Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org 
           
                  SADAR 

                  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
                  Edisi: 53 Tahun III - 2007
                  Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
                 

--------------------------------------------------------------
                 


                  EKSPOSURE KORBAN PELANGGARAN HAM KE ACEH



                  Oleh: Agnes Gurning[1]



                  Penandatanganan nota kesepahaman (MoU), antara pemerintah 
Indonesia dengan Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada 15 Agustus 2005 di 
Helsinki, Finlandia, merupakan awal bagi lahirnya sebuah proses menuju 
kedamaian Aceh yang permanen. Peristiwa bersej! arah ini merupakan penantian 
panjang dan melelahkan dari para ! pendamba kedamaian, terutama masyarakat 
korban. Karena itu, dukungan terhadap kesepakatan damai tersebut menjadi 
penting, sebab disadari setiap tahapan proses yang akan dilalui memiliki 
potensi untuk gagalnya kesepakatan damai tersebut. Kegagalan perundingan pada 
masa Cessation of Hostilities Agreement (COHA), mesti menjadi pengalaman 
sejarah yang amat berharga untuk tidak sampai terulang kembali. Karena itu, 
menjaga, mengawal dan memastikan semua tahapan proses tersebut berjalan sesuai 
kerangka perjanjian dengan sendirinya menjadi penting dilakukan 

                  Korban pelanggaran HAM merupakan stakeholder utama dalam 
proses perdamaian ini. Di dalam MoU, secara tegas disebutkan bahwa korban 
merupakan pihak yang menjadi pihak pihak yang terlibat dalam setiap tahapan. 
Korban pelanggaran HAM bukan hanya ketika Pengadilan HAM memanggil para korban 
menjadi saksi atau ketika para Komisioner KKR mewawancarai para korban dalam 
rangka mengungkap kebenaran, tetapi korban juga akan terlibat pad! a saat 
pemberian amnesti bagi pelaku jika korban memberikan maaf. Apabila korban tidak 
solid maka peluang untuk di adu domba cukup besar serta para korban hanya 
menjadi objek pada pelaksanaan kedua instrumen tersebut. 

                  Begitu juga dalam pelaksanaan proses reintegrasi. Korban 
merupakan kelompok yang disebutkan dalam MoU sebagai penerima dana reintegrasi. 
Tetapi dalam implementasinya, seolah olah korban hanyalah aktor sekunder dari 
proses reintegrasi itu. Korban tidak pernah terlibat dalam setiap perumusan 
kebijakan yang berkaitan dengan penyerahan dana reintegrasi. Akses informasi 
juga sangat tertutup selama pelaksanaan dana itu. Akibatnya, banyak dana yang 
disalurkan tidak tepat sasaran. Dan sementara korban yang sebenarnya tidak 
mendapatkan manfaat sama sekali. 

                  Berdasarkan permasalahan di atas, menjadi penting keberadaan 
sebuah wadah korban yang efektif dalam mendorong dan memberi andil dalam setiap 
tahapan perdamaian. Wadah ini diharapkan dapat menj! adi corong untuk 
menyuarakan aspirasi korban pelanggaran HAM d! alam per umusan kebijakan Negara 
yang berdampak pada korban. Wadah yang dimaksud, sebenarnya telah didirikan 
pada tahun 2000 melalui Kongres Rakyat Korban se-Aceh pada tanggal 4 - 6 
November 2000 di Gedung Sosial Banda Aceh. Wadah itu bernama Solidaritas 
Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM (SPKP HAM).

                  Struktur kepengurusan SPKP HAM pun dibentuk. Dan sejak saat 
itu pula komunitas korban di Aceh ini mulai menjalankan kegiatannya dengan 
lebih terarah. Bantuan kesehatan, pengaduan kasus, investigasi dan advokasi 
korban terus dilakukan oleh SPKP HAM. Pada tahun 2001 tercatat lebih 300 kasus 
mereka tangani. Dukungan moral dan immaterial dari berbagai kalangan pun 
disalurkan melalui SPKP HAM ini. 

                  Hampir 7 tahun sudah SPKP HAM berdiri. Berbagai lika-liku dan 
dinamika organisasi sudah mereka lewati. Bukannya mudah untuk tetap eksis 
sebagai organisasi korban hingga sekarang, terlebih setelah ditempa situasi 
konflik yang sempat memanas lagi dan pemberlakuan Darurat Milite! r di Aceh 
tahun 2003. Intimidasi dan terror pada periode tersebut sempat membuat 
aktivitas organisasi ini turun. Beberapa pengurusnya bahkan mengalami 
penculikan, penahanan dan juga penembakkan. Setelah masa ini, praktis 
organisasi mengalami status quo dan tak menjalankan aktivitas apapun.

                  Pasca tsunami, beberapa orang caretaker dan aktivis SPKP HAM 
berkumpul di sekretariat Koalisi NGO HAM untuk mendiskusikan kembali wadah 
organisasi korban ini. Semua peserta diskusi sepakat untuk membangun kembali 
organisasi korban ini dengan berbagai pertimbangan khususnya perlunya 
keterlibatan korban dalam setiap proses pengambilan kebijakan negara atas nasib 
korban. Untuk itulah disepakati agar dilaksanakan kongres kedua. Kongres kedua 
ini berlangsung pada tanggal 20 - 23 Juli 2007 di Saree, Aceh Besar.

                  Diselenggarakannya Kongres kedua ini tentu merupakan langkah 
penting yang menandai kebangkitan komunitas korban di Aceh. Pada masa damai 
sekarang ini ada ruang yang! tersedia bagi komunitas korban ini untuk mencapai 
keadilan, y! aitu Pen gadilan HAM dan KKR Aceh, terlepas dari segala 
kontroversi di sekitarnya. Namun kehendak korban untuk mengambil sikap dan 
posisinya sendiri dalam ruang tersebut merupakan sesuatu yang perlu didukung 
oleh banyak pihak. Sebab memang sudah saatnya bagi korban untuk bicara tentang 
nasibnya sendiri.

                  Kongres ini pun merupakan kesempatan emas yang sangat baik 
untuk korban pelanggaran HAM untuk saling berbagi pengalaman dan bertukar 
pikiran, tidak hanya bagi mereka yang ada di Aceh tetapi juga yang di luar 
Aceh. Karena itu, IKOHI sebagai wadah organisasi korban pelanggaran HAM di 
lingkup nasional pun berupaya agar ajang ini juga bisa dimanfaatkan sebagai 
pembelajaran bagi komunitas korban di wilayah lain. Dengan bantuan dari ICTJ 
(International Center for Transitional Justice) maka exposure korban 
pelanggaran HAM ke Aceh pun dilakukan. 10 orang korban yang berasal dari Papua, 
Poso, Makassar, Solo, Malang, Jakarta (3 orang) dan bahkan Timor Leste (2 
orang) pun diberangkatk! an ke Aceh untuk mengikuti Kongres kedua SPKP HAM tadi.

                  Eksposure ini bertujuan antara lain untuk: membangun tali 
solidaritas korban pelanggaran HAM; membangun jaringan organisasi korban 
pelanggaran HAM; saling bertukar strategi perjuangan korban merebut keadilan 
dan kebenaran; dan saling berbagi pengalaman tentang perjuangan dan aksi yang 
sudah dilakukan. Keragaman konteks yang terjadi di setiap daerah yang berbeda 
tersebut diharapkan akan menjadi bahan masukan dan diskusi yang kaya dalam 
kongres korban ini. Terlebih hadir pula korban dari Timor Leste yang pernah 
merasakan KKR di negaranya. Dengan demikian harapannya adalah korban dapat 
merumuskan strategi perjungannya ke depan dengan lebih baik.

                  Eksposure dilakukan tidak sekedar mengikutkan 10 korban tadi 
dalam kongres. Tetapi mereka akan meluangkan 1 hari sebelumnya untuk live-in ti 
tempat tinggal komunitas korban yang ada di Aceh. Dari sini diharapkan agar 
mereka dapat berinteraksi secara lebih pri! badi sehingga dapat saling menggali 
informasi yang lebih menda! lam. 

                  Yang menarik juga, kesepuluh korban ini diperlengkapi dengan 
kamera dan buku catatan. Selama perjalanannya di Aceh, masing-masing dari 
mereka ditugasi untuk memotret dan mencatat setiap hal menarik yang mereka 
temukan. Kumpulan hasil catatan jurnal dan foto-foto yang dibidik oleh korban 
tentu akan menjadi bahan yang menarik yang bisa menonjolkan suara dan cara 
pandang korban. 

                  Sampai saat tulisan ini dibuat, kongres koreban tersebut 
masih berlangsung. Sebelum korban berangkat ke Aceh, ada keantusiasan yang 
jelas mereka perlihatkan. Walaupun sebagai orang yang belum pernah masuk 
wilayah Aceh, ada pula yang menyimpan kekhawatiran tentang kondisi Aceh. Namun 
kekhawatiran tersebut tak menutup keinginan mereka untuk bersolidaritas dengan 
sesama korban pelanggaran HAM di Aceh. Untuk mengetahui hasil perjalanan 
mereka, kita bisa tunggu penuturan mereka seusai berkongres. Galang solidaritas 
melawan impunitas!
                   


                   




                    
--------------------------------------------------------------

                  [1] Penulis adalah Koordinator Divisi Pendataan dan Capacity 
Building - Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus sebagai 
anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.




                 
                    
           
            [EMAIL PROTECTED]    
     





[Non-text portions of this message have been removed]



Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, 
Bangun Sosialisme!

Situs Web: http://www.indomarxist.co.nr/
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke