Berikut ini tulisan salah seorang rekan yang kebetulan menjadi 
  pembimbing haji namanya Dede Nugraha Permana , beliau sekarang sedang studi 
di Tunis. 
  
    AIR MATA TERTUMPAH DI PADANG ARAFAH
    
    
    Cukup lama aku tak menulis di sini. Keberadaanku di Tanah Suci selama
    77 hari - dalam rangka mengemban amanah sebagai petugas haji Indonesia
    - benar-benar membuatku sulit menyisakan waktu sekedar untuk menulis.
    
    
    Alhamdulillah, sejak 5 Februari 2007 lalu, aku telah kembali ke Tunis,
    kota tempatku belajar, menghiasi diri dengan ilmu. Di kota ini, setiap
    usai Subuh aku biasa meluangkan sedikit waktu untuk duduk depan
    komputer, sekedar curhat atau mengabadikan memori lewat tulisan. Tak
    terkecuali sederet kenangan indah yang kualami saat menunaikan ibadah
    haji itu.
    
    
    Dan di antara kenangan itu adalah saat aku berada di Padang Arafah,
    ketika terjadi keterlambatan suplai makanan yang mengakibatkan
    kelaparan massal di kalangan para jemaah haji kita.
    
    
    Saat itu, aku duduk melepas lelah di dalam kemah. Tiba-tiba ponselku
    berdering. Segera kuangkat. Di ujung telepon sana terdengar suara
    seorang ibu tua yang tak asing lagi di telinga ; Uwa Arsih, 63 tahun,
    kakak kandung ayah yang tahun ini berangkat haji. "Dede, tolong Uwa,
    dari kemaren siang belum makan. Datanglah ke tenda Uwa, membawa
    makanan", tutur Uwa dengan isak tangis yang tertahan.
    
    
    Aku terkesiap, dadaku bergetar. Ya Allah, mengapa Uwa belum makan? "Di
    sini tak ada makanan. Kawan-kawan Uwa juga belum makan", lanjut dia
    lagi. "Uwa tunggu di sana. Saya akan segera datang", tuturku seraya
    beranjak keluar dari kemah.
    
    
    Mumpung baru jam 10.00, dzuhur belum tiba, wukuf belum dimulai. Aku
    harus mencari makanan untuk Uwa-ku. Uwa yang datang ke tanah suci
    untuk berhaji, sekaligus membawa salam rindu ayah bunda dari desa ;
    ayah bunda tercinta yang belum pernah kutemui selama 5 tahun terakhir.
    
    
    Aku berjalan zig zag melewati kerumunan para petugas haji yang sedang
    sibuk, berseliweran kesana kemari. Bathinku tak henti bergumam ;
    mengapa tak ada makanan? Bukankah selama empat hari di Arafah-Mina
    para jemaah kita mendapat jatah makanan? Apakah kateringnya tak
    datang?! Ataukah pembagiannya yang tak tertib?
    
    
    Di seberang jalan raya, aku melihat serombongan haji Indonesia berbaju
    ihram, berdiri menghadap arah kemah petugas. Mereka berteriak-teriak,
    beberapa diantaranya mengacung-acungkan tangan. Sepertinya sedang
    melakukan unjuk rasa.
    
    
    Dari teriakan mereka serta sekilas obrolan para petugas yang sempat
    kudengar, aku baru tahu bahwa telah terjadi keterlambatan katering
    untuk jemaah, sejak kemaren sore.
    
    
    Artinya, sejak Kamis sore hingga Jumat siang ini, para jemaah haji
    Indonesia menderita kelaparan, tanpa ada pasokan makanan.
    
    
    Ya Allah, betapa berat penderitaan yang mereka rasakan. Semalaman di
    kemah Arafah, ditempa angin dingin yang menusuk, hanya mengenakan
    sehelai kain ihram. Tanpa makanan..! Air hangat pun tak ada.
    
    
    Aku terus berjalan mengitari komplek perkemahan haji Indonesia. Kedua
    mataku mencari-cari pedagang makanan. Makanan apapun yang bisa kubeli,
    untuk segera kuantarkan ke kemah Uwa.
    
    
    Aku berjalan menembus hiruk pikuk para haji Indonesia yang berjalan
    kesana kemari. Di antara mereka, ada yang berlari-lari kecil, sambil
    membawa potongan roti atau segelas teh. Dari obrolan-obrolan yang
    kudengar, aku tahu bahwa mereka juga sedang mencari makanan.
    
    
    Di sebuah pertigaan, aku berpapasan dengan seorang rekan petugas yang
    sedang berlari-lari kecil. Tangannya memegang plastik putih berisi
    roti. "Dari mana ustad dapat roti itu?", tanyaku tanpa basa-basi. "Tuh
    di ujung sana, ada orang jual. Tapi harus segera, hampir habis..",
    tuturnya seraya menunjuk ke jalan arah kiri.
    
    
    Aku pun berjalan ke sana, dengan langkah yang lebih cepat. Berjalan di
    antara deretan kemah haji Indonesia. Benar ternyata, di ujung jalan
    itu ada seorang pedagang roti tawar. Ia dikelilingi beberapa orang
    haji. Tetapi mereka bertengkar kecil. Nada-nada suara yang tinggi,
    serta raut kebingungan sang pedagang. Selidik punya selidik, rupanya
    mereka kecewa karena puluhan bungkus roti itu telah habis diborong
    oleh seorang ketua kloter.
    
    
    Subhanallah, hanya itu ungkapan yang terucap. Lalu aku memutar haluan,
    berjalan menelusuri komplek perkemahan haji Indonesia. Aku membuntuti
    sang ketua kloter yang memborong roti tadi.
    
    
    Ia berjalan agak cepat, hingga kemudian memasuki sebuah gerbang
    maktab. Puluhan jemaah menyambutnya, seraya merebut roti-roti tawar
    itu. Suasana menjadi tak tertib. Beberapa haji lain berlarian dari
    kemahnya. Teriakan-teriakan terdengar di antara mereka.
    
    
    Aku tertegun terharu menyaksikan pemandangan itu. Ya Allah, mengapa
    semua ini bisa terjadi? Wahai Allah, mengapa Engkau sia-siakan para
    tamu-Mu?! Dalam suasana normal, tentu roti-roti tawar itu takkan
    dilirik oleh orang Indonesia. Tetapi hari ini, roti tanpa rasa itu
    menjadi sangat berharga.
    
    
    Dalam sekejap, roti-roti itu telah berpindah tangan. Para jemaah yang
    belum kebagian, berlarian kesana kemari. Sebagian mereka, tentu
    orang-orang tua yang lemah, atau mereka yang menderita sakit.
    
    
    Merasa tak tega berlama-lama di sana, aku kembali berjalan. Mencari
    penjual makanan. Tetapi memang tak ada. Konon, para penjual makanan
    dilarang masuk ke komplek perkemahan Arafah.
    
    
    Akhirnya aku kembali ke perkemahan petugas. Meski hati terasa teriris,
    ingat Uwa di Maktab 55 sana yang saat ini tengah menderita kelaparan.
    Pun juga dua ratus ribu jemaah Indonesia lainnya. Semoga Allah
    memberikan kekuatan kepada mereka.
    
    
    Aku terus berjalan, di antara hiruk pikuk jemaah yang berlarian, juga
    para petugas yang sibuk menggotong para haji yang pingsan atau sakit.
    
    
    Aku tiba di perkemahan petugas haji, ketika sebuah pertemuan sedang
    digelar. Pertemuan darurat yang diikuti oleh Duta Besar RI di Saudi,
    Amirul Haj Tarmizi Taher, beberapa anggota DPR, Wakil Muassasah, para
    ketua kloter serta para petugas haji. Juga nampak puluhan wartawan
    dari media-media nasional.
    
    
    Aku mencoba mendengarkan pembicaraan mereka. Terdengar desakan kuat
    dari perwakilan jemaah, agar pemerintah mengusahakan makanan darurat
    dalam waktu yang cepat. Tanpa menunggu jatah makanan yang dijanjikan
    oleh Perusahaan Ana Katering. "Kami sudah bosan mendengarkan
    janji-janji. Kami ingin makanan segera. Aku sendiri masih bisa menahan
    lapar. Tetapi di sana, di kemahku, banyak orang tua yang lemah, jemaah
    jompo yang kepayahan...", tutur seorang jemaah dengan suara yang
    lantang. Seorang ibu tua yang duduk di sebelahnya tak henti menangis.
    
    
    Dubes, Amirul Haj serta anggota DPR itu bergiliran bicara. Sambil
    sesekali menerima telepon. Beberapa saat kemudian, pertemuan berakhir.
    Diantara kesepakatannya, pemerintah akan mendatangkan 200 ribu paket
    Indo Mie dari Jedah.
    
    
    Aku kembali ke tenda. Bersama para petugas haji yang lain. Kami duduk
    terdiam, kebingungan. Karena persoalan makanan tak lagi berada dalam
    jangkauan kewenangan kami. Kami hanya petugas lapangan, bukan pemegang
    kebijakan. Dalam suasana itu, kami hanya bisa membantu para petugas
    medis mengobati jemaah sakit. Sambil menanti kedatangan mie instan
    yang dipesan itu.
    
