Menggagas Pendidikan Mitigasi Bencana
  
  Awal tahun 2005 ini, bangsa Indonesia menghadapi ujian yang maha berat, yakni rentetan bencana alam yang terus mengintai tanpa tahu bagaimana menghadapinya. Dimulai dari gempa bumi tektonik dan tsunami di NAD, kemudian menyusul gempa di Pulau Nias dan Pulau Simeuleu. Yang terbaru adalah gempa bumi yang menggetarkan ujung barat Pulau Jawa. (Sabtu, 16/3/05).
  Ancaman gunung berapi juga mulai menunjukkan aktivitasnya. Catatan dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) menyatakan bahwa hingga kini gunung berapi yang tergolong berstatus awas (tinggi) adalah Gunung Marapi di Bukit Tinggi, Gunung Talang di Solok, dan Gunung Anak Krakatau di Banten. Gunung api yang ditetapkan berstatus siaga (aktivitas sedang) meliputi Gunung Tangkuban Perahu di Bandung dan Gunung Ekon di Flores. Gunung berapi yang berstatus waspada (aktivitas rendah) terdiri atas Gunung Semeru di Lumajang (Jatim), Gunung Karang Etan di Sulut, Gunung Lakon (Sulut), dan Gunung Halmahera di Maluku. Gunung-gunung itu termasuk di antara sedikitnya 130 gunung api aktif di Tanah Air.
  Dari sisi korban, tak terhitung lagi berapa yang harus meregang nyawa. Belum lagi, kerugian fisik, hancurnya gedung, bangunan dan sarana infrastruktur lainnya. Mereka yang tersisa harus rela menjalani hidup dengan kehilangan harta, keluarga dan orang-orang tercinta. Bencana telah merampas kebahagian kita semua.
  Dalam kajian ilmu Disaster Preparedness atau Manajemen Bencana Alam, kita diperkenalkan dengan istilah mitigasi bencana, yakni tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Istilah itu berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali dengan tindakan fisik seperti membangun bangunan yang lebih kuat hingga aktivitas yang prosedural seperti teknik-teknik yang baku dalam penanggulangan suatu bahaya. (Dikutip dari modul mitigasi bencana, UNDP Program, 1998).
  Sayangnya, pengetahuan tentang mitigasi bencana ini tidak pernah disosialiasikan kepada masyarakat. Kita patut kecewa, tewasnya ratusan ribu jiwa akibat gelombang tsunami di NAD, beberapa waktu lalu hanya karena mereka gtidak tahuh tentang tanda-tanda akan datangnya tsunami. Seperti dilaporkan media, masyarakat pesisir Aceh justru riang gembira ketika air laut surut secara tiba-tiba, tanpa canggung dan segan mereka berebut ikan melimpah di bibir pantai. Padahal surutnya air laut secara tiba-tiba merupakan bagian dari tanda-tanda datangnya tsunami besar.
  Saya mencatat, setidaknya ada beberapa faktor mengapa pengetahuan tentang mitigasi bencana masyarakat kita kurang.
  Pertama, belum dimasukannya pelajaran mitigasi bencana di sekolah. Anak-anak didik kita praktis tidak pernah tahu bagaimana menjelaskan fenomena gempa bumi dan tsunami secara ilmiah. Pelajaran geografi yang selama ini dikonsumsi oleh anak-anak SD hingga SMA kebanyakan sudah out of date, materi yang diberikan sudah usang. Pun tidak ada materi yang secara spesifik menjelaskan mitigasi sebuah bencana. Seharusnya para perancang pendidikan kita mengakomodasi materi-materi dengan visi jauh ke depan. Artinya, apa yang diajarkan di sekolah harus mampu menjelaskan fenomena di kemudian hari. Untuk itulah perlu kiranya adanya revisi dan perbaikan kurikulum secara berkala.
  Di negara-negara sekitar Samudra Pasifik, seperti di AS, misalnya, petunjuk tentang mitigasi bencana mudah ditemui di buku pelajaran anak-anak sekolah dasar. Anak-anak TK, SD, SLTP hingga SLTA di sana selalu mendapatkan bimbingan praktis dan sistematis dalam menghadapi gempa bumi, tsunami dan bahaya tornado.
  Kedua, pemerintah kita belum proaktif memberikan pengetahuan tentang mitigasi bencana kepada masyarakat umum. Di daerah rawan bencana jarang kita temui petunjuk praktis bagaimana menyelamatkan diri dalam kondisi darurat. Tidak pernah pula kita dengar adanya program berkala penyuluhan dan sosialisasi mitigasi bencana lewat media, koran, TV maupun radio.
  Padahal sosialiasi seperti ini telah jauh hari diamanatkan oleh PBB dalam gInternational Decade for Natural Disaster Reductionh (IDNDR), yang memfokuskan penajaman terhadap penderitaan umat manusia di seluruh dunia akibat bencana alam, dan sudah saatnya negara-negara di seluruh dunia dapat mengambil langkah-langkah untuk berusaha menguranginya. Program PBB tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam kegiatan Mid-term Review dari IDNDR, yang diselenggarakan di Yokohama bulan Mei 1994. Pertemuan Yokohama telah menghasilkan suatu tonggak bersejarah dari banyak negara untuk secara proaktif melakukan upaya tindak lanjut yang sangat substansial dalam mengantisipasi masalah signifikan dalam mengurangi dampak bencana terhadap masyarakat.
  Maka, menjadi sangat urgent bagi pemerintah kita untuk memberikan pendidikan dan sosialisasi tentang mitigasi bencana kepada masyarakat mengingat sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Pendidikan ini bisa ditempuh melalui dua jalur, yakni jalur formal dan jalur informal.
  Jalur formal di antaranya memasukkan materi-materi mitigasi bencana ke dalam kurikulum pendidikan. Pokok bahasan yang disampaikan tidak harus kompleks, tetapi cukup yang sederhana namun mampu memberikan pemahaman gkomprehensifh kepada peserta didik. Misalnya, bagaimana tsunami itu terjadi? Apa yang harus dilakukan jika gempa dan tsunami terjadi? Yang paling baik untuk saat ini pengembangan muatan lokal (local content) agar para siswa sebagai bagian penting dalam masyarakat di wilayah tersebut mampu mengenali dan memahami situasi setempat, tidak hanya fisik tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.
  Instansi terkait, seperti BMG maupun Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) dapat memberikan training dan pelatihan kepada guru-guru secara berkala, sehingga mereka dapat memperoleh pengetahuan terbaru tentang mitigasi bencana.
  Jalur informal di antaranya melalui penyuluhan, komunikasi dan sosialisasi langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat awam. TVRI, RRI dan media-media lainya dapat dipakai sebagai saran komunikasi yang efektif. Di wilayah-wilayah rawan bencana, dapat dipasang petunjuk praktis yang berisikan metode atau cara mengenali tanda-tanda maupun cara melakukan evakuasi dalam kondisi darurat.
  Tentang harmonisnya komunikasi dan sosialisasi mitigasi bencana ini kita patut belajar dari Jepang. Di negeri bunga Sakura ini, jika ada informasi tsunami, secara cepat badan pengawas (semacam BMG di Indonesia) akan menyampaikannya melalui jaringan khusus ke kantor pemerintahan wilayah, Nippon Telephone Telegraph (NTT), sebuah badan telekomunikasi dengan jaringan terluas. Untuk menghindari terputusnya informasi, data ini di-back up melalui saluran komunikasi satelit gSuper bird B2.
  Media massa seperti TV dan radio yang menerima berita tersebut langsung menyiarkannya lewat gflash newsh yang diawali dengan bunyi sirene untuk mencuri perhatian pemirsa. Sementara sistem komputer di pemerintahan wilayah secara otomatis akan menyampaikan informasi penting tentang kondisi daerah masing-masing ke pemerintahan pusat. Rambu-rambu juga dipasang di daerah rawan bencana. Dengan demikian, kecil kemungkinan ada penduduk yang gagal menerima informasi seperti ini. Bahkan di beberapa tempat dibangun bangunan dengan lokasi yang lebih tinggi dari sekitarnya, sebagai perlindungan sementara jika sewaktu-waktu gempa maupun tsunami mengguncang.
  Berkat sistem mitigasi yang baik itulah, kini Jepang menjadi salah satu negara yang berisiko bencana tinggi (high risk) namun dengan jumlah korban paling sedikit. Pengalaman bertahun-tahun ditempa gempa tektonik, telah menjadikan sebuah pelajaran bagi negara tersebut untuk secara proaktif meminimalisasi efek bencana.
  Nah, telah jelas bahwa banyaknya korban dalam berbagai bencana di Tanah Air terjadi hanya karena gketidaktahuanh masyarakat kita tentang pengetahuan bagaimana sebuah bencana alam itu terjadi. Dan, itu semua disebabkan lambannya otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan antisipasi dan proteksi dini terhadap efek sebuah sebuah bencana.
  Ke depan kita berharap, pemerintah tidak lagi segan-segan untuk mengalokasikan dana taktis untuk kegiatan mitigasi bencana, baik berupa riset-riset maupun sosialiasi kepada masyarakat. Depdiknas, selaku lembaga yang memiliki otoritas dalam pengelolaan pendidikan harus mulai melakukan re-setting dan pembenahan tentang kurikulum yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Bagaimanapun sekolah merupakan salah satu sarana paling efektif untuk memberikan pelajaran tentang mitigasi bencana. Jika sejak usia dini mereka sudah terbiasa terlatih melakukan simulasi prosedur mitigasi bencana, saya yakin jumlah kerugian atas sebuah bencana alam bisa diminimalkan.
  
  Nurhadi, Mahasiswa Teknik Fisika ITS Surabaya
Suara karya online ,12 Mei 2005
  
  
  
  Membuat bukit dan menanam kelapa serta cemara dipinggir pantai.
  
  Yoko, seorang konsultan pembangunan perumahan menawarkan gagasan yang dilontarkan arsitek Andy Siswanto tentang dibangunnya bukit-bukit buatan yang biasa disebut bukit penyelamatan (escape hills) di sekitar Desa Menasah Tuha sebagai tempat warga menyelamatkan diri dari bahaya tsunami. "Kalau tsunami datang, penduduk dapat lari ke bukit untuk menyelamatkan diri. Sedangkan dalam keadaan normal, bukit ini dapat digunakan sebagai kawasan konservasi. Berbagai jenis tanaman dapat ditanam hingga udara pantai lebih segar," angan Yoko menjabarkan konsep Andy yang sudah diajukan ke pemerintah.
  Supaya masyarakat dapat berlari menuju bukit itu ketika tsunami datang, harus dibuat jalan yang lurus, lebar, dan diketahui semua orang dari Desa Menasah Tuha menuju puncak bukit. "Hitungan saya, bukit itu dapat dijangkau penduduk dalam 10 menit. Sehingga, jarak terjauh rumah dengan bukit dua kilometer. Sehingga jarak antarbukit sekitar empat kilometer," kata Yoko.
  Menurut Yoko, untuk menampung 1.000 penduduk bukit itu harus memiliki area seluas 1.000 meter persegi. Jadi, menampung 10.000 penduduk dibutuhkan 10.000 meter persegi atau hanya seukuran lapangan bola.
  Untuk meredam gelombang tsunami, Yoko menganjurkan penanaman pohon kelapa dan cemara di sekitar pantai. Sebab, dalam tsunami Desember lalu kedua pohon itu terbukti efektif menahan ombak. "Selain mempunyai manfaat ekonomi, orang Aceh juga biasa menanam pohon kelapa di tepi pantai. Jadi, rasanya tidak ada kesulitan berarti dalam pelaksanaan program itu," katanya.
  Berapa biaya yang dihabiskan untuk konsep itu memang belum dihitung. Namun, Yoko yakin, kedua cara itu relatif lebih murah dan mudah dilakukan untuk menyelamatkan dan menciptakan rasa tenang masyarakat dari bahaya tsunami jika dibandingkan dengan membuat tanggul di sepanjang pantai atau melarang orang Aceh tinggal di sekitar pantai. (M Hernowo)
  
  
  Salam,
  
  Galih Permata




  _______________________________________________________________________________
       
         Galih Permata Aydin 
         PT. Dextam Contractors
           Telp + 62 21 5706164,  Fax. + 62 21 5703208 & mobile : + 62 815 86482826.
  

           
---------------------------------
How low will we go? Check out Yahoo! Messenger’s low  PC-to-Phone call rates.

[Non-text portions of this message have been removed]






=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================




SPONSORED LINKS
Radio stations Station


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke