Sang Pemula. Begitulah Pramoedya Ananta Toer memberi judul biografi Raden Mas Tirtoadhisoerjo yang ditulisnya.
Dengan memberi judul itu, Pram hendak menegaskan bahwa jauh sebelum Soekarno-Hatta memroklamirkan kemerdekaan, belasan tahun sebelum trilogi ayat Sumpah Pemuda dilansir, Tirtoadhiseorjo telah lebih dulu merumuskan apa yang kelak menjadi alas-dasar kebangsaan Indonesia. Esai pendek ini tidak hendak mengulang kembali argumen Pram. Esai ini mencoba memberi suplemen kecil atas apa-apa yang belum diuraikan oleh Pram, baik dalam buku Sang Pemula maupun dalam tetralogi Pulau Buru yang mengisahkan Raden Mas Minke, sosok fiksi dari Tirto. Inlander vs Nederlander Apa sebenarnya lawan kata dari “inlander” (pribumi) pada masa kolonial? Kebanyakan barangkali akan dengan mudah menjawab: Nederlander (orang Belanda). Orang dengan mudah menunjuk Nederlander sebagai lawan kata dari “inlander” karena sebutan “inlander” mula-mula muncul dari mulut orang-orang Belanda, katakan saja, pemerintah kolonial. Daniel Dhakidae, dalam karya terbaiknya Candekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, menolak untuk menunjuk “Nederlander” sebagai lawan kata dari “inlander”. Bagi Daniel, lawan kata dari “Inlander” adalah orang-orang (peranakan) India, peranakan Arab dan peranakan Tionghoa. Pendeknya orang-orang dari Timur (vreemd), bangsa Asia. Dalam nomenklatur hukum Hindia Belanda, mereka disebut Vreemde Oosterlingen (Timur Asing). Kenapa bisa terjadi? Bukankah panggilan “Inlander” dimunculkan oleh pemerintah kolonial untuk mengejek keterbelakangan dan kebodohan warga Hindia Belanda? Hampir menjadi sesuatu yang mustahil memang mencari istilah Vreemde Westerlingen (Barat Asing), baik dalam nomenklatur hukum kolonial maupun dalam nomenklatur politik di Hindia Belanda. Belanda adalah penguasa di tanah Hindia Belanda. Dengan tetumpuk modal dan jejaring birokrasi yang dimilikinya, penguasa Belanda mengecualikan bangsa Belanda dari dua kategori tersebut, baik itu Inlander maupun Vreemde Oosterlingen. Orang Belanda bukan inlander dan pada saat yang sama juga bukan orang asing. Dalam kata-kata Daniel Dhakidae: “Penguasa (Belanda) adalah orang-dalam namun bukan Inlander, dia orang-luar namun bukan asing.” Perspektif di atas akan menjadi lebih jelas jika berjalan sedikit memutar dengan menelaah konsepsi kekuasaan tradisional. Raja adalah orang yang diberi mandat oleh Tuhan (wahyu keprabon), tetapi dia bukan Tuhan. Raja memang manusia, tapi Raja tidak sama dengan kawula atau rakyat jelata. Dalam konsepsi kekuasaan tradisional, Raja ada di antara (in-between) manusia biasa (kawula jelata) yang ia perintah dan Tuhan yang memberinya mandat memerintah/berkuasa (wahyu keprabon). Dengan melakukan itu, penguasa kolonial bisa terhindar dari “jebakan lingustik” memerhadapkan dirinya dengan Inlander dalam satu hubungan yang muka berhadapan muka. Dengan hanya menyebut orang-orang bangsa Timur (Tionghoa, Arab atau India), Belanda juga sedang menebar jejaring “devide et impera”: memerhadapkan penduduk Hindia Belanda dengan orang-orang bangsa Timur itu. Di titik inilah, seperti yang akan coba saya tunjukkan, Tirtoadisoerjo tampil ke muka sebagai orang pertama yang menggelar “politik diskursif tandingan” lewat senjata terbaiknya, suratkabar legendaris Medan Prijaji. Seperti yang bisa baca dari jargonnya, Tirto memersembahkan Medan Prijaji sebagai suara dari sekalian orang dari “bangsa yang terprentah”. Siapa yang masuk dalam kategori bangsa yang terprentah? Jargon Medan Prijaji bisa memberikan penjelasan. Di sana, dengan eksplisit disebutkan bahwa bangsa-bangsa yang terprentah adalah siapa saja yang terprentah, baik itu raja-raja, bangsawan, priyayi, bangsawan usul dan pikiran (intelektual/kaum terpelajar) hingga saudagar-saudagar dari, dengan mengutip Medan Prijaji, “bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegeri, di seloeroeh Hindia Olanda”. Jika pernah membaca bagian “Pendahuluan” dari AD/ART Sarekat Dagang Islamiah yang juga disusun oleh Tirto, di situ akan ditemukan hal yang sama dengan semangat yang tercermin dari jargon Medan Prijaji. Anda akan menemukannya pada paragraf terakhir bagian Pendahuluan itu. Dari situ jelas, para raja atau sultan bukan “bangsa jang memrentah”. “Bangsa jang memrentah”, dalam kosakata Medan Prijaji, adalah pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang saya maksudkan sebagai “politik diskursif tandingan” itu. Dengan rumusan macam itu, Tirto mencoba keluar dari jebakan diskursif yang ditebar oleh pemerintah kolonial yang memerhadapkan orang-orang inlander (pribumi/native) dengan bangsa-bangsa Timur (India, Tionghoa dan Arab berikut kaum peranakannya). Tirto tampil ke muka dengan “politik diskursif tandingan” dengan mengajukan rumusan baru: “bangsa-bangsa yang terprentah”. Tirto ingin menegaskan bahwa kategori Inlander dan Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) sudah tidak penting lagi karena sudah tak mampu menjelaskan proses politik yang berlangsung di Hindia Belanda. Yang lebih relevan dan aktual untuk menjelaskan realitas sosial dan politik di Hindia Belanda adalah rumusan “bangsa yang terprentah” dengan “bangsa yang memrentah”. Dalam sekali hentak, rumusan baru itu tidak hanya menandingi rumusan diskursif kolonial, untuk tidak menyebut melantakkannya, tetapi sekaligus juga memersatukan dua kategori yang sebelumnya “di-set-up” sedemikian rupa untuk saling berhadapan yaitu orang inlander (pribumi/native) dan Vreemde Oosterlingen (Tionghoa, Arab, India dan peranakannya). Dengan rumusan diskursif macam itu pula, Tirto “menyeret” pemerintah Belanda untuk masuk ke dalam “peta diskursif” di Hindia Belanda dan bukan lagi sebagai penguasa yang berada di atas kelompok-kelompok lain seperti sebelumnya (baik itu inlander maupun Vreemde Oosterlingen). lengkapnya di http://nagaraonline.com/kabar-08/2008/12/tirto-dan-bangsa-yang-tak-rasis ------------------------------------ Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme! Situs Web: http://www.indomarxist.co.nr/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/