KADO BUAT PESANTREN 

Telaah Reflektif-Filosofis Upaya Penyegaran Ideologi Pesantren dari Kejumudan 
Menuju Pendakian Progresif-Dinamis 
Oleh: Ach. Tijani

Sketsa Wajah Pesantren 
Negeri ini sudah 64 tahun menikmati kemerdekaan dari penjajahan kolonial 
Belanda. Kemerdekaan itu diperoleh dengan perjuangan dan pertumpahan darah dari 
para pejuang negeri ini. Salah satu unsur institusi pendidikan yang dengan 
getol memperjuangkan kemerdekaan adalah, Pesantren. Pesantren dalam sejarahnya 
adalah lembaga pendidikan Islam yang dengan gigih melawan penjajahan. Perannya 
dalam mengupayakan bangsa ini merdeka dari penjajahan, terbukti dengan 
banyaknya perlawanan dari dalam pesantren, baik perlawanan secara kontak fisik 
ataupun secara ideologi.

Bila dilihat lebih dekat, keberadaan dan peran pesantren dalam membangun negeri 
ini sudah bermula sebelum datangnya kaum penjajah di negeri ini. Selain basis 
perlawanan melawan penjajah pada zaman sebelum kemerdekaan, pada mulanya 
pesantren merupakan institusi penyebaran Islam. Dari pesantren inilah Islam 
menjadi sebuah agama yang ramah dan dekat pada masyarakat luas. Pada dimensi 
yang lain pesantren menjadi media sentral dakwah ke-Islaman pada awal 
penyebaran Islam di bumi Nusantara ini.

Keberadaan pesantren di negeri ini membawa realitas Islam sebagai agama yang 
dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Pesantren selain mengemban misi 
suci penyebaran Islam, di sisi lain sebagai penjaga nuansa keaslian negeri 
(indigenous), karena secara historis lembaga sejenis telah berdiri sejak masa 
Hindu-Budha, sedangkan pesantren merupakan kelanjutan dalam bentuk Islamisasi 
dari warisan nenek moyang. Dengan demikian tanpa bisa dibantahkan, pesantren 
merupakan salah satu warisan kekayaan sistem pendidikan bangsa yang seharusnya 
dan sewajarnya menjadi kebanggan bagi setiap insan negeri ini.

Jika mau jujur di era kemerdekaan, pesantren tetap eksis menelorkan alumninya 
sebagai para pemimpin bangsa ini. Sebut saja Gus Dur, orang pesantren sekaligus 
sebagai bapak bangsa yang kemudian berhasil menjadi orang nomor satu di negeri 
ini. Selain itu ada beberapa tokoh lain seperti, Din Syamsuddin, Hidayat 
Nurwahid, Hasyim Muzadi dan lain-lain yang tidak mungkin untuk disebutkan 
satu-satu. Mereka adalah sebagian saja dari sekian juta lainnya yang mempunyai 
peran penting dalam membangun bangsa ini. Dengan demikian, pesantren tetap 
berada pada posisinya sebagai institusi relegius-nasionalis dengan orientasinya 
yang luhur yaitu, memajukan bangsa.

Peran dan misi suci pesantren yang gemilang itu nampaknya tidak banyak dipahami 
oleh para pemimpin negeri ini. Bahkan para pemimpin negeri ini lebih banyak 
mengadopsi warisan penjajah Belanda yang mengarah pada pendiskreditan 
pesantren. Lihat saja perjalanan putusan-putusan pemerintah yang sedikit 
memojokkan dunia pesantren dan Islam. Kalau boleh menakar lebih rinci 
putusan-putasan pemerintah itu bermula dari awal perjalanan pemerintahan pasca 
deklarasi kemerdekaan hingga pemerintahan saat ini. Diskrimnasi dan 
pendikreditan itu bermula pada tahun 1950 oleh Presiden Soekarno dengan pola 
pandang dualisme-dikotomisme (lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan 
agama) yang memandang pesantren hanya sebagai gerakan ritual belaka. Tendensi 
pemerintah lebih memilih pendidikan sekuler warisan penjajah ketimbang 
pesantren yang lebih dulu membangun negeri ini. Aksidensi sejarah itu terjadi 
ketika ditetapkannya Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai kawah
 canderadimuka bagi kaum nasionalis serta Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) 
bagi umat Islam pada tahun 1950. Aksedensi sejarah ini merembes pada eksistensi 
pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam. Sehingga kemudian 
pesantren hanya sebagai cagar budaya yang minim akan perhatian pemerintah. 

