----------------------------------------------------------
Visit Indonesia Daily News Online HomePage:
http://www.indo-news.com/
Please Visit Our Sponsor
http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1
-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0
Free Email @KotakPos.com
visit: http://my.kotakpos.com/
----------------------------------------------------------

Precedence: bulk

Hersri Setiawan:
Surat dari Negri Kincir

                 MASALAH GENDER SUDAH SELESAI?

                           Gandrik!
                    Aku, cucu Ki Ageng Séla
                luputlah dari terkaman harimau
                luputlah dari sambaran geledek!


motto:  masalah gender belum kunjung selesai, selama
        perjuangan membangun masyarakat yang adil dan
        makmur belum tercapai

Kepada Mbak Megawati Soekarnoputri

     Ya, rasaku lebih tepat surat ini aku tujukan pada Mbak
Megawati Soekarnoputri (selanjutnya Mbak Mega atau Mbak Ega).
Sebab, alasanku, aku di sini menyapa Mbak Mega sebagai Mbak-
nya orang banyak, khususnya orang banyak yang Wong Cilik.
Sengaja aku tidak mengalamatkannya kepada Ibu Megawati
Soekarnoputri. Karena,  maksudku, di sini aku memang tidak
hendak bicara dengan Ibu Wakil Presiden. Aku ingin berhadapan
dengan Mbak Mega dalam kedirian dan kepribadiannya. Tidak
dalam jabatan dan kekuasaannya.

     Ya, jangan merasa kaget dan aneh jika surat ini aku awali
dengan sepatah geguritan mirip sajak di atas. Itu bukan sajak.
Melainkan versi indonesiaku dari rumus do(ng)a tradisional
Wong Cilik Jawa Tengah. Yaitu jika menghadapi sesuatu gejala
yang mengagetkan. Gejala apa saja, gejala alam atau gejala
kehidupan. Barangkali khusus berlaku di Jawa Tengah pedalaman
saja, bukan pesisiran, di mana Ki Ageng Séla dipercaya sebagai
bermartabat sama dengan sembilan wali Islam.

     Aku memang sungguh kaget membaca pernyataan Mbak Mega,
yang kubaca di internet dua-tiga hari lalu. Masalah gender di
Indonesia, katanya, sudah selesai bahkan sejak sebelum
Indonesia merdeka! Aku tidak hendak berargumentasi dari sudut
teori gender. Tentang ini biarlah kuserahkan sebagai pé-èr (pé-
èr kecil saja kok, wong bukan perkara terlalu musykil sih!)
pada Ita F. Nadia, Myra Diarsi MA, DR Karlina dkk. Dalam
tulisan ini aku sekedar mau menunjuk pada beberapa fakta, yang
dari situ harap Mbak Mega meninjau kembali pernyataannya itu.

     Pada 12 - 20 November 1999 lalu di Yogya, bertempat di
Pusat Studi "Realino", berlangsung Konferensi Asia Pasifik
Melawan Imperialisme. Sidang pra-konferensi kemudian membentuk
empat seksi: mahasiswa/pemuda, buruh, tani, dan kebudayaan.
Ikut berbicara di seksi Kebudayaan itu, aku mengemukakan
pendapatku: bahwa situasi dan kondisi kebudayaan Indonesia,
dari sejak saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai
sekarang, secara mendasar sama sekali belum berubah. Atau,
dengan yakin aku berani mengatakan, bahkan telah semakin
menjadi parah sejak sepanjang lebih 33 tahun di bawah rezim
Orde Baru yang militeristik. Itu dalil pertama yang kuajukan.

     Dalil kedua, Mbak Mega, lalu apakah itu artinya?

     Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
yang dibacakan ayahandamu Bung Karno yang besar itu, baru
merupakan semacam meletakkan batu dasar. Batu dasar untuk
membangun, aku ikuti kata-kata Bung Karno, sebuah "Jembatan
Emas", yang di seberang Jembatan Emas itu barulah dibangun dan
diwujudkan masyarakat seperti yang dicita-citakan dan dituju
Proklamasi. Apa itu? Inilah kata Mukadimah UUD 45:  "...
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur" (italics penegas dariku, HS).

     Maka dalil ketiga yang ingin kutegaskan, ialah: satu,
terbangunnya negara Indonesia yang rakyatnya merdeka dan
berdaulat penuh. Berdaulat penuh! Itu berarti, lebih dari
sekedar terlepas dari penjajahan, tetapi juga tidak bergantung
kepada bangsa lain mana dan siapa pun. Kedua, terbangunnya
negeri Indonesia yang masyarakatnya bebas dan mandiri penuh.
Mandiri penuh! Itu hanya bisa, apabila masyarakat telah bebas
dari kelaparan, bebas dari kedinginan, bebas dari kebodohan
dan pembodohan, serta bebas dari ketakutan. Dalam rumusan Bung
Karno ialah, suatu bangsa yang berdaulat dalam politik, yang
berdikari dalam ekonomi, dan yang berpribadi dalam kebudayaan.

     Apakah itu sudah tercapai sekarang ini? Oh, boro-boro!
Kata orang Betawi. Karena itu, kembali lagi pada Bung Karno,
dikatakan "revolusi belum selesai", atau menurut bahasa kaum
komunis yang lebih kental "revolusi gagal". Pendek kata: belum
selesai atau gagal.

     Jadi mari, "revenons à nos moutons", kita kembali ke
perkara pokok.

     Jelas, makanya, bahwa perkara gender di Indonesia masih
jauh dari selesai. Bahkan sampai sekarang pun! Bukankah sisa-
sisa kebudayaan kolonial masih belum habis disiangi bersih-
bersih? Siapakah sekarang ini yang berani bicara bahwa proses
dekolonisasi sudah rampung? Jangan kata dekolonisasi kultural,
bahkan dekolonisasi politik sekali pun! Akar sisa-sisa
kebudayaan kolonial masih tetap merayap merasuk di jaringan
tubuh budaya bangsa. Sementara itu arus ideologi kebudayaan
imperialis merajalela secara mondial liwat berbagai bentuk
saluran, misalnya sebutlah satu-dua di antaranya yang
mencolok: Mac Donald, karaoke, iklan barang-barang konsumtif.

     Di atas taksi di Jakarta bulan November yang lalu aku
terkesima oleh siaran iklan sabun colek dari sebuah radio
swasta entah studio mana. Aku mendengar dongeng rakyat Bawang
Merah - Bawang Putih dikisahkan. Hebat, bukan? Kapitalisme pun
sekarang telah melihat dan sadar tentang potensi kekayaan dan
kekuatan budaya rakyat! Dikisahkanlah oleh iklan itu tentang
si anak tiri Bawang Merah yang diperbudak di- (bahasa Bung
Karno) ingkel-ingkel oleh saudara dan ibu tiri.

     Perhatikan Saudara, terutama Mbak Mega, di sini masalah
gender terselubung: Si Bawang Merah itu anak perempuan. Anak
perempuan tidak boleh punya kehendak bebas sendiri. Maka
menjadilah tugasnya untuk bekerja, tidak menurut kehendak
sendiri melainkan menurut perintah Bawang Putih, "saudaranya",
dan "ibu" tirinya.

     Hai Bawang Merah, tugasmu di belakang. Urus segala
pekerjaan rumah tangga!

     Tambahan pula dia anak tiri. Maka menjadi lumrah saja,
jika kepadanya ditimbuni dengan sa-ambrek-ambrek pekerjaan
cucian.

     Tapi mukjizat apa kiranya maka Bawang Merah bisa menarik
napas lega? Saudara-Saudara pasti pernah dan sering mendengar
pesan iklan itu. Tapi, aku takut, tidak banyak di antara kita
yang menyadari hakikat isi pesan tersebut. Perhatikan Saudara!

     Menjadi "rahasia hidup" Bawang Merah sendiri, bahwa dia
diam-diam ternyata telah mendapat pertolongan dari produk
kapitalis: SABUN COLEK. Oleh pertolongannya, maka Bawang Merah
bisa menghemat uang belanja, bisa bekerja ringan, dan
memperoleh hasil sempurna. Di jaman aku kecil dulu, iklan
produk palmboom bergambar laki-laki bocah enerzik, bernama
Giman. Nama anak desa. "Giman Selalu Berhasil!" Begitu kata-
kata pesannya.

     Bandingkanlah, di "jaman Orla" dulu anak laki-laki desa
menjadi obyek. Sedangkan di "jaman (paska-) Orba" sekarang
obyek itu anak remaja perempuan. Itu bedanya. Tapi
kesamaannya, berkat buah budaya kapitalisme itulah baik Giman
maupun Bawang Merah mencapai hasil. Bawang Merah tidak lagi
merana dan harus mati diingkel-ingkel sebagai budak. Ia
bernapas lega karena telah terlepas dari penindasan kejam
rumahtangga yang feodalistik. Tapi ia, sadar atau tidak sadar,
ternyata telah jatuh ke genggaman tangan kuat masyarakat yang
kapitalistik.

     Sehubungan dengan iklan di media cetak - sejatinya juga
di media auditif dan audio-visual - aku punya catatan kecil
tapi sangat penting untuk ditambahkan di sini. Tahukah
Saudara, terutama Mbak Mega, bahwa lebih 70% seluruh iklan
berbagai koran ibukota telah menggunakan sosok perempuan
sebagai obyek dan subyek sekaligus? Obyek daya tarik seksual
laki-laki, kepala rumahtangga calon konsumen, tapi sekaligus
juga subyek konsumtif barang-barang yang ditawarkan itu
sendiri. Selanjutnya, pernahkah Saudara memperhatikan bagian-
bagian mana dari tubuh perempuan - dari ujung kaki sampai ubun-
ubun - yang paling banyak diiklankan? Jika iklan melalui media
auditif, misalnya, desah suara perempuan yang bagaimana yang
paling banyak diperdengarkan?

     Satu contoh lagi. Tahun 1980-an awal.

     Ketika itu belum lama aku tiba dari Pulau Buru, kembali
"dimasyarakatkan" di tengah masyarakat ibukota Jakarta. Titiek
Puspa, penyanyi kondang itu, akan mementaskan sebuah opereta -
dengan para pemain hampir semua anak-anak - di Istora Senayan.
Opereta itu akan membawa sebuah lakon, yang digubah dari kisah
anak-anak dunia Barat yang tersohor: Cinderela. Aneh, pikirku.
Mengapa bukan Cinde Laras? Apakah bunyi Cinde Laras kurang
terdengar puitis ketimbang Cinderela?

     Berita tersiar di semua media massa, dipajang dan
dipejeng dalam iklan, spanduk, poster dan baliho besar-besar
di mana-mana. Seolah hendak berbangga-bangga tentang gebrakan
pendidikan anak bangsa yang inovatif. Tapi beda dengan kesan
dan reaksiku. Aku yang baru turun dari gunung hutan meranti
Wai Tele, dan keluar dari rawa-rawa sagu Wai Tui, belum
terlalu dikotori oleh polusi ideologi negeri seberang.

     Maka melalui artikel yang kutulis di harian "Sinar
Harapan", aku pertanyakan ketika itu: inovatif atau epigon? Ke
mana anak bangsa hendak dibawa? Bukankah Orde Baru bercita-
cita hendak membangun "manusia seutuhnya"? Mengapa anak-anak
dibawa berangan-angan tentang Cinderela, yang akan dibebaskan
dari penderitaannya yang memelas oleh seorang Pangeran tampan?
Mengapa tidak ditanamkan jiwa dan semangat Cinde Laras yang
membongkar kepalsuan dan menegakkan keadilan?

     Di mana letak problem gendernya? Begitu mungkin Saudara
bertanya. Baik! Bandingkanlah antara Cinderela dan Cinde
Laras. Cinderela, si putri memelas itu, hanya berhasil bebas
dari deritanya oleh seorang pangeran. Laki-laki dan berdarah
biru pula! Sebaliknya, siapakah arsitek yang membangun jiwa
Cinde Laras? Seorang perempuan melarat, ibu kandung sendiri:
Mbok Randa Dadapan. Dan siapa yang membantunya dengan
"kesaktian"? Alam sekeliling dan berbagai binatang hutan:
ayam, ular, dan burung elang!

     Dua contoh tentang keterjajahan oleh budaya asing
tersebut di atas kiranya cukup. Mari dua contoh lagi tentang
pernyataan budaya feodal yang melecehkan keberadaan dan
kedudukan perempuan di tengah masyarakat.

     Contoh pertama aku ajak Saudara kembali hadir ke sidang
seksi Kebudayaan Konferensi Asia Pasifik Melawan Imperialisme
tersebut di atas. Aku seperti terpancing oleh Dolorosa yang
menyoalkan tentang acara "menginjak telur" dalam upacara adat
perkawinan Jawa. Komentarku: menginjak telur berarti memecah
telur dengan kaki. Telur itu apa? Jelas ialah lambang
perempuan, karena di dalam rahim perempuanlah telur dikandung.
Artinya: perempuan tidak akan sempurna sebagai istri, apabila
telur kandungannya tidak dibikin pecah. Bukan hanya berhenti
di situ adat Jawa itu. Si pengantin perempuan kemudian harus
jongkok di hadapan mempelai laki-laki, mencuci telapak kaki
sang suami yang duduk dalam segala kebesaran. Ya, benar. Maka
sudah di awal 1980-an aku tulis sebuah artikel di
"Prisma"/LP3ES, dengan judul - mengikuti pemeo rakyat
pedalaman Jawa: "Perempuan - Awan thèklèk, Bengi lèmèk".
Maksudnya, peranan perempuan terhadap laki-laki, siang hari
menjadi alas kaki, malam hari menjadi alas tidur ...!

     Penganjur dan pembela feminisme sudah makin meluas di
Indonesia - khususnya Jakarta. Peneliti dan pembahas masalah
gender pun demikian. Sudah lumayan banyak buku-buku ditulis,
yang mengotak-atik sehingga "mathuk" di pikiran, berbagai rupa
teori gender dan feminisme dari Barat dan Timur. Tapi yang
masih kurang barangkali, maafkan kalau aku mengingatkan
Saudara-Saudara, mengamati dan mengupas warisan-warisan dan
sisa-sisa nilai budaya tua yang terselubungi keindahan dan
keangkeran adat-istiadat. Ini sama seperti problem dalam
sejarah: banyak fakta dan data yang terselubung dibalik
"dichtung" babad dan legenda.

     Contoh kedua dari pengalaman pribadi di Buru. Yaitu
sekitar tahun 1972/73, ketika aku sebagai tapol di Unit XIV
Bantalareja. Pada suatu apel bendera berpidatolah Komandan
Unit di depan lima ratus orang barisan tapol. Sesudah, seperti
lazimnya penguasa terhadap tapol, Komandan ber-kita-kami -
jargon tapol Pulau Buru untuk caci maki - disampaikanlah
"berita bagus" untuk tapol. Begitulah katanya. Sebab
pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Bapak Presiden Jendral
Suharto itu mempunyai rasa perikemanusiaan yang tinggi. Tidak
seperti PKI yang biadab. Karena itu pemerintah merencanakan
akan mentransmigrasikan "wts" dari Kramat Tunggak Jakarta,
untuk hidup bermasyarakat bersama tapol di Buru. Agar dengan
demikian penghuni unit-unit lembah Wai Apo menjadi lengkap.
Ada yang ber-tracak wungkul, dan ada yang ber-tracak belah
(sic!).

     Perhatikan dua istilah itu: "tracak wungkul" dan "tracak
belah". Ini adalah kosakata Jawa dari dunia binatang. Binatang
tracak wungkul yaitu yang berkuku tunggal, seperti kuda dan
keledai; dan binatang tracak belah yaitu yang berkuku belah,
seperti kerbau dan sapi. Tracak wungkul dan tracak belah dalam
hubungan ini jelas merujuk pada alat kelamin laki-laki dan
perempuan. Mempersamakan tapol dan "wts" dengan binatang
adalah satu soal. Tapi masih ditambah satu soal lagi, di mana
tersirat persoalan gender. Yaitu, pada satu pihak,
mempersamakan laki-laki dengan binatang kuda atau keledai yang
binatang pesolek; sementara itu, pada pihak lain,
mempersamakan perempuan dengan kerbau atau sapi yang binatang-
binatang pekerja.

     Demikianlah komentarku untuk menyangkal pernyataan Mbak
Mega, bahwa masalah gender sudah selesai. Bahkan sejak sebelum
Indonesia merdeka. Tapi ijinkanlah aku menutup tulisan ini
dengan sebuah pengalaman pribadi, barangkali baik untuk
kenangan Mbak Mega.

     Tahun 1980-an awal. Ketika itu aku diminta Mas Tok (Mas
Guntur Soekarnoputra) mengedit naskahnya yang berjudul "Bung
Karno - Bapakku, Guruku, dan Kawanku". Ada di sana antara lain
kisah keluarga yang menarik, hangat dan lucu. Yaitu satu kisah
dunia anak-anak: Mas Tok dan sekalian adik-adiknya. Ibu
Fatmawati sudah dicerai, dan tinggal di Kebayoran Baru. Tapi
Mas Tok dan adik-adik masih tetap tinggal di istana. Hubungan
mereka dengan sang ayah, Bung Karno, tak tercermin keretakan.
Tapi hubungan dengan ibu tiri terasa tidak "sreg", yang
sekaligus mencerminkan sikap keberpihakan mereka pada ibu
sendiri: Ibu Fatmawati. Itu tidak aneh. Tapi yang terasa lucu
dan mencerminkan hubungan aneh dengan ibu tiri, yaitu
timbulnya istilah khusus untuknya di kalangan putra-putri Bung
Karno. Istilah yang Mbak Ega sesaudara berikan untuk ibu-
kekasih Bapak ialah "indul-indul markindul".

     Pertanyaanku ada dua: satu, siapa pencipta istilah itu;
dan kedua, apakah di balik itu tidak tersembunyi masalah
gender yang belum selesai itu?

     Mbak Ega, silakan direnung kembali!***

Kockengen, 25 Desember 1999

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 27 Dec 1999 jam 03:11:44 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Kirim email ke