Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun
James R Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga
adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan
dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk
mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka
berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat
kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.

Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York
Times oleh para pejabat pemerintah menunjukkan, Kementerian Lingkungan
Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun
1997, Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang
lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan
mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6
miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk
membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di
pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem
sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat
dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah
diberikan status khusus oleh PBB.

Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan
Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan
Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan
mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang
dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk
kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York
Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York
Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah
Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena
untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu
ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah
surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum
perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan
emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah
mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat
aturan pada tahun 1990-an.


Menyadap email

Menurut seorang pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat
dalam mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini
menyadap e-mail para aktivis lingkungan yang melawan perusahaan ini
untuk memata-matai apa yang mereka lakukan. Freeport menolak
mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan dengan
perwira-perwira intelijen TNI, mulai menyadap korespondensi e-mail dan
percakapan telepon lawan-lawan aktivis lingkungannya. Hal ini
dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam kegiatan
ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.

Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga
membuat sistemnya sendiri untuk mencuri berita-berita melalui e-mail.
Caranya adalah dengan membentuk sebuah kelompok pecinta lingkungan
gadungan, yang meminta mereka yang berminat untuk mendaftar secara
online dengan menggunakan kode rahasia (password) tertentu. Banyak di
antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang sama
seperti yang mereka gunakan untuk e-mail mereka. Dengan cara ini,
Freeport dengan gampang mencuri berita. Menurut seseorang yang waktu
itu bekerja untuk perusahaan ini, awalnya para pengacara Freeport
khawatir dengan pencurian ini. Tetapi, mereka kemudian memutuskan,
secara legal perusahaan itu tidak dilarang untuk membaca e-mail
pihak-pihak di luar negeri.


Hubungan Freeport dan TNI

Selama bertahun-tahun, Free­port memiliki unit pengaman­an­nya
sendiri, sementara militer In­donesia meme­rangi perlawanan se­paratis
yang lemah dan rendah ge­rakannya. Ke­mudian kebutuhan keamanan ini
mulai saling terkait.

Tidak ada investigasi yang me­nemukan keterkaitan Freeport se­ca­ra
langsung dengan pe­lang­ga­ran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang
Papua yang meng­hu­­bungkan Freeport dengan tin­dak kekerasan yang
dila­kukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus keke­ra­san itu dilakukan
dengan meng­gu­­na­kan fa­si­litas Freeport. Seo­rang ahli
antro­pologi Australia, Chris Ballard, yang pernah be­kerja untuk
Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika
Serikat, mem­­­perkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh
militer an­tara tahun 1975–1997 di dae­rah tambang dan sekitar­nya.

Pada bulan Maret 1996, kemarahan terhadap peru­sa­haan pecah dalam
bentuk ke­ru­suhan ketika sen­ti­men anti-pe­rusahaan dari beberapa
ke­lompok yang berbeda bergabung.

Free­port menyadap berita-berita da­lam e-mail. Menurut dua orang yang
mem­baca e-mail-e-mail itu pa­da saat itu, ada unit-unit militer
tertentu, ma­sya­rakat se­tem­pat, dan kelompok-ke­lom­­pok
ling­­kung­an hidup yang be­ker­ja­sama. Sebuah pertukaran informasi
de­ngan menggunakan e-mail an­ta­ra seorang tokoh masyarakat de­ngan
pimpinan organisasi ling­kungan hidup penuh dengan tak­tik intelijen
militer. Dalam e-mail yang lain, seorang pimpinan or­ga­nisasi
lingkungan meminta pa­ra ang­gotanya mundur karena de­monstrasi telah
berubah menjadi ke­rusuhan.

Dari wawancara yang dila­ku­kan, bekas pejabat dan pejabat Free­port
menyatakan, mereka terkejut melihat sejumlah orang de­ngan potongan
ram­but militer, me­ngenakan sepatu tem­­pur dan meng­genggam radio
wal­kie-tal­kie di antara para perusuh itu. Orang-orang itu terlihat
menga­rah­kan kerusuhan itu, dan pada sa­tu ke­ti­ka, mengarahkan
massa menuju ke la­bo­­ratorium Freeport yang ke­mudian me­reka
obrak-ab­rik.


Uang Keamanan

Dokumen-dokumen Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004
Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal,
kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer.
Komandankomandan secara perorangan menerima puluhan ribu dolar, bahkan
dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera
dalam dokumen itu.

Dokumen-dokumen itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang
yang dekat dengan Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan
Freeport sendiri, dokumen-dokumen itu asli alias otentik. Dalam respon
tertulisnya kepada New York Times, Freeport menyatakan bahwa
perusahaan itu telah mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai
dengan undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk memberikan
lingkungan kerja yang aman bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun
karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya. Freeport juga mengatakan
tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada
militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil
dalam kaitannya dengan hubungan dengan pemerintah Indonesia dan
lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan bisnis biasa.

Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk
membangun infrastruktur militer – barak-barak, kantor-kantor pusat,
ruang-ruang makan, jalan – dan perusahaan juga memberikan para
komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti
setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan
laut dan angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport,
ketika itu perusahaan ini sudah merekrut seorang bekas agen lapangan
CIA, dan atas rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang
atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya
untuk bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer Amerika
Serikat direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama
Perencanaan Operasi Darurat (Emergency Planning Operation) didirikan
untuk menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia.

Departemen Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan
pembayaran bulanan kepada para komandan TNI, sementara kantor
Pengelolaan Risiko Keamanan (Security Risk Management office) mengatur
pembayaran kepada polisi. Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen
perusahaan dan keterangan bekas karyawan dan karyawan Freeport.
Menurut dokumen perusahaan, Freeport membayar paling sedikit 20 juta
dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari
tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta
dolar (sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan
polisi pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.

New York Times menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun
dari seorang yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama
tiga tahun diberikan oleh Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan
laporan pada bulan Juli, yang berjudul Paying for Protection (Bayaran
Perlindungan) [1] tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia.
Diamird 0'Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness di London,
mengkritik pembayaran yang dilakukan Freeport itu.

Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus
melalui proses pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima New York
Times menunjukkan adanya pembayaran kepada perwira-perwira militer
secara perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik seperti
biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan bulanan. Para komandan
yang menerima dana tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima.

Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi
tetap menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya
tidak ada alasan yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secara
langsung kepada para perwira militer itu.

Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan
pasukan di daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama
enam bulan tahun 2001, ia diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000
dolar untuk biaya makanan, dan lebih dari 150.000 dolar di tahun
berikutnya. Di tahun 2002, Freeport juga memberikan uang kepada paling
tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk
biaya makan.

Menurut para bekas karyawan dan karyawan Freeport,
pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan kepada para perwira itu,
kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara perorangan. Yang
berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis, dan para
perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir
Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada
tahun 2002 untuk dirinya dan anggota keluarganya.

Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian
mengatakan, para perwira polisi dibolehkan menerima tiket pesawat
udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi adalah melanggar
peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai. Pada bulan
April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor
Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut
dalam buku keuangan Freeport sebagai "dana untuk rencana proyek
militer tahun 2002".

Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima
lebih dari 67.000 dolar untuk proyek aksi sipil kemanusiaan.
Pembayaran-pembayaran ini pertama kali dilaporkan Global Witness.
Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat
Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai.

Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya
Undang-undang Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktek-praktek
akuntansi keuangan yang lebih ketat pada perusahaan-perusahaan,
Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit militer ketimbang
kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan yang
tersedia dan seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan
perusahaan ini.

Menurut catatan, perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit
di bawah angka 1 juta dolar di tahun 2003, didaftarkan di bawah
topik-topik seperti "tambahan pembayaran bulanan," "biaya
administrasi" dan "dukungan administratif." Freeport menyatakan kepada
New York Times, di dalam menentukan jenis dukungan yang dapat
diberikan, adalah merupakan kebijakan perusahaan untuk memperhitungkan
kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM." Menurut catatan yang diterima
oleh New York Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu Brigade Mobil
(Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar di
tahun 2003.


Sumber

    * Laporan investigatif wartawan New York Times Jane Perlez,
Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, Below a Mountain of
Wealth, a River of Waste, 27 Desember 2005


Disunting dan beritakan dalam bahasa Indonesia oleh Rakyat Merdeka
dengan judul Menyusuri Sungai Limbah Di Kaki Gunung Emas Freeport
secara bersambung pada 16-22 Februari 2006


lain-lain:


PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang
mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc..
Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan
merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang
Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat
di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang
Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika,
Provinsi Papua.

Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar
dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung
dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun
1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen GDP Indonesia. Dengan
harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540
dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah
sebesar 1 miliar dolar.

Mining In­terna­tio­nal, sebuah majalah per­da­­ga­ngan, menyebut
tambang emas Free­­port sebagai yang ter­be­­sar di du­­­nia.

Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan penganiayaan
terhadap para penduduk setempat. Selain itu, pada tahun 2003 Freeport
Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para
penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut laporan New York Times
pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan
2004 mencapai hampir 20 juta dolar AS.


salam

Agli







Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme !
******Ajak lainnya bergabung ! Kirimkan e-mail kosong (isi to...saja)ke:
        [EMAIL PROTECTED] (langganan)
        [EMAIL PROTECTED] (keluar)
Site: http://come.to/indomarxist
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke