---------------------------------------------------------- Visit Indonesia Daily News Online HomePage: http://www.indo-news.com/ Please Visit Our Sponsor http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1 -0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0 Free Email @KotakPos.com visit: http://my.kotakpos.com/ ---------------------------------------------------------- Merdeka, 21 Desember 1999 Saktinya Kata Referendum Oleh: Hadi Santiago "REFERENDUM", itulah kata yang sering kita dengar belakangan ini. Kata itu telah menjadi akrab di telinga kita karena setiap hari selalu berkumandang di mana-mana. Betapa dahsyatnya kekuatan yang terkandung dalam kata referendum sehingga menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan yang amat sangat bagi pemerintah. Di tengah tumpuk-menumpuknya berbagai persoalan besar lainnya, perhatian pemerintah harus terpecah lagi oleh permasalahan menguatnya tuntutan referendum. Persoalan yang bisa menimbulkan perpecahan dan mengancam persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia. Masih segar di ingatan kita kasus Timor Timur (Timtim) yang menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri. Kita telah dipermalukan, bahkan dilecehkan oleh dunia internasional karena kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan pada waktu itu. Kita harus menanggung "aib" karena kehilangan muka bahkan sekaligus kehilangan propinsi yang paling bungsu, Bumi Loro Sae. Ini merupakan pelajaran dan peringatan yang berharga bagi pemerintahan Gus Dur. Kini, kata referendum kembali meminta korban. Propinsi Aceh menuntut dua opsi yaitu: otonomi luas atau pisah dari bumi Indonesia. Bagi rakyat Aceh, referendum merupakan jalan akhir yang harus diambil dan suatu refleksi dari munculnya kekecewaan yang berlarut-larut sampai membengkak dan kemudian meledak sering dengan datangnya era reformasi. Maka, jadilah Aceh sebuah kata bulat. Puncaknya, rakyat Aceh berkumpul di halaman Masjid Raya Baiturrahman dan sejumlah lokasi di sekelilingnya pada 8 November 1999 lalu untuk sebuah tuntutan referendum. Melihat semangat rakyat Aceh, sepertinya mereka akan berkata bahwa referendum merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Rapat raksasa pro-referendum di Banda Aceh membuktikan bahwa masyarakat di Tanah Rencong ini menuntut untuk segera membentuk negara sendiri yang merdeka dan berdaulat penuh. Menyikapi tuntutan ini, pemerintah harus segera melakukan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan hanya mengumbar janji. Bangsa Indonesia, khususnya rakyat Aceh, sangat mengharapkan adanya langkah konkret pemerintah dan realisasi dari formulasi yang selama ini dijanjikan untuk penyelesaian masalah yang semakin urgent ini. Segala kebijakan dan keputusan yang dibuat pemerintah Gus Dur mengenai Aceh cermin atas kemampuan dan kredibilitasnya dalam memecahkan persoalan ini. Jika kebijakan dan keputusan yang dihasilkannya mengecewakan, maka hilanglah kredibilitas dan kepercayaan rakyat dan pemerintahan Gus Dur. Masalah Aceh adalah masalah nasional dan sekaligus masalah keutuhan bangsa dan negara. Janganlah pemerintah mengulur-ulur waktu yang akhirnya hanya menambah permasalahan baru dan akan meminta jatuh korban yang semakin banyak. Jika kita melihat perkembangan bangsa Indonesia saat ini, ditinjau dari segi ekonomi, maka semakin tinggi tuntutan propinsi akan hal itu. Namun jika tuntutannya sudah mengancam pada persatuan dan kesatuan serta integritas bangsa, maka pemerintah harus segera mengambil langkah tegas demi keutuhan wilayah Republik Indonesia. Agaknya kita perlu lihat kembali pada isi deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Wina. Dikatakan bahwa setiap warga negara memang berhak untuk mendapatkan kebebasan berbicara, mendapatkan persamaan hukum dan sebagainya. Tapi secara prinsip, setiap warga negara tidak melekat hak untuk membentuk negara sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Dalam Deklarasi HAM di Wina (1993) itu disebutkan dengan jelas, bahwa: "Sekalipun menghormati hak menentukan nasib sendiri, hal ini tidak boleh diartikan sebagai mensahkan atau mendorong tindakan- tindakan yang akan memecah belah atau merusak, seluruh atau sebagian, dari integritas teritorial atau kesatuan politik, dari negara berdaulat dan merdeka." Ini berarti bahwa hak menentukan nasib sendiri tidak berlaku bagi bagian dari suatu negara terhadap negara induk yang berdaulat dan merdeka. Pemerintahan Gus Dur dengan segenap kemampuannya harus menjelaskan membujuk dan memohon pada seluruh rakyat Indonesia, khususnya rakyat Aceh untuk tetap menjadi bagian Indonesia demi keutuhan kesatuan dan persatuan bangsa. Karena jika Aceh lepas dari Indonesia, maka buat Indonesia adalah awal bagi sebuah persoalan dahsyat yang justru berpotensi membawa kehancuran bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. (Penulis adalah mahasiswa Fakultas Komunikasi IISIP Jakarta) ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Didistribusikan tgl. 27 Dec 1999 jam 05:26:32 GMT+1 oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]> http://www.Indo-News.com/ ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++