EVALUASI PENEGAKAN HAM

Catatan Peringatan 60 Tahun Deklarasi Universal HAM

Jakarta, Desember 2008
Evaluasi ini didasarkan pada ukuran platform nasional tentang 
Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM. Kerangka implementasi platform ini 
adalah 1) ratifikasi konvensi internasional; 2) penguatan institusi 
dan harmonisasi aturan hukum nasional; 3) penyelesaian konflik 
secara damai dan bermartabat; serta 4) penyelesaian kasus 
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. 

1. Ratifikasi Hukum HAM Internasional 
Peringatan Hari HAM Sedunia ke-60 ini juga menjadi momentum baik 
untuk merefleksikan politik ratifikasi Pemerintah RI. Sejak 
dideklarasikan DUHAM 10 Desember 1948, proliferasi instrumen HAM 
internasional berkembang begitu pesat. DUHAM yang adalah instrumen 
non-binding telah menjelma menjadi 8 instrumen HAM utama 
internasional yang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi para Negara 
Pihak. Hingga 2008 ini nampak terlihat Pemerintah RI begitu 
progresif meratifikasi instrumen-instrumen tersebut (sudah 6 dari 8 
instrumen HAM pokok). Namun promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM 
tidak berhenti pada proses ratifikasi. Setiap Negara Pihak memiliki 
kewajiban untuk mengimplementasikan kebijakan legislasi, yudisial 
dan administrasi.  

Sejauh ini Pemerintah RI telah meratifikasi 6 instrumen HAM 
internasional utama yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk 
Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW (1984), Konvensi Hak-Hak 
Anak/CRC (1990),  Konvensi Anti Penyiksaan/CAT (1998), Konvensi 
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial/ICERD (1999), Kovenan 
Hak-Hak Sipil-Politik/ICCPR (2005), dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, 
Sosial, dan Budaya/ICESCR (2005). Namun demikian, proses ratifikasi 
tersebut tidaklah berjalan mulus begitu saja. Ratifikasi Konvensi 
Anti Penyiksaan (CAT) dilakukan setelah berbagai dugaan penyiksaan 
yang terjadi di sekitar proses jajak pendapat Timor Timur 1999 
menjadi bahan tekanan komunitas internasional. Demikian pula untuk 
ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 
(ICERD) dilakukan setelah dunia internasional mengecam dugaan 
terjadinya kekerasan rasial pada peristiwa Kerusuhan Mei '98. 
Sementara itu ratifikasi kovenan kembar –yang seharusnya sudah 
dilakukan pada tahun 2004- baru dilakukan setelah terjadi Perjanjian 
Damai Helsinki.¹ 

Tabel 
Instrumen HAM Utama Internasional yang Sudah Diratifikasi Pemerintah 
RI


Nama Instrumen Internasional  Pengesahan/
Berlaku 
 Ratifikasi oleh RI 
 Keterangan 
 
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi 
Rasial/ICERD 
 21 Des 1965/
4 Jan 1969 
 25 Jun 1999 
 Ratifikasi dengan UU No. 29/1999. 
 
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR 
 6 Des 1966/ 
23 Mar 1976
 30 Sep 2005 
 Ratifikasi dengan UU No.12/2005. 
 
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya/ICESCR 
 16 Des 1966/ 
3 Jan 1976 
 30 Sep 2005 
 Ratifikasi dengan UU No.11/2005. 
 
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap 
Perempuan/CEDAW 
 18 Des 1979/ 
3 Sep 1981 
 13 Sep 1984 
 Ratifikasi dengan UU No. 7/1984. 
 
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan  atau Penghukuman Lain 
yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia/CAT 
 10 Des 1984/
26 Jun 1987 
 28  Okt 1998 
 Ratifikasi dengan UU No. 5/1998. 
 
Konvensi Hak-Hak Anak/CRC 
 20 Nov 1989/
2 Sep 1990 
 5 Sep1990 
 Ratifikasi dengan Keppres No. 36/1990. 
 

Sumber: Data olahan Litbang KontraS 

Tabel 
Status Deklarasi atau Reservasi Pemerintah RI dalam Mekanisme Treaty 
Bodies


Instrumen  Deklarasi 
 Reservasi 
 Keterangan 
 
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi 
Rasial/ICERD 
  

-----
 Pasal 22; Indonesia tidak mengakui mekanisme perselisihan antar 
negara dibawa ke ICJ (International Court of Justice). Hanya bisa 
berlaku bila mendapat persetujuan kedua  pihak. 
 Indonesia tidak melakukan deklarasi terhadap Pasal 14, yang berarti 
tidak mengakui berlakunya mekanisme pengaduan individu ke Komite.
 
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR 
 Pasal 1; "hak untuk menentukan nasib sendiri" tidak bisa diartikan 
sebagai upaya disintegrasi wilayah suatu negara yang berdaulat.
  

-----
   
 
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya/ICESCR 
 Pasal 1; "hak untuk menentukan nasib sendiri" tidak bisa diartikan 
sebagai upaya disintegrasi wilayah suatu negara yang berdaulat.
  

-----
   
 
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap 
Perempuan/CEDAW 
  

-----
 Pasal 29; Indonesia tidak mengakui mekanisme perselisihan antar 
negara dibawa ke ICJ (International Court of Justice). Hanya bisa 
berlaku bila mendapat persetujuan kedua  pihak.
   
 
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan  atau Penghukuman Lain 
yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia/CAT 
 Pasal 20; Indonesia hanya mengakui kewenangan Komite untuk 
melakukan mekanisme penyelidikan (inquiry) sejauh tidak bertentangan 
dengan prinsip kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara
 Pasal 30; Indonesia tidak mengakui mekanisme perselisihan antar 
negara dibawa ke ICJ (International Court of Justice). Hanya bisa 
berlaku bila mendapat persetujuan kedua  pihak.
 Indonesia tidak melakukan deklarasi terhadap Pasal 22, yang berarti 
tidak  mengakui berlakunya mekanisme pengaduan individu ke Komite.
 
Konvensi Hak-Hak Anak/CRC 
  

-----
 Pasal 1-54; Indonesia tidak menerima kewajibannya di bawah CRC 
sejauh di luar batasan konstitusional (UUD '45) dan Indonesia hanya 
menerima kewajibannya sejauh tertulis di dalam Konstitusi. Khusus 
untuk pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22, dan 29 CRC, Pemerintah RI hanya 
menerapkannya sejauh sesuai dengan Konstitusi.
 Reservasi sapu jagat oleh Pemerintah RI ini mendapat keberatan 
(objection) dari beberapa negara; Finlandia, Irlandia, Belanda, 
Norwegia, Prortugal, dan Swedia.
 

Sumber: Data olahan Litbang KontraS 


Meski secara kuantitas telah cukup banyak instrumen internasional 
yang diratifikasi, Pemerintah RI juga masih memiliki `berhutang' 
ratifikasi seperti yang menjadi komitmennya sendiri dalam Rencana 
Aksi Nasional (RAN) HAM 2004-2009. ² Hingga di akhir tahun 2008 
Pemerintah RI belum juga meratifikasi berbagai instrumen HAM 
internasional penting: Statuta Roma akan Pengadilan Pidana 
International (yang seharusnya diratifikasi pada 2008), Konvensi 
Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota-anggota Keluarganya 
(seharusnya diratifikasi pada 2005), Konvensi Pencegahan dan 
Penghukuman Kejahatan Genosida (seharusnya diratifikasi tahun 2007), 
Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (seharusnya diratifikasi 
pada 2008), dan Protokol Opsional CEDAW (seharusnya diratifikasi 
pada 2005). 

Penting untuk dicatat adalah seluruh instrumen HAM internasional 
yang berlaku tersebut secara otomatis telah menjadi hukum positif 
Indonesia melalui proses ratifikasi. Menurut UU No. 39/1999 Pasal 7 
(2): "Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara 
Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum 
nasional." Sayangnya lagi pasca ratifikasi Pemerintah RI atau DPR 
tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin 
seseorang yang hak asasinya dilanggar mendapatkan effective remedy 
(pemulihan hak-haknya; hak atas kebenaran, hak atas keadilan, dan 
hak atas reparasi). Jadi terkesan ratifikasi instrumen-instrumen HAM 
internasional utama tersebut terkesan sekedar bersifat aksesoris.

2. Penguatan Institusi dan Harmonisasi Peraturan Perundangan 
Satu tahun terakhir masa kerja pemerintahan Presiden SBY dan JK 
terkait dengan reformasi dan penguatan institusi negara belum 
menunjukan perkembangan yang signifikan. Masih terjadi 
ketidaksinkronan beberapa peraturan yang bertentangan dengan 
peraturan yang lain, serta inefektivitas lembaga-lembaga hukum dan 
HAM. Akibatnya timbul berbagai persoalan HAM. 

--» Kewenangan,  fungsi, peran dan kedudukan lembaga Negara masih 
kerap bertabrakan. 
Hal ini terjadi antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, atau yang 
terjadi dalam sektor Keamanan antara hukum pidana umum (KUHP-KUHAP) 
dan hukum pidana militer (KUHPM-UU Peradilan Militer). Dalam banyak 
kasus, terjadi tarik menarik pembagian peran penyeleggaran negara 
khususnya dalam kewenangan rekrutmen dan pengawasan suatu lembaga 
negara ketika terkait masalah hukum.