Pandangan picik serta serangan yang memojokkan pesantren tidak berhenti sampai 
disitu. Saat ini pesantren dan dunia Islam sedang dideru agresi maha dahsyat 
dengan tudingan miring sebagai sarang teroris. Dentuman dan meledaknya bom pada 
17 Juli 2009 di Hotel JW Marriot dan Ritz Calton menambah borok pandangan 
publik terhadap pesantren dan dunia Islam. Santernya pemberitaan media, bahwa 
salah satu dari pelaku yang terlibat dalam kejadian itu adalah alumni 
pesantren. menjadi salah satu faktor semakin memburamnya wajah pesantren di 
tengah-tengah masyarakat luas.

Demikian sketsa pesantren saat ini, keberadaannya sangat memprihatinkan serta 
membutuhkan langkah kuratif yang tepat untuk mengembalikan citra pesantren di 
mata dunia.

Problem dan solusi 
Gambaran di atas merupakan deskripsi dunia pesantren yang berada diantara peran 
dan agresi dunia luar yang mencoba menggusur pesantren dari bumi Nusantra ini. 
Sudah saatnya pesantren bangkti dari tidurnya dengan mencoba membangun 
kesadaran agar terus bisa survive menghadapi tantangan yang membentang. 
Tudingan dan pandangan miring dari dunia luar pesantren setidaknya menjadi 
stimulan agar pesantren tidak melulu sibuk dengan aktifitas kognitif-normatif 
(pengajaran) saja, tapi lebih dari itu agar mulai melihat secara 
integral-universal pada dunia dan problematika yang terjadi.

Diantara kelebihan yang bisa dibanggakan dari dunia pesantren, tentunya menjadi 
sebuah kesadaran adanya kekurangan yang perlu dibenahi di tubuh pesantren itu 
sendiri. Pesantren dengan kelebihannya kadang telah membutakan insan pesantren 
itu sendiri dengan bersikukuh pada romantisme historis kejayaan masa lalu. 
Kejayaan dan prestasi masa lalu menjadi kebanggaan yang menghilangkan nuansa 
dinamisasi, sehingga kadang dunia pesantren mengisolasi diri dari perkembangan 
yang datang dari luar. 
Determinisme historis ini mengakar kuat di kalangan orang pesantren. Salah satu 
penyebabnya adalah pandangan ideologi orang pesantren yang bersifat 
miopik-narsistik. Sebuah pola pandang yang sempit serta pengagungan yang 
kelewatan terhadap milik dan diri sendiri. Pola pandang ini tersuguhkan dengan 
pola prilaku searah dalam sistem pengajaran dan budaya yang berjalan di dunia 
pesantren. Salah satu contoh adalah, pengkultusan yang berlebihan pada figur 
sentral (kiyai) serta pengkerdilan sikap kritis para santri. Walaupun ada 
beberapa pesantren yang mencoba mengikis pola pandang ini, tapi itu semua jika 
ditilik lebih dalam hanya berupa apologi-difensif yang sifatnya artifisial saja.

Selain daripada itu yang lebih sering didentikkan dengan budaya yang berkembang 
di pesantren adalah, corak kepimimpinannya yang bersifat kharismatik-feodalis. 
Corak kepemimpinan seperti itu dinilai untuk saat ini sudah tidak tepat lagi, 
mengingat dinamika dan perubahan zaman sudah jauh lebih berkembang, sedangkan 
corak kepemiminan tersebut cenderung mengabaikan kualitas. Dunia modern selalu 
meminta kualitas ketimbang garis keturunan, untuk itulah tradisi ini perlu juga 
mendapat penyegaran dengan beralih pada corak kepemimpinan rasional, harapannya 
agar pesantren bisa benar-benar menjadi milik umat bukan milik kelompok apalagi 
individu. Corak kepemimpinan ini merupakan kelanjutan dari ideologi kultus yang 
berkembang di pesantren. 

Sejatinya akar ideologi di atas mempunyai tautan kuat pada era masa keemasan 
Islam di Timur Tengah. Lihat saja beberapa kitab yang digunakan untuk 
membekukan ideology ini di tengah-tengah santri, sebut saja Ta’limul Muta’llim 
yang lebih menekankan pada amaliyah-sufistik dengan metode personal-monolog dan 
mementahkan sikap kritis. Sikap ini kemudian diterjemahkan pada pola pandang 
yang menghegemoni dengan sebutan iktisab barokah. Maka tidak jarang pada 
realitanya banyak kalangan muslim yang sengaja masuk pesantren dengan 
berorientasi pada barokah.

Celah ataupun kekurangan lain yang perlu disadari adalah menghegemoninya 
Arabisasi atau gerakan meng-arabkan pesantren secara penampilan dan isi 
(performa-dan substansi). Maka tak jarang di sebagian besar pesantren di negeri 
ini, Bahasa Arab (Nahwu-Shorrof), Fiqh, Tafsir, Hadits dan Aqidah saja yang 
menjadi materi ajarnya. Kemudian yang lebih menjenuhkan, ketika materi ajar itu 
hanya diupayakan pada batas pengamalan saja tidak sampai pada mengkaji dan 
mengkritisinya.

Diakui beberapa pesantren ada yang sudah berupaya memadukan ilmu pengetahuan 
secara integral tanpa memetak-metakkan lagi. Namun tradisi naqdu ilmi belum 
secara utuh diterapkan didalamnya. Sehingga pola atau system yang berjalan 
hanya pada tataran iktisab ilmi belum pada tataran intaj ilmi. Sesuatu yang 
langka ini seharusnya sudah disadari oleh para elit pesantren untuk 
memasukkannya dalam sistem pesantren sebagai upaya penyegaran yang berarah pada 
pendakian positif.

Kendala lain dalam menanamkan sikap progresif pada dunia pesantren adalah, 
mengakarnya antipati terhadap Belanda yang berlebihan (Dutch sentimental). 
Antipati yang membabibuta ini kemudian berujung pada sentiment luar biasa pada 
sesuatu yang datang dari Barat. Apapun perkembangan yang dibawa oleh Barat 
(dunia luar pesantren) dianggap oleh sebagian kalangan pesantren sebagai 
sesuatu yang sesat. Pandangan dangkal inilah yang sering kali memunculkan sikap 
anarkis, sehingga tak jarang ada beberapa alumni pesantren yang terjerumus 
dalam kubangan paham taklidiyah yang terimplikasi lewat tindakan-tindakan teror.

Kenisacayaan pesantren untuk membuka diri dan keluar dari pola regresif pada 
pola progresif adalah tak terbantahkan sebagai langkah preventif dari 
tergususnya pesantren dari negeri tercnta ini. Hal ini merupakan solusi tunggal 
agar pesantren tetap eksis dan kembali mendapat citranya dari pandangan publik 
dan pemerintah. Solusi ini sebenarnya bagian dari kekayaan adagium pesantren 
yang selama ini banyak dilupakan oleh kalangan orang pesantren itu sendiri yang 
berbunyi ‘’almuhafadhah ‘ala qodimis sholeh wal akhdu min jadidil aslah”. 
Harapan final dari upaya ini adalah terciptanya pesantren sebagai sebuah 
lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya sebagai hasil budaya (muntaj 
tsaqofah) tapi di sisi lain pesantren juga sebagai penghasil budaya (muntij 
tsaqofah). [ijan09]


*)ditulis sebagai kado buat Pesantren menjelang Dirgahayu RI yang ke-64


      

Kirim email ke