Guru Fisika yang Inspirasional
Oleh JANSEN H. SINAMO

JAM tujuh pagi, suatu hari pada tahun 1981, di sebuah ruang kuliah kuno
bersuasana gelap dan kelam, yang dibangun pada zaman Belanda, sebuah kuliah
fisika yang sangat modern segera akan dimulai. Fisika kuantum nama kuliah
itu.

Hariadi Paminto Soepangkat—doktor fisika zat padat lulusan Universitas
Purdue, Indiana, AS—sang dosen yang berkulit putih bersih bertubuh tinggi
besar yang dibalut busana rapi lengkap pakai dasi bak eksekutif bisnis itu,
telah berdiri penuh wibawa di hadapan sekitar 150 mahasiswa dari tiga
jurusan: fisika, astronomi, serta geofisika dan meteorologi.

Belum dua puluh menit kuliah berjalan, usai Pak Hariadi menggambar
orbit-orbit lintasan elektron pada atom hidrogen di papan tulis, tiba-tiba
nama saya dia panggil.

"Saya, Pak," jawab saya agak terkejut sambil mengangkat tangan.
"Kota asal Saudara di mana?" tanyanya sambil menuruni panggung kuliah yang
rapat dengan papan tulis dan berjalan mendekati tempat saya duduk di barisan
depan.
"Sidikalang, Pak," jawab saya.
"Oh ya? Kata Pak Andi Hakim Nasution, Rektor IPB, daerah Saudara penghasil
kopi ya? Kopi Sidikalang enak kata Pak Nas. Betul?"
"Betul, Pak," jawab saya sumringah.
"Sidikalang itu berapa kilometer jaraknya dari Medan?"
"Seratus lima puluh kilo Pak."
"Kalau naik bis ke Medan berapa ongkosnya?"
"Lima ribu, Pak."
"Kalau uang Saudara cuma tiga ribu, sampai di mana itu?"
"Berastagi, Pak."

Sambil memandang kepada semua mahasiswa sesudah kembali ke panggung kuliah,
Pak Hariadi berkata, "Kira-kira seperti inilah yang dimaksud dengan energi
ambang. Jika uang Saudara Jansen cuma tiga ribu, itu tidak cukup
mengantarnya sampai ke Medan. Jadi, lima ribu adalah uang ambang yang
diperlukan agar dia bisa sampai ke Medan dari Sidikalang."

"Nah, demikian pula elektron: dia butuh energi ambang, itu energi yang
minimum, untuk bisa pindah ke orbit yang lebih tinggi. Kita sudah tahu bahwa
energi itu tidak kontinum, melainkan diskrit, artinya terkuantifikasi.
Paket-paket energi yang terkuantifikasi ini dalam bentuk radiasi atau
gelombang disebut kuanta energi, yang besarnya menurut Max Planck adalah hv,
di mana v frekuensi radiasi itu dan h adalah konstanta Planck yang besarnya
6,626×10-pangkat- minus-34 joule-detik.

Elektron hanya bisa punya energi dalam kelipatan bulat kuanta ini. Tidak
hanya pada elektron tetapi juga foton dan semua zarah renik di tingkat
subatom. Inilah asal-usul nama kuantum pada fisika kuantum yang kita
pelajari ini. Fisika kuantum mempelajari perilaku zarah-zarah subatomik,
dinamika dan interaksinya, serta relasinya dengan medan yang
memengaruhinya."

Entah apa lagi yang dikuliahkan Pak Hariadi pagi itu saya sudah lupa. Tapi,
saya terpesona sudah. Sidikalang dan saya jadi pusat perhatian seluruh kelas
dan terutama Pak Hariadi. Cuma beberapa menit saja sorotan lampu perhatian
itu, tapi sudah cukup membuat saya merasa diri spesial.

Dan sejak momen itu rasa suka saya berlipat ganda kepada Pak Hariadi.
Sebagai akibatnya, berlipat ganda pula minat saya pada fisika kuantum.
Singkat cerita, pada ujian akhir semester itu saya mendapat nilai A.
Dan ini tidak lazim. Jarang sekali saya mendapat nilai A. Di kelas saya
angkatan 1978, saya cuma mahasiswa rata-rata: mayoritas nilai saya adalah C,
agak lumayan dapat B, tapi yang mendapat nilai A sungguh sangat sedikit.

Tapi, mendapat nilai A pada fisika kuantum selangit rasanya. Buat saya itu
setara dengan nilai A pada sepuluh mata kuliah yang lain. Fisika kuantum
adalah salah satu mata kuliah paling bergengsi di Jurusan Fisika, kreditnya
maksimum: empat. Bukan cuma itu, di zaman itu, cuma ada dua mata kuliah
fisika yang dianggap dahsyat: fisika kuantum dan teori relativitas. Yang
terakhir ini belum disajikan di tingkat S1. Fisika kuantum pun sebenarnya
baru cuma pengantar pada kuliah sepenuh: mekanika kuantum, yang akan
disajikan nanti di tingkat S2.

Saya juga takjub pada diri sendiri. Mengapa mendadak saya jadi pintar
sekali? Tapi, saya akhirnya menyadari: itu semua karena cara dan gaya Pak
Hariadi mengajar kami memang luar biasa.

Betapa tidak. Dia selalu sudah ada di kelas sepuluh menit sebelum jam kuliah
dimulai. Di hampir semua mata kuliah lain, mahasiswa yang menunggu dosen.
Tapi Pak Hariadi sebaliknya.

Pak Hariadi selalu tampil necis: busananya, kebersihannya, dan istimewa
tulisannya. Dia membersihkan sendiri papan tulis dengan kain lap basah yang
dibawanya dari kantornya. Ada tiga papan tulis di kelas kami. Dibersihkannya
dulu papan tulis ketiga saat dia mulai memakai papan tulis pertama, sehingga
papan tulis ketiga itu sudah kering saat dia akan memakainya. Demikian
seterusnya sampai kuliahnya yang berdurasi 100 menit itu selesai.

Lima tahun saya kuliah di ITB, tidak pernah saya bertemu dengan dosen lain
yang mampu menyamai kerapihan dan keindahan tulisan tangan Pak Hariadi.
Pak Hariadi juga pekerja cepat. Hari ini ujian, besoknya jawaban
soal-soalnya sudah tertempel di papan pengumuman. Di Jurusan Fisika hanya
Pak Hariadi yang mampu dan disiplin berbuat demikian.

Dia pun hafal nama semua mahasiswa yang diajarnya. Pada setiap kuliah ia
mampu memanggil nama mahasiswa secara acak, dan seperti saya di atas setiap
mahasiswa yang terpilih namanya disebut diajaknya berinteraksi. Dan dari
interaksi pendek itu, tiba-tiba bisa keluar ilustrasi untuk menjelaskan
konsep fisika kuantum. Bukan saja ilustrasi itu sangat menolong, karena
membumi bahkan personal, tetapi di tingkat psikologis sang mahasiswa merasa
dilibatkan, bahkan dijadikan bintang pada momen pendek itu. Tak pelak kuliah
Pak Hariadi selalu digandrungi. Fisika kuantum jadi mudah dimengerti,
gampang diikuti, dan menarik ditelusuri.

Pak Hariadi sangat jauh dari jenis dosen yang memetik rasa puas karena
pelajarannya sukar diikuti. Ia bukan tipe dosen yang berbahagia melihat
mahasiswa pusing tujuh keliling, lalu takut pada dosennya, dan jeri pada
pelajarannya. Sedikit pun tak ada perangai galak padanya apalagi killer. Ia
memenuhi tanda-tanda orang cerdas seturut pendapat Einstein: bahwa orang
cerdas ialah orang yang mampu membuat perkara sulit jadi mudah dipahami,
sedangkan orang bodoh sebaliknya, membuat perkara mudah jadi sukar
dimengerti. Fokus kedosenan Pak Hariadi ialah bagaimana agar mahasiswanya
bisa mudah memahami pelajarannya supaya dengan begitu tumbuh gairah, minat,
dan kecintaan pada pelajaran itu sendiri. Jadi, sebenarnya tidak
mengherankan saya bisa medapat nilai A.

Sesampai di Sidikalang, saat libur panjang semester, sensasi kebanggaan
mendapat nilai A itu masih terus berdenyut. Tak tahan, saya pun menulis
sepucuk surat kepada Pak Hariadi. Saya ungkapkan rasa syukur dan terima
kasih saya dan khususnya kedahsyatan cara mengajarnya saya apresiasi dengan
rinci.

Eh, surat saya dibalasnya dengan cepat. Katanya dari sekitar 30 mahasiswa
yang mendapat nilai A, cuma saya yang menulis surat. Gantian dia yang
berterima kasih. Di ujung suratnya, sesudah menitipkan salam kepada orangtua
saya, dia mengundang saya ke kantornya usai libur. Waktu itu Pak Hariadi
adalah Dekan Fakultas MIPA. "Saya ingin mengenal Saudara lebih dekat."
katanya.

Tak sabar saya menunggu waktu untuk kembali ke Bandung. Berhubung kopi
Sidikalang sudah disebut-sebut di awal kuliah, itu pula oleh-oleh yang saya
bawa buat beliau. Ketika orangtua saya tahu kisah dosen yang istimewa ini,
Ibu saya mengusulkan memberikan ulos sebagai cinderamata. Ulos dan kopi,
itulah yang kemudian saya bawa ke Bandung.
Ke kantor dekan F-MIPA, saya pun menghadap. Di ujung percakapan, tanpa saya
duga, Pak Hariadi meminta agar saya bersedia menjadi asistennya. Terhenyak
saya. Tubuh ini mendadak ringan rasanya, seperti kapas di awang-awang
layaknya. Tak berpikir panjang tawaran itu segera saya sambut.

Ketika Pak Hariadi sadar bahwa saya membawa ulos sebagai cinderamata, dia
sempat tertegun lalu berkata, "Wah, istri saya harus ikut bersama saya
menerima ini. Terima kasih. Ini penghargaan yang sangat tinggi."

Malam itu juga, di rumah Pak Hariadi di perumahan dosen Sangkuriang, saya
pun menjadi tamu keluarga, diundang makan malam bersama, dan kemudian
bercakap-cakap dengan akrab. Di situlah ulos dan kopi Sidikalang saya
serahkan.
Sampai akhirnya saya tamat pada akhir 1983––saat itu Pak Hariadi sudah
menjabat sebagai Rektor ITB––saya terus membantunya sebagai asisten kuliah
fisika kuantum.
Diajar oleh Pak Hariadi dan menjadi asistennya sesudahnya merupakan salah
satu pengalaman akademik paling berkesan dan terpenting buat saya selama
kuliah di ITB Bandung.

Kini saya berpendapat, andai kata semua guru matematika, fisika, kimia, dan
biologi di tingkat sekolah lanjutan di negeri ini sanggup mengajar secerdas
dan sebaik Pak Hariadi, niscaya mata pelajaran-mata pelajaran keras itu
tidak akan pernah jadi momok buat anak-anak muda kita. Bahkan, matematika
dan sains akan jadi mata pelajaran favorit.

Kirim email ke