--» Peraturan bertentangan dengan peraturan lebih tinggi. 
Hal ini tampak jelas dalam pemberlakuan perda syariah, keuangan 
daerah, pertambangan dan beberapa peraturan lainnya. Pemberlakukan 
UU Pornografi dan Pornoaksi yang kontroversial menjadi contoh jelas 
menjadi bagian peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan 
konstitusi dan prinsip hak asasi manusia. Belum lagi ditambah 
banyaknya peraturan di tingkat daerah yang bertentangan dengan 
peraturan yang lebih tinggi dan minim kritisi dari masyarakat.  
Setidaknya di tahun 2008, terdapat lebih dari 3.000 peraturan daerah 
atau perda tentang pajak dan retribusi di  kabupaten/kota di seluruh 
Indonesia yang terindikasi bermasalah atau  bertentangan dengan 
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 
Dari jumlah tersebut, baru 973 buah perda yang dibatalkan dan 250 
perda lainnya dalam proses dibatalkan. 

--» Efektifitas lembaga Negara dalam HAM tidak maksimal. 
Setelah setahun kepengurusan baru komisioner Komnas HAM, institusi 
ini masih terjebak pada lambannya respon atas kasus yang seharusnya 
cepat untuk ditangani dengan tetap memberikan porsi penuh kepada 
kepentingan korban pelanggaran HAM. Komnas HAM juga kian gamang 
menentukan sikap atas prinsip-prinsip HAM yang universal, seperti 
ketidakjelasan atas sikapnya mengenai hukuman mati. Sementara LPSK, 
yang mandat bekerjanya didasarkan pada UU No. 13 Tahun 2006 menjadi 
lembaga baru harapan korban pelanggaran HAM untuk memenuhi pemulihan 
yang selama ini jauh dari harapan. Lembaga ini  bertugas untuk 
memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan atau 
korban. Meski DPR telah memilih 7 (tujuh) komisioner yang telah 
dilantik Presiden, namun LPSK belum dapat bekerja efektif. Lembaga 
Negara yang baru ini sulit melaksanakan mandat tugas dan 
tanggungjawabnya karena pemerintah belum memberikan dukungan 
administratif sehingga lembaga ini untuk sementara masih berkantor 
diinstitusi negara lainnya dan tentunya menghambat kinerja dan 
mobilitas lembaga ini. 

3. Penyelesaian konflik secara damai dan bermartabat 
Penyelesaian konflik selama tahun 2008 masih cenderung 
mengesampingkan hak-hak dasar para korban, termasuk dalam berbagai 
inisiatif penyelesaian konflik di beberapa wilayah konflik. Di 
samping itu masih terjadi pelanggaran HAM yang paling mendasar, 
yaitu pelaksanaan hukuman mati dan berbagai peristiwa pelanggaran 
atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain itu berbagai 
peristiwa kekerasan yang lahir dari pelanggaran hak ekonomi sosial 
dan budaya juga masih terus berlangsung. Masih berlangsungnya 
peristiwa-peristiwa ini menunjukkan ketidakpatuhan pemerintah untuk 
menjalankan konstitusi dan menghormati prinsip-prinsip HAM yang 
universal. 

--» Penyelesaian konflik bersenjata di Aceh 
Tiga tahun paska Mou Helsinki, banyak yang berubah di Aceh. 
Kehidupan telah berjalan normal. Jauh dari desing peluru dan erang 
kesakitan seperti ketika Aceh  4 tahun sebelumnya menjadi ajang 
kekerasan aparat negara (TNI/Polri) dan GAM di sisi lain. 

Pemimpin pemerintahan sipil Aceh telah dihasilkan dari pilkada yang 
demokratis. Pihak yang dahulu berkonflik telah berkomitmen untuk 
membangun Aceh yang beradab. Ketika pendiri GAM Hasan Tiro dalam 
kesempatannya `mudik' ke Aceh dengan jelas berpesan rakyat Aceh 
untuk menjaga perdamaian dan siap berkorban untuk perdamaian. 
Perdamaian merupakan harapan tertinggi rakyat Aceh. Karena hanya 
dengan itu mereka tidak lagi menjadi korban kekerasan, bebas dari 
ketakutan, dan dapat menjalani hidup selayaknya warga negara di 
negara merdeka.

Namun harapan itu tidak terbatas pada perdamaian yang dikalkulasi 
dari kompensasi politik ekonomi bagi mereka yang berkonflik. Damai 
ini juga harus menyentuh kepentingan korban pelanggaran HAM ketika 
konflik berlangsung. Sejauh ini menyangkut kepentingan korban 
sekalipun telah tertuang dalam MoU Helsinki untuk dibentuknya 
pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sayangnya 
hingga 3 tahun berjalan dua institusi tersebut belum juga terbentuk 
di Aceh. Komitmen para pihak yang merumuskan MoU ini masih terus di 
uji. Mereka harus menjawab apakah keberadaan pasal-pasal tentang HAM 
dan penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu merupakan cita-cita 
bersama atau sekedar ornamen dalam kesepakatan Helsinki tersebut. 

Tiga  tahun pasca damai, paling tidak KontraS Aceh telah mencatat 
sebanyak 38 kali pembongkaran kuburan korban konflik, inisiatif 
keluarga korban orang hilang, bukan dalam konteks penyidikan yang 
harus menjadi tugas aparatur negara.  Sepanjang tahun 2005 s/d July 
2008 KontraS Aceh mencatat telah terjadi sekurang-kurangnya 24 (dua 
puluh empat) kali aksi demonstrasi korban konflik yang menuntut agar 
hak-haknya dipenuhi oleh Negara.
 
Dan 3 tahun sejak damai berlangsung, KontraS Aceh juga masih 
menemukan sekurang-kurangnya 219 kasus (event) tindak kekerasan 
dengan jumlah korban sebanyak 397 orang. Kekerasan ini dilakukan 
oleh berbagai pihak yang di duga memiliki keterkaitan sejarah 
sebagai actor konflik kekerasan di masa lalu. Salah satu peristiwa 
itu yaitu insiden Atu Lintang, 5 dari 6 orang anggota Komite 
Peralihan Aceh tewas akibat penyerangan yang dilakukan oleh 
sekelompok orang yang masih terkait dengan konflik di masa lalu. 

TNI di Aceh masih kerap bertindak seolah status darurat militer 
tidak pernah dicabut. TNI melakukan jalankan fungsi polisional 
berupa penyidikan yang bukan menjadi kewenangannya (kasus 
penembankan anggota Pomdam Iskandar Muda).  Disisi lain pemerintahan 
sipil (Bupati dan DPRK Aceh Barat) mengalami distorintasi ketika 
memperlakukan TNI dan Polri selayaknya kesatrian dongeng pengantar 
tidur yang masih mendapat bonus (uang 40 juta rupiah) atas pekerjaan 
yang sudah seharusnya menjadi tanggungjawabnya (menangkap perampok).
 
Tiga tahun mestinya sudah cukup untuk membiarkan keluarga orang 
hilang mencari sendiri jejak anggota keluarganya. Juga waktu yang 
cukup untuk mengevaluasi dan mendesain ulang konsep reintegrasi, 
serta pemulihan terhadap korban konflik yang sesuai dengan kebutuhan 
korban dan tepat sasaran. Komitmen yang tinggi dari para elit sipil 
Aceh dan Pemerintah Pusat bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM 
berat masa lalu di Aceh harus terlihat terang. Bila tidak, basa-basi 
politik ini hanya akan menjadi gurauan anak masa depan. 

--» Penyelesaian kasus Timor-Timur (KKP: Kebenaran Menggantung 
Keadilan) 
Komisi Kebenaran dan Persabatan yang dibentuk pemerintah Indonesia 
dan Timor Leste dalam laporannya kepada kedua pemerintahan 
menyatakan kesimpulan adanya pola keterlibatan atas kekerasan yang 
terorganisir yang menyebabkan kejahatan kemanusiaan terjadi. 
Sekalipun KKP semula dimandatkan untuk membersihkan nama-nama 
pelaku, lewat amnesti dan rehabilitasi nama-nama pelaku, namun 
akhirnya tidak menjalankan mandatnya untuk menyediakan amnesti bagi 
para pelaku. 

Dalam rekomendasi,  KKP menganggap pentingnya pemajuan budaya 
akuntabilitas dalam institusi-institusi negara, demi mencegah dan 
menghukum pelanggaran hukum dan HAM. Namun tentu itu tidak cukup, 
karena laporan ini tidak menyebut satu pun nama orang yang perlu 
dimintai tanggungjawab pidananya atas kejahatan serius ini. 

