest=http://gramedia.com/>lain,
Land-, Lugt-en Zeegedierten dari kepulauan ini...” (dari surat Gubernur
Ambon ke Gubernur Jenderal di Batavia pada 20 Mei 1697).

Pada 1679 dan 1680, Gubernur Ambon memberikan asisten yang bernama Daniel
Crul untuk membantu kerja Rumphius. Anak Rumphius, Paulus Augustus, juga
membantu, setidaknya dari 1686. Rumphius menghasilkan banyak sekali karya
sehingga Gubernur Ambon Dirck de Haes menulis, ”Pekerjaan sepertinya telah
selesai, dan saat ini ada 1.720 bab termasuk 12 buku.”

Namun, tragedi rupanya tidak menjauh dari Rumphius. Dalam kebakaran besar
di Ambon, pada 11 Januari 1670, buku, koleksi, dan manuskrip Rumphius turut
hancur. Untungnya sebagian buku utama bisa diselamatkan, namun
gambar-gambar yang dibuat Rumphius sebelum tahun 1670 turut dimakan api.

*Tragedi terbesar*

Bagi Rumphius, tragedi terbesar yang dialaminya terjadi pada 1674, ketika
gempa dan gelora tsunami melanda. Bukan hanya karena petaka itu menewaskan
2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram, tetapi juga menewaskan istri Rumphius
dan salah satu anak perempuannya.

Hila, di dekat Hitu, disebut Rumphius sebagai daerah yang paling menderita.
”Begitu gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun, kecuali beberapa orang
yang terperangkap di atas (benteng), mundur ke lapangan di bawah benteng,
menyangka mereka akan lebih aman. Akan tetapi, sayang sekali tidak seorang
pun menduga bahwa air akan naik tiba-tiba ke beranda benteng (Amsterdam),”
tulis Rumphius.

Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atap rumah dan menyapu bersih
desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai. Sebanyak 1.461 orang tewas
di Hila.

Sedangkan di Hitu, menurut Rumphius, air laut naik hingga setinggi 3 meter
dan menyeret rumah-rumah kompeni. Sedikitnya 36 orang tewas.

Dengan rinci Rumphius mengisahkan kondisi desa-desa di Ambon dan Seram yang
hancur akibat peristiwa itu. Sedikitnya ada 11 desa yang dideskripsikan
Rumphius.

Desa-desa itu terentang di sepanjang pesisir utara Jazirah Leihitu, mulai
dari Larike di ujung barat hingga Tial di ujung timur. Di Pulau Seram yang
tercatat adalah tempat-tempat di daerah Huamual, seperti Tanjung Sial dan
Luhu. Catatan lain juga berasal dari Oma di selatan Pulau Haruku dan Pulau
Nusa Laut.

Dalam khazanah mitigasi bencana, catatan Rumphius ini merupakan warisan
penting karena memberi kesaksian bahwa Nusantara memiliki riwayat gempa dan
tsunami yang sangat panjang. Jauh sebelum tsunami dahsyat melanda Aceh pada
26 Desember 2004, Rumphius telah menuliskan tentang bencana sejenis di
bagian timur Nusantara.

Sayangnya, catatan rinci Rumphius itu tak banyak diketahui masyarakat Ambon
dan Seram. Nama Rumphius bahkan tidak begitu dikenal.

”Tidak banyak yang tahu tsunami yang katanya dicatat Rumphius. Kalau gempa
di sini memang sering terasa, tapi masyarakat tidak lari ke bukit, malah
diam di tempat,” kata Damri Lating (49), warga Hila.

Hal senada diungkapkan Said Lumaela (52), warga Kaitetu, desa yang
bersebelahan dengan Hila. ”Pernah dengar tentang Rumphius, tetapi tidak
tahu itu soal apa,” katanya.

(*M Zaid Wahyudi/A Ponco Anggoro*)



-- 
*"Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"*

Kirim email ke