"Keberpihakan
 thdp asing di hulu migas" kayaknya memang nggak cocok diterapkan 
sbg dasar argumen pembubaran BPMigas. Semua org yg ada dlm kotak 
industri migas Indonesiapun tahu bhw BPMigas itu adalah benteng 
merah-putih kita dlm menghadapi MNC-MNC itu.
 Masyarakat awam di
 luar kotak sering tdk bisa membedakan antara Ditjen Migas dg BPMigas (bahkan 
dg Pertamina) 
atau bahkan antara "memihak asing" dg "inkompeten - tdk berdaya mengatur
 pihak asing" .... Dan umumnya yg mrk lihat bukan kegagahan pihak asing 
di kasus2 eksplorasi daerah frontier yg (malahan) sering kita bangga2kan; 
tapi kiprah MNC2 itu di kontrak blok2 migas produksi yg raksasa, spt kasus
 Cepu, Natuna, Mahakam, Tagguh, dsb. itulah yg seringkali dipermasalahkan. 
Dalam hal yang terakhir itu, BPMigas juga yg kena imbas - 
tailspin nya: seolah-olah kita dg mudah menggadaikan asset2 kita ke 
mereka lwt kemudahan "perpanjangan" atau penguasaan kontrak baru, lewat 
toleransi2 program dan cost recovery yg makin tinggi dsb dsb ... Padahal
 sbnarnya yg berperan disitu level politik-nya biasanya lebih tinggi dr 
sekedar staff, kadin atau bahkan kadiv BPMigas (yg kadar GERAM-nya 
melebihi kita semua yg ada dalam kotak industri migas nasional ini dalam
 heboh pembubaran BPMIgas ini)..  Aparat2 di Ditjen Migas, Menteri dan 
Wamen dan tentunya sampai ke atasnya di SBY, malahan merekalah yang 
memainkan bidak2 catur negosiasi dan mengambil keputusan2 penting "memberi", 
"memperpanjang", "mengijinkan" pihak2 asing itu mendominasi.
 
 
Jadi, pembubaran BPMIGAS bisa juga disebut sbg pembubaran yang sah 
secara legal untuk alasan yang sebagiannya keliru, menggelikan, dan 
salah sasaran (sebagiannya lagi benar).
 
 Butuh kesabaran tinggi 
dan kerendahan hati untuk tidak terpancing emosi dan akhirnya menganggap
 orang2 di luar hanya mencaci maki tidak bisa mengapresiasi apa yang 
sudah setengah mati kita lakukan setiap hari: membela merah putih.
 
 Salut dan simpati untuk kawan2 BPMigas.
 
 ADB

Kirim email ke