Di sisi lain, banyak kalangan menilai bahwa laporan ini hanya 
overshadow (bayangan) laporan sebelumnya yang berarti pengulangan, 
sementara tuntutan utama dari masyarakat adalah keadilan dan 
akuntabilitas, tanggungjawab individual pelaku di muka pengadilan 
serta reparasi yang pantas untuk para korban. KKP memang telah 
mengakhiri tugasnya. Namun kewajiban negara bagi pemenuhan hak-hak 
korban belum berakhir karena belum juga pernah dimulai. Pemerintah 
Indonesia dan Timor Leste harus menempatkan keadilan korban pada 
posisi tertinggi dari kebenaran dan persahabatan yang dibangun. 
Sehingga perjuangan korban tak perlu lagi terbebani oleh upaya 
internasionalisasi yang cenderung memandang sebelah mata komitmen 
kedua negara atas peristiwa kelam Timor Timur dahulu. 

--» Papua: Perlindungan HAM perlu perhatian ekstra 
Pengibaran bendara Bintang Kejora masih terus menjadi terjadi di 
tanah Papua. Bendera ini masih menjadi simbol bagi pengakuan dan 
perlakuan yang lebih baik bagi rakyat Papua. Pengibaran bendera yang 
dimaknai separatisme oleh aparat TNI/Polri, sesungguhnya merupakan 
ekspresi dari ke frustasian dari jauhnya harapan menjalani hidup 
yang lebih baik di tanah sendiri. Pemerintahan yang korup, sumber 
daya alam berlimpah hanya jadi perahan "orang asing", sementara 
mereka hanya menjadi penonton dan `penikmat' dari kehancuran alam 
yang terjadi. Belum lagi tindakan aparat TNI/Polri yang mengamankan 
investasi itu telah berlaku selayaknya pengamanan swasta dibanding 
aparat negara. 

Dalam catatan Kontras, sepanjang tahun 2008 telah terjadi 4 
peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, yaitu di 
Sentani, Wamena, Manokwari dan Fak-fak. Pada 16 Oktober pengibaran 
bendera Bintang Kejora di Yogyakarta, Kamis (16/10), adalah bentuk 
dukungan pada kemerdekaan Papua. Simbol tersebut dikibarkan 
bersamaan dengan digelarnya acara International Parliementer for 
West Papua di London, Inggris. Pada 19 Juli 2008 lalu, terjadi  
pengibaran bendera Bintang Kejora di Fak-fak, Papua. Aparat 
kepolisian hanya menjamin para tersangka untuk mendapatkan bantuan 
hukum, tidak mendapatkan tindakan penyiksaan serta perlakuan yang 
merendahkan martabat manusia dalam proses pemeriksaan.

KontraS melihat masih bergolaknya berbagai peristiwa politik di 
Papua tak lepas dari belum terselesaikannya permasalahan secara 
komprensif. UU No. 21 tahun 2001. Yang sedianya menjadi sandaran 
hukum untuk mengatasi persoalan ekonomi, sosial, hukum dan politik 
di Papua masih belum cukup. Mandat menyelesaikan permasalahan HAM di 
Papua belum dapat diatasi karena hingga saat ini pengadilan HAM dan 
KKR di Papua belum terbentuk. 

KontraS terus mendorong dikedepankannya dialog antara pemerintah, 
masyarakat Papua dan OPM untuk mencari solusi terbaik bagi 
penyelesaian berbagai permasalahan di Tanah Papua. Pengalaman 
penyelesaian konflik di Aceh melalui Perjanjian Damai hendaknya 
menjadi semangat untuk mencari jalan keluar terbaik untuk keadilan 
bagi masyarakat Papua. Tanpa pendekatan itu, upaya 
internasionalisasi atas Papau rasanya sulit diredam. 

--» Pelaksanaan hukuman mati 
Persoalan HAM yang paling menonjol di tahun 2008 adalah eksekusi 
mati terhadap 10 orang narapidana pembunuhan berencana, narkoba dan 
terorisme. Angka ini merupakan rekor tertinggi untuk praktek 
eksekusi pasca Orde Baru. Apalagi Pemerintah telah mengumumkan 2 
orang terpidana mati juga akan dihukum di akhir tahun ini. 

Pelaksanaan hukuman mati ini merupakan pelanggaran hak manusia yang 
paling mendasar, yaitu hak untuk hidup, yang juga merupakan 
pelanggaran terhadap konstitusi. Penerapan hukuman mati terhadap 
tiga orang terpidana mati terdakwa bom Bali I, yaitu Amrozi, Muklas 
dan Imam Samudra jelas menunjukkan ketidakefektivitas penerapan 
hukuman mati. Efek penjeraan yang selama ini menjadi alasan 
pemberlakuan hukuman mati justru meradikalisir kelompok-kelompok 
ekstrem tertentu.

Di tengah kontroversi ini, Pemerintah semestinya mengambil kebijakan 
politik strategis untuk melakukan penghentian (moratorium) universal 
bagi hukuman mati, sebagai bagian dari penghormatan HAM. Hal ini 
sesuai dengan semangat arus global dunia untuk meninggalkan praktek 
hukuman mati yang telah ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 
pada Desember 2007.

--» Kebebasan beragama 
Tahun ini kekerasan yang berdasarkan isu kebebasan beragama dan 
berkeyakinan, khususnya terhadap kelompok minoritas semakin marak. 
Lahirnya SKB tiga menteri yang melarang aktivitas organisasi Jamaah 
Ahmadiyah menjadi pemicu lahirnya kekerasan oleh kelompok-kelompok 
garis keras. Indonesia telah menjadi ladang subur tempat penyemaian 
bibit-bibit tindakan diskriminasi, khususnya dalam hak berketuhanan. 
Negara telah melanggar konstitusi, yang memberikan jaminan kebebasan 
kepada setiap warga negara Indonesia. 
Lahirnya SKB Tiga Menteri yang menindaklanjuti Fatwa MUI tidak hanya 
berpotensi untuk membatasi kebebasan sipil tetapi juga membatasi 
ruang dialog kehidupan sosial di tengah masyarakat. Kekerasan 
terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan 
Berkeyakinan yang terjadi di Monas, pada 1 Juni 2008 menjadi puncak 
kekerasan yang selama ini berlangsung. Tindakan cepat kepolisian 
menindak para pelaku merupakan langkah positif pemerintah dan 
diharapkan dapat membuat efek penjeraan terhadap kelompok-kelompok 
kekerasan yang bisa melakukan tindakan hakim sendiri. 

--» Kekerasan berbasis pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya 
Perjuangan untuk menegakkan sebuah kondisi masyarakat yang memiliki 
kepekaan terhadap hak asasi manusia (HAM) mengalami stagnasi 
berkepanjangan. KontraS mencatat Negara tidak banyak melakukan 
melakukan terobosan-terobosan kebijakan berperspektif kemanusiaan. 
Tolak ukurnya adalah dengan semakin meningkatnya angka konflik 
kekerasan khususnya yang melibatkan sengketa-sengketa kepentingan 
ekonomi, sumber daya alam dan tren pilihan hak berspiritualitas di 
tengah masyarakat. 

Sejak tahun 2003 gelombang konflik mutakhir (sophisticated 
conflicts) terpicu di beberapa titik yang tersebar di luar lokus 
utama konflik sosial, seperti Aceh, Ambon-Maluku, Poso dan Papua. 
Dinamika konflik makin berkembang seiring dengan reformasi politik 
pembangunan yang mulai menyentuh ranah komunitas sosial di 
Indonesia. Pertanyaan besar di sini adalah, apakah konflik menjadi 
penghambat utama dari implementasi jangka panjang pembangunan, 
ataukah pembangunan itu sendiri yang mereplikasi wujudnya dalam 
bentuk produk-produk sosial yang tidak memiliki kepekaan dalam 
menangkap perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat, yang 
pada akhirnya melahirkan gejolak konflik horizontal.

Protes hadir meluas, tidak saja merespon berbagai aksi tindak 
kekerasan yang tidak saja dimonopoli unsur militer, namun gugatan 
untuk memenuhi hak-hak yang melekat dalam politik kewargaan juga 
menjadi suatu hal yang tidak terelakan kehadirannya, seperti angka 
kemiskinan dan pengangguran yang tidak kunjung surut, kerusakan alam 
yang sudah tidak tertanggulangi; menjadi rangkaian panjang kesalahan 
dalam merancang desain besar kebijakan sistem ekonomi, politik, 
sosial dan kebudayaan Indonesia. 

Dalam catatan KontraS, kekerasan tak selalu didominasi oleh unsur 
aparatus hukum. Korporasi bisnis baik yang melibatkan unsur TNI dan 
bisnis ekonomi secara langsung terlibat dalam berbagai sengketa 
kepemilikan lahan di beberapa wilayah Indonesia. Terjadinya 
pelanggaran HAM akibat sengketa tersebut tampak pada kasus-kasus 
kekerasan di Alastlogo, kekerasan di Pakkawa Sulawesi Selatan, 
kekerasan di Bohotokong Sulawesi Tengah.  Di samping itu, belum 
tampak keseriusan Pemerintahan SBY dan JK untuk dalam menyelesaikan 
persoalan dampak lumpur serta proses ganti rugi yang dialamatkan 
kepada Bakrie Group yang telah berlangsung selama 3 tahun. 

4. Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu impunitas 
Tahun ini tak tampak jelas inisiatifpositif negara untuk 
menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Meskipun 
Pemerintah telah mengesahkan dua peraturan perundang-undangan 
penyelesaain kasus pelanggaran HAM, jauh sejak tahun 1999 dan 2006; 
UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26 Tahun 2000 
tentang Pengadilan HAM, namun prakteknya kedua UU ini terbentur oleh 
kendala politis yang cukup kuat.  Sepanjang 10 tahun, Silang 
sengkarut berlalu lalang antara Legislatif (Dewan Perwakilan 
rakyat), Eksekutif (Presiden, Menteri, Komnas HAM) dan Yudikatif 
(Jaksa Agung, Pengadilan HAM). Perdebatan yang ada berujung 
dengan "lempar tanggungjawab"   tak berkesudahan sampai dengan 
menjelang akhir 2008; tahun di mana menjelang pergantian kekuasaan, 
yaitu Pemilu 2009. 

Penyidikan Jaksa Agung RI untuk kasus pelanggaran HAM di Trisakti 
1998, Semanggi I998, Semanggi II 1999, Mei 1998, Penculikan dan 
Penghilangan Paksa 1997/1998, Talangsari 1989 terhambat secara 
politis maupun yuridis, termasuk minimnya dukungan politik dari 
eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR RI), yang menjadi faktor 
penentu proses penyidikan. Perdebatan hukum berkenaan dengan  azas 
retroaktif  dan kebutuhan pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu 
(pasal 43 UU No.26 tahun 2000) inilah yang menjadi jembatan politik 
penolakan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan 
Komnas HAM. Sementara itu, DPR dengan kewenangan politik yang 
dimiliknya justru melakukan "depolitisasi" dengan menjadikan 
mekanisme dan alat kelengkapan dewan; Badan Musyawarah (BAMUS), 
Rapat Paripurna, Rapat Pimpinan (RAPIM), Panitia Khusus(Pansus) 
untuk melakukan transaksi politik (voting) apakah sebuah kasus 
pelanggaran HAM dapat didorong untuk dituntaskan atau tidak. 

Sementara itu, antara Presiden dengan kabinet dan para pembantunya 
tidak terjadi harmonisasi langkah dalam menyikapi penyelesaian 
silang sengkarut diatas. Kesediaan Presiden menemui KontraS dengan 
Korban pelanggaran HAM masa lalu, tidak ditindakditindaklanjuti 
dengan membangun kesepahaman dan kordinasi dalam internal 
pemerintah. Jaksa Agung tetap dengan penolakan penyidikan, Menteri 
Pertahanan dengan "dukungan" penolakan sejumlah anggota/purnawiran 
TNI/POLRI terhadap panggilan Komnas HAM, Menteri Hukum dan HAM; 
tidak terganggu dengan terhambatnya implementasi instrumen HAM: UU 
26/2000 dan PP No 44 Tahun 2008 tentang reparasi dan Mahkamah 
Konstitusi (MK) dengan pendapat hukum tentang putusan politik DPR 
yang harus mendasakan pada hasil penyelidikan Komnas HAM dan 
Penyidikan Jaksa Agung (putusan Judical Review pasal 43 ayat 2 
beserta penjelasannya) 

Di tengah kondisi ini, Mahkamah Agung juga menolak gugatan 
kompensasi restitusi dan rehabilitasi para korban pelanggaran HAM di 
Tanjung Priok 1984. Penolakan ini melengkapi pengabaian negara bagi 
pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang semestinya  integrated 
dengan hak atas kebenaran serta keadilan. 

Situasi diatas memunculkan ketidakpercayaan politik (political 
distrust)baik dalam lembaga negara maupun korban dan masyarakat 
sipil lebih luas, hal ini dapat mengancam pengabaian penyelesaian 
kasus pelanggaran HAM  masa lalu secara terus menerus. Pembentukan 
dan proses kerja Panitia Khusus DPR RI (Pansus) untuk kasus 
penculikan dan penghilangan paksa diahir tahun 2008 kiranya menjadi 
gambaran nyata betapa garis tipis antara kemauan politik dan 
depolitisasi negara dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM sulit 
untuk dibedakan. Duduk bersama untuk satu sikap politik bersama 
antara legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam menyikapi silang 
sengkarut diatas adalah langkah elegant  yang seharusnya ditempuh. 
Sehingga Hak Asasi Manusia berdiri diatas benar-benar berdiri diatas 
nilai kemanusiaan-nya yang universal.

KESIMPULAN 
1. Tahun 2008 adalah momentum tahun terakhir yang kehilangan 
pengaruhnya untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu 
dalam kerangka transisi demokrasi. Tahun depan, semua sibuk berebut 
kekuasaan. Di tahun ini sempat terbuka jendela peluang. Pertama, 
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir kewenangan DPR 
untuk membuat `dugaan' seperti kasus Trisakti-Semanggi. Kedua, 
pembentukan Pansus DPR RI untuk kasus penghilangan secara paksa 
aktivis 1997/98. Ketiga, pertemuan korban dengan petinggi negara 
seperti Presiden, Menkopolhukkam, Menhukham, Seskab, Mensesneg, 
Menlu, Menhan. 

Sayang, sebagai incumbent, upaya pemerintah SBY dan juga DPR 
merespon kasus pelanggaran HAM berat dinilai demi pencitraan politik 
Pemilu 2009, atau melemahkan lawan politik yang terkait pelanggaran 
HAM berat. Kecurigaan ini bisa hilang jika penegak hukum dan menteri 
pembantu SBY bersikap tegas-profesional. Hingga akhir tahun, tak ada 
kemajuan.

Padahal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu haruslah 
didasarkan dengan konsep melihat kembali kebenaran dari masa lalu. 
Yakni melihat kebenaran itu kembali, lalu meletakannya dalam 
perspektif masa depan. Ini adalah hal yang sangat penting bagi masa 
depan. 

2. Tahun 2008 adalah tahun pergeseran aspirasi HAM dari politik 
redistribusi ke politik rekognisi. Substansi HAM yang mengutamakan 
politik keadilan, kesetaraan serta kemajemukan sebagai perjuangan 
kepentingan mendasar bagi kemaslahatan umum digunakan sebagai 
politik antagonisme identitas. Akibatnya, mengerosi aspirasi 
ketidakadilan distribusi ekonomi, seperti kesejahteraan buruh dalam 
hubungan dengan pemodal, petani dengan pemilik tanah dalam kerangka 
reforma agraria atau masalah kaum miskin dengan pembangunan, 
termasuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat era Soeharto. 
Masalah-masalah yang melatarbelakangi reformasi 1998 ini mulai 
tenggelam dalam ruang sub-ketaksadaran reformasi, yakni dimulai 
pasca serangan 11 September 2001 di AS yang berdampak negatif di 
berbagai negara.

3. Tahun 2008 adalah tahun prematurisasi Pemilu nasional. Sebagian 
menteri pun ikut iklan politik. Mereka mengiklankan kinerja 
departemennya sambil menyisipkan sosok-nya sebagai iklan politik. 
Seolah tidak mau ketinggalan atau kalah start dengan partai/kandidat 
lain. Iklan ini jelas ditujukan bagi kepentingan politik. 
Keberhasilan departemen tak bisa ditunjukkan lewat iklan yang penuh 
make up, melainkan pada tingkat kepuasan masyarakat yang dilayani. 
Masalah utamanya bukan pada apakah wacana ini akan membawa 
Indonesia  menjadi negara teokratis (negara agama). Tetapi 
kecenderungan ini telah secara perlahan mengerosi kualitas demokrasi 
kebebasan fundamental. HAM yang semula bertumpu pada prinsip "bebas 
dari ketakutan" (freedom from fear) menjadi "takut akan kebebasan" 
(fear of freedoms).

PROYEKSI HAM 2009 
Sebagai penutup catatan hari HAM ke-60, kami memproyeksikan bahwa ke 
depan, khususnya tahun 2009 akan menjadi tahun politik, yakni 
politik elektoral. Dengan sudut pandang ini, maka memandang HAM di 
tahun depan bisa menjadi ramalan yang sangat politis. HAM ada di 
tengah pusaran politik perebutan kekuasaan legislatif serta 
eksekutif. Hasilnya akan menentukan hitam putihnya perlindungan HAM.

Lebih jauh lagi, tahun 2009 adalah tahun resesi ekonomi dunia. Maka 
HAM juga ada dalam ketegangan antara peralihan kekuasaan domestik 
serta krisis keuangan dunia, krisis atas pangan, air bersih dan 
sumber-sumber energi yang dampaknya bisa memicu konflik 
berkepanjangan. Hasil sirkulasi politik Pemilu akan menentukan apa 
Indonesia mampu menghadapi dampak resesi dunia. 
Jakarta, 9 Desember 2008


---------------------------------------------------------------------
-----------

¹ Dalam Perjanjian Damai Helsinki 15 Agustus 2005 antara Pemerintah 
RI dengan GAM, poin (2.1.) Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan 
Internasional Hak Sipil Politik dan Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 
² RAN HAM 2004-2009 ini didasari oleh Keppres No. 40/2004.

From:

http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=809




------------------------------------

Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, 
Bangun Sosialisme!

Situs Web: http://www.indomarxist.co.nr/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke