----------------------------------------------------------
Visit Indonesia Daily News Online HomePage:
http://www.indo-news.com/
Please Visit Our Sponsor
http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1
----------------------------------------------------------

Precedence: bulk

Surat Dari Perjalanan:

ANGKATAN BERSENJATA DAN POLITIK

Oleh JJ. KUSNI

Harian Libération, Paris, 30 dan 31 Oktober 1999, telah menerbitkan
sebuah berita tentang masuknya mantan polisi Jean-Louis Arajol sebagai
anggota DPR Paris sebagai wakil dari partai Rassemblement pour la France
(RPF -- Persatuan untuk Prancis). Hal ini menjadi menarik karena ia
segera membawa ingatan saya kepada Indonesia di mana TNI dan polisi
tanpa dipilih mendapat 38 kursi, suatu jumlah yang tidak kecil, wakil
utusan dan golongan tanpa melalui pemilihan umum seperti halnya
wakil-wakil partai politik lainnya, dan Indonesia masih menyebut diri
sebagai negeri demokrasi.

Jika dihitung-hitung dalam pemilu lalu, jumlah yang dipilih oleh rakyat --
di mana pengaruh uang belum tuntas sama sekali -- maka dalam pemilu lalu
wakil rakyat yang dipilih cuma 60 persen sedangkan 40 persen selebihnya
adalah ditunjuk. Atas dasar angka ini maka saya menyebut demokrasi Indonesia
(kalau mau menggunakan istilah demokrasi!) tidak lain adalah demokrasi 60
persen. Empat puluh persen wakil tunjukkan ini mempunyai pengaruh besar
dalam voting. Untuk
tingkat peralihan menuju ke demokrasi 100 persen, bisa saja demokrasi 60
persen ini, dengan memahami sikon kongkret, diterima agar peralihan
kekuasaan di tanahair tidak selalu diiringi oleh pertumpahan darah luar
biasa seperti yang terjadi pada 1965, tetapi untuk selanjutnya apakah
hal begini bisa terus dipraktekkan? Pertanyaan lain apakah presiden
dipilih oleh MPR atau langsung oleh rakyat?

Masalah ini menyangkut soal: tidak perlukah kita meninjau kembali UUD dan
sistem ketata-negaraan Republik ini? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja
bukan hanya menjadi pekerjaan rumah elite politik dan para pemikir politik
Indonesia, tetapi
juga pertanyaan kepada seluruh masyarakat.

WAKIL-WAKIL TUNJUKAN

Wakil-wakil tunjukan pada awal lahirnya Republik Indonesia dibandingkan
dengan wakil-wakil tunjukan pada masa sekarang, saya kira mempunyai
konteks yang berlainan. Pada awal kelahiran Republik, wakil tunjukan itu
lebih bisa dipahami dan masuk akal. Sedangkan jika cara ini diteruskan,
seperti juga jika kita meneruskan UUD '45 dan bentuk negara kesatuan
sentralistis yang  sudah kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman lagi hanya
akan menimbulkan malapetaka. UUD '45 sudah menunaikan misinya, demikian
juga bentuk Republik kesatuan sentralistis. Saya kawatir jika hal-hal
kadaluwarsa ini dipertahankan maka apakah Indonesia -- yang sekarang
sudah minus Timor Timur -- masih akan bisa bertahan seperti adanya
sekarang di peta bumi dunia. Praktek 32 tahun Orba telah menimbulkan
luka amat dalam terutama terhadap daerah-daerah di luar Jawa dan
berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit berdarah itu telah membangkitkan
pemikiran-pemikiran baru di kalangan masyarakat terutama di luar Jawa.

Wakil-wakil tunjukan sebenarnya tidak lebih tidak kurang hasil dari cara
berpikir yang kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman serta membahayakan
keutuhan negeri dan Republik. Ia lebih banyak bertolak dari otak-otik
bagaimana mempertahankan kepentingan dan "sorga" oleh kelompok-kelompok
elite tertentu di Jawa. Masalah sentral di sini lalu menjadi: Memperta-
hankan kepentingan kelompok-kelompok kecil elite politik tertentu atau
keseluruhan yaitu Indonesia -- daerah koloni Belanda dahulu!? Kita
dipersilahkan memilih. Daerah-daerah di luar Jawa sudah siap memberikan
jawaban-jawaban mereka sesuai dengan olah elite-elite politik Jakarta,
termasuk kelompok militer dan kepolisian, yang pada galibnya tidak
mewakili kepentingan rakyat Indonesia.

Menguasai bedil tidak berarti sama-sebangun dengan kepentingan rakyat.
Praktek 32 tahun Orba menuturkan sangat jelas kepada dunia, walaupun Wiranto
dengan seribu satu cara terus mencoba membela korpsnya pada berbagai
kesempatan. Di
sini perlu dicatat untuk diketahui oleh seluruh panglima TNI dan Polisi,
juga pimpinan Republik bahwa rakyat Indonesia di luar Jawa tidak
memerlukan TNI tipe sekarang dan sejarah menunjukkan bahwa rakyat di
luar Jawa sanggup mengurus keamanan mereka sendiri tanpa TNI model hari
ini. Lalu apa dasar massa, apa dasar teoritis dan filosofis untuk
mempertahankan wakil-wakil tunjukan, yang jauh dari massa? Yang tersisa
tidak lain daripada dasar kepentingan politis-ekonomis dalam artian
mempertahankan perampokan 32 tahun lebih.

PENGALAMAN JEAN-LOUIS ARAJOL

Jean-Louis adalah seorang mantan polisi. Ia meninggalkan profesinya
sebagai seorang polisi untuk masuk ke bidang baru yaitu politik sebagai
anggota parlemen kota Paris. Dunia kepolisian ia tinggalkan karena
polisi sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata adalah alat negara
Republik Prancis. Alat negara adalah bagian dari perangkatan aparat
negara tidak perduli negara itu kemudian dikuasa oleh partai manapun
yang menang dalam pemilu luber dan jurdil. Bedil atau angkatan
bersenjata tunduk pada politik negara karena ia adalah bagian dari
perangkatan aparat negara. Bukan sebaliknya yaitu bedil yang mengatur
negara atau republik. Sedangkan di Indonesia, paling tidak selama 32
tahun lebih bedillah yang jadi panglima dan menguasai negara dan seluruh
kehidupan.  Bedillah yang mengatur kehidupan negeri, yang dengan istilah
sederhananya membuat negeri menjadi dikuasai oleh militerisme. Di
mana-mana, apalagi di luar Jawa, keangkuhan dan kesewenang-wenangan
militer sangat menyakitkan hati dan pada galibnya telah menghambat
kemajuan masyarakat secara keseluruhan.

Dengan mempertahankan wakil-wakil tunjukan, lebih-lebih wakilTNI-Polisi,
kiranya kita tetap memberi peluang kepada otoriterianisme dan
militerisme. Lihat saja hasil yang dicapai oleh voting MPR baru-baru
ini. Pertanyaan yang terpulang kepada kita semua adalah: Kita mau apa?
Mau negeri demokratis atau totaliterianisme dan militerisme? Yang jelas,
paling tidak, masyarakat adat Dayak Kalimantan tidak menginginkannya.

Jika orang-orang militer ingin pindah profesi untuk masuk ke bidang
politik misalnya, tinggalkan bidang militer, bentuk partai politik
sendiri atau bergabung dengan partai-partai yang ada seperti yang
dilakukan oleh mantan polisi Jean-Louis ARAJOL. Seperti partai-partai
politik lainnya, ikut sertalah dalam pemilu yang luber dan jurdil.
TNI-Polisi bukanlah warga kelas istimewa sehingga tanpa melalui pemilu
sudah memperoleh jumlah kursi yang berarti. Demikian juga jika semua
warga negara betu-betul sama di depan hukum, hapuskan utusan golongan
dan daerah.

Mungkin ada yang berkata bahwa kasus ARAJOL tidak relevan untuk Indone-
sia seperti yang sering saya dengar saat sementara orang menyangkal
suatu pendapat tapi tidak bisa mencari argumentasi. Jika demikian, apa-
kah demokrasi relevan untuk tanahair kita? Kalau tidak kita lalu mau ke
mana? Tolong katakanlah jawaban-jawaban pertanyaan ini kepada saya
selagi Indonesia masih sebagaimana adanya sekarang di peta bumi?

Perjalanan, Oktober 1999.

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 11 Nov 1999 jam 04:53:35 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kirim email ke