Sekedar nambah info.
Sekolah Madania dekat Dwiwarna, konon sudah pindah ke kawasan perumahan Kahuripan.
 
Ex Madania sudah beralih tangan, sekarang dimiliki oleh DOMPET DHUAFA REPUBLIKA.
Di sini sekarang menjadi sekolah SMART - EKSELENSIA. 
Sebuah sekolah UNGGULAN, GRATIS, untuk keluarga DHUAFA.
Setiap tahun hanya 1 orang terpilih untuk setiap provinsi.
 
Saya pernah berkunjung sekali ke sana.   Kesannya : LUARBIASA  ... !!


 
On 8/24/05, Ida arimurti <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Sekolah Elite Berasrama, Sekolah Anak "Gedongan"

 

KAMIS (21/4) petang, hujan deras mengguyur kompleks Sekolah Pelita

Harapan di kawasan Bukit Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Sebagian besar dari sekitar 120 siswa penghuni asrama sekolah

tersebut tengah berkemas-kemas menyambut datangnya liburan panjang

akhir pekan.

 

DI luar asrama, di antara para orangtua siswa dan sopir penjemput

yang berdiri di teras, tampak Ny Elvi bercakap-cakap dengan pembina

asrama. Tak lama kemudian, dari pintu asrama keluarlah Kartika Sari,

putri Ny Elvi yang duduk di kelas I SMA (tingkat X) Sekolah Pelita

Harapan (SPH).

 

"Setelah beberapa hari belajar hidup mandiri di asrama, anak saya

harus melewati masa liburannya bersama kami di rumah," ujarnya.

 

Selain karena kesibukan mendampingi suami sebagai pengusaha, ibu dari

dua anak tersebut mengaku senang menitipkan anaknya di sekolah

asrama. Apalagi, Kartika sendiri senang hidup dan bergaul setiap

harinya dengan anak-anak dari berbagai latar belakang suku, agama,

dan asal-usul.

 

Terlepas dari kesibukannya, Elvi memang punya alasan mendasar untuk

menitipkan anaknya di asrama. "Saya harus mencari sekolah yang bisa

sekaligus mendidik anak jadi mandiri," katanya.

 

 

SETELAH semua kendaraan jemputan meninggalkan kompleks SPH, suasana

asrama itu ternyata tak langsung lengang. Suara canda-tawa anak-anak

yang menanjak remaja itu masih terdengar dari lobi, ruang internet,

ruang nonton televisi, kafe, dan kamar istirahat.

 

Di salah satu kamar tutorial, Timoty-siswa kelas III SMP atau tingkat

IX-mengutak- atik laptop bersama kakak kelasnya, Febry. Liburan

panjang akhir pekan kali ini sama sekali tidak menggoda Timoty untuk

bergegas berkumpul dengan orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. "Di

sini pun asyik, tidak ada bedanya dengan suasana di rumah," ujar

Timoty.

 

Biasanya, menjelang liburan, Timoty dijemput ayahnya, Sukamto. Bila

sang ayah tak sempat menjemput, ia memanfaatkan fasilitas bus antaran

ke stasiun kereta api atau ke bandar udara menuju Pekalongan lewat

Semarang. "Kali ini bukan karena orangtua tidak sempat, tapi memang

karena saya betah di sini," tuturnya.

 

Selain karena kesibukan orangtua, jarak antara domisili keluarga dan

sekolah ternyata tak selamanya jadi alasan utama mengapa sebagian

anak- anak asrama itu jadi malas untuk selalu mengisi hari-hari

liburannya bersama keluarga. Monica-siswi kelas III SMA/ tingkat XII-

yang orangtuanya berdiam di Tanjung Pasir, Jakarta, sore itu malah

asyik chatting di ruang internet. Gadis remaja yang berniat

melanjutkan studi manajemen di Shanghai, China , itu mengakui bahwa

ayahnya, Samin Iwan, sudah biasa mengizinkan dirinya tetap melewati

masa liburan akhir pekan di asrama. Padahal, jarak Jakarta-Sentul

hanya sekitar 30 km. "Bapak sibuk, saya pun kerasan di sini. Ya,

enjoy aja-lah," tuturnya dengan nada khas anak gaul masa kini.

 

Sebuah telepon seluler di tempat itu tiba-tiba berdering dengan bunyi

non-stereo. Perbincangan dengan anak-anak penghuni asrama jadi

terhenti sejenak. Sebelum kemudian si pemilik telepon berbicara

melayani panggilan dari seberang, terdengar celetukan dari salah satu

penghuni asrama, "Ya ampun, hari gini, masih pakai monoponik...."

 

Celetukan itu seperti mengingatkan bahwa telepon bernada non-stereo

alias monoponik sudah tak lazim di antara anak-anak penghuni asrama

itu. Harap maklum, alat komunikasi siswa-siswa itu boleh dibilang

rata-rata mengikuti perkembangan model mutakhir; dari generasi ke

generasi. Tentulah sudah bisa ditebak, dari lapisan ekonomi manakah

mereka berasal. Meminjam bahasa gaul tahun 1970-an, mereka tak lain

adalah anak-anak "gedongan".

 

Pembayaran uang sekolah dan asrama yang mencapai angka Rp 7 juta per

bulan sepertinya tak masalah bagi orangtua mereka. "Mereka memang

rata-rata dari keluarga mapan. Mereka siap membayar mahal demi

membentuk anak cerdas dan mandiri," ujar Jopie Hehanusa, Kepala

Asrama SPH.

 

 

BAGI sebagian masyarakat perkotaan yang saban hari sibuk dengan

bisnis dan karier, menyekolahkan anak di sekolah berasrama sudah jadi

fenomena. Kalangan seperti ini butuh mitra untuk berbagi tanggung

jawab pengasuhan anak. Mengingat masa tumbuh kembang anak sangat

lekat dengan masa- masa sekolah, maka sekolah berasramalah salah satu

jawabannya. Di sini, hukum pasar pun berlaku. Jujur saja, dalam

konteks ini, area pendidikan dimaknai sebagai layanan jasa yang tak

lagi steril dari misi bisnis.

 

Di sekitaran Jakarta, SPH Bukit Sentul bukan satu-satunya sekolah

yang menerapkan konsep boarding school alias sekolah berasrama.

Sebutlah seperti SMA Dwiwarna yang terletak di Jalan Raya Parung di

Kilometer 40, Bogor , Jawa Barat. Tidak jauh dari situ juga ada

Sekolah Madania.

 

Menilik visi dan misinya, secara umum, terdapat persamaan konsep dari

sekolah-sekolah berasrama itu. Pada intinya, mereka menyiapkan

generasi penerus, calon pemimpin bangsa yang cerdas, kreatif,

disiplin, berbudi luhur, serta tidak canggung dalam pergaulan

lingkungan sekitarnya dan berskala global. Perbedaannya hanya pada

penetapan jenjang studi dan teknis pengasuhannya.

 

Di SPH, tidak semua siswa harus tinggal di asrama. Dari sekitar 400

siswa SD-SMA, hanya sekitar 120 yang menghuni asrama, terdiri atas

siswa SMP dan SMA. Opsi tinggal atau tidak di asrama bisa berdasarkan

pertimbangan biaya atau karena faktor lain.

 

Di SMA Dwiwarna, semua siswa diharuskan tinggal di asrama. Saat ini,

total siswanya 185. Setiap siswa rata-rata membayar uang sekolah dan

asrama Rp 4,5 juta per bulan.

 

Di sini lahir semacam hubungan timbal antara partisipasi materi

orangtua siswa pada satu sisi, dan tanggung jawab mewujudkan

pengajaran serta pengasuhan berkualitas pada sisi lain. Di luar

kelengkapan sarana dan fasilitas akademik- termasuk laboratorium

sains dan bahasa-yang memang sudah jadi keniscayaan untuk pengajaran

bermutu, pola pengasuhanlah yang sangat menentukan pencapaian tujuan.

Pembinaan di luar jam pelajaran sekolah justru menjadi titik berat

sekolah berasrama. Dalam hal ini, pembina asrama harus menggantikan

peran orangtua siswa.

 

Di SPH, tak ada waktu luang bagi anak-anak untuk berdiam diri tanpa

kegiatan yang mengarah pada pembentukan karakter. Itu bermula dari

hal sepele. Sebutlah seperti bagaimana siswa pada tahun pertama harus

bersosialisasi dengan rekan-rekannya dengan tinggal di barak yang

berpenghuni 8-10 orang. Tahun selanjutnya, barulah pindah ke kamar

yang dihuni empat siswa.

 

Mereka diharuskan bangun pukul 05.30, serta membereskan sendiri ruang

tidur. Di luar jam sekolah, mereka sudah punya beragam aktivitas:

mulai dari mengerjakan tugas-tugas kelas, mengulang bahan pelajaran,

hingga beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Dalam komunikasi

sehari-hari di asrama siswa ditekankan menggunakan bahasa Inggris.

 

Hal yang kurang lebih sama juga ditemui di Dwiwarna. Bedanya, siswa

Dwiwarna langsung ditempatkan empat orang dalam satu kamar. Soal

gizi, jangan ditanya lagi. Konsep sekolah berasrama selalu melibatkan

ahli gizi dalam mengatur komposisi gizi yang seimbang. Ketersediaan

layanan medis tentu juga bagian dari standar pelayanan minimal.

 

Meskipun telah terikat komitmen dengan sekolah, tidak berarti

orangtua siswa melimpahkan semua tanggung jawab pengasuhan kepada

sekolah. Hubungan psikologis dan emosional antara anak dan orangtua

tetap dijaga. Tempat hunian bersama orangtua adalah tetap rumah

pertama. Asrama hanyalah rumah kedua. Karena itu, pengelola sekolah

berasrama telah mematok masa-masa tertentu agar anak tidak tercerabut

dari keluarganya. Liburan akhir pekan, siswa diberi kesempatan

berkumpul kembali di rumah orangtuanya.

 

"Bila perlu, kami menelepon orangtuanya," ujar Jopie seraya

menyebutkan bahwa selain dari seputaran Jakarta, siswa SPH ada juga

yang dari Papua, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Jambi.

 

"Pihak sekolah memang memantau kepribadian siswa 24 jam, tetapi ada

kehangatan psikologis dan emosional yang hanya bisa ditransformasikan

ke dalam diri sang anak melalui sentuhan keluarga," tutur Erna

Budianti, guru kimia SMA Dwiwarna.

 

DALAM masa tumbuh dan kembang siswa menanjak usia remaja dan

pencarian jati diri, dinamika yang menyertainya tentulah tergolong

rawan. Terlebih, karena anak-anak asrama umumnya dari keluarga mapan,

setidaknya akrab dengan gaya hidup kota . Berkumpul dengan sesama

kalangan anak gedongan, perlu kewaspadaan ekstra dalam mengasuhnya.

 

Dalam pengasuhan anak- anak seusia itu ada tiga hal yang menjadi

fokus perhatian: pengaruh narkoba dan minuman keras, pergaulan bebas,

dan bentrokan fisik.

 

Dalam menangkal pengaruh narkoba dan minuman keras, baik SPH maupun

Dwiwarna mencegahnya dengan melarang konsumsi zat candu termasuk

rokok. Di mana-mana terpampang larangan merokok serta bahaya narkoba.

Begitu pun soal pergaulan bebas, masing-masing sekolah mengharamkan

adanya siswa yang melintas ke asrama putri atau sebaliknya, tanpa

seizin dari pembina.

 

Jadi, pola pengasuhan di asrama sekolah lebih menekankan diplomasi

yang bertujuan menggugat hasrat dan perilaku yang tak sesuai norma.

Pola pengasuhan yang kaku bisa mengarahkan siswa bermental kemiliter-

militeran. Sebaliknya, pola pengasuhan yang lunak berisiko membawa

siswa bermental manja.

 

 



=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================




YAHOO! GROUPS LINKS






=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke