On Wed, 5 Mar 2003, Agus N wrote:
> Yah begitulah mas Heri.
> Di Barat yang sangat permisif pun website porno biasanya diberi rate
> (misalnya xxx), kemudian disediakan juga program macam net Nanny yang bisa
> memfilter website porno dari pengguna internet anak-anak dari SD-SMP.

Marno :
Mas program filtersasi hanya dg memfilter ternyata tidak sederhana,
sehingga ada situs ilmiah yang mengandung kata analisis atau analisa,
disangka program filter berarti anal sex :-). 

Kalau situs yg memiliki kata x juga kita filter, maka situs soal xml bisa
tidak akan mudah diakses, sebab mengandung huruf x.

Sehingga soal filter tampaknya lebih baik diserahkan kepada komunitasnya
yg lebih tahu ukuran kemampuan daya serap informasi, misalnya komunitas SD
diserahkan kepada guru dan orang tua agar membimbing anak-anak akses ke
situs anak-anak yg dikelola oleh guru-guru dan orang tua murid (maaf saya
menulis sambil bertanya-tanya apa sudah ada di Indonesia dg kondisi
nginternet seperti sekarang, kalau di AS jelas ada situs for kid). 

Agus N :
> Sekarang Indonesia dalam hal yang jorok ternyata mau lebih canggih lagi...:)
> Sekarang bolanya tinggal di IDNIC, mau menghancurkan moralitas bangsa atau
> tidak.

Marno :
Soal kehancuran moral bangsa saya duga tidak mungkin hanya disebabkan dg
meloloskan domain yang bernada seks, sebab soal ini sudah ada sejak jaman
nabi Nuh. Karena suda sangat tua maka soal itu perlu dikembalikan kepada
masing-masing komunitasnya sesuai dg agama masing-masing dan metoda
masing-masing. Karena kalau misalnya di Indonesia ada komunitas freeseks,
jelas norma yg dipaksakan malahan akan semakin meningkatkan
pembrontakannya. 

Hanya kearifan dan kebijakanlah (baik yg berasal dari IDNIC maupun dari
masyarakat luas), saya kira, yang akan lebih berhasil dalam memperjuangkan
soal moral ini, karena dg cara itu maka kehawatiran yg berlebihan atas
soal teknologi internet, bisa terkurangi sehingga perhatian atas teknologi
ini bisa lebih baik dan berdaya guna bagi orang Indonesia, yg akhirnya
jelaslah orang Indonesia bisa sejajar dalam soal teknologi ini dg bangsa
lain. 

Soal kehawatiran ini bisa berangkat dari macam-macam sebab, singkat kata
bisa dari soal moral seks, kemudian bisa juga kehawatiran tadi bersifat
kearah rasa terancam status quonya, misalnya mbah dukun takut kalah
pengetahuannya oleh anak SMP yg sering membaca situs kesaktian di
Internet. Bisa juga karena sebab konglomerat takut kalah kaya oleh seorang
pedagang eceran yg buka situs warung di Internet dan lain-lain sebab yg
lebih bersifat agak sempit.

Saya jadi inget jaman jepang, dulu tidak boleh orang Indonesia punya
radio. Karena bila punya radio, orang Indonesia bisa tahu bahwa orang
Jepang itu menjajah Indonesia dan kalah perang terhadap sekutu. Kalau
Indonesia tahu, jelas perlawanan orang Indonesia semakin meningkat.

Sekarang kalau orang Indonesia tahu, bahwa orang Indonesia jelek kata
bangsa lain (dari Internet), justru itu harus dijadikan suatu instrospeksi
diri kita. Atau kita bisa lebih tegas terhadap bangsa lain yg menekan
orang Indonesia dg rupa-rupa barangnya, karena orang Indonesia sebelumnya
tahu bahwa bangsa lain itu ternyata bangsa yang kurang maju atau
terbelakang :-).

Saya lihat bangsa yang menolak kemajuan (Iptek) akan selalu tertinggal
dari bangsa lain (dari cerita sejarah SMU). Di Eropa kabarnya dulu
kemajuan iptek dhambat karena para pemuka agama takut status quonya
terkalahkan oleh ilmuwan (karena di dalam kuilnya dipakai teknik hidrolik
untuk buka tutup batu altar yang mengagumkan umat asuhannya). Kalau umat
tsb tahu bahwa itu hanyalah teknik hidrolik biasa, maka sadar bahwa sang
dukun hanyalah membual belaka :-).

Salam,
Marno

_______________________________________________
Idnic mailing list
[EMAIL PROTECTED]
http://www.idnic.net.id/cgi-bin/mailman/listinfo/idnic

Kirim email ke