    
    Saat dzuhur tiba, khutbah wukuf disampaikan oleh KH Makruf Amin,
    seorang Ketua MUI. Dalam doa wukuf, tak lupa kami panjatkan
    permohonan, semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada para jemaah
    Indonesia.
    
    
    Pukul 14an, kontainer pembawa Indo Mie itu tiba. Alhamdulillah. Semua
    petugas dilibatkan dalam membantu distribusi Indo Mie ke tenda-tenda
    jemaah. Tak terkecuali aku. Kami berdiri berderet, mendistribusikan
    kotak-kotak mie instan itu secara estafet. Ribuan jemaah berdiri di
    jalanan depan kemah mereka. Acara wukuf tak lagi diisi dengan doa dan
    dzikir di dalam kemah, melainkan dengan berdiri berderet sambil
    menahan lapar.
    
    
    Suasana hiruk pikuk. Banyak jemaah yang merebut dus-dus Indo Mie dari
    tangan para petugas. Rasa lapar yang teramat sangat, memaksa mereka
    melakukan itu. Beberapa petugas akhirnya melemparkan dus-dus itu ke
    dalam komplek perkemahan yang terhalang pagar tinggi itu.
    
    
    Aku pun demikian. Agar segera sampai ke tangan jemaah dus-dus itu pun
    kulemparkan. Kulemparkan dengan iringan doa dan kelopak mata yang
    terasa menghangat. Di balik pagar sana, ribuan manusia berbaju putih
    menanti dengan tangan-tangan yang terangkat.
    
    
    Allahummaj'al hajjana hajjan mabrura, wa dzanbana dzanban maghfura, wa
    sa'yana sa'yan masykura...
    
    Tunis, 12 Februari 2007

atma sejati <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                                          
        Maaf, memang tidak semua menderita kelaparan, tetapi
  ada di antara maktab 40an yang menderita kelaparan.
  Saya ada di sebrang maktab tersebut mengetahui bahwa
  jamaah tersebut dari Cirebon sudah agak sepuh, karena
  tidak ada perbekalan yang cukup,  cari makanan di
  tempat sampah, memprihatikan memang, maka dari maktab
  (29) kami kirim makanan yang kami punya. 
  
  Moga2 informasi ini tidak mengaburkan kenyataan yang
  dihadapi pada saat peristiwa itu terjadi.
  
  Salam,
  
  Atmasejati
  --- gus-bah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  
  > itu mah org kita aja yg bisa2nya dibilang mereka
  > kelaparan.
  > orang gak kok..makanan bunyak kok disana roti dan
  > lain2 dimana-mana.., orang kita saja yg gak biasa
  > makan roti maunya nasiii...
  > .
  > .
  > ..
  > .
  > .
  > ..
  > .
  > itu katanya...
  > 
  > Gusbah
  > Nyelem dulu ke..
  >
  ttp://www.freewebs.com/tendangansukses/home4sale.html
  > 
  > 
  > 
  >   ----- Original Message ----- 
  >   From: Epri Tsaqib 
  >   To: [EMAIL PROTECTED] 
  >   Sent: Thursday, March 01, 2007 8:02 PM
  >   Subject: Ida Arimurti Puisi - Katering Haji
  > 
  > 
  > 
  > 
  > 
  > 
  >   Puisi - Katering Haji
  > 
  >   Tuhan,
  >   Pemimpin kami memang hebat
  >   bahkan kala kami penuhi
  >   panggilanMU di pintu ka'bah
  > 
  > 
  >   mereka suruh kami
  >   merasakan lapar yang sebenar-benarnya
  >   sebagaimana nasib saudara-saudara kami
  >   yang tak mampu lagi membeli nasi
  >   di negri yang katanya jamrud khatulistiwa
  > 
  > 
  >   Tuhan,
  >   aku kagum sekali
  >   pada para penguasa ini
  > 
  > 
  >   karena merekalah
  >   kami bisa sungguh-sungguh merasakan
  >   bagaimana rasanya, berebut sepotong roti
  >   dan nikmatnya nasi bungkus
  >   disantap berjamaah
  > 
  > 
  >   Tuhan,
  >   sampaikan kagum kami pada mereka ya
  >   hingga berkabut air mata istri kami,
  >   paman, dan orang tua kami
  >   menapaki arafahmu
  > 
  > 
  >   Epri Tsaqib, 2007
  >  
  > http://epriabdurrahman.multiply.com/reviews/item/41
  >   tampilan baru website pribadi saya :)
  > 
  > 
  



  
    
                        

 
---------------------------------
It's here! Your new message!
Get new email alerts with the free Yahoo! Toolbar.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke