“WTO Membunuh Buruh dan Petani, Impor Beras dan Upah  Murah Menyengsarakan Rakyat, Negara Harus Bertanggungjawab”
 
Hidup Rakyat Pekerja
Hidup Kaum Buruh
Hidup Petani
Hidup Kaum Miskin Kota
Dan Hidup Para Pemuda Indonesia
 
Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih, serta demi perjuangan kerakyatan dan pembelaan hak asasi manusia: Salam Demokrasi.
 
Semenjak masa kolonialisme, hubungan ekonomi-politik internasional, berwatak timpang dan eksploitatif, dimana negara-negara Barat dan modal internasional (perusahaan multinasional dan transnasional) dengan menjajah atau bekerja sama dengan para bangsawan feodal yang bersedia menjadi inlander alat (komprador) mengeksploitasi sumber-sumber agraria di wilayah jajahan, mengeksplotasi buruh, mengekspolitasi petani dan membungkam perlawanan rakyat yang membela haknya dengan kekerasan bersenjata dan tipu daya. Dan kini neo kolonialime/neo imperialime beroperasi dengan WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan dunia) sebagai salah satu kendaraannya.
 
Adalah GATT (General Agrement on Tariffs and Trade/Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan) sebuah organisasi ekonomi internasional yang difungsikan untuk menjalan progam rekontruksi ekonomi internasional paska Perang Dunia II di bawah dominasi dan hegemoni Amerika Serikat. Putaran-putaran perundingan di GATT yang kemudian mengesahkan berdirinya WTO. Misi tunggal dari WTO adalah terjadinya liberalisasi perdagangan yang memungkin untuk terjadinya internasionalisasi modal.
 
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO, adalah badan tertinggi di WTO yang sedkitnya bertemua dua tahun sekali untuk merumuskan agenda-agenda perdagangan internasional.  Dua kali KTM mengalami kegagalan, pertama di Seattle New York Amerika Serikat tahun 1999 dan terakhir di Cancun Mexico tahun 2003.
 
Dan mengapa KTM ke-6 harus digagalkan ? Karena, pertama, WTO lebih mengedepankan kepentingan perusahaan-perusahan multinasional dan transnasional serta negara-negara maju khususnya Amerika dan Eropa. Kedua, negara menjadi semakin tidak memiliki ruang guna mengatur perekonomian nasional guna melindung perekonomian rakyat sehingga kebijakan publik menjadi pro modal internasional dan anti rakyat, yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang dilakukan negara dengan hukum dan dengan kekerasan
 
Agenda-agenda WTO adalah wujud paling kongrit dari neo liberalisme, yaitu sebuah ideologi yag dibangun Amerika dan diikuti oleh sekutu dan anteknya yang memungkin seluruh kebijakan kapitalisme internasional atau internasionalisasi modal bisa berlangsung, inilah yang disebut dengan neo imperialisme dan neo kolonialisme.
 
Berbagai produk hukum negara dan kebijakan publik pemerintah Indonesia yang pro kepada liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan menguntungkan modal internasional serta oligarki kekuasaan, birokrasi, dan para pemodal nasional yang hidup dari rente (kolusi, korupsi, dan nepotisme), tetapi justru melanggar hak rakyat atas akses kepada sumber-sumber agraria (tanah, air, dan pangan) seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Presiden Nomer 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta kebijakan impor beras.
 
Perburuhanpun mengalami nasib yang sama. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, telah mengakibatkan tidak jelasnya kesepakatan kerja bersama dan massifnya sistem kontrak sehingga para pemodal bisa dengan mudah untuk tidak memenuhi hak-hak buruh.
 
Hasil Pemilu 2004 adalah aspirasi demokratik rakyat Indonesia, yang telah menghantarkan SBY-JK ke posisi puncak kekuasaan di Indonesia dan sekelompok orang dapat hidup mewah dengan duduk di kursi DPR. Namun kebijakan negara sama sekali tidak mencerminkan dijalankannya amanat penderitaan rakyat, tetapi kebijakan-kebijakan publik yang sesuai dengan kehendak modal internasional – bahkan mendapatkan pujian dari IMF (international Monetary Fund/Lembaga Keuangan Internasional - merupakan tindakan yang melawan hukum – ditandai dengan tuntutan judicial review dari gerakan masyarakat sipil demokratis -  dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, ketika pemerintah tidak memperdulikan protes masyarakat dan justru di beberapa kasus melakukan tindakan represif (kriminalisasi atas sikap kritis masyarakat).
 
Peraturan Presiden Nomer 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah kebijakan legal yang lahir sebagai respon atas KTT Infrastruktur (Infrastructure Summit), selain bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya (Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Pokok Agraria; Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) dan menafikan protes masyarakat, semakin menghilangkan akses masyarakat kepada sumber-sumber agraria, dan semakin hilangnya lahan pertanian untuk kepentingan infrastruktur akan membawa dampak pada situasi rawan pangan.
 
Demikian juga dengan Peraturan Presiden Nomer 55 Tahun 2005 yang mengatur pencabutan subsidi dan kenaikan harga BBM, selain bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya (Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang menjadi rujukan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945) dan menafikan protes masyarakat, telah menciptakan PHK massal dan juga situasi rawan pangan akibat turunnya harga beli masyarakat dan naiknya sarana produksi masyarakat.
 
Itu semua artinya adalah negara telah melakukan pemiskinan secara massal dan massif (kekerasan dan kemiskinan struktural) yang jelas bertentangan dengan konstusi Republik Indonesia, pasal 33 UUD 1945, Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang beberapa waktu yang lampau telah diratifikasi oleh pemerintah.
 
Seharusnya negara memberikan perlindungan bagi perekomonian rakyat, seperti pertanian dan industri serta perdagangan kecil dan menengah, bukannya meliberalkan modal dan perdagangan seperti impor beras, modal asing boleh buka SPBU, privatisasi dan sebagainya. Dan nampaknya hal tersebut hanya ilusi saja bagi rakyat Indonesia, terutama sekali ketika negara terikat 100 % dengan kesepakatan-kesepakatan di WTO.
 
 
Untuk itu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Serikat Buruh Jabotabek (SBJ) dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) menyatakan sikap sebagai tuntutan kepada penyelenggara negara:
 
  1. Indonesia harus keluar dari WTO
  2. Laksanakan Pembaruan Agraria dan penuhi hak asasi petani
  3. Penuhi hak akses rakyat kepada lapangan kerja dan upah yang layak bagi buruh.
  4. Tolak Impor beras
 
Dan jika negara terus mengeluarkan kebijakan yang lebih menghamba kepada modal internasional dan segelintir elit yang hidup dari ekonomi rente serta mengabaikan sama sekali amanat penderitaan rakyat dan melanggar konstitusi, maka adalah hak konstitusional warga negara Indonesia untuk melakukan pemogokan umum secara massal.
 
Mogok menjadi warga negara dengan tidak usah membayar pajak
 
Jakarta, 13 Desember 2005
 
Hentikan Pembangunan Bandara, Bawa Pelaku Kekerasan Terhadap Petani
ke Pengadilan, dan Hentikan Perampasan Petani  di Tanak Awu!
 
Ada dua sekaligus pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan negara berserta aparaturnya terhadap para petani miskin pemilik tanah di Tanak Awu yang rencananya di bangun bandara Internasional, yang itu semua mengharuskan Presiden SBY, Menteri Perhubungan berserta aparatnya di Departemen Perhubungan untuk menghentikan pembangunan bandara internasional di Tanak Awu.
 
Pertama, bahwa proses pengambilalihan lahan para petani penduduk desa ke tangan PT Angkasa Pura dilakukan dengan cara-cara intimidasi dan manipulasi sebagai hal wajar dilakukan negara semasa pemerintahan rezim militer Orde Baru. Dan rupanya watak militeristik Orde Baru, kembali ditunjukan dengan kekerasan polisi terhadap aksi massa damai petani di Tanak Awu pada tanggal 18 September 2005. Pembubaran polisi terhadap rapat umum petani tersebut adalah tindakan illegal karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI, dan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dampak dari pembubaran illegal polisi tersebut adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, karena terjadi perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan secara fisik lain secara sewenang-wewnag yang melanggar (asas) ketentuan pokok-pokok internasional, penahanan atau penangkapan sewenang, dan tindakan kekerasan fisik lainya yang mengakibatkan sejumlah petani tertembak, cidera dan seorang perempuan mengalami keguguran.
 
Kedua, mengingat wabah busng lapar di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, suburnya lahan pertanian di Tanak Awu, dan tidak jelasnya perhitungan ekonomis pembangunan bandara dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan jika wabah kelaparan terus dibiarkan, maka negara  telah melakukan pelanggaran HAM melalui pembiaran
 
Maka jika pembangunan bandara diteruskan dan kekerasan terus berkembang, maka negara  termasuk Menteri Perhubungan telah melakukan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduuk sipil dalam rangka pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
 
Untuk itu kami menyatakan sikap:
  1. Menteri Perhubungan harus segera menghentikan pembangunan bandara di Tanak Awu
  2. Menuntut Ketua Komnas HAM untuk segera mengeluarkan rekomendasinya kepada pihak yang terkait demi pelindungan hak asasi manusia
  3. Menuntut Kapolri untuk bertanggungjawab atas kekerasan yang berkembang di Tan Awu
  4. Bersatulah para petani di Indonesia lawan penggusuran
 
 
Jakarta, 13 Desember 2005
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Federasi Serikat petani Indonesia (FSPI)
Serikat Buruh Jabotabek (SBJ)
Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)                                      
 
 


To help you stay safe and secure online, we've developed the all new Yahoo! Security Centre.

Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme !
******Ajak lainnya bergabung ! Kirimkan e-mail kosong (isi to...saja)ke:
        [EMAIL PROTECTED] (langganan)
        [EMAIL PROTECTED] (keluar)
Site: http://come.to/indomarxist




SPONSORED LINKS
Indonesia visa Indonesia phone card Indonesia calling card
Indonesia travel Indonesia Indonesia hotel


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke