<http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=247970&kat_id=100>
Membangun Karakter Anak
<http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=247970&kat_id=100> 

Persaingan tahun 2021! Itu yang menjadi beban banyak orang tua masa kini.
Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan
rekan-rekannya dari berbagai negara di dunia. 

`'Tuntutan kualitas sumber daya manusia tahun 2021 membutuhkan good
character,'' kata Dr Ratna Megawangi dalam seminar setengah hari Membangun
Karakter Anak Sejak Usia Dini, Seberapa Penting? di Jakarta, 3 Mei lalu.

Adalah orang-orang yang senang belajar, terampil menyelesaikan masalah,
komunikator yang efektif, berani mengambil risiko, punya integritas -jujur,
dapat dipercaya, dan dapat diandalkan--, dan penuh perhatian, toleransi, dan
luwes yang bisa bersaing kelak. Itu adalah karakter yang bagus. Betapa
tidak. Banyak orang yang pintar dan berpengetahuan.

`'Karakter adalah kunci keberhasilan individu,'' tambah Ratna. Ia lantas
mengutip sebuah hasil penelitian di AS bahwa 90 persen kasus pemecatan
disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur,
dan hubungan interpersonal yang buruk. Didukung pula penelitian lain yang
menunjukkan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan
oleh emotional quotient. 

Bagaimana mendidik karakter anak? Menurut Ratna Megawangi, menciptakan
lingkungan yang kondusif. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang
berkarakter jika dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga
fitrah setiap anak ang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal.
Untuk itu, pendiri sekaligus direktur eksekutif Indonesia Heritage
Foundation ini melihat peran keluarga, sekolah, dan komunitas amat
menentukan.

Membentuk karakter
Membentuk karakter, kata Ratna Megawangi, merupakan proses yang berlangsung
seumur hidup. Anak-anak, jelas ketua bagian Tumbuh Kembang Anak, Fakultas
Ekologi Manusia, IPB, ini, akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika
ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah
setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Untuk itu, ia
melihat tiga pihak yang mempunyai peran penting. Yakni, keluarga, sekolah,
dan komunitas.

Dalam pembentukan karakter, jelas Ratna, ada tiga hal yang berlangsung
secara terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti
tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang
baik. Kemudian, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci
perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat
kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. `'Karena tahu berbohong itu
buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan,'' kata Ratna,
mencontohkan.

Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Lewat
proses itu, Ratna menyebut sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan
pada anak. Ia memulainya dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya;
tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun;
kasi sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras,
dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati;
toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara.
Lalu, bagaimana menanamkan karakter pada anak? Mengutip hasil riset otak
mutakhir, Ratna menyebut usia di bawah tujuh tahun merupakan masa
terpenting. `'Salah didik memengaruhi saat ia dewasa,'' katanya. 

Mana yang disimpan?
Pendidikan karakter seharusnya dimulai saat anak masih balita. Praktisi
pendidikan Edy Wiyono, pada acara yang sama, menggambarkan betapa balita
masih kosong pengalaman. `'Jika ia melihat sesuatu langsung dimasukkan tanpa
dipilih-pilih,'' katanya. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita belum
ada 'program' penyaring.

Nah, materi yang pertama masuk pada otak anak akan berfungsi sebagai
penyaring. Karena itu, Edy mengingatkan orang tua agar waspada. Sebab, jika
terlambat mengisi pengalaman pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi pihak
lain. ''Orang tua yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia ini,
berhati-hatilah,'' katanya.

Anak tak hanya merekam materi yang masuk. Tapi juga yang lebih dipercaya,
yang lebih menyenangkan, dan yang berlangsung terus-menerus. Saat anak sudah
memasuki dunia sekolah, anak biasanya lebih percaya pada guru. Bila demikian
adanya, Edy mengingatkan hal itu sebagai pertanda orang tua untuk
mengevaluasi diri. `'Kita harus meningkatkan kemampuan kita untuk lebih
dipercaya.'' 

Bagi orang tua bekerja, Edy juga mengingatkan agar selalu menyediakan waktu
bagi anak-anaknya. ''Hati-hati, agar jangan sampai tv menggantikan peran
orang tua bagi sang anak,'' ujarnya.

Bekerja maupun tidak, menurut Edy, orang tua harus berupaya menjadikan
dirinya role model untuk membangun kepercayaan anak. Selain itu,
mengupayakan komunikasi dengan anak secara menyenangkan, tidak hanya
memerintah-merintah, mengkritik, dan membentak-bentak. ''Anak dirancang
Tuhan tidak untuk dibentak-bentak,'' ujar Edy,''Karena sesungguhnya
pendengaran anak itu amat tajam.''

Untuk mendampingi sang anak yang tengah dalam pertumbuhan, praktisi multiple
intelligences and holistic learning ini menyarankan para orang tua agar
berupaya menjadi 'konsultan pribadi' mereka. Bagaimana caranya? Yang paling
utama, Edy menyarankan kebiasaan yang dilakukan para orang tua. ''Stop
menghakimi anak dan stop mengungkit-ungkit,'' katanya. Ia juga mengingatkan
agar tidak menggunakan amarah. Sebab, marah tidak pernah menyelesaikan
masalah dengan baik. Tidak juga membanding-bandingkan anak.

Dalam berkomunikasi, orang tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak
menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati
terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun
berkomentar, saran Edy, gunakan komentar yang menyenangkan. Yakni, misalnya,
dengan metode ''rasa-rasa ...'', ''dulu pernah ...''.

Satu hal yang tak boleh dilupakan, kata Edy, orang tua jangan pernah membuat
keputusan untuk anak. ''Biarkan anak yang memilih,'' katanya. Dan, selama
pertumbuhan anak, Edy menyarankan para orang tua untuk selalu membangun
kedekatan dan biasakan berdialog. ''Agar anak terbiasa untuk meminta
pertimbangan dan nasihat dari Anda.''

Melewati Fase Kritis Anak

Ada enam fase kritis, menurut praktisi pendidikan Edy Wiyono, yang dilalui
anak hingga menjadi dewasa. Orang tua dan guru hendaknya memahaminya sebagai
suatu yang normal. ''Bahwa anak sudah pada fasenya,'' kata narasumber Smart
Parenting di Smart FM 95,9 ini. Edy memberi bantuan pada para orang tua
untuk menandai dan menyikapi fase-fase pertumbuhan anaknya mulai dari
balita, usia TK, usia SD, usia SMP, usia SMA, hingga usia kuliah. Satu hal
yang penting tak boleh dilepaskan dalam masing-masing fase itu, Edy
menyarankan, ''Gunakan pujian untuk perilaku, atau perubahan perilaku yang
baik. Berikut lima dari enam fase yang disampaikannya beberapa waktu lalu:

Usia balita
Ciri-ciri: merasa selalu benar, memaksakan kehendak, tidak mau berbagi.
Peran orang tua:
- Berikan kesempatan anak beberapa detik untuk berkuasa. 
- Berikan kesempatan beberapa detik untuk memiliki secara penuh.
- Perkenalkan pada arti boleh dan tidak boleh dengan menggunakan ekspresi
wajah.
- Konsisten dan jangan menggunakan kekerasan baik suara maupun fisik.

Usia TK 
Ciri-ciri: konflik adaptatif, imitatif, berbagi, dan mau mengalah. Ketiga
sifat terakhir ini karena anak ingin diterima dalam kelompok.
Peran orang tua:
- Beri kesempatan untuk memerhatikan, mencoba, dan bekerja sama.

 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke