Sekolah Elite Berasrama, Sekolah Anak "Gedongan"
KAMIS (21/4) petang, hujan deras mengguyur kompleks Sekolah Pelita
Harapan di kawasan Bukit Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sebagian besar dari sekitar 120 siswa penghuni asrama sekolah
tersebut tengah berkemas-kemas menyambut datangnya liburan panjang
akhir pekan.
DI luar asrama, di antara para orangtua siswa dan sopir penjemput
yang berdiri di teras, tampak Ny Elvi bercakap-cakap dengan pembina
asrama. Tak lama kemudian, dari pintu asrama keluarlah Kartika Sari,
putri Ny Elvi yang duduk di kelas I SMA (tingkat X) Sekolah Pelita
Harapan (SPH).
"Setelah beberapa hari belajar hidup mandiri di asrama, anak saya
harus melewati masa liburannya bersama kami di rumah," ujarnya.
Selain karena kesibukan mendampingi suami sebagai pengusaha, ibu dari
dua anak tersebut mengaku senang menitipkan anaknya di sekolah
asrama. Apalagi, Kartika sendiri senang hidup dan bergaul setiap
harinya dengan anak-anak dari berbagai latar belakang suku, agama,
dan asal-usul.
Terlepas dari kesibukannya, Elvi memang punya alasan mendasar untuk
menitipkan anaknya di asrama. "Saya harus mencari sekolah yang bisa
sekaligus mendidik anak jadi mandiri," katanya.
SETELAH semua kendaraan jemputan meninggalkan kompleks SPH, suasana
asrama itu ternyata tak langsung lengang. Suara canda-tawa anak-anak
yang menanjak remaja itu masih terdengar dari lobi, ruang internet,
ruang nonton televisi, kafe, dan kamar istirahat.
Di salah satu kamar tutorial, Timoty-siswa kelas III SMP atau tingkat
IX-mengutak- atik laptop bersama kakak kelasnya, Febry. Liburan
panjang akhir pekan kali ini sama sekali tidak menggoda Timoty untuk
bergegas berkumpul dengan orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. "Di
sini pun asyik, tidak ada bedanya dengan suasana di rumah," ujar
Timoty.
Biasanya, menjelang liburan, Timoty dijemput ayahnya, Sukamto. Bila
sang ayah tak sempat menjemput, ia memanfaatkan fasilitas bus antaran
ke stasiun kereta api atau ke bandar udara menuju Pekalongan lewat
Semarang. "Kali ini bukan karena orangtua tidak sempat, tapi memang
karena saya betah di sini," tuturnya.
Selain karena kesibukan orangtua, jarak antara domisili keluarga dan
sekolah ternyata tak selamanya jadi alasan utama mengapa sebagian
anak- anak asrama itu jadi malas untuk selalu mengisi hari-hari
liburannya bersama keluarga. Monica-siswi kelas III SMA/ tingkat XII-
yang orangtuanya berdiam di Tanjung Pasir, Jakarta, sore itu malah
asyik chatting di ruang internet. Gadis remaja yang berniat
melanjutkan studi manajemen di Shanghai, China , itu mengakui bahwa
ayahnya, Samin Iwan, sudah biasa mengizinkan dirinya tetap melewati
masa liburan akhir pekan di asrama. Padahal, jarak Jakarta-Sentul
hanya sekitar 30 km. "Bapak sibuk, saya pun kerasan di sini. Ya,
enjoy aja-lah," tuturnya dengan nada khas anak gaul masa kini.
Sebuah telepon seluler di tempat itu tiba-tiba berdering dengan bunyi
non-stereo. Perbincangan dengan anak-anak penghuni asrama jadi
terhenti sejenak. Sebelum kemudian si pemilik telepon berbicara
melayani panggilan dari seberang, terdengar celetukan dari salah satu
penghuni asrama, "Ya ampun, hari gini, masih pakai monoponik...."
Celetukan itu seperti mengingatkan bahwa telepon bernada non-stereo
alias monoponik sudah tak lazim di antara anak-anak penghuni asrama
itu. Harap maklum, alat komunikasi siswa-siswa itu boleh dibilang
rata-rata mengikuti perkembangan model mutakhir; dari generasi ke
generasi. Tentulah sudah bisa ditebak, dari lapisan ekonomi manakah
mereka berasal. Meminjam bahasa gaul tahun 1970-an, mereka tak lain
adalah anak-anak "gedongan".
Pembayaran uang sekolah dan asrama yang mencapai angka Rp 7 juta per
bulan sepertinya tak masalah bagi orangtua mereka. "Mereka memang
rata-rata dari keluarga mapan. Mereka siap membayar mahal demi
membentuk anak cerdas dan mandiri," ujar Jopie Hehanusa, Kepala
Asrama SPH.
BAGI sebagian masyarakat perkotaan yang saban hari sibuk dengan
bisnis dan karier, menyekolahkan anak di sekolah berasrama sudah jadi
fenomena. Kalangan seperti ini butuh mitra untuk berbagi tanggung
jawab pengasuhan anak. Mengingat masa tumbuh kembang anak sangat
lekat dengan masa- masa sekolah, maka sekolah berasramalah salah satu
jawabannya. Di sini, hukum pasar pun berlaku. Jujur saja, dalam
konteks ini, area pendidikan dimaknai sebagai layanan jasa yang tak
lagi steril dari misi bisnis.
Di sekitaran Jakarta, SPH Bukit Sentul bukan satu-satunya sekolah
yang menerapkan konsep boarding school alias sekolah berasrama.
Sebutlah seperti SMA Dwiwarna yang terletak di Jalan Raya Parung di
Kilometer 40, Bogor , Jawa Barat. Tidak jauh dari situ juga ada
Sekolah Madania.
Menilik visi dan misinya, secara umum, terdapat persamaan konsep dari
sekolah-sekolah berasrama itu. Pada intinya, mereka menyiapkan
generasi penerus, calon pemimpin bangsa yang cerdas, kreatif,
disiplin, berbudi luhur, serta tidak canggung dalam pergaulan
lingkungan sekitarnya dan berskala global. Perbedaannya hanya pada
penetapan jenjang studi dan teknis pengasuhannya.
Di SPH, tidak semua siswa harus tinggal di asrama. Dari sekitar 400
siswa SD-SMA, hanya sekitar 120 yang menghuni asrama, terdiri atas
siswa SMP dan SMA. Opsi tinggal atau tidak di asrama bisa berdasarkan
pertimbangan biaya atau karena faktor lain.
Di SMA Dwiwarna, semua siswa diharuskan tinggal di asrama. Saat ini,
total siswanya 185. Setiap siswa rata-rata membayar uang sekolah dan
asrama Rp 4,5 juta per bulan.
Di sini lahir semacam hubungan timbal antara partisipasi materi
orangtua siswa pada satu sisi, dan tanggung jawab mewujudkan
pengajaran serta pengasuhan berkualitas pada sisi lain. Di luar
kelengkapan sarana dan fasilitas akademik- termasuk laboratorium
sains dan bahasa-yang memang sudah jadi keniscayaan untuk pengajaran
bermutu, pola pengasuhanlah yang sangat menentukan pencapaian tujuan.
Pembinaan di luar jam pelajaran sekolah justru menjadi titik berat
sekolah berasrama. Dalam hal ini, pembina asrama harus menggantikan
peran orangtua siswa.
Di SPH, tak ada waktu luang bagi anak-anak untuk berdiam diri tanpa
kegiatan yang mengarah pada pembentukan karakter. Itu bermula dari
hal sepele. Sebutlah seperti bagaimana siswa pada tahun pertama harus
bersosialisasi dengan rekan-rekannya dengan tinggal di barak yang
berpenghuni 8-10 orang. Tahun selanjutnya, barulah pindah ke kamar
yang dihuni empat siswa.
Mereka diharuskan bangun pukul 05.30, serta membereskan sendiri ruang
tidur. Di luar jam sekolah, mereka sudah punya beragam aktivitas:
mulai dari mengerjakan tugas-tugas kelas, mengulang bahan pelajaran,
hingga beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Dalam komunikasi
sehari-hari di asrama siswa ditekankan menggunakan bahasa Inggris.
Hal yang kurang lebih sama juga ditemui di Dwiwarna. Bedanya, siswa
Dwiwarna langsung ditempatkan empat orang dalam satu kamar. Soal
gizi, jangan ditanya lagi. Konsep sekolah berasrama selalu melibatkan
ahli gizi dalam mengatur komposisi gizi yang seimbang. Ketersediaan
layanan medis tentu juga bagian dari standar pelayanan minimal.
Meskipun telah terikat komitmen dengan sekolah, tidak berarti
orangtua siswa melimpahkan semua tanggung jawab pengasuhan kepada
sekolah. Hubungan psikologis dan emosional antara anak dan orangtua
tetap dijaga. Tempat hunian bersama orangtua adalah tetap rumah
pertama. Asrama hanyalah rumah kedua. Karena itu, pengelola sekolah
berasrama telah mematok masa-masa tertentu agar anak tidak tercerabut
dari keluarganya. Liburan akhir pekan, siswa diberi kesempatan
berkumpul kembali di rumah orangtuanya.
"Bila perlu, kami menelepon orangtuanya," ujar Jopie seraya
menyebutkan bahwa selain dari seputaran Jakarta, siswa SPH ada juga
yang dari Papua, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Jambi.
"Pihak sekolah memang memantau kepribadian siswa 24 jam, tetapi ada
kehangatan psikologis dan emosional yang hanya bisa ditransformasikan
ke dalam diri sang anak melalui sentuhan keluarga," tutur Erna
Budianti, guru kimia SMA Dwiwarna.
DALAM masa tumbuh dan kembang siswa menanjak usia remaja dan
pencarian jati diri, dinamika yang menyertainya tentulah tergolong
rawan. Terlebih, karena anak-anak asrama umumnya dari keluarga mapan,
setidaknya akrab dengan gaya hidup kota . Berkumpul dengan sesama
kalangan anak gedongan, perlu kewaspadaan ekstra dalam mengasuhnya.
Dalam pengasuhan anak- anak seusia itu ada tiga hal yang menjadi
fokus perhatian: pengaruh narkoba dan minuman keras, pergaulan bebas,
dan bentrokan fisik.
Dalam menangkal pengaruh narkoba dan minuman keras, baik SPH maupun
Dwiwarna mencegahnya dengan melarang konsumsi zat candu termasuk
rokok. Di mana-mana terpampang larangan merokok serta bahaya narkoba.
Begitu pun soal pergaulan bebas, masing-masing sekolah mengharamkan
adanya siswa yang melintas ke asrama putri atau sebaliknya, tanpa
seizin dari pembina.
Jadi, pola pengasuhan di asrama sekolah lebih menekankan diplomasi
yang bertujuan menggugat hasrat dan perilaku yang tak sesuai norma.
Pola pengasuhan yang kaku bisa mengarahkan siswa bermental kemiliter-
militeran. Sebaliknya, pola pengasuhan yang lunak berisiko membawa
siswa bermental manja.
=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna
Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================
YAHOO! GROUPS LINKS
- Visit your group "idakrisnashow" on the web.
- To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
- Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna
Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================
YAHOO! GROUPS LINKS
- Visit your group "idakrisnashow" on the web.
- To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
- Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.