Media Indonesia Jum'at, 12 Januari 2007 ANALISIS Upah Layak Nasional * Hak Kaum Buruh Lama Dirampas
Awal tahun ini kita menyaksikan maraknya penolakan masyarakat terhadap rencana kenaikan tunjangan anggota DPRD sebagai reaksi protes yang sering bergema menanggapi usulan penambahan pemasukan bagi anggota parlemen dari tingkat pusat hingga daerah. Sementara itu, akhir tahun lalu kita menyaksikan kaum buruh beramai-ramai menyerukan tuntutan kenaikan upah minimum kota atau provinsi seperti yang setiap tahun rutin diwarnai dengan demonstrasi-demonstrasi untuk memprotes SK gubernur tentang pengupahan yang dirasa tidak adil bagi pendapatan kaum buruh. Nilai kenaikan upah buat kaum buruh sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup. Semakin terasa kontras rasa keadilan yang dirasakan bila dibandingkan dengan tren kenaikan gaji dan tunjangan buat birokrasi pemerintahan, pejabat negara baik eksekutif maupun legislatif yang sangat besar kenaikannya. Perbandingan itu menunjukkan buruh diperlakukan sebagai rakyat 'kelas kesekian' yang tuntutan tidak perlu dipenuhi. Bila diperiksa lebih saksama ternyata tidak hanya dalam masalah pengupahan, tapi kita juga melihat diskriminasi keberpihakan kebijakan ekonomi dan politik negara dewasa ini yang hampir selalu merugikan buruh dan rakyat pekerja lainnya seperti petani, nelayan, miskin kota. Tulisan ini ditujukan sebagai jawaban kaum buruh menjawab pertanyaan mengapa ketidakadilan sosial ini terus berlaku dalam soal pengupahan. Benarkah tingkat upah buruh memengaruhi investasi tidak masuk ke Indonesia? Laporan lembaga PBB, UNCTAD, 1997, menyebutkan kemunculan perdagangan investasi spekulatif telah melemahkan komitmen investasi jangka panjang pada sektor-sektor produktif (investasi sektor riil). Pada 2003, uang yang ditanamkan pada investasi spekulatif ini dalam sehari saja mencapai US$1,2 triliun. Bandingkan misalnya dengan jumlah investasi yang ditanamkan pada sektor riil (produktif) di seluruh dunia yang pada 2003 tidak mencapai US$1 triliun dalam setahun. Jadi investasi tidak masuk disebabkan para investor lebih tertarik dalam perdagangan spekulatif berbentuk perdagangan saham dan mata uang alih-alih menanamkan modalnya bagi investasi riil seperti pembangunan suatu industri, bangun pabrik atau investasi riil lainnya. Fakta menunjukkan hingga saat ini investasi masih berpusat di negara-negara dunia pertama seperti ditunjukkan laporan lembaga PBB, UNCTAD, World Investment Report 2003, menunjukkan lebih 71% investasi berada di negara-negara maju, 91% modal yang berasal dari negeri-negeri maju ditanamkan di antara sesama negeri-negeri maju. Artinya hanya kurang dari 9% modal dari negeri-negeri maju yang bergerak ke negara-negara di luar mereka. Fakta versi beberapa laporan lembaga PBB di atas perlu dikaitkan dengan fakta lain bahwa upah buruh Indonesia tergolong rendah. Di Hong Kong dan Brunei Darussalam yang menduduki peringkat 10 besar dalam urutan negara tujuan investasi dunia justru upah buruh tergolong tinggi. Sementara itu, upah buruh Indonesia masih tergolong rendah, tetapi investasi tetaplah tidak masuk. Bila kita bandingkan dengan negara yang saat ini menjadi 'saingan' Indonesia dalam menggaet investor, yaitu Malaysia (17%), China (30%) dan Vietnam (20%), cukup jelas bagi kita bahwa larinya dan tidak masuknya investasi ke Indonesia bukan karena kaum buruh. Dalam dialog pada Agustus 2005, Ketua Apindo Kabupaten Tangerang Heri Rumwatin mengakui upah buruh masih rendah hanya 6%-7% dari biaya produksi. Justru yang memberatkan dunia usaha adalah 'biaya-biaya siluman' yang jumlahnya mencapai 10% dari biaya produksi. Perusahaan Sony yang memindahkan produksinya dari Indonesia ke Vietnam juga menyatakan kepindahannya bukan disebabkan upah buruh, melainkan biaya ekonomi yang tinggi di luar upah buruh (dikutip dari pernyataan ekonom UGM Prof Dr Mas'ud Machfoedz dalam satu diskusi di Medan, 5 September 2006). Persoalan yang paling dikeluhkan terutama pada adanya biaya, ketidakstabilan makroekonomi, ketidakpastian kebijakan, korupsi pemerintah lokal dan pusat, pajak, biaya tinggi, dan tidak adanya kepastian hukum. Justru bila kita cermati justru kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak dikembangkan adalah kebijakan upah yang layak, yaitu upah yang menjadikan kaum buruh sebagai manusia Indonesia yang sesungguhnya bukan sekadar sebagai alat kerja. Keyakinan yang hanya memandang faktor investasi adalah akibat paradigma yang memandang industri Indonesia hanya berkembang lewat gerak investor asing. Keyakinan yang dapat diibaratkan seperti ketergantungan kepada narkoba, kenikmatan sesaat yang didapatkan tidak sepadan dengan konsekuensi destruktifnya. Buktinya pengurangan angka pengangguran, yang diklaim pemerintah, akibat besaran investasi yang masuk kondisi saat ini sebenarnya tidak akan membuat ekonomi nasional maupun kehidupan rakyat menjadi lebih baik karena didapat dengan menggadaikan standar kesejahteraan yang harusnya didapatkan lewat proses bekerja. Mengembangkan kebijakan ekonomi dan industri yang berbasis pada upah layak justru bisa menguatkan daya beli masyarakat yang berefek menggerakkan perekonomian nasional dan memberi arah penguatan yang jelas terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Opsi upah layak ini yang tidak pernah dilirik dan kini perlu kita periksa konsepsinya. Menghitung upah yang layak Di masa Orde Baru kita ingat bahwa 'upah murah' dijadikan primadona untuk menarik pengusaha asing. Masih di masa Orde Baru, buruh kita dikirim ke luar negeri, dijadikan TKI, dan nasibnya terlunta-lunta di negeri orang. Saat ini, kita mendengar slogan 'ramah investasi' yang ternyata artinya adalah menerapkan sistem kontrak dan outsourcing. Ujung-ujungnya adalah membebaskan pengusaha dari keharusan membayar upah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam kerangka kapitalisme, dasar penetapan upah tetaplah proses jual beli antara buruh dan pengusaha. Dengan demikian, tingkatan upah haruslah sesuai dengan biaya yang diperlukan untuk menghadirkan kemampuan kerja seorang buruh yang sehat secara fisik dan mental di pabrik (lihat tabel). Kebutuhan fisik, dapat dijabarkan sebagai kebutuhan untuk menjaga kesehatan ragawi buruh, agar ia dapat bekerja dengan segenap tenaga dan sanggup berkonsentrasi penuh selama bekerja. Dengan demikian, komponen pokok dari kebutuhan fisik adalah kecukupan gizi, baik untuk tubuh maupun otak. Tapi, untuk dapat menghadirkan seorang yang sehat ke proses kerja dibutuhkan pula biaya untuk menciptakan kesempatan beristirahat dan memulihkan (restorasi) tenaga yang telah dihabiskan dalam proses produksi. Komponen biaya tempat tinggal (termasuk listrik dan air) dan rekreasi masuk kategori ini. Di samping itu, seorang buruh harus juga menjaga kesehatan fisik dan lingkungannya--antara lain dengan mandi, berpakaian yang layak dan sehat, dan berolahraga. Komponen pokok terakhir adalah biaya yang dibutuhkan untuk menghadirkan buruh tersebut secara fisik di pabrik--dengan kata lain, biaya transportasi. Kebutuhan mental mencakup persoalan bagaimana buruh tersebut menjaga martabat dirinya di tengah pergaulan sosial. Seorang buruh juga harus terus meningkatkan dirinya, meningkatkan pengetahuannya agar tidak menjadi bahan olok-olok sosial semacam gaptek atau gagap teknologi. Ia harus berpeluang membaca dan mendengar/menonton berita, mendapatkan buku-buku yang dapat menuntunnya lebih memahami dunia. Selain itu, seorang buruh, sebagai manusia, juga memiliki kebutuhan komunikasi yang perlu diberi alokasi secara wajar untuk komunikasi jarak jauh dalam komponen upah. Kebutuhan lain yang mencakup sekaligus kebutuhan fisik dan mental adalah kebutuhan berkeluarga. Tiap orang butuh untuk mendapatkan pasangan hidup dan meneruskan keturunannya. Kebutuhan ini sering bersesuaian dengan tuntutan sosial dan spiritual yang diberlakukan masyarakat. Oleh karena itu, perhitungan atas upah tidak boleh berdasarkan kebutuhan orang lajang semata, tetapi harus memperhitungkan kebutuhan untuk berkeluarga. Dengan kata lain, bagi seorang buruh yang sudah berkeluarga, anggota keluarganya (istri dan anak) haruslah juga dihitung dalam menentukan upah. Upah layak harus berlaku secara nasional, tentu dengan membuka kesempatan bagi perbedaan pemberian tunjangan sesuai dengan kondisi yang berlaku berbeda-beda di tiap lokasi. Konsekuensi dari upah layak yang berlaku nasional memberi insentif bagi semua pemerintah daerah untuk membangun infrastruktur fisik bagi industri dan mencoba berkompetisi dengan menghilangkan sebisa mungkin ekonomi biaya tinggi yang dipicu korupsi, pungutan liar, birokrasi berbelit, dan lain-lain. Rumusan seperti upah layak nasional itulah yang bisa diuji sebagai agenda rakyat dan bukannya ekonomi bertumpu pada agenda neoliberal. Perdebatan soal rumusan kebijakan ekonomi berbasis upah layak nasional harus dihidupkan untuk memberi ruang rakyat memiliki peran merumuskan kebijakan ekonomi yang adil dan menguatkan bangsa. (Anwar Ma'ruf, koordinator Aliansi Buruh Menggugat). [Non-text portions of this message have been removed] Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme! Situs Web: http://come.to/indomarxist Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/