Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 69 Tahun III - 2007 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org -------------------------------------------------------------- PEMISKINAN BERBULU UNDANG-UNDANG Oleh: Lanjar Abimanyu [1] Harga-harga sembako yang mulai melambung tinggi, minyak tanah yang mulai menghilang di Jakarta, adalah peristiwa bulan ini yang telah membuat resah jutaan warga demi kelanjutan hidup di waktu selanjutnya. Jikalaupun ada harganyapun juga sangat membuat shock. Bagaimana tidak, ditingkatan agen harganya pun bervariasi pada kisaran Rp 2.800,00 s/d Rp 4.000,00 dari harga normal (Rp 2.350,00). Kondisi ini semakin parah ketika ada kebijakan pertamina untu! k konversi minyak tanah ke gas dan sampai saat ini juga keberadaan BBG tersebut juga tidak ada di pasaran, kalaupun ada yang sudah beralih ke gas masih tetap saja susah untuk isi ulang ketika gas itu habis. Tetapi kita, rakyat ini sudah terbiasa dengan berbagai ketidakpastian mengenai kelanjutan hidup. Berat dan ringannya terus saja dijalankan, walaupun dengan berbagai keluh-kesah. Sudah barang tentu sebagiannya melakukan tindakan-tindakan "perlawanan" agar peristiwa ini tidak berlanjut dan tidak terjadi lagi, dan kesejahteraan hidup bisa diraih. Bagi sebagian besarnya lagi, ketidakpastian ekonomi dan politik bukan lagi isu penting, tinggal dirasakan dan berupaya sebisa mungkin agar tetap bertahan hidup. Itu saja! Menanggapi kelangkaan minyak tanah tidaklah cukup bagi pemerintah melalui Pertamina hanya dengan melakukan operasi pasar. Akan tetapi sebagai w! arga negara, kita berhak tahu sampai dimana pelaksanaan! dari Un dang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang seharusnya mampu mengatasi kelangkaan minyak tanah tersebut dan masyarakat berhak pula untuk mengawal pelaksanaan undang-undang tersebut. Yang konon salah satu tujuan dari pembuatan UU Migas No 22 Tahun 2001 adalah agar ada jaminan efisiensi dan efektivitas untuk tersedianya minyak bumi dan gas bumi. Jaminan itu sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku. Kelangkaan tersebut diakibatkan juga salah satunya karena penyelewengan terhadap minyak tanah, dan seharusnya DPR mempunyai hak bertanya kepada pemerintah mengenai pengawasan pasar bahan bakar minyak. Khususnya, dalam penerapkan UU Migas No 22 Tahun 2001 yang memberikan sanksi bagi pelaku penyelewengan bahan bakar minyak. Bentuk penyelewengan lain, minyak tanah jatah yang diperuntukkan bagi kelompok rumah tangga dijual ke kapal-kapal nelayan yang sudah sejak lama beralih dari bahan bakar! solar. Bahkan yang paling mencengangkan adalah perdagangan BBM oplosan yang dikenal dengan nama "ireks" (irit dan ekonomis) tersebut diperdagangan dengan sangat terbuka. Sanksi Sebenarnya pemerintah dan DPR telah menyusun UU Migas No 22 Tahun 2001 yang memberi sanksi yang relatif berat bagi pihak yang menyelewengkan BBM. Pada Pasal 54, disebutkan bahwa setiap orang yang meniru atau memalsukan bahan bakar minyak dan gas bumi dan hasil olahan diancam hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar. Dan pada Pasal 55 disebutkan setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar. Sebagai gambaran, selama tahun 2003 sedikitnya 10 persen dari 12 juta kilolit! er minyak tanah bersubsidi diselewengkan. Hal ini menun! jukkan, UU Migas No. 22 Tahun 2001 belum dimanfaatkan dengan baik untuk mengatasi kelangkaan minyak tanah. Kondisi memprihatinkan ini sangat kontras dengan kondisi Indonesia yang kata guru Oemar Bakri dulu bilang sebagai salah satu negara pengekspor minyak (OPEC). Padahal apabila isi UU Migas No. 22 Tahun 2001 dilaksanakan dengan sebenarnya dan didukung oleh para pihak terkait seperti Departemen Keuangan (Pajak & Bea cukai), untuk ikut mendorong, memberikan insentif bagi para perusahaan kontraktor migas, bukan tidak mungkin produksi minyak Indonesia akan meningkat. Sehingga di saat harga minyak dunia seperti sekarang ini yang terus naik, seharusnya Indonesia mendapatkan keuntungan, bukan sebaliknya malahan makin terpuruk. Kebijakan dan implementasi dari UU Migas No. 22 Tahun 2001, yang dalam asas (Pasal.2): Terwujudnya penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diat! ur dalam UU No.22/2001, dengan berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan. Sehingga atas dasar itulah dimunculkan BP Migas sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk mengimplementasikan pasal-pasal tersebut agar segera tercipta pengelolaan usaha migas yang profesional untuk kesejahteraan rakyat. Pasal-pasal ini memang sangat menyentuh kepentingan rakyat, tapi dalam implementasinya, nol besar! Liberalisasi Liberalisasi industri perminyakan di Indonesia dilakukan lewat penciptaan perangkat perundang-undangan yang memaknai liberalisasinya hanya setengah hati (untuk siapa). Langkah-langkah yang telah diambil selama ini mengarah kepada liberalisasi industri perminyakan, sekaligus priv! atisasi BUMN minyak nasional (Pertamina). Program ini d! ilakukan secara sistematis dengan entry-point melalui pencabutan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1971 dan pemberlakuan UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Langkah yang diambil oleh pemerintah ini merupakan implementasi dari Letter of Intent (LoI) dengan IMF. UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 juga merupakan tonggak bagi liberalisasi dan privatisasi perminyakan di Indonesia dengan menghapus penguasaan dan kontrol Pertamina atas cadangan dan produksi minyak mentah Indonesia dan membuka jalan bagi liberalisasi pasar bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Untuk menghilangkan kontrol Pertamina atas cadangan dan tingkat produksi minyak mentah, maka Kuasa Pertambangan (KP) yang selama ini dipegang Pertamina berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1971 harus dicabut. Lebih mengkhawatirkan lagi, setelah KP diambil oleh pemerintah, bukannya diserahkan kepada Badan Pelaksana (BP) Migas sebagai pihak yang men! gontrol perusahaan minyak asing (Kuasa Pertambangan Swasta-KPS), namun oleh UU Nomor 22 Tahun 2001 lewat Pasal 1 butir 5 dan Pasal 12 Ayat (3) justru diserahkan kepada KPS atau investor hulu. Di Indonesia, liberalisasi industri minyak juga mencakup perubahan struktur pasar BBM dalam negeri dengan menghilangkan hambatan masuk (barrier to entry) bagi pemain baru. Hambatan bagi masuknya perusahaan minyak asing di pasar BBM dalam negeri lebih disebabkan oleh harga jual BBM yang rendah, di samping rendahnya rata-rata biaya pokok produksi dan distribusi BBM Pertamina sebagai calon pesaing. Sebab, kalau pemain baru ini harus membangun sendiri, tentu pada tahap awal mereka tidak akan mampu bersaing dengan Pertamina. Sedangkan proses pembentukan harga eceran BBM dalam negeri diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme persaingan pasar (Pasal 28 Ayat 2). Bagi perusahaan minyak duni! a, liberalisasi sektor hilir industri minyak di Indones! ia lebih penting ketimbang sektor hulu yang selama ini sudah dikuasai oleh Kuasa Pertambangan Swasta (KPS), mengingat pasar BBM dalam negeri sangatlah berpengaruh besar dengan penduduk sekitar 240 juta orang. Skenario apa di balik pembuatan UU Migas No 22 Tahun 2001, kalau ternyata hanya sebagai monster yang selalu menghantui ratusan juta penduduk yang rata-rata berada di kelas menengah ke bawah? [1] Penulis adalah anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek. [EMAIL PROTECTED] Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme! Situs Web: http://www.indomarxist.co.nr